NovelToon NovelToon

Kontrak Cinta Di Bangku SMA

bab 1

Alya Hasanah: Berusia 17 tahun, siswi kelas 2 SMA. Gadis jelek berkulit hitam dengan wajah yang di penuhi jerawat.

Raihan Alatas: seorang kepala sekolah muda berusia 30 tahun. Tampan, Cerdas dan berwibawa. Anak dari pemilik yayasan pendidikan terbesar di kota itu.

...

Malam itu, pukul 11 lewat sedikit. Langit gelap tanpa bintang, dan suara jangkrik bersahut-sahutan memecah keheningan. Angin malam menyapu wajah Alya yang lelah, mengayuh sepeda tuanya pulang dari cafe tempatnya bekerja paruh waktu.

Sepi. Jalur pulang yang ia lewati memang jalan pintas, melewati semak belukar dan tak satu pun lampu jalan menyala. Tapi Alya sudah biasa. Ia hanya ingin segera sampai rumah dan beristirahat.

Namun tepat ketika melewati tikungan kecil yang dikelilingi semak-semak, Alya mendadak menghentikan sepedanya dengan kasar. Roda sepeda berdecit dan tubuh Alya nyaris terjungkal.

Matanya membelalak.

Di antara semak-semak itu, tergeletak sosok tubuh manusia. Diam. Tak bergerak.

Sepedanya jatuh begitu saja ke tanah, tapi Alya tak peduli. Ia segera berlari mendekat dengan jantung berdegup kencang.

“Ya Allah…” desisnya. “Astaghfirullah…”

Tubuh itu penuh luka dan lebam. Wajahnya bonyok, bajunya sobek, darah tampak merembes dari pelipis dan sudut bibirnya. Tapi yang paling mengejutkan...

“P-Pak… Pak Raihan?” ucap Alya tercekat, suaranya bergetar.

Itu adalah Raihan Alatas, kepala sekolah SMA-nya. Pria berwibawa yang selalu tampil rapi dan angkuh, kini terkapar tak berdaya di semak-semak, seperti orang tak dikenal.

Alya panik. Ia menggoyang-goyangkan tubuh pria itu. “Pak! Bangun, Pak! Astaga, kenapa bisa begini?”

Raihan mengerang pelan. Kelopak matanya bergerak sebelum terbuka sedikit. Suaranya lemah, nyaris tak terdengar.

“Saya dibegal…” gumamnya. “Mobil… dompet… semua diambil…”

Alya terdiam sesaat, shock. Tapi tanpa pikir panjang, ia menyelipkan tangannya ke bawah lengan Raihan dan mencoba mengangkat tubuh pria itu.

Namun tubuh pria dewasa setinggi hampir 185 cm itu terlalu berat untuk gadis kecil berusia 17 tahun seberat 45 kg.

“Ughhh... Astaga… berat banget,” keluh Alya sembari mengerahkan seluruh tenaganya.

Ia sempat berhasil membantu Raihan hampir berdiri. Tapi karena pijakan Alya tidak kuat, tubuh pria itu kembali terjatuh, dan lebih parahnya, tubuh Alya ikut terjatuh dan tepat berada di atas tubuh Raihan.

“ADUH!” teriak Alya.

Sakit. Tapi ia terlalu panik untuk memperdulikan rasa nyeri itu.

“Maaf, Pak! Saya nggak sengaja!” katanya panik. Ia berusaha bangkit, tapi tubuh Raihan menahan geraknya.

Raihan sendiri tak sanggup mengatakan apa-apa. Antara nyeri karena dipukul para begal dan kini ditindih oleh Alya, semua bercampur menjadi satu siksaan tak berkesudahan.

Namun sebelum Alya berhasil berdiri, teriakan keras memecah malam.

“Hei! Itu ngapain?!”

Alya menoleh, matanya membesar karena terkejut. Sekelompok warga ronda malam membawa senter dan pentungan, mendekat cepat ke arah mereka.

