Suara becek air yang terinjak oleh banyak orang, aroma rempah yang sangat menyengat, dan bising palu yang memukul ukiran besi mentah membuat orang-orang berdesakan hingga saling senggol bahu.
Di tengah atmosfer pasar, terdapat seorang wanita yang menjaga kedua anaknya, seorang gadis kecil berambut perak di sebelah kirinya dan seorang remaja lelaki berambut hitam di sebelah kanannya.
“Bu, aku ingin permen,” rengek gadis itu, yang bernama Hannah.
Kakaknya yang melihat rengekan Hannah menatap ibunya yang berambut perak seperti Hannah.
“Bu, boleh minta 10 chopper?” tanyanya.
Ibu dari kedua anak tersebut mengelus rambut Hannah perlahan dan menatap anak lelakinya, Aksa. ”Untuk apa, Aksa? Bukankah kita membawa uang pas-pasan untuk belanja?”
Mendengar jawaban ibunya, Aksa melihat sekeliling pasar. Ia memindai beraneka ragam kios, mulai dari yang terlihat mewah hingga yang hanya menggunakan gerobak. Akan tetapi, matanya tertuju pada seorang kakek yang terlihat lusuh, menempati tempat di tepi jalan untuk berdagang hanya beralaskan tikar.
“Aku ingin melihat sesuatu, barangkali di tempat kakek itu ada barang bekas yang menarik,” tunjuk Aksa kepada pedagang tua itu.
“Baiklah kalau begitu. Mungkin sekalian, ya, belikan permen di dekat situ untuk Hannah.”
Muka Aksa seolah berbinar. Ia menyodorkan tangannya ke ibunya. ”Baiklah, Bu. Mana koinnya?”
Ibunya merogoh saku gaunnya, mengambil sekantong kecil berisi kumpulan koin, dan memberikan 20 chopper kepada Aksa.
”Terima kasih, Bu.”
Senyum tipis terbalas untuk Aksa dari ibunya.
Perlahan, Aksa meninggalkan ibu dan adiknya, Hannah. Langkahnya lambat seolah melihat sekeliling sembari mengamati toko yang ada.
Setelah berjalan beberapa puluh langkah, ia tiba tepat di depan kakek tua itu. Tampilannya lusuh, kepalanya terbungkuk ke bawah dan ditutupi oleh sebuah topi. Suara dengkuran terdengar darinya.
“Permisi, Kek…” sapa Aksa.
“Halo, Kek. Apakah ini barang dagangan Kakek?”
Sapaannya tak kunjung dijawab. Ia perlahan mengangkat topi kakek tua tersebut. Alih-alih melihat mata yang terpejam, hati Aksa sedikit berdegup. 'Astaga, ia tertidur, tetapi tidak menutup matanya sama sekali.'
“Halo, Kek,” ucapannya masih diabaikan oleh kakek tua itu, walaupun dengan mata yang terbuka.
'Huft, mau bagaimana lagi'. Seolah putus asa, ia mulai melihat-lihat barang dagangan si kakek. Terdapat beraneka ragam barang yang usang. Aksa, yang mulai penasaran, lantas menyentuh barang-barangnya satu per satu.
'Wah, artefak lilin ini cukup usang. Apakah masih berfungsi?' pikirnya. Barang yang lain bergilir dipegang oleh tangannya. Loh, barang yang lainnya terlihat seperti sampah.
Hingga hati dan matanya tertuju kepada sebuah buku—seperti buku buangan—berwarna ungu. Seolah buku ini tak layak baca.
”Buku ini yang paling jelek,” ucapnya.
Terlalu dalam pada pikiran dan analisisnya hingga tak sadar berucap sendiri, tiba-tiba sebuah suara serak terdengar di telinga Aksa.
“Itu berharga 10 chopper,” ucap sang kakek sembari melihat Aksa dengan tatapan tajam.
Deg.
Hati Aksa berdegup kencang secara singkat. 'Waduh, aku salah ngomong ini. Kenapa pas bagian buku jelek malah dia mendengar?'
Tangannya menggaruk kepala. Senyum tipis diberikan kepada kakek itu. ”Maaf? Buku ini berharga 10 chopper? Bukankah itu sama dengan harga tiga kali makan roti?”
