Brughhhh!!!
Aku yang baru saja selesai dengan urusan toilet termenung mendengar suara cukup kencang di bilik paling ujung dari ke-4 bilik toilet rumah sakit.
Barusan suara apa ya?
Gak salah denger kan?
Brughhh!!!
"Wanita sialan seperti kamu harusnya sudah mati sejak awal!"
"Harusnya dari awal kamu gak usah bertemu dengan laki-laki yang aku cintai,"
"Apa salah aku?"
"Kamu gak salah, yang salah semesta karena menyatukan kamu dan laki-laki yang aku cintai."
Sepertinya memang ada pertengkaran di bilik ujung. Aku memilih untuk membuka kunci pintunya perlahan—berniat tidak ingin ikut campur dengan urusan orang lain.
Tapi langkahku terhenti ketika mendengar suara seorang wanita yang hampir habis di bilik ujung.
"Lepaskan!! Aku mohon!"
Ini aku harus selamatin jangan ya?
Tapi kan bukan urusan aku juga.
Tapi kayaknya dia butuh bantuan.
Alih-alih langsung menolongnya, aku memilih untuk keluar lebih dulu dari toilet lalu mencari seseorang untuk menemaniku menolong wanita tadi.
Aku menahan tangan seseorang yang bahkan sama sekali tidak kukenal, "tolong bantu saya ya!!"
"Bantu apa Bu?" tanyanya dengan kebingungan.
"Tolong temani saya ke toilet!"
Laki-laki itu melepaskan tangannya, "ibu mau mesum ya?"
"Bukan ya! Pokoknya ayo ikut aja dulu," ajakku langsung menarik tangannya—masuk ke toilet kembali.
Tapi ada yang aneh—suara yang tadi sama sekali tidak terdengar. Namun biliknya masih tertutup, aku berjalan sembari menggandeng tangan laki-laki yang kutarik tadi.
"Ada apa sih Bu?" tanyanya.
Aku menoleh lalu menutup mulutnya, "jangan berisik!" bisikku, "coba buka bilik paling terakhir. Tadi saya denger sesuatu dari sana."
"Denger apa Bu? Suara hantu?" tanyanya.
Aku mendelik, "kamu buta atau gimana? Saya masih muda ya!! main panggil ibu aja."
Laki-laki itu mendengus kesal, "ya lagian nyebelin banget tiba-tiba diseret ke toilet cewek," gumamnya.
"Habisnya saya panik, mau minta tolong gak ada siapa-siapa. Jadi saya tarik kamu aja yang lagi lewat," jawabku.
"Emangnya denger suara apa sih?" tanyanya, "paling salah denger aja."
"Enggak, pokoknya buka dulu. Apa salahnya sih buat cek!" pintaku mendorong tubuhnya pelan.
Sedangkan aku menunggunya di depan bilik paling utama—dekat dengan pintu toiletnya.
Laki-laki itu berjalan perlahan, lalu terdiam setelah membuka pintu bilik ujung.
"Kok diem aja, ada apa?" tanyaku kebingungan.
"Panggil dokter, Teh!" pintanya dengan wajah yang terbelalak.
Aku keluar dari toilet, berteriak memanggil dokter ataupun perawat. Perawat mulai berdatangan, bahkan cukup banyak orang yang datang.
Laki-laki itu terlihat kebingungan juga, apalagi sekarang pihak rumah sakit memanggil polisi untuk menangani kasus ini.
Aku terkejut melihat wajah wanita itu sudah membiru dengan luka lebam pada pipi dan juga lehernya, tapi dokter menyatakan bahwa wanita itu masih bisa diselamatkan.
Baru saja aku akan kembali ke tempat duduk sejak tadi, tanganku ditahan oleh laki-laki yang ku seret ke toilet.
"Heh main tarik-tarik aja. Mau dibawa kemana ini? Saya mau konseling sama dokter ya!"
"Ibu—Teteh maksud saya, harus ikut saya untuk menjadi saksi sebuah percobaan pembunuhan," jelasnya.
"Kenapa? Kok saya?" tanyaku heran.
"Ya terus siapa lagi?" tanyanya balik, "kan teteh yang bawa saya ke toilet terus nemuin ibu tadi."
"Jangan-jangan yang siksa teteh ya?" tuduhnya.
Aku langsung menepis tangannya, "kamu nuduh saya?"
"Ya kan gak ada siapa-siapa lagi selain teteh di dalamnya," timpalnya.