Senter menyorot tubuh Alya yang masih di atas Raihan. Dari sudut pandang mereka, pemandangan itu sangat… mencurigakan.

“Ya Allah! Astaga, mereka ngapain tengah malam begini?!”

“Berzina di semak-semak?! Di kampung kita?!”

Alya segera bangkit, tubuhnya gemetar. “T-Tidak! Bukan begitu! Saya cuma...”

Namun tak ada yang mau mendengar. Dalam waktu singkat, warga telah mengepung mereka dan membawa keduanya ke rumah Pak RT.

...

Di Rumah Pak RT...

Alya duduk menunduk, tubuhnya gemetar. Raihan duduk di sebelahnya, wajahnya masih penuh luka. Di hadapan mereka, duduk Pak RT, ayah dan ibu Alya, serta para warga yang memenuhi ruang tamu rumah kecil itu. Beberapa ada yang duduk, beberapa berdiri, dan tak sedikit pula yang sibuk merekam kejadian dengan ponsel mereka.

Suasana gaduh. Suara riuh tuntutan terdengar dari segala arah.

“Harus dinikahkan sekarang juga! Jangan sampai kampung kita kena sial!”

“Ngaku aja lah! Udah ketangkap basah masih ngeles!”

“Apa nggak malu, masih pakai seragam putih abu-abu udah main semak-semak!”

Alya hanya bisa menangis. “Saya nggak ngapa-ngapain… saya cuma mau bantu…”

Pak RT mengangkat tangan, mencoba menenangkan warga. “Sabar… sabar… kita dengarkan penjelasan dari Pak Raihan dulu.”

Raihan yang sejak tadi diam akhirnya angkat suara dengan suara pelan tapi tegas.

“Saya dibegal. Mobil saya dirampas. Saya ditinggal begitu saja di jalan. Alya hanya ingin membantu. Dia mencoba mengangkat saya berdiri. Tapi kami jatuh.”

Ia menunjuk luka-luka di tubuhnya yang masih mengucurkan darah.

“Saya tidak pernah menyentuhnya. Dia murid saya. Jangan salah sangka.”

Namun seorang warga menyahut, “Alaaah, maling mana ada yang ngaku! Sudah jelas-jelas tertangkap basah!”

Warga lain menimpali dengan emosi, “Kita arak saja keliling kampung biar jera!”

Alya menangis makin kencang. Wajah ayahnya merah padam, antara marah, malu, dan tak tahu harus percaya siapa.

Pak RT menarik napas panjang, lalu memutuskan, “Daripada ini jadi aib kampung dan tersebar ke mana-mana, lebih baik kalian dinikahkan malam ini juga. Demi nama baik keluarga dan lingkungan.”

Raihan menatap Pak RT dengan tajam. “Saya tidak setuju. Kami tidak melakukan apapun.”

“Tapi ini sudah terlanjur,” jawab Pak RT.

“Kalau tidak, besok berita ini akan tersebar di seluruh kota. Dan saya yakin, sekolah Anda pun takkan tinggal diam.”

bab 2

“Sebelum kita mulai ijab kabulnya,” ucapnya tenang,

“saya ingin tanya dulu... mahar apa yang akan kau berikan untuk mempelai wanita?” ucap ustadz kampung yang dipanggil mendadak untuk menikahkan mereka.

Semua mata tertuju pada Raihan yang terlihat makin gelisah.

Ia menunduk sejenak, lalu berkata lirih, “saya tidak punya apa-apa. Semua barang saya, dompet, HP, jam tangan, semuanya dirampas oleh begal tadi.”

Suasana jadi hening. Bahkan warga yang semula ribut pun ikut terdiam.

Namun detik berikutnya, ayah Alya berdiri. Perlahan, ia merogoh saku celana lusuhnya dan mengeluarkan dompet kulit tua yang sudah hampir sobek di ujungnya. Ia membukanya dan menghela napas dalam. Di dalamnya, hanya ada satu lembar uang lima puluh ribuan. satu-satunya yang tersisa.

