NovelToon NovelToon

TERJEBAK PERMAINAN KAKAK TIRI

Produk Broken Home

Laksmana Candrakumara mengikat rambut gondrongnya yang tadi terurai. Rambut gondrong itu sudah menjadi ciri khas Candra, begitu ia akrab disapa, sedari dulu.

Perawakannya atletis dan macho dengan tatapan setajam elang yang mampu meruntuhkan hati gadis mana saja yang memandang.

Konon katanya, si pewaris tunggal kerajaan bisnis Mahesa Kumara grup itu pernah mengencani perempuan-perempuan cantik dari segala profesi. Sepak terjangnya di bidang percintaan kilat tanpa rasa sudah sering terdengar.

Yang aneh, tak ada satupun perempuan mempermasalahkan itu.

Idola perempuan dari kalangan mana saja itu tidak pernah risih dengan pemberitaan miring tentangnya. Toh, dengan pemberitaan begitu ia tetap saja memiliki banyak penggemar setia.

Tapi hari ini, wajah yang kerap memberi senyum meresahkan itu sedang tak begitu semangat. Di tangannya tergenggam segelas minuman dan matanya hanya tertuju pada satu titik di mana sang ayah, Mahesa Kumara, sedang berdiri bersama perempuan dalam balutan gaun pengantin sederhana.

Praaaaaankkk!

Candra melempar gelas, berhamburan pecah kemana-mana. Sang ayah yang sedang berfoto bersama istri baru sontak melihat ke arah sumber suara. Ia bisa merasakan alarm bahaya seketika berdering di kepala tuanya.

"Anak itu pasti akan bikin masalah lagi!" Mahesa mengepalkan tangannya.

Hubungannya dengan Candra, sang putera tunggal memang tak lagi akrab seperti dulu, tepatnya saat perpisahannya dengan sang istri terjadi. Candra masih menyalahkan dirinya atas perpisahan itu. Candra masih sekolah saat itu, tujuh belas tahun usianya saat kedua orangtua memutuskan bercerai.

Tak lama kemudian, tepat tiga hari setelah perceraian, ibunya dikabarkan meninggal karena kecelakaan. Duka Candra menjadikan jiwanya dipenuhi kebencian, terutama kepada ayahnya yang ia anggap sebagai penyebab kematian sang ibu.

Bertahun-tahun menjalani hubungan dingin, Candra juga membuat dirinya menjadi pria nakal yang kerap gonta ganti pasangan. Tak ada perempuan yang benar-benar bisa menaklukan hatinya yang garang tapi berselimut kesepian.

Kecanduannya pada alkohol membuat Candra kerap pulang dalam keadaan mabuk. Pernah pula direhabilitasi narkoba sebab sempat terjerat barang laknat itu. Benar-benar produk broken home.

Namun, kini Candra sudah terlepas dari ketergantungan. Ia tidak lagi menjadi seorang pemakai sebab Mahesa mengancam akan mencoret namanya dari daftar hak waris bila ia tidak bisa sembuh.

Candra juga pernah berkelahi, bukan pernah lagi, tapi memang hampir setiap hari berulah. Hingga tuan Mahesa yang terhormat itu kerap mendapat surat peringatan dari kampus yang berisi sang putra akan segera di drop out kalau masih saja berulah.

Pernah pula suatu kali, dosen mengancam tidak akan meloloskan skripsinya hanya karena ia berambut gondrong. Besoknya, dosen itu menemukan ban mobilnya kempes semua. Ulah siapa lagi, kalau bukan Candrakumara.

"Saya tidak bisa menerima proposal pengajuan skripsi kamu kalau kamu tidak mau ikut aturan."

"Aturan mana yang ibu maksud?"

"Kampus ini tidak menampung mahasiswa yang tidak mau nurut. Tidak juga menampung mahasiswa preman yang suka bikin ulah."

"Wah, nampaknya Ibu perlu saya cerahkan otaknya. Dengar, saya di kampus ini bayar. Aturan itu buta! Dibuat oleh manusia dan sekarang kalian mempermasalahkan rambut saya ini untuk tidak menerima skripsi saya? Coba ibu jelaskan, apa ada undang-undang yang mengatakan bahwa mahasiswa tidak boleh berambut panjang. Lihat, apa saya mengurai rambut panjang ini? Saya mengikatnya rapi, bahkan lebih rapi dari konde Ibu yang sudah lama tidak diganti itu!"