Kakek itu menunjuk buku dari tempat duduknya, dengan serius perlahan mengeluarkan suara seraknya, ”Buku itu bukan buku biasa.”
Alis Aksa mengerut, matanya disipitkan. 'Hah? Bukan buku biasa? Ini jelas-jelas cuma sampah,' pikirnya.
Kakek itu perlahan berdiri, lalu meregangkan punggung dan pinggangnya seolah sudah merasa nyeri karena umur. ”Hei, Nak, mungkin kau tidak mengetahuinya, tapi buku ini buku spesial. Kau hanya bisa membacanya saat tidak ada seorang pun di sekitarmu.”
'Wah, kakek ini benar-benar mau menipu. Sialan sekali,' pikirnya sembari memegang dagu.
Ia mulai memegang buku sampah itu perlahan. Tiba-tiba, sebuah tongkat kayu menghantam punggung tangannya.
Plak!
”Aww!” keluh Aksa sambil memegangi tangannya.
“Dilarang menyentuh sebelum membeli!” Suara serak kakek itu sangat tegas sambil memberikan tatapan tajam terhadap Aksa.
Aksa yang perlahan bangkit dari duduknya mulai memelototi mata si kakek. ”Hah?! Hanya untuk memastikan saja diharuskan membeli? Ini tidak masuk akal sama sekali, dasar tua bangka!” ucapnya dengan nada yang sedikit kurang ajar.
Orang-orang di sekitar memperhatikan Aksa dan kakek tua itu yang hampir berseteru. Rupanya suara Aksa menarik perhatian mereka.
“Kau lemah sekali, hanya satu pukulan pelan seperti itu sudah berteriak,” ucap kakek itu.
Tangan Aksa dengan cepat mengambil buku warna ungu itu dan membukanya di hadapan si kakek penjual. ”Lihatlah! Buku ini isinya kosong begini dan dihargai 10 chopper! Anda sudah gila, Kakek Tua! Sampulnya saja jelek seperti ini!”
“Kurang ajar sekali kau, Anak Muda! Sudah kubilang buku ini spesial, hanya bisa kau baca di saat sendiri!” balas si kakek dengan nada yang sama tingginya, sembari menunjuk ke arah buku itu.
Dengan cepat jari Aksa bergerak membuka setiap lembar buku usang tersebut. Diraba dari segala sisi olehnya. ”Dari mana pun bentuknya, buku ini hanyalah buku kosong. Apa kau menjual buku tulis usang ini?” tanyanya.
“Apa kau tidak mau membeli setelah membuat keributan sejauh ini? Huft, memang kau hanya anak miskin.”
Urat di muka Aksa mulai menonjol. Ia semakin kencang memegang buku itu hingga terlihat agak kusut. Tangannya dengan keras meraih saku dan menggenggam 10 koin chopper di tangan kanannya.
”Baiklah, Sialan! Sekarang kubeli! Kaulah yang miskin, Kakek Tua! Menjual barang seperti ini saja bisa-bisanya merendahkan pembeli,” ucapnya sambil melemparkan 10 koin chopper itu ke badan si kakek.
Kaki Aksa berjalan dengan cepat, menginjak tanah dengan keras, badannya membelah kerumunan di sekitarnya. Semua orang memperhatikannya yang pergi sambil memegang buku usang berwarna ungu.
'Sialan, bikin malu saja! Padahal, aku cuma bertanya tentang buku sampah ini,' pikirnya dengan menggebu-gebu.
Kakek penjual yang melihat Aksa menjauh, duduk kembali ke posisi semula. Ia menundukkan kepalanya yang sudah tertutup topi, perlahan tersenyum tipis, dan mengeluarkan suara, “Hehehe.”
.
.
Sesuai pesan ibunya, Aksa membeli tiga buah permen setelah perseteruan singkat dengan si kakek penjual. Ia menemui keluarganya kembali dan memberikan permen-permen itu kepada Hannah dan ibunya.
“Apa Ibu sudah selesai belanja?” tanya Aksa.
“Ya, sudah. Mari pulang, Nak,” jawab ibunya sambil menggandeng tangan Hannah dan kantong belanjaan.