Ia melangkah maju, lalu menyodorkannya pada Raihan. “Ini... pakai ini aja. Biar sah.”

Raihan menatap uang itu. Tangannya ragu, tapi pada akhirnya ia menerimanya juga, lalu mengangguk pelan.

Ustaz pun kembali menatap Raihan, lalu memulai prosesi sakral itu.

“Raihan Alatas bin Sutrisno, saya nikahkan engkau dengan Alya Hasanah binti Salim dengan mahar uang tunai lima puluh ribu rupiah, dibayar tunai.”

Suara Raihan terdengar lirih, tapi jelas.

“Saya terima nikahnya Alya Hasanah binti salim dengan maskawin tersebut tunai”

Seketika, para warga mengangguk puas. Beberapa bahkan tersenyum, lalu mulai meninggalkan rumah satu per satu. Ponsel mereka dimasukkan kembali ke saku, dan suasana perlahan hening kembali.

Pernikahan itu sah. Meski tanpa cinta. Tanpa rencana. Hanya karena tekanan malam dan kesalahpahaman yang tak bisa diluruskan.

...

Setelah semua warga bubar, Raihan bermalam di rumah keluarga Alya. Rumah kayu sederhana itu hanya memiliki dua kamar tidur. Satu ditempati oleh ayah dan ibu Alya, satu lagi adalah kamar Alya sendiri.

Raihan memandangi ruang tamu yang sempit, berniat merebahkan diri di sana.

“Saya tidur di sini saja, Pak. Tak enak rasanya tidur di kamar anak Bapak,” ucap Raihan pelan.

Namun ayah Alya langsung menoleh sambil menepuk pundaknya.

“Kalian sudah menikah, Nak. Tidak baik kalau tidur terpisah.”

“Tapi, Pak… pernikahan ini terjadi hanya karena kesalahpahaman. Kami tidak saling mencintai. Tidak ada apa-apa di antara kami.”

Ayah Alya menatapnya tajam. “Saling cinta atau tidak, menikah tetaplah menikah. Jangan langgar adat kampung ini. Pamali.”

Raihan terdiam. Ia tahu, di rumah ini, di kampung ini, tidak ada suara yang lebih kuat dari ucapan orang tua.

Mau tak mau, ia pun melangkah masuk ke kamar Alya. Kamar kecil itu dipenuhi aroma sabun cuci dan wangi kapur barus. Di sisi ranjang, ada boneka kelinci kecil dan beberapa buku pelajaran yang ditumpuk rapi.

Sementara itu, Alya masih di dapur, menyiapkan satu baskom air hangat dan handuk bersih. Meski tangan dan hatinya gemetar, ia tetap berusaha merawat suaminya. meskipun pernikahan mereka tidak pernah ia harapkan.

Beberapa menit kemudian, Alya masuk pelan-pelan ke kamar.

Raihan sedang duduk di sudut ranjang, memegangi pelipisnya yang bengkak dan memar.

“Maaf, Pak…” ucap Alya lirih. “Biar saya bantu bersihkan luka Bapak.”

Raihan hanya mengangguk pelan, tak ada tenaga untuk menolak.

Dengan gerakan hati-hati, Alya merendam handuk dalam air hangat, memerasnya perlahan, lalu menepuk-nepuk kan ke luka di pelipis Raihan. Tangannya dingin, tapi lembut. Sesekali ia meniup luka dengan pelan, berharap bisa sedikit mengurangi perihnya.

Raihan menatapnya dari sudut mata. Dalam diam, ia baru menyadari betapa polos dan tulusnya gadis itu.

Setelah selesai, Raihan bersandar. “Alya…”

“Iya, Pak?”

“Boleh saya pinjam ponsel kamu sebentar? Saya harus hubungi teman saya.”

Alya mengangguk. Ia membuka laci dan mengambil ponselnya. sebuah ponsel lama dengan layar yang retak hampir di semua sisi, namun masih bisa digunakan.