"Saya cuman bilang kalau saya denger sesuatu, kenapa malah saya yang dijadikan tersangka sih," tukasku.
"Udah ayo pokoknya ikut saya dulu!" Laki-laki itu kembali menarik tanganku untuk kembali berjalan ke ruang pemeriksaan—menemui polisi yang sudah ada di sana.
Lah masa niatnya nolongin malah jadi tersangka begini?
Gimana ceritanya sih ini?
Hwaaaa Mamah!!!!!!!
Laki-laki itu membawaku ke depan ruang pemeriksaan—dimana anggota keluarga dan juga petugas kepolisian sudah ada di sana. Aku menoleh pada laki-laki itu dengan sedikit ketakutan.
Petugas kepolisian itu menghadap ku, "ibu yang menemukan korban bukan?" tanyanya.
Aku menghela napas mendengarnya, "saya belum ibu-ibu ya Pak!" protesku membuat laki-laki yang berdiri di sampingku menahan senyumannya.
"Ya sudah saya minta maaf. Apa teteh tadi ada di toilet sama dokternya?" tanya petugasnya membuatku menoleh pada laki-laki yang ditunjuk.
"Enggak ya!!" protes kita berdua berbarengan.
"Dia tadi tarik saya, Pak. Katanya tadi mau minta tolong, makanya saya masuk ke toilet wanita. Karena emang gak ada yang lewat juga, kebetulan toilet itu emang posisinya agak belakang," jelasnya disusul dengan anggukan ku.
"Berarti teteh sama pak dokter jadi saksi atas kejadian ini ya? Bersedia ikut saya ke kantor polisi?" tanyanya.
"Harus banget ya Pak?" tanyaku langsung dianggukinya.
Aku menghela napas setelahnya, lalu mendelik pada laki-laki yang membawaku tadi.
Kita berdua ikut dengan petugas kepolisian untuk menjadi saksi atas penganiayaan yang terjadi.
Berulang kali aku melirik ponselnya—melihat jam yang terus bertambah.
Jadwal konsulnya kelewat deh!!
Langsung pulang aja lah nanti. Males banget kalau harus ngantri lagi, apalagi balik sama cowok nyebelin ini.
Kalau dia gak seret aku tadi, aku gak bakal jadi saksi gak jelas begini.
Setibanya di kantor polisi, kita berdua duduk berhadapan dengan petugas kepolisian dan juga komputernya. Ia memintaku untuk menjelaskan lebih awal tentang kejadian tadi.
"Saya gak tau jelasnya gimana Pak, yang saya tau waktu itu emang ada suara pukulan, terus tangisan kecil sama suara minta tolong pas sebelum saya keluar dari toilet, makanya saya minta tolong sama dia," jelasku sembari menunjuk laki-laki yang kini duduk di sampingku.
"Lalu keterangan dari Pak Dokter?" tanya petugas kepolisian.
"Sebelumnya panggil saya Hanif aja, Pak. Saya bukan dokter juga," pintanya dengan senyuman.
Oh!!! Namanya Hanif. Ganteng juga namanya.
Laki-laki itu menjelaskannya secara rinci dengan senyuman ramahnya.
Kayaknya dia ramah banget sama orang. Keliatan dari senyumannya bukan yang pura-pura gitu.
Ia menoleh padaku yang sejak tadi memperhatikannya, "kenapa liatin saya segitunya? ganteng ya saya?"
Aku menyunggingkan bibir setelahnya pamit karena prosedur sudah selesai. Lagipula kita berdua memang tidak ada kaitannya dengan korban ataupun kasusnya. Kita berdua hanya menjadi saksi yang tidak sengaja melintas saja.
Aku memutuskan untuk pulang ke rumah abangku yang sudah menikah dan menetap di kota. Apalagi memang hari sudah mulai gelap, bapak juga tidak akan mengizinkan aku pulang seorang diri ke kampung.
Sedangkan laki-laki itu, kembali ke rumah sakit untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda tadi.
"Assalamualaikum!!"
"Waalaikumsalam, masuk aja Neng. Gak abang kunci!" jawabnya sembari berteriak.
Aku masuk ke rumah abang yang baru saja dibelinya beberapa bulan lalu.
Aku menghela napas berat sembari menjatuhkan tubuhku pada sofa ruang tengah.
"Kamu habis darimana emangnya? Kok kayaknya barusan naik grab," tanyanya.
"Tadinya mau konsul ke dokter, neng pengen kurus. Cuman gak jadi," jawabku.