Sang dosen mendelik mendengarnya, lalu memijit keningnya, pening ia dibuat Candrakumara. Mahasiswa tingkat akhir paling banyak ulah tapi memiliki fans garis keras yang akan membelanya mati-matian.

"Saya tetap tidak akan menerima skripsi kamu, sebelum kamu memotong rambut itu jadi pendek atau cepak!"

Candrakumara mengangguk paham tapi di otaknya sudah ada rencana akan membuat sang dosen mengubah peraturan yang menurutnya buta itu. Keempat ban mobilnya kempes semua, ia tahu, ini pasti ulah Candra. Jadi karena tidak mau memperpanjang masalah, ia menerima skripsi itu dengan hati terpaksa. Berurusan dengan Candra berarti cari penyakit. Ia sudah cukup tua untuk meladeni mahasiswa yang tidak kenal takut itu.

Ingatan itu kembali, membuat Candra tertawa sinis mengingat betapa urakannya dia di masa lalu. Membuat malu Mahesa sudah jadi agenda setiap hari.

Namun, setelah memegang perusahaan sang ayah, ia jadi lebih kalem. Tapi sifatnya yang suka mabuk dan main perempuan tetap jadi kebiasaan hingga sekarang.

"Permisi tuan muda, biar Bibi bersihkan pecahannya." Seorang pelayan tergopoh-gopoh mendekati. Candra hanya mengangguk lalu segera pergi meninggalkan pesta taman menggelikan dalam pandangannya itu.

Saat baru saja hendak masuk ke dalam kamar mandi, tak sengaja ia bertabrakan dengan gadis berambut panjang dengan gaun selutut berwarna putih.

"Maaf, aku gak sengaja." Gadis itu menunduk dan membungkukkan kepalanya sesaat.

Candra tidak menggubris, ia lebih memilih masuk ke dalam kamar mandi yang baru selesai digunakan gadis itu.

Baru saja hendak membuka risleting celana, pintu kamar mandi itu diketuk perlahan.

Candra berdecak kesal, terpaksa membuka lagi pintu kamar mandi. Sebenarnya, ia bisa saja memakai kamar mandi pribadinya yang berada di kamar, lebih tepat di dalam kamarnya sendiri, tapi panggilan alamnya sudah di ujung jadi itu hanya akan membuat ia kencing di celana kalau memaksa pergi ke kamarnya di lantai atas sana. Belum lagi, lift rumah itu yang sedang rusak diperbaiki, membuat penghuninya harus naik tangga yang tinggi melingkar.

"Apa?!"

Nada garang terdengar setelah pintu terbuka. Candra mengusap wajahnya kala gadis yang tadi bertabrakan dengannya kini sedang berdiri di depannya.

"Itu, Mas, ponsel saya ketinggalan."

"Mas Mas! Lo pikir gue Mas bakso?!" Candra merutuk, membuat gadis di depannya hanya tersenyum close up memamerkan deretan giginya yang putih, yang semakin mempermanis senyumnya. Tak sampai di situ, si gadis mengacungkan dua jari membentuk huruf V sebagai tanda damai.

"Nih! Pergi sana dan jangan tunjukin muka lo lagi di depan gue!" Candra menyerahkan benda itu dengan kesal lalu menutup pintu keras hingga menimbulkan suara berdebum.

Hari ini, mood sang tuan muda sedang tak baik. Tak ada seorang pun yang berani menyapa, tapi gadis aneh tadi berani-beraninya mengacungkan kedua jari yang malah dirasa Candra sebagai ejekan kepadanya.

Sementara si gadis juga jadi sama kesalnya. Ia baru bertemu dengan lelaki arogan yang suka bicara kasar. Kalau ada sikat besi, akan disikatnya mulut lelaki itu tadi.

"Kalila, kamu kemana saja, Mama dan Papa mencarimu, ayo kita berfoto."

Wanita paruh baya yang tadi berdiri di atas pelaminan bersama Mahesa, ayah Candrakumara mendekati anak gadisnya yang nampak kesal.

"Kenapa sih, Oom Mahesa bisa ngundang orang kayak tadi?"

Mendengar nada kesal Kalila, ibunya yang bernama Belina itu mengerutkan dahi. Entah siapa yang dimaksud anak gadisnya itu.