Saat menerima ponsel itu, Raihan tertegun sejenak. “Kamu masih pakai ini…?”

Alya tersenyum kaku. “Cuma ini yang saya punya, Pak.”

Raihan mengangguk pelan, lalu mulai mengetikkan nomor. Ia menelepon singkat, lalu mengirimkan lokasi.

“Besok pagi jam delapan… dia akan jemput saya,” ucapnya pelan, entah kepada Alya atau dirinya sendiri.

Setelah itu, tak ada lagi kata.

Hanya keheningan panjang, satu ranjang sempit, dan dua orang asing yang kini… telah sah menjadi suami istri karena keadaan.

...

Keesokan paginya, suasana rumah sederhana itu masih diselimuti kabut tipis pagi. Raihan duduk di ruang tamu dengan rambut masih sedikit berantakan, mengenakan kaus polos pinjaman dari ayah Alya. Tatapannya tertuju pada pintu kayu yang setengah terbuka, menanti bunyi klakson yang akan mengabarkan kedatangan temannya.

Tak lama, suara langkah kaki terdengar dari arah dapur. Alya muncul dengan rambut yang di kuncir rapi, mengenakan seragam sekolah abu-abu putih yang sederhana tapi bersih. Di tangannya, ada secangkir kopi hangat yang mengepul.

"Ini, diminum dulu kopinya, Pak," ucap Alya pelan, suaranya terdengar canggung tapi tulus.

Reihan hanya mengangguk singkat. "Makasih," gumamnya, lalu menyeruput perlahan. Hangatnya kopi pagi itu tak mampu menetralkan perasaan aneh yang masih menggantung di antara mereka.

Beberapa menit kemudian, suara klakson terdengar dari luar rumah. Sebuah mobil SUV hitam berhenti tepat di depan pagar. Seorang pria tinggi dengan jas kasual dan kacamata hitam turun dari mobil dengan langkah santai.

“Yo! Rehan! Gue kira lo udah tewas dibegal, bro.”

“Masih hidup, sayangnya,” jawab Rehan singkat.

Reihan bangkit dan berpamitan pada kedua orang tua Alya. Tapi sebelum ia benar-benar melangkah keluar, suara berat ayah Alya, Pak Salim, memecah suasana.

"Kau nggak bawa istrimu juga, Han?" tanyanya, polos tapi penuh makna.

Alya membeku. Reihan juga sempat terdiam beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum tipis, meski agak terpaksa.

"Iya, Pak. Saya ajak sekalian."

Mau tak mau, Alya masuk ke dalam mobil bersama mereka. Di dalam mobil, suasana hening cukup lama. Hanya suara radio yang menyala pelan mengisi keheningan. Bima melirik dari kaca spion, lalu bertanya, “Kalian berdua... menikah?”

“Panjang ceritanya,” jawab Raihan singkat.

Bima tertawa kecil, “Oke, nanti lo ceritakan. Yang penting sekarang, kita pulang dulu.”

Tapi beberapa menit kemudian, tepat di dekat perempatan jalan menuju kota, Raihan tiba-tiba meminta Bima menghentikan mobil.

“Berhenti di sini dulu,” katanya.

Bima mengerutkan dahi tapi menuruti. Setelah mobil berhenti, Raihan menoleh ke Alya.

“Kau turun di sini saja,” ucapnya tanpa ekspresi.

Alya menatapnya bingung. “Kenapa?”

“Aku nggak mau siapa pun tahu tentang pernikahan ini. Apalagi siswa-siswa di sekolah, atau pihak yayasan. Ini cuma... kesalahpahaman.”

Alya menunduk. Perkataan Raihan menohok, meski ia tahu betul pernikahan semalam memang tidak didasari cinta, hanya karena situasi yang mendesak.

“Jadi, saya harus jalan kaki ke sekolah?” tanyanya pelan.

Raihan menghela nafas sebelum berbicara "Bim..pinjem dompet Lo sebentar," Dan Bima pun menyerahkan dompet nya tanya banyak bertanya.