"Kenapa? Duitnya kurang?"
Aku menggelengkan kepala.
"Terus?"
"Tadi ke kantor polisi," jawabku.
"HAH??..... Kok bisa? Kamu gak ngehajar dokternya kan?" tanyanya.
Aku mendelik mendengarnya, "emang aku sejahat itu ya? Adik abang ini terlihat preman banget gitu?" tanyaku.
"Hahaha!!!!"
Aku mendelik mendengarnya, apalagi ketika ia terus tertawa dengan cerita yang aku bicarakan setelahnya.
"Teteh kemana, kok gak ada?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Dengan kekehannya ia menjawab, "teteh kamu bagian kerja malam. Kamar kamu udah diberesin kok, lagian gak pernah dipake juga karena jarang ada tamu. Cuman kamu doang yang numpang," jawabnya.
Aku menyunggingkan bibir mendengarnya, "awas aja kalau nyuruh nginep lagi kalau abang ada kegiatan ke luar kota ya!"
"Jangan pundung begitu dong adik geulis!! Kan abang cuman becanda," ucapnya sembari menggodaku—mencolek dagu dengan senyuman rayunya.
Aku menepis tangannya, "hidihhh giliran ada perlu aja so manis begitu."
"Udah ah, neng mau ke kamar aja. Capek!" ucapku sembari beranjak ke kamar depan.
Aku memang sudah biasa menginap di rumah abang. Apalagi ketika abang pergi ke luar kota untuk urusan kerjanya, aku yang menginap menemani teteh selama beberapa malam.
Sebenarnya teteh tidak pernah meminta, ia juga terbiasa tinggal seorang diri sejak kerja di kota. Tapi abang yang suka berlebihan, katanya selalu kepikiran jika meninggalkan teteh seorang diri selama beberapa hari.
Di sisi Hanif,
Laki-laki itu baru saja selesai dengan pekerjaannya setelah mengurus gizi dan mengolah data beberapa pasien.
Bahunya ditepuk seseorang dari belakang sambil berkata, "gw nanti pulang nebeng Lo ya!"
Hanif menoleh dengan delikannya, "motor lo kenapa lagi?"
"Biasalah. Tadi dipake sepupu gw, katanya dia mau balikin tapi malah masuk bengkel akhirnya," jawab rekan kerja sekaligus sahabatnya sejak kecil—namanya Adri Setiawan.
"Ya udah ayo! Gw gak mau nungguin ya kalau lama," ucap Hanif langsung beranjak dari ruangan kerjanya.
Kembali ke sisi Riyani,
Keesokan paginya, aku sudah berganti pakaian untuk pulang pagi-pagi ke rumah orangtuaku. Apalagi memang tidak banyak pakaian yang ada di rumah abang karena setiap menginap aku hanya meninggalkan sepasang atau 2 pasang baju saja.
Abang sudah pamit pagi-pagi untuk bekerja, sedangkan istrinya belum kembali setelah bekerja di shift malam.
Aku juga mengunci pintu rumahnya, lalu pergi setelah menyimpan kunci rumahnya dibalik pot bunga.
Berhubung cukup lama untuk mendapatkan ojek online, aku memilih berjalan ke depan gang sebentar lalu menaiki transportasi lain.
Beli kopi dulu gak sih?
Aku tersenyum melihat minimarket di samping gang rumah abang. Setelahnya memutuskan untuk membeli kopi tanpa gula seperti yang biasa ku minum di setiap pagi jika di rumah.
Aku sedikit bersantai dulu pada tempat duduk yang disediakan. Namun tiba-tiba seseorang datang, "saya boleh ikut duduk bu?" tanyanya.
Aku mendongak padanya, "kamu lagi!!!" protesku.
Dari sekian banyaknya laki-laki, kenapa harus ketemu dia terus sih?
"Saya boleh ikut duduk Teh?" tanyanya lagi.
"Duduk aja," jawabku sedikit lebih santai karena dia mengganti panggilannya.
Di tengah rasa canggung, laki-laki itu membuka obrolannya.
"Saya minta maaf karena udah manggil ibu tadi sama kemarin juga," ungkapnya.
Aku mengangguk, "gak apa-apa. Saya udah biasa dipanggil ibu karena tubuh saya yang gemuk, muka kusam dan jerawat dimana-mana. Tapi kadang suka kesel aja karena usia saya aja belum seberapa tapi udah dipanggil ibu."
"Sebenernya bukan karena gemuk, dan bahkan kusam sama jerawat itu bukan termasuk kriteria liat umur menurut saya," timpalnya.