Hannah, yang memakan permen dengan senyum tulus, berterima kasih kepada Aksa, ”Makasih, Kakak.”
'Ugh, memang dia adikku. Setelah melihat senyumnya, seolah semua kemarahanku terobati,' pikir Aksa sembari mengelus kepala Hannah.
“hehehe” senyum tergambar di raut wajah Hannah yang senang di elus oleh keluarganya.
Keluarga kecil itu yang berisi 3 orang, mulai menarik diri dari kerumunan dan pergi meninggalkan pasar.
Sinar pagi mentari menyilaukan. Cahayanya masuk, menusuk menembus jendela kamar seseorang. Di kamar itu, terdapat beberapa baju yang tergeletak di lantai, buku yang berantakan seolah tak dirapikan setelah aktivitas semalaman.
Perlahan, lelaki berambut hitam itu membuka matanya karena terkena sinar matahari yang hangat ini.
”Ugh... jam berapa ini?” ucapnya dalam kondisi linglung bangun dari tidur.
Detak jam dinding menandakan pukul tujuh pagi.
Perlahan, Aksa bangkit dari kasurnya, memegangi kepalanya yang masih pusing karena bangun tidur. Ia meminum seteguk air putih dari gelas di meja sebelah kasurnya.
'Sudah saatnya ke akademi. Satu tahun lagi aku akan lulus,' pikirnya dengan lesu.
Tok... tok...
Suara ketukan terdengar dari luar pintu kamar.
”Kak... Kak Aksa... apa sudah bangun?” Suara gadis kecil terdengar dari celah pintu.
Aksa membuka pintu kayunya yang berderit, melihat Hannah yang masih memegang boneka tidurnya dengan wajah mengantuk.
”Oke, Hannah. Kakak akan mandi dan memakai seragam terlebih dahulu. Kamu bisa duluan,” ucap Aksa diiringi senyum tulus.
Aksa mengambil handuk dari lemarinya, berjalan menuju kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya. Bentuk tubuhnya agak modis: otot perut yang mulai terbentuk, dilengkapi kumpulan otot di antara kedua lengannya yang tampak begitu menonjol, seakan tubuhnya atletis. Lanjut, ia memakai seragam akademi dan mengambil sarapannya di ruang keluarga.
“Ah, Aksa, tadi malam ada seseorang yang mencarimu saat kamu tertidur,” ujar sang ibu sembari membersihkan dapurnya yang berantakan.
“Hmmm... siapa, Bu?” tanyanya dengan heran.
“Entahlah, tapi orang itu memakai pakaian agak lusuh dan terlihat sudah sangat tua,” jawab ibunya sambil memperagakan gaya kakek tua itu.
'Nggak mungkin kakek tua sialan itu, 'kan?' pikirnya.
Aksa bergegas meminum susu dan membawa roti di mulutnya. Ia berpamitan, menyalami Hannah dan ibunya.
”Bu, aku pergi.”
“Iya, hati-hati,” jawab ibunya sambil melambaikan tangan bersamaan dengan Hannah.
.
.
Untuk menuju akademi, ia diharuskan melewati beberapa distrik. Rumah Aksa sendiri berada di Distrik 4, yang merupakan perbatasan antara kesenjangan kemiskinan dan kekayaan. Akademi berada di Distrik 2, sementara Distrik 1 diisi oleh para pejabat dan Istana Kekaisaran Shepnia.
Gerbang tinggi menjulang di depannya. Terlihat dua penjaga berseragam hitam berdiri tegak mengawasi tempat itu. Banyak murid masuk melewati gerbang tersebut, tak terkecuali Aksa. Hingga ia sampai di dalam kelas yang berisi 40 siswa.
Kelas itu memiliki kursi yang bertingkat ke atas, dengan fokus utama di depan adalah papan tulis hijau dan meja guru.
Aksa, yang telah berada di pojok dekat pintu keluar, terlihat mengamati semua murid yang sedang asyik berbincang.
'Huft, orang biasa sepertiku ini tidak memiliki kisah seperti di novel-novel,' pikirnya, membawa dirinya seolah karakter sampingan dalam sebuah cerita.
Dalam keluhannya, seseorang menepuk pundaknya.