Raihan mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompet, lalu menyerahkan nya pada Alya.

“Naik ojek. Jangan bilang apa-apa tentang aku. Tentang semalam. Tentang semuanya.”

Alya menerima uang itu tanpa berkata apa-apa. Ia turun dari mobil dengan langkah pelan, tanpa menoleh lagi.

Raihan menatap ke luar jendela sejenak, lalu berkata pada Bima, “Jalan.”

“Lo beneran udah nikah sama cewek tadi?”

Rehan tetap diam, pandangannya lurus ke depan.

“Lo gila ya?” lanjut Bima. “Kayak nggak ada perempuan lain di dunia ini. Hello! Lo tuh ganteng, sukses, anak pemilik yayasan terbesar, banyak cewek cantik yang antri di belakang lo!”

Rehan masih tak menjawab. Ia hanya menarik napas pelan, lalu menjawab dingin, “Udah, jangan bahas itu.”

Bima mendengus tak percaya. “Tapi kenapa harus perempuan udik kayak dia?

bab 3

Langit pagi masih mendung saat Alya turun dari ojek online yang ia pesan. Motor itu berhenti tepat di depan gerbang megah sekolah elit tempatnya menuntut ilmu. SMA Harapan Bangsa.

Dari balik helm, pengemudi ojol tersenyum ramah. “Sampai, Mbak. Semoga harinya lancar, ya.”

Alya buru-buru mengangguk, lalu menyerahkan beberapa lembar uang dari tangan kirinya.

“Terima kasih, Pak,” ucapnya, kemudian menunduk pelan sebelum turun.

Di sekelilingnya, suara deru mobil sport dan motor gede meraung di antara deretan siswa yang turun satu per satu dengan seragam rapi dan penampilan menawan. Para siswa perempuan tampak wangi dengan rambut terurai sempurna, sedangkan para lelaki mengenakan jam tangan mahal dan sepatu bermerek.

Alya menunduk. Seragamnya memang bersih, tapi rok abu-abunya sudah mulai pudar warnanya. Sepatunya usang, dan tas punggungnya penuh tambalan.

“Huff... Kalau tahu bakal begini ini, tadi aku bawa sepeda aja,” gumamnya dalam hati. Tapi sekarang sudah terlambat.

Karena bel sebentar lagi akan berbunyi, Alya pun melangkah cepat menuju kelas. Namun dalam langkahnya yang terburu-buru, ia tidak memperhatikan jalan, dan brukk!

Tubuhnya menabrak seseorang dengan keras.

“Aduh!” pekiknya, tubuhnya terjatuh namun ia segera bangkit sambil menepuk-nepuk debu dari rok seragamnya.

Saat ia mendongak, matanya membelalak. Sosok tinggi tegap dengan wajah tampan dan seragam yang nyaris sempurna kini menatapnya tajam. Di tangannya, segelas cappuccino tumpah sebagian ke seragam putihnya yang kini bernoda cokelat.

Kevin Andreas. Ketua OSIS, sekaligus Bintang lapangan basket. Anak konglomerat. Primadona sekolah.

Alya tercekat. “K-Kak Kevin... maaf, Kak. Aku nggak sengaja...”

Kevin menatapnya tajam, rahangnya mengeras. Pandangannya menusuk seperti belati.

“Nggak sengaja?” ulangnya datar namun dingin. “Tahu nggak ini baju custom seharga dua juta lebih? Cuma buat lo tumpahin kopi kayak gini?”

Alya menggeleng panik, “Sumpah, aku nggak lihat... Aku... aku beneran minta maaf, Kak.”

Dengan terburu-buru, Alya mengeluarkan sapu tangan dari tasnya dan mencoba menyeka noda kopi di dada seragam Kevin. Namun begitu tangannya hampir menyentuh dada Kevin...

“Jangan sentuh gue.” Suaranya tajam, jijik.

Alya menghentikan gerakannya seketika. Sapu tangan itu jatuh ke lantai.