"Muka teteh tuh keliatan dewasa, makanya saya awalnya mengira kalau usia teteh di atas saya," sambungnya.
"Lagipula emang kalau gemuk keliatan kayak ibu-ibu?" tanyanya lagi.
"Bukannya emang kayak gitu ya?" tanyaku sembari menoleh padanya.
"Enggak juga. Banyak kok yang gemuk tapi mukanya kayak anak kecil, cuman menurut saya, muka teteh tuh emang keliatan udah dewasa," jawabnya.
"Iya terserah aja," jawabku kembali menikmati kopi dengan roti yang kumakan.
"Teteh orang deket sini ya?" tanyanya.
Aku menoleh lalu menggelengkan kepala, "kemarin pulang ke rumah abang. Kebetulan deket sini."
Laki-laki itu mengangguk.
Deket dong sama rumah gw!
Ia tersenyum, sontak membuatku menoleh, "kenapa?"
"Enggak," jawabnya singkat.
"Emmmm.... Korban kemarin gimana keadaannya?" tanyaku.
"Udah membaik kok. Dia kemarin juga katanya mau bilang makasih sama kita berdua karena udah bawa dia ke UGD cuman saya juga bingung sampaikan ke teteh gimana. Soalnya kan belum tentu ketemu lagi juga, tapi mungkin udah jalannya ketemu lagi," ucapnya.
"Bisa sampaikan ucapan saya juga gak?" tanyaku.
Laki-laki itu mengangguk mengiyakan.
Hari sudah mulai siang, Bapak juga meneleponku sejak tadi.
"Saya duluan ya Teh. Teteh hati-hati pulangnya!" pamitnya membuatku hanya mengangguk sekalipun kebingungan.
Tidak lama setelahnya, aku juga menaiki angkutan umum beberapa kali dengan warna yang berbeda karena berbeda jalan untuk sampai ke rumah.
±1 jam kemudian, aku baru saja sampai di rumah dengan rasa lapar yang mulai menyiksa. Padahal baru saja memakan roti dan meminum kopi tanpa gula. Tapi rasanya perutku sudah keroncongan sekarang.
Aku menjatuhkan tubuhku pada sofa di ruang tengah. Sontak mamah datang lalu berkata, "neng, udah sarapan belum? Pasti abang ataupun teteh kamu juga gak bikin sarapan kan?"
"Udah tadi Mah, walaupun gak di rumah abang. Kan banyak warung yang buka kalau di kota," jawabku.
"Lagian kemarin kenapa sampe nginep di rumah abang? Bukannya cuman main sama temen kamu?" tanyanya.
"Keasikan Mah. Makanya kemaleman sampe lupa waktu, jadi neng nginep aja ke rumah abang," jawabku dengan santai.
Iya, Mamah tidak pernah tahu tentang rencana aku yang ingin konsultasi ke rumah sakit tentang gizi dan saran diet. Menurutnya, asalkan sehat semuanya akan baik-baik saja. Tapi berbeda dengan pandanganku.
Sebenarnya, selain ingin lebih sehat—aku juga ingin memakai pakaian yang terlihat cantik dengan ukuran yang banyak tersedia.
Aku masuk ke kamar—membuka laptop yang dibelikan abang beberapa bulan lalu, katanya untuk menyemangati menulis novel walaupun asalnya hanya ku buat sebagai hobi saja.
Iya, Aku sudah mulai menyukai dunia fantasi ini setelah lulus sekolah menengah. Belum banyak cerita yang aku keluarkan, hanya beberapa cerita romansa dengan pembaca yang masih terhitung jari juga.
Di tengah kerjaan itu belum selesai, perutku rasanya cukup perih. Bukan sekedar lapar tapi rasa seperti terbakar.
Rasa mual yang mulai menusuk ke dada membuatku langsung pergi ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutku.
"Neng kenapa?" tanya mamah terkejut sembari menyusulku ke kamar mandi.
Lebih terkejutnya, ia melihat muntahan darahku yang cukup banyak terdorong dengan makananku.
Nafasku mulai terengah-engah, terkejut sembari menahan rasa sakit pada lambung yang sebenarnya sudah menyiksa sejak malam di rumah abang.
Rasa perih itu memang sudah biasa kurasakan. Apalagi setelah menjalani diet ketat, tapi—rasanya ini lebih dari perih, seperti ada api di perutku.