”Hei, Aksa! Kenapa tadi kita tidak berangkat bareng saja ke sini?” sapa seseorang berambut pirang dengan wajah tampan.
'Eh, aku melupakan seseorang ternyata,' pikirnya, sembari membalas, ”Ah, maaf, aku terburu-buru. Mungkin kita pulangnya bisa bareng atau nanti kita pergi saat istirahat bersamaan?”
Orang yang menyapa Aksa itu ialah Brian, sohibnya sedari kecil, seolah tak pernah terpisahkan seperti saudara. Ia cukup menjadi idola bagi kaum perempuan, perawakannya yang sedikit lebih tinggi dari Aksa, alisnya yang lentik, dan dilengkapi rambut pirangnya yang membuat daya tariknya semakin menjadi.
Ting!
Suara bel berbunyi. Semua murid mulai merapikan meja dan mengambil posisi duduk untuk memulai kelas. Tak lama kemudian, seorang guru berambut pirang dengan tubuh yang modis serta kacamata, yang cocok untuk menjadi bahan pembicaraan para siswa lelaki, masuk. Guru itu bernama Ms. Liana.
“Baik, anak-anak, mari kita mulai kelas ini.”
Beberapa jam berikutnya telah berlalu. Semua murid memperhatikan penjelasan Ms. Liana dengan kondisi yang berbeda, tak terkecuali Aksa yang otomatis menguap seolah bosan dengan kelas itu.
“Brian...,” bisik Aksa. ”Pssstt... Brian.”
Mendengar bisikan Aksa, Brian menoleh dengan gestur bertanya. ”Hm?”
“Kelas Ms. Liana membosankan seperti biasa. Jika bukan karena fisiknya, mungkin banyak orang yang tertidur,” ucap Aksa.
Ia menunjuk dengan dagunya ke pintu keluar, seolah mengajak Brian, sohibnya, untuk pergi di tengah pembelajaran.
Brian mengangguk setuju dan tersenyum lebar. Mereka berdua perlahan membungkuk dan berjongkok, melangkah dengan hati-hati di tengah keheningan suara penjelasan Ms. Liana.
Langkahnya sunyi. Aksa mulai membuka pintu itu dengan hati-hati, diikuti oleh Brian di belakangnya. Aksa berhasil keluar kelas dengan aman, hingga Brian tak sengaja menutup pintu kelas dengan agak keras.
Brak!
Suara pintu tertutup memecah keheningan kelas.
”Suara apa itu?” tanya Ms. Liana dengan tegas. ”Hah... di belakang, dua kursi telah kosong! Brian dan Aksa ke mana?” Melihat dua kursi belakang yang telah kosong, Ms. Liana keheranan.
Semua murid mengabaikan perilaku dua orang itu, seolah mereka sudah paham kebiasaan mereka saat sedang di kelas.
Suara tawa terdengar di lorong kelas yang sepi. Dua orang pria asyik berbincang karena mereka berhasil keluar dari tempat yang memenjarakan mereka.
”Hahaha... seperti biasa, mari kita menuju ruangan klub,” ajak Brian.
Tangan Aksa merangkul leher Brian diiringi tawa. ”Ruangan klub? Itu lebih pantas dinamakan gubuk, menurutku,” jawab Aksa.
Dalam perbincangan mereka, mereka telah tiba tepat di depan sebuah ruangan yang tak terawat. Plang bertuliskan 'Klub Misteri' sudah miring, ditambah dengan pintu kayu yang sudah lapuk.
Nyiiit...
Suara pintu terdengar saat Aksa membukanya.
Di ruangan klub itu, terdapat banyak barang berserakan. Artefak gagal yang berdebu, sofa yang sudah bolong, ditambah dengan aroma sumpek karena minimnya udara.
“Huft, baiklah, mari kita bersantai hingga jam pulang berbunyi,” ucap Aksa sembari mencoba mencari posisi untuk bersantai di sofa bolong tersebut.
Brian, yang duduk di depan meja yang dipenuhi artefak gagal berdebu, mulai mengoprek artefak tersebut. Ia sendiri sangat menyukai kegiatan membuat artefak unik. Walaupun hasilnya banyak yang gagal, tetapi masih ada yang berhasil, walau fungsinya tidak terlalu bagus, seperti penggosok gigi otomatis.