Beberapa siswa yang lewat mulai melambatkan langkah, berbisik-bisik, menonton adegan itu dengan mata menyipit penuh rasa ingin tahu. Namun Kevin hanya menatap Alya dingin.

“Ikut gue.”

Alya tak sempat bertanya. Tangan Kevin mencengkeram lengan bajunya dan menyeretnya ke arah belakang sekolah. Beberapa siswa yang tergabung dalam geng Kevin, Tomy, sandi, dan Rafi. mengikut di belakang dengan langkah cepat.

Di belakang gedung perpustakaan, tempat yang jarang dilewati siswa atau guru, Kevin menghentikan langkah.

Alya menoleh ke sekeliling. Tempat itu sepi, hanya suara angin yang meniup dedaunan dan suara langkah yang berhenti bersamaan.

“Lo tahu nggak,” ucap Kevin, matanya menyipit, “tipe orang kayak lo itu... gak pantas sekolah di sini.”

“Maaf... Aku nggak maksud...”

Belum sempat Alya melanjutkan, dua dari ketiga teman Kevin langsung berdiri di samping kiri dan kanannya, mengepung.

Kevin menatap tong sampah besar di dekat mereka. Wajahnya tampak seperti mendapat ide.

“Lo mau main-main sama gue, ya? Nih, biar sekalian gue kasih peringatan.”

Tomy bergerak cepat membuka tong sampah, dan Kevin menarik kantong plastik penuh sisa makanan dari dalamnya. kulit pisang, plastik bekas makanan, nasi basi. lalu tanpa ragu disiramkan tepat di atas kepala Alya.

Alya hanya bisa menutup mata. Cairan busuk dan kotoran itu mengalir dari rambutnya, menetes ke pipinya, membuat seragamnya basah dan bau. Tangannya gemetar, tubuhnya lunglai.

“Rasakan itu!” seru Kevin puas. “Biar tahu diri. Biar lo sadar, tempat lo tuh bukan di sini.”

Tawa kawan-kawan Kevin menggema di antara bangunan kosong. Namun Alya hanya diam. Matanya menatap ke tanah, air mata mulai jatuh perlahan, bercampur dengan sisa makanan yang menetes dari rambutnya.

“Udah. Ayo, cabut,” ucap Kevin, meludah ke tanah, lalu pergi bersama teman-temannya.

Tinggallah Alya sendirian, duduk bersimpuh di lantai semen yang dingin, tubuhnya basah dan kotor, hatinya hancur.

...

Langkah Alya tertatih di sepanjang lorong sekolah.

Kepalanya tertunduk. Rambut panjangnya masih lembap, meneteskan sisa air yang bercampur dengan bau anyir dan busuk dari tong sampah yang tadi disiramkan ke kepalanya. Seragam putihnya basah sebagian, dengan noda samar kecokelatan di sana-sini yang tak bisa sepenuhnya hilang meski ia sudah berusaha keras menyekanya.

Toilet wanita.

Tempat itu terasa seperti satu-satunya pelarian di tengah dunia yang seolah menolaknya.

Alya mendorong pintu pelan dan masuk. Ruangan itu sepi. Cermin besar di atas wastafel menampilkan bayangannya yang tak sanggup ia lihat terlalu lama.

Wajahnya kusut. Rambutnya kusam. Matanya sembab.

Ia berdiri diam di depan wastafel, tangan bertumpu pada pinggir keramik dingin. Dadanya naik turun cepat. Tapi tangisnya sudah kering. Yang tersisa hanya kehancuran... dan rasa malu.

"Menjijikkan."

Kata itu menggema di kepalanya. Berkali-kali. Seolah disuarakan oleh Kevin, teman-temannya, bahkan dirinya sendiri.

Dengan tangan gemetar, ia menyalakan keran air.