Setelah memuntahkan semuanya—melihat mamah histeris dan memanggil bapak juga. Aku tidak sadar lagi dengan apa yang terjadi.
Beberapa jam setelahnya,
Aku terbangun—membuka mataku—memutar pandangan pada ruangan serba putih yang tidak kukenal. Ada gorden berwarna biru muda yang mengelilingi ranjang tempatku tertidur.
"Mamah!!" panggilku dengan suara samar mencari sosok wanita paruh baya itu.
Seseorang datang dari balik gorden itu, "kamu udah sadar?"
"Saya dimana ini?" tanyaku.
"Kamu tadi dibawa ke rumah sakit karena pingsan. Terus keterangan dari orangtua kamu, kamu ini muntah darah?"
Aku mengangguk mengiyakan, "perut saya rasanya kayak kebakar Dok. Panas banget!!"
"Apa yang terakhir kamu makan sebelum pingsan tadi?" tanyanya lagi.
"Minum kopi hitam tanpa gula sama roti juga," jawabku.
"Sebenarnya ini awalnya karena asam lambung yang naik. Tapi karena dibiarkan lama, dan berkelanjutan makanya bisa menyebabkan rasa terbakar kayak kata kamu barusan," jawabnya.
"Terus saya harus gimana?"
"Kamu sebelumnya punya riwayat sakit lambung? Soalnya saya tanya mamah sama bapak kamu di depan katanya enggak,"
Aku menggelengkan kepala, "emang gak pernah Dok. Saya gak pernah sampai muntah darah, kalau sekedar perih di perut sih pernah."
"Aneh juga ya kalau tiba-tiba. Kayaknya perut kamu sensitif sama kopi," ucapnya.
Aku menggelengkan kepala, "saya udah biasa minum kopi tanpa gula Dok."
"Pagi-pagi juga kayak tadi?" tanyanya.
"Biasanya agak siangan sih, kalau udah sarapan," jawabku.
"Kamu emang suka kopi hitam tanpa gula atau emang lagi jalanin diet biar bisa nahan nafsu makan?" tanyanya lagi.
Aku menelan ludah kuat sembari menahan rasa perih di perut, lalu menjawab, "saya emang lagi jalanin diet Dok."
"Berapa lama? Ada bimbingan gak?" tanyanya.
"Udah sekitar 2 bulan lalu jalaninnya. Tadinya kemarin mau konsul ke dokter buat diet, tapi emang ada kejadian dan berakhir pulang lagi," jawabku.
Dokter itu menggelengkan kepalanya, "ya sudah kalau gitu. Makasih buat penjelasannya, kamu istirahat lagi aja ya! Saya mau temui dulu orangtua kamu." Aku hanya mengangguk mengiyakan—sudah pasrah juga jika mamah dan bapak nantinya akan memarahiku karena diet ketat ini.
Tidak butuh waktu lama, aku dibawa ke ruang perawatan. Mamah hanya menghela napas sembari menatapku dengan tatapan sinis.
"Maafin neng ya Mah!" ungkapku.
"Kamu tega banget ya! Masa mamah tau dari dokter jaga tadi. Bapak kamu juga gak kasih tau mamah tentang hal ini," ucapnya dengan kesal.
"Jangan marah sama bapak, Mah. Dia cuman dilarang sama neng buat ceritain ini semua sama mamah," jawabku.
Aku menoleh pada bapak lalu memintanya untuk mengajak mamah pulang saja, sedangkan aku akan dirawat oleh kakak sepupuku yang tinggal tidak jauh dari rumah orangtuaku. Untungnya dia selalu siap untuk dimintai bantuan.
Sembari menunggu kakak sepupu dijemput oleh bapak. Aku berjalan keluar—hanya sekedar untuk menikmati angin di hari yang cukup panas.
"Kemarin jadi tersangka, tadi pagi jadi penikmat kopi, siangnya malah jadi pasien. Teteh emang berubah-ubah begitu ya?" tanya seseorang dengan clipboardnya, lalu duduk di sampingku yang duduk pada bangku taman rumah sakit.
"Kamu lagi!!" tukasku pelan sembari menghela napas.
Laki-laki itu tersenyum simpul mendengarnya, "saya tadi ke ruangan teteh. Tapi gak ada, makanya saya cariin."
"Mau ngapain nyari saya?" tanyaku sembari menoleh padanya.
Pandangan kita saling bertemu hingga beberapa detik terlewatkan.
"Ekhemmm!!"
"Mau apa nyari saya?" Tanyaku lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!