"Kalila, jangan lagi panggil Oom dong. Kan sekarang udah jadi papa kamu juga," tegur Belina kepada putrinya yang segera mengacungkan dua jari lagi. Gerakan yang mulai hari ini begitu menyebalkan di mata Candra, sang kakak tiri.

Kalila Jenar Jovanka

"Kalila, ayo bangun. Hari ini, kamu mesti ikut mama sama papa."

Kalila membuka matanya setengah, memincing menatap ke semburat mentari yang masuk lewat celah jendela. Kemarin, setelah menemani ibu dan ayah barunya di pesta perkawinan, ia memutuskan untuk pulang sedang mamanya tetap berada di rumah megah sang ayah baru.

"Mama, barang-barang aku juga belum diberesin loh." Masih setengah mengantuk, Kalila menarik lagi selimut membuat Belina jadi gemas dengan anak gadisnya itu.

"Coba bangun, lihat sekeliling kamu."

Belina menarik kembali selimut yang tadi sudah sempurna menutup anak gadisnya. Lalu ia juga menarik lengan Kalila, agar anaknya itu beranjak dari tidurnya.

Kalila mengerucut, bibirnya jadi lucu, lalu matanya yang satu terbuka. Sekelilingnya benar-benar sudah hampa. Hampa dalam artian tidak ada lagi barang lain selain ranjang yang masih ia tiduri.

"Aaaaaaaaahhhhhhh! Ma, kenapa gak ada lagi barang-barang aku? Rumah kita kemalingan ya, Ma? Atau kerampokan? Atau digondol tante Ambar?!" Kalila berseru keras, ia bahkan sudah berdiri di atas ranjang seperti mahasiswi yang terlibat orasi di depan gedung DPR.

Belina menutup telinga, suara cempreng putrinya bikin Sweety, kucing kampung berwarna belang peliharaannya jadi sakit perut pengen buang hajat. Apalagi, Kalila menyebut nama tantenya yang sering datang untuk pinjam uang. Kalila terdengar seperti rentenir yang siap menagih hutang.

"Eh eh eh, anak manis duduk dulu kenapa sih? Kamu jangan gitu dong, Mama kan jadi kaget!" Belina segera meminya putri cantiknya duduk dengan kalem. Ia sendiri sedang mengusap dada yang sempat akan lepas jantungnya karena ulah sang puteri.

"Jadi kenapa, Ma, barang aku semuanya bisa ngilang gini? Apa beneran digondol tante Ambar?"

Masih dengan mode menuduh yang bikin tante Ambar di rumah sana jadi keselek biji salak, kalila bertopang dagu. Mama Belina cuma geleng-geleng.

"Kamu tuh, dosa loh nuduh tante kamu begitu. Biar gitu dia suka bikinin kamu brownies." Mama mengingatkan Kalila agar segera mencabut tuduhannya.

Kalila yang sadar dia sudah menuduh tantenya, segera meminta maaf lewat mamanya. Anaknya benar-benar menghibur, membuat Belina meraih gemas wajah Kalila lalu mencium keningnya lembut.

"Kalila, semua barang-barang kamu, berikut barang lain di rumah ini, sudah dipindahkan ke rumah papa Mahesa. Subuh tadi, bawahan-bawahan papa Mahesa yang mindahin."

"Kok aku gak tahu, Ma?" tanya Kalila bingung.

Belina cuma geleng-geleng lagi, ia menunjuk sebuah obat flu yang memang akan berakibat ngantuk yang seringkali dikonsumsi Kalila ketika sedang musim hujan begini. Pantas saja ia tak mendengar apapun dan terbangun sudah cukup siang begini.

"Jadi, rumah ini gimana, Ma?" tanya Kalila sedih setelah rasa penasaran karena barang-barangnya yang raib sudah terjawab. Ternyata bukan karena kemalingan, kerampokan atau digondol tante Ambar, tapi karena memang sudah dipindahkan.

"Rumah ini, akan Mama jual, Kalila." Mama berkata dengan nada sedih. Kalila juga sedih. Begitu banyak kenangan di rumah sederhana yang sudah lama mereka tinggali itu. Papa Kalila sudah lama meninggal. Kata Mama, saat papa meninggal, usianya baru saja satu setengah tahun.

Mama menghidupi Kalila sebagai seorang kepala administrasi di sebuah kantor pengiriman barang. Dari sana, mereka bisa membeli rumah sederhana tapi nyaman untuk ditinggali. Kalila juga bisa bersekolah bahkan sampai sekarang mamanya masih sanggup menyekolahkan Kalila hingga ke perguruan tinggi.