Waktu berjalan dengan cepat, seakan sengaja mempermainkan mereka ketika mereka asyik bersantai.
Di tengah percepatan waktu itu, Aksa mulai memikirkan tentang buku ungu dari kakek tua.
”Brian... aku menemukan buku aneh di pasar.”
“Hmmm... buku aneh?” tanya Brian.
“Iya, buku aneh. Kata penjualnya, aku nggak bisa baca itu kalau nggak sendirian,” jawab Aksa sambil perlahan berdiri mendekati Brian di mejanya.
Brian menoleh ke belakang. ”Huh, paling buku novel yang biasa kau beli, bukan?” Dengan wajah meledek, ia melanjutkan, ”Kau, 'kan, paling suka merasa seperti karakter sampingan. Kau sering berharap bahwa dunia ini adalah dunia novel, dengan karakter utamanya orang lain dan kau hanya figuran,” lanjutnya.
Aksa yang tak terima dengan pernyataan temannya, memukul kepala Brian. “Sialan! Memang salah apa baca buku novel? Lagian, ini benaran aneh, penjualnya juga,” jawab Aksa dengan nada kesal.
“Ugh, sakit! Biasa saja, dong! Memang seaneh apa, sih, sampai memukul temanmu sendiri?” tanya Brian yang kesakitan sembari memegangi kepalanya.
“Ah, maaf, kelepasan. Aku benar-benar kesal terhadap kakek tua sialan itu,” ujar Aksa sambil mengerinyitkan alisnya. ”Penampilannya seperti gembel. Waktu aku ingin membeli barangnya, ia tertidur dengan mata terbuka, lho! Dan ketika aku ingin memegang sebuah buku jelek berwarna ungu, ia memukulku dengan sangat cepat, seolah dia ahli dalam bela diri,” lanjutnya.
Brian meletakkan artefaknya dan berdiri sambil berpikir. ”Tunggu, memukulmu? Seorang kakek-kakek?”
“Iya, kecepatannya seperti bukan kecepatan kakek-kakek.”
Mendengar ucapan Aksa, Brian berpose dengan artefak tongkat gagalnya seolah ahli bela diri. ”Seperti ahli bela diri misterius saja?” Sebuah pose dengan gaya aneh tergambar dalam pose Brian.
“Hentikan itu. Jika ahli bela diri melihatnya, kau bisa mati karena mengoloknya,” jawab Aksa yang memasang ekspresi menjijikkan.
Brian meletakkan artefaknya. “Memang apa yang aneh? Bukannya kau ditipu?” tanya Brian.
“Aku mikirnya begitu, tapi tadi pagi ibuku memberitahuku bahwa kakek tua itu datang ke rumahku saat semalam aku tertidur,” ujarnya.
“Bagaimana bisa? Dari mana kakek itu tahu rumahmu?”
“Entahlah, tapi ada hal yang tak biasa dari kakek itu. Aku rasa aku salah membeli barang. Besok sepulang dari akademi, antar aku ke tempat kakek itu,” ajak Aksa dengan memasang wajah serius.
Brian mengangguk setuju.
Ting... ting... ting....
Suara tiga ketukan bel akademi menandakan aktivitas belajar siswa telah selesai. Semua orang mulai meninggalkan ruangan kelasnya masing-masing. Berlainan dengan Aksa dan Brian, mereka keluar dari ruangan klub yang seperti gubuk itu dan pulang ke rumahnya masing-masing.
Malam yang sunyi telah datang.
Dalam sebuah kamar yang disinari oleh artefak lilin, Aksa sedang duduk tepat di meja yang dipenuhi oleh banyak buku novel. Ia sering sekali membaca novel romansa, fiksi, dan sains. Akan tetapi, tujuan ia duduk memandangi setumpuk buku bukan untuk memilih dan membaca novelnya.
Fokusnya tertuju kepada satu buku usang berwarna ungu.
'Apa aku buka sekarang?' pikirnya sembari memegangi buku itu dan mengecek seluruh bagiannya. 'Mungkin kakek tua itu hanya menipuku. Toh, ini buku jelek sekali. Tak mungkin tiba-tiba ada tulisan, 'kan?'