Perlahan, ia menyibakkan rambutnya ke depan dan membasuhnya. Dingin. Air itu tak cukup menghapus semua kotoran, apalagi luka di dalam hatinya. Tapi tetap ia gosok, tetap ia bilas, meski kulit kepalanya mulai perih. Ia bahkan menundukkan dada ke bawah keran, membasahi bagian depan seragamnya, berharap bau itu bisa pergi.

Setelah beberapa menit, ia berdiri tegak lagi. Menatap cermin.

“Kamu harus kuat, Alya.”

Ia berbisik pada bayangannya sendiri.

Dengan napas tertahan, ia keluar dari toilet. Rambutnya masih basah dan sebagian kemejanya kusut, tapi itu lebih baik daripada sebelumnya. Ia berjalan menuju kelas dengan langkah pelan, mencoba menahan rasa malu yang terus merayap di tengkuknya.

...

Di dalam kelas

Ruang kelas sudah setengah terisi. Beberapa siswa sedang bermain ponsel, lainnya tertawa sambil saling berbicara tentang jadwal les, sepatu baru, atau rencana akhir pekan. Alya berjalan ke bangku paling belakang, tempat yang selalu ia duduki, sendirian.

Ia duduk perlahan, memeluk tasnya erat-erat. Wajahnya ditundukkan ke meja. Tak satu pun siswa menyapanya. Bahkan bangku di samping kanan dan kirinya tetap kosong seperti biasa. Hanya saja... hari ini terasa jauh lebih sunyi. Lebih menyakitkan.

Tak lama kemudian...

Bel berbunyi.

Pintu kelas terbuka. Siswa-siswa mulai masuk satu per satu. Suara tawa dan obrolan menggema memenuhi ruangan. Tapi perlahan, suasana berubah.

Beberapa siswa mencium sesuatu yang aneh. Dahi mereka mengernyit. Beberapa bahkan mulai menoleh ke kanan-kiri, mencium udara.

“Eh, lo nyium bau gak sih?”

“Iya! Busuk banget, sumpah...”

“Kaya... got campur ikan busuk gitu.”

Suara-suara itu semakin ramai. Riuh. Kepo. Penuh ejekan.

Alya menunduk makin dalam. Hatinya berdegup tak karuan. Ia tahu itu tentang dirinya. Tapi ia diam. Ia tak punya energi untuk membela diri.

Lalu, dari barisan depan kelas, seorang gadis cantik berdiri.

Namanya Fiona. Ketua kelas. Sosok populer. Wajahnya cantik, rambutnya lurus sempurna, penampilannya selalu wangi dan rapi. Ia menyipitkan mata, menatap ke arah belakang kelas, lalu berkata lantang:

“Kalian ngerasa nggak sih, bau ini kayaknya berasal dari... satu orang?”

Tatapannya tajam, langsung mengarah pada Alya.

Semua mata pun serempak berpaling. Ke arah satu titik. Alya.

“Ih, jangan-jangan dari dia, ya?”

“Serius deh... dari tadi udah nyium bau ini. Gue kira tong sampah bocor.”

"Dia mandi nggak sih... Bau banget."

“Bajunya itu tuh... udah seminggu kali gak dicuci!”

“Males banget sih. Jijik tau gak?”

Tawa meletus di beberapa sudut ruangan. Tapi yang paling menyakitkan adalah... mereka semua tertawa tanpa ragu. Seolah-olah Alya bukan manusia. Seolah ia hanya kotoran yang mengganggu pandangan.

Alya menunduk makin dalam, matanya basah. Ia berusaha menahan tangisnya, namun dadanya terasa sesak. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menggenggam ujung roknya erat-erat, berharap bumi mau menelannya saat itu juga.

Telinganya menangkap satu kalimat yang membuat hatinya nyaris runtuh:

“Ngapain juga sekolah di sini kalo gak mampu jaga kebersihan. Malu-maluin banget, sumpah.”

Alya menggigit bibirnya keras-keras. Ia ingin sekali berteriak, ingin menjelaskan, tapi ia sadar. Bahkan jika ia berbicara sekalipun tidak ada yang mau mendengar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!