Kalila sayang sekali dengan ibunya. Kalila juga pernah memergoki ibunya menangis sembari melihat foto ayahnya. Entah mengapa, ibunya masih menyimpan kesedihan mendalam perihal kematian sang ayah.

Padahal, ayahnya meninggal sudah hampir dua puluh tahun. Karena itu, saat Kalila mendengar ibunya akan menikah lagi setelah bertahun-tahun lamanya menjanda, ia menyambut baik hal itu. Ia malah mendukung penuh, ia tahu, Oom Mahesa yang sekarang sudah jadi papanya, adalah pria baik yang sangat mencintai ibunya.

"Gak papa, Ma. Jual aja rumah ini. Aku cuma berharap semoga Mama benar-benar bahagia sekarang. Aku gak mau lagi lihat Mama nangis."

Belina mengangguk, menatap dalam matanya anaknya. Permata hati yang telah ia jaga selama ini. Namun, setiap melihat mata anaknya, ia seolah melihat sesuatu yang sudah membuatnya terluka begitu dalam.

Kalila, mandi ya. Mama tunggu di bawah."

Kalila segera mengangguk. Ia akan segera masuk ke kamar mandi saat mamanya kembali memanggil.

"Kalila, papa Mahesa juga punya anak. Laki-laki dan sekarang sudah jadi kakak kamu. Kemarin, Mama juga belum sempat ketemu. Dia pergi, kata papa dia pergi ke luar kota karena ada urusan. Mungkin, beberapa hari lagi kita bisa ketemu dia."

Kalila mengangguk paham, ia segera pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Belina sendiri tidak pernah bertemu secara langsung dengan putera dari suaminya sekarang. Menurut suaminya, anaknya itu sangat susah diatur. Tapi Belina selalu bisa meyakinkan suaminya untuk memahami sikap sang putera.

Di dalam kamar mandi, Kalila bersenandung riang. Ia bahkan sudah menggunakan odol untuk konser dadakan di dalam kamar mandinya. Kalila sudah tidak sabar, ingin bertemu saudara tirinya. Ia berharap bisa menjadi adik dan saudara yang baik untuk kakak tirinya itu.

Selama ini, Kalila kesepian. Selain mama, dia tidak punya teman kalau sudah di rumah. Cuma Sweety, kucing kampung belang yang jadi temannya. Tapi kalau di luar, Kalila punya banyak teman. Ia pribadi yang hangat dan ceria.

Maka ketika mama mengatakan ia akan mendapatkan kakak tiri, ia senang sekali. Ia tidak pernah tahu, kakak tiri macam apa yang akan segera bertemu dengannya.

"Kakak tiri aku, pasti seramah papa Mahesa," gumam Kalila sambil tersenyum.

Kalila segera menyelesaikan acara mandi disertai konser dadakan itu. Ia juga segera meraih hairdryer lalu mengeringkan rambut panjangnya. Tak lupa, ia mengikat rambutnya jadi ekor kuda. Kalila mematut penampilannya di cermin, dengan setelah kaus putih yang pas di tubuhnya juga celana jeans dan sepatu sport ia turun. Digendongnya Sweety yang akan dibawa turut serta.

"Udah siap?" tanya mamanya yang sudah masuk ke dalam mobil dengan supir yang bekerja pada Mahesa.

Kalila mengangguk cepat, Sweety begitu tenang dalam gendongannya. Mungkin, kucing itu juga tahu bahwa sebentar lagi ia akan tinggal di dalam istana megah milik papa Mahesa.

"Ma, aku kok deg-degan ya, rasanya kayak pertama kali dapet nilai merah di pelajaran matematika."

Belina mencubit gemas hidung mancung putrinya. Bisa-bisanya putrinya itu membuat guyonan semacam itu. Kalau ada Kalila, suasana memang akan jadi ramai.

Tapi memang betul, Kalila sedang berdebar saat ini. Tidak tahu juga mengapa ia bisa deg-degan seperti ini. Yang jelas, ia seperti akan segera bertemu sesuatu yang penuh misteri.

Ia jadi tak sabar, ingin segera bertemu dengan anak dari lelaki yang sudah menjadi suami ibunya. Sumber rasa gugupnya saat ini.

Step Bro?