Sayangnya, ketika ia membuka buku itu, pada halaman pertama, buku itu mengeluarkan sedikit bayangan yang perlahan mulai membentuk huruf satu per satu.
Deg!
Hati Aksa rasanya ingin berhenti. 'Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?'
Spontan setelah melihat bayangan yang mengukir huruf per huruf hingga menjadi kalimat, ia melemparkan buku itu ke kasurnya yang berantakan.
Jendela kamarnya belum ditutupi tirai, sehingga cahaya bulan yang bersinar mengenai buku itu di atas kasurnya.
Keanehan semakin terjadi. Buku itu tiba-tiba membuka halamannya sendiri dengan cepat dan bunyinya terdengar seperti suara 'wusss' yang sangat nyaring menuju telinga Aksa.
Aksa yang tak kuasa melihat atmosfer yang mencekam itu, badannya gemetar tak percaya, seolah ia baru pertama kali melihat hal seperti ini.
Perlahan, ia memberanikan diri mendekati buku itu dan membukanya dengan sangat hati-hati.
'Huh?! Tulisannya sudah ada semua.' Ia melihat buku usang yang semula kosong berubah menjadi buku dengan sekumpulan teks penuh di setiap halamannya, yang tidak terdapat gambar satu pun saat ia memeriksa.
'Tunggu, tunggu... tidak mungkin kakek itu juga orang biasa, 'kan?' Wajahnya gelisah, tak percaya, seolah ingin menolak pikirannya sendiri.
Dalam halaman pertama, teks berisi tulisan yang tidak pernah dibahas oleh seorang pun di dunia ini.
'Dewa-dewa di dunia ini pada dasarnya mereka bukanlah dewa. Tidak ada dari mereka yang mempunyai kekuasaan sejati.'
'Hanya Sang Penciptalah sosok yang memulai dan mengakhiri.'
Dua kalimat ini membuat Aksa terdiam. Setelah peristiwa aneh saat membuka buku, saat ini ia diberi kebingungan yang bukan main, sebab isi teks tersebut tak pernah terpikir olehnya.
'Hahaha, bukan bukunya saja yang aneh, tapi isinya juga,' pikirnya sambil tersenyum seperti orang gila.
Ia memandangi bulan purnama itu sambil berkata dengan nada rendah, “Lantas, dewa yang masyarakat sembah dan meminta kekuatan itu apa, jika bukan dewa?”
.
.
Di suatu tempat yang jauh, di mana tebing es tinggi berjejer mengelilingi sebuah istana es, terlihat dua sosok mengenakan jubah berwarna putih yang menutupi seluruh tubuhnya, hingga hanya menyisakan mulutnya. Mereka sedang berjalan keluar dari aula bangunan itu.
Salah satu dari sosok itu membuka pintu yang amat besar hanya dengan satu tangannya. Di luar, badai salju menyambut mereka.
“Tetua berkata bahwa kita harus mencari buku itu, apa pun yang terjadi,” ucap salah satu sosok itu.
“Ya,” balas sosok yang lain sambil mengangguk.
.
.
Hujan turun tanpa henti, membasahi setiap jalan hingga berlumpur. Aksa sedang menikmati suasana itu di balik jendela ruang kepala akademinya bersama Brian. Ia dipanggil ke ruangan ini dikarenakan aksinya yang membolos bersama kawannya.
Seorang pria paruh baya berpenampilan rapi dan elegan membawa cangkir kopi dan duduk di depan mereka berdua. “Baiklah, kalian. Mau sampai kapan kalian berperilaku seperti ini?” ucap kepala akademi itu.
“Yah, tenang saja, Pak. Kita hanya membolos, bukan membuat keributan,” jawab Brian.
Aksa, yang sedari tadi melihat jendela ruang itu, mulai mengikuti pembicaraan dan menatap kepala akademi.
“Nak, dengarlah. Kalian berdua hanya punya satu tahun lagi untuk menentukan masa depan kalian,” ucap pria paruh baya itu.