"Selamat datang, Kalila. Ini rumahmu juga sekarang dan semoga kamu betah ya tinggal di rumah Papa."

Kalila menyambut sambutan dari ayah barunya itu dengan senyum hangat. Mama Belina sekarang sudah berangkulan dengan papa Mahesa. Ketiganya masuk ke dalam rumah megah itu dengan sukacita.

"Ini kamarmu, bagaimana, kamu suka?" tanya papa Mahesa lagi setibanya mereka di depan sebuah kamar luas yang sekarang pintunya sudah terbuka itu.

"Wah ... Gede banget. Makasih ya Oom, eh, Pa." Kalila tersenyum malu.

"Kalila ..." Mama mencoba mengingatkan putrinya yang sepertinya belum terbiasa dengan panggilan papa kepada Mahesa.

"Gak apa kok, nanti juga Kalila akan terbiasa. Bukan begitu, Kalila?"

Kalila mengangguk. Ia memang belum terbiasa memanggil ayah tirinya itu dengan sebutan papa, tapi ia pasti akan mencobanya.

"Oh iya, kata Mama, Papa punya anak juga ya?" tanya Kalila antusias.

Wajah Mahesa seketika jadi keruh, setidaknya begitu dalam pandangan Kalila atau mama Belina saat ini.

"Ada, Kalila. Namanya Candra. Nanti kamu akan bertemu dengannya. Sekarang, dia sedang di luar."

Kalila, menganggukkan kepalanya. Ia tidak sabar mau bertemu kakak tirinya itu. Entah seperti apa rupanya.

"Kalo gitu, sekarang, kamu istirahat dulu ya, Kalila. Papa dan Mama akan pergi ke perusahaan. Perusahaan sekarang sedang ditinggalkan Candra, jadi Papa gak bisa tinggal di rumah dulu. Sekalian, Papa mau memperkenalkan secara langsung Mama kamu ke semua bawahan Papa."

"Oke, Pa. Semoga hari Papa dan Mama menyenangkan ya. Aku mungkin akan membereskan sedikit barang yang masih berantakan," sahut Kalila riang. Papa Mahesa tersenyum lantas mengangguk. Ia suka dengan anak tirinya yang ramah dan ceria itu. Sungguh energinya positif sekali.

Berbeda dengan Candra yang keras kepala dan sukanya bikin onar.

Kalila masuk, diikuti Sweety yang sudah berada di atas ranjang empuknya. Kalila menjawil hidung Sweety dengan gemas.

"Enak ya, Sweety, jadi orang kaya. Ah, semoga kakak tiriku orangnya juga sebaik papa Mahesa," ujar Kalila kepada Sweety yang hanya memandangnya dengan malas.

Jiwa kucing sultannya mulai menguasai semenjak ia menjejakkan kaki empatnya di lantai rumah papa Mahesa.

Kalila mulai membereskan beberapa peralatannya yang masih berantakan. Ia ingin menata kamar itu sesuai dengan selera dekornya.

Saat sedang membuka jendela kamar, ia melihat sebuah mobil sport keluaran terbaru masuk ke pekarangan rumah yang luas lalu menghilang di balik garasi.

Kalila tidak terlalu tertarik sebab mobil seperti itu memang menjadi benda biasa yang dimiliki oleh orang kaya.

Eh, tapi tunggu dulu, siapa pemiliknya? Bukannya, papa Mahesa tidak memakai mobil sport? Dan lagi pula, papa Mahesa baru saja pergi dengan mamanya ke perusahaan.

Menerka-nerka siapa kiranya pemilik mobil mewah itu, membuat Kalila jadi sakit perut. Ia segera pergi keluar kamar, tergopoh-gopoh menuruni tangga melingkar tapi di pertengahan jalan, ia berhenti.

Bukannya kamar luasnya memiliki kamar mandi juga? Kalila mengutuk Sweety berikut bulu belangnya karena kebodohannya sendiri saat ini. Ia segera kembali menapaki tangga dan terburu-buru masuk lagi ke kamar dan langsung ke kamar mandi tanpa menutup pintu kamarnya terlebih dahulu lagi.

Cukup lama Kalila bersemedi di dalam kamar mandi karena panggilan alam yang datang tiba-tiba sampai ia mendengar langkah derap kaki di kamarnya. Mendekat ke kamar mandi yang masih tertutup dengan dia di dalamnya.