Aksa memandangi seorang tokoh yang luar biasa, Kepala Akademi Shepnia. Orang yang sama yang menurut rumor sering membantu Kaisar untuk menyelesaikan permasalahan rumit kekaisaran, dan juga seorang jenius yang menciptakan artefak transportasi antar desa dengan teleportasi singkat. Dan sekarang, sosok luar biasa itu memanggil mereka hanya karena mereka bolos pelajaran akademi.
“Ya, kami tahu, Pak. Kami sudah memikirkannya dengan baik,” jawab Aksa.
Alis kepala akademi itu terangkat penasaran. ”Ohoo?” ujarnya sembari menyeruput secangkir kopi. ”Bolehkah kutahu rencana kalian?”
“Mmmm... ya, aku akan mencoba melamar pekerjaan di Galeri Artefak Kekaisaran,” ucap Brian dengan percaya diri.
Mereka berdua, Aksa dan kepala akademi, terkejut.
"HAH?!" Aksa tak bisa menahan diri. "Kau ini bagaimana? Bukankah yang masuk ke sana hanya seorang jenius?" Ia menatap Brian tak percaya, lalu menggelengkan kepalanya. "Kau saja masih sering gagal bikin artefak. Sekalinya berhasil, fungsinya tidak jelas."
Brian memelototi Aksa karena bertindak di luar batas di depan kepala akademi yang sangat dihormati banyak orang.
“Lalu, bagaimana denganmu, Nak Aksa?” tanya kepala akademi itu.
Aksa tak langsung menjawab. Ia perlahan menundukkan kepalanya. “Aku, sekiranya gagal melanjutkan studi ke universitas, maka aku akan memulai sebagai penulis,” ujarnya sambil memainkan jari-jarinya.
“Pffffttt... penulis?” Tak kuasa menahan tawa, Brian tak bisa mengontrol reaksinya. “HAHAHA! Kalau kau jadi penulis, jalan ceritanya saja sudah absurd,” jelas Brian dengan nada yang agak keras.
Aksa menahan diri untuk tidak memukul temannya itu. Ia memejamkan mata dan mengepalkan tangannya.
Melihat tingkah kedua muridnya, kepala akademi itu tersenyum tipis. “Memang anak muda penuh ambisi. Baiklah, kalian bisa pergi,” ucapnya sambil meletakkan cangkir kopi. “Dengan satu syarat, jika kalian membolos kembali, maka mau tidak mau pihak akademi akan menghilangkan ruangan klub kalian.”
'Huh?!' reaksi mereka berdua bersamaan.
Mau tidak mau, mereka menyetujuinya, karena pada dasarnya itu memang kesalahan mereka. Mereka mengangguk setuju dan mulai meninggalkan ruangan itu.
Setelah mereka berdua keluar, mereka saling bertukar tatapan.
“Hahaha, kutahu kau akan melamar di Galeri Artefak Kekaisaran,” usil Aksa sambil tersenyum meledek.
Brian mengibaskan rambut pirangnya ke belakang sehingga beberapa wanita yang melihatnya terpesona. “Aku pun tak tahu bahwa kau mau menjadi penulis nantinya,” balas Brian dengan percaya diri.
“Ya, ya, ya...,” ucap Aksa. ”Hei, apa jadi obrolan kita kemarin, yang ingin menemui kakek tua penjual itu?”
“Tentu saja. Mari kita ke sana. Sekalian aku pulang, 'kan, rumahku di daerah sana.”
Brian mendahului Aksa dengan langkah yang agak cepat. Ia sendiri memiliki tujuan agar terlihat tebar pesona di kalangan wanita dengan parasnya yang menarik.
Aksa yang melihat itu memegang pundak Brian dari belakang. “Hei, tunggu dulu. Aku ingin memberitahu sesuatu sebelum kita pulang.”
“Sesuatu? Tentang apa?” tanyanya.
Aksa mulai memimpin jalan, memotong jalan Brian dengan mengarahkan ke ruangan Klub Misterinya. “Ini tentang buku itu dan kelanjutan dari klub kita yang di ambang kehancuran oleh pihak akademi,” jawab Aksa dengan wajah serius.
Ia berhenti sejenak dan berbisik di antara kebisingan.
“Aku membuka buku itu semalam saat sendirian, dan ada masalah,” bisiknya tanpa diiringi candaan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!