"Siapa ya? Toiletnya masih dipake, kalo udah kebelet, ke bawah aja," ujar Kalila setengah berseru.

Tak ada jawaban. Tapi ia masih bisa mendengar suara langkah kaki itu di dalam kamarnya. Kalila jadi takut, bagaimana kalau itu orang jahat yang akan bertindak tak senonoh kepadanya.

Maka setelah selesai dari urusan perut sakit, Kalila segera keluar dari kamar mandi. Namun, setelah keluar, tak ditemukannya lagi suara derap langkah kaki.

Apa rumah itu ada hantunya? Kalila bergidik ngeri. Benar-benar misteri yang harus segera dipecahkannya!

Kalila yang penasaran akhirnya pergi ke luar kamar, dan ia melihat kamar yang bersebrangan dengan kamarnya kini dalam keadaan terbuka.

Kalila mengerutkan kening, siapa yang sudah membuka pintu itu. Ia yang jiwa penasarannya sama seperti detective Conan, segera melangkah ke sana dengan hati-hati.

Pintu yang terbuka itu tak ada orangnya. Tapi baru saja Kalila hendak berbalik, ia mendengar suara seseorang. Suara yang rasanya tak asing. Cukup menyebalkan untuk didengar.

"Siapa lo?!"

Kalila menoleh, pandangannya dengan lelaki berambut gondrong itu bertemu. Lelaki itu hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Rambutnya masih setengah basah, nampaknya ia baru saja selesai mandi.

Tatapan tajam penuh selidik, seolah Kalila adalah penyusup. Tidak, bukannya dia yang penyusup dan demi Sweety yang sekarang sudah jadi kucing sultan, Kalila masih ingat dengan lelaki di depannya itu. Bukannya itu pria menyebalkan yang ia kira adalah tamu di acara perkawinan mamanya kemarin?

"Hei, lo lagi?!" Pria itu mendekat, Kalila jadi mundur beberapa langkah. Kenapa pria itu jadi berkali-kali menakutkan dari kemarin saat ia kebelet mau buang airkecil?

"Kamu yang siapa?!"

Kalila gelagapan, tapi tetap mencoba mencari keberanian dengan bertanya sedikit keras kepada lelaki berhanduk itu.

"Ini rumah gue!" hardik pria itu membuat tenggorokan Kalila tercekat. Ia menoleh, melihat foto besar di dinding bercat putih itu.

Laksmana Candrakumara?

Kalila rasanya mau pingsan, saat ia terkenang tadi ayah tirinya sempat mengatakan nama panggilan anaknya. Candrakumara.

Kepala Kalila jadi pening, jadi lelaki congkak nan arogan dan berambut gondrong ini adalah kakak tirinya? Kakak tiri yang ia kira ramah dan sehangat papa Mahesa?

"Maaf, Mas Candra. Aku gak tahu kamu adalah anak papa Mahesa."

Mendengar Kalila menyebut ayahnya begitu, Candra seketika sadar siapa gadis menyebalkan itu. Gadis yang ternyata adalah adik tirinya. Candra segera menunjuk pintu dengan jarinya.

"Keluar!" titahnya.

Kalila masih terdiam di tempatnya berdiri. Ia sibuk menyamakan informasi. Bukankah mamanya bilang anak papa Mahesa sedang di Bali?

"Hei, tunggu apalagi? Keluar!"

Kalila tersentak, ia memandang kesal kepada Candra yang masih menatapnya bengis. Tapi ia masih saja menoleh ke arah Candra yang sudah menatapnya jengah.

Sampai Kalila tidak sadar ia sudaj hampir tiba di depan pintu dan ia salah, terlalu menyamping hingga membuatnya terpental karena menabrak dinding.

Candra menatap gadis itu berang, ia segera mengangkat tubuh Kalila yang mungil dan membawanya keluar lalu menutup pintu, lebih tepatnya membanting pintu itu.

Kalila yang keningnya masih sakit jadi hilang mood dan berdecak kesal hendak menyuarakan protes. Namun, ia akhirnya lebih memilih kembali ke kamarnya sendiri.

"Dasar orang-orangan sawah!" desis Kalila kesal lalu membanting tubuhnya sendiri di atas ranjang. Kakak tirinya ternyata tak sesuai ekspektasi. Kalila melambaikan tangan ke kamera, ia ingin menyerah, atau kalau bisa, tukar guling saja kakak tirinya yang keras kepala itu dengan produk patung cina.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!