Pukul 19 lewat 15 menit, Dona dan Maharani sudah sampai di lapangan futsal di daerah Grogol, Jakarta Selatan. Awalnya, Maharani menghampiri kakak sepupunya di kantor ADT Group setelah meeting, untuk makan malem bareng, tapi dia malah berakhir di lapangan futsal ini. Menemani kakak sepupunya nonton suaminya main futsal bareng temen-temen BEMnya dulu.
Mereka langsung duduk di bangku tribun dan menonton permainan futsal yang sepertinya baru saja berlangsung. Dona dengan semangat melambai-lambaikan tangan pada sang suami begitu mata mereka bertemu tatap. Maharani bisa lihat bagaimana Johnny tersenyum sangat lebar saat melihat kakak sepupunya ini.
“Duuh lo sama Bang Johnny kayak masih abege tau gak?” ujarnya sambil tertawa.
“Namanya juga newlywed. Masih anget beeb,” katanya diikuti gelak tawa.
“Idi idiiiiih,” tawanya, “gua masih gak nyangka lah lo akhirnya jadi sama Bang Johnny, Kak.”
“Gua juga. Gua sama dia udah pada move on, punya pasangan masing-masing. Tapi in the end of the day, gua malah jadinya nikah sama dia.”
“He-eh. Ini nih yang dinamakan kalo jodoh gak kemana,” ujar Maharani.
Maharani sesungguhnya tidak terlalu mengerti pemainan bola kaki itu. Dia hanya pernah 2 kali dulu menemani mantannya tanding bola saat masih kuliah. Ini adalah kali ketiga dia melihat para pria dewasa berebut bola di lapangan berlapis vinyl.
Saat dia mulai fokus dengan permainan yang ada di depan mata, dia melihat sesosok pria yang sudah basah dengan keringat. Jersey yang dia pakai pun menunjukkan otot di balik baju itu. Definisi tampan dan atletis.
“Kak, itu siapa namanya?” tanyanya berbisik pada Dona.
“Mana?” Dona mencari siapa yang dimaksud oleh adik sepupunya itu.
“Itu loh yang pake jersey merah, yang pake headband supreme.”
Mata Dona berkeliling mencari pria yang dimaksudkan sepupunya. Sampai dia menemukan pria itu dan dia tersenyum lebar, meledek sepupunya.
“Bukan, Kak. Iiih, buat kerjaan nih.”
“Ooohh,” Dona tertawa, “kirain naksir.”
“Ish,” Maharani merotasi matanya, “kenal?”
“Kenal.”
“Kenalin lah, Kak. Gua butuh dia buat jadi model gua nih.”
“Bener buat kerjaan?” Dona menaik turunkan alisnya dengan senyuman jail di wajah.
“Bener, serius. Kan lo ngajak gua juga biar siapa tau ketemu orang yang cocok jadi model gua. Please, bantu adek lo yang gemesin ini,” katanya mengedip-kedipkan matanya.
“Idiiiiih,” Dona tertawa melihat tingkah adik sepupunya itu, “iya, entar gua kenalin.”
Permainan di tengah lapangan futsal itu selesai. Johnny langsung menghampiri istrinya yang duduk bersama Maharani.
“Heeeeey,” Johnny tak segan untuk mengecup pipi Dona.
“Duuuuh, plis tempat umum ini,” ledeknya. Maharani sudah biasa dengan pemandangan itu semenjak mereka berdua menikah
“Napa sih anak kecil nih. Cuma cium pipi istri sendiri juga. Bukan berbuat mesum,” balas Johnny.
Dona tertawa melihat tingkah sepupunya hingga gusinya terlihat dan matanya membuat bulan sabit. Pemandangan yang paling Johnny suka dari istrinya. Kalau kata Johnny, tawa dan senyumnya seperti cahaya matahari, indah, dan hangat.
“Sayang, ada yang minta dikenalin nih,” ujar Dona menyodorkan botol minum pada suaminya.
“Sama siapa?”
“Itu, Bang,” Maharani melihat kearah pria yang sejak tadi sudah dia incar untuk menjadi modelnya.
“Oooooh. Yuk,” ajak Johnny tanpa bertanya lebih kepada kedua wanita itu.
Maharani tersenyum riang, mengikuti pria dengan tinggi 188 cm itu menuju si calon model yang sedang asik ngobrol dengan teman-temannya.
“Oi, John,” pria itu melambaikan tangan pada Dona, “ikut makan-makan gak? Anak-anak pada mau makan di pecel ayam,” katanya.
“Ikutlah, laper nih,” jawabnya ringan dan riang. “Eh, ada yang mau kenalan nih, Bas,” Johnny merangkul adiknya itu.
“Maharani, Kak,” Maharani mengulurkan tangannya dan dengan sigap ‘Bas’ ini langsung berdiri dan menyambut ularan tangannya.
“Baskara.”
“Boleh to do point ya kak?” Baskara menjawab dengan anggukkan. “Iya jadi saya punya clothing brand, Hera namanya. Kami mau launch koleksi olahraga dan 2 minggu lagi, tanggal 25 Maret, kami ada pemotretan buat launching produk baru. Nah kami butuh model, dan saya liat kakak cocok. Kakak mau gak jadi model buat Hera?” tanya Maharani, “Weekend kok pemotretannya,” katanya buru-buru menambahkan.
“Heem gimana yaa,” wajah Baskara menggambarkan keraguan.
“Please,” dengan alis yang mengkerut penuh harap pria tinggi itu bisa menjadi modelnya, “eeem, kakak bisa pikirin lagi. Tapi please kasih jawab yang positif ya,” senyum Maharani mengembang.
“Gua pikirin dulu ya. Deadline kapan nih?”
“Duh kayak lagi nugas ke dosen,” celetuk Maharani membuat Baskara tertawa, “heem sebelum jumat minggu depan gimana? Saya kasih Kak Baskara waktu mikir seminggu.”
“Oke. Gua usahain sebelum itu udah kasih kabar ya, Maharani. Gak usah kaku-kaku gitu lah ngobrolnya,” ledeknya.
Cengiran lebar mengembar di wajah Maharani, “thanks a lot, Kak. Oh iya,” gadis tinggi itu memberikan kartu namanya. “Kalo udah ada jawabannya, bisa langsung kontek gua di situ kak.”
“Oke. Sebentar,” Baskara merogoh tas dan mengambil dompet hitam. Mengeluarkan selembar kartu namanya dan memberikan kepada Maharani yang diikuti ucapan terima kasih dari gadis itu.
“Nanti ikutan juga ya makan-makan,” ajak Baskara.
“Ikut boleh kan, Bang?” tanyanya memasang wajah manisnya kepada Johnny.
“Gak gua ajak juga lo pasti mau ikut kalo soal makan-makan,” ledek Johnny membuat Maharani memanyunkan bibirnya.
“Ya basa basi dikit siiiih,” katanya memukul lengan sepupu iparnya itu.
Johnny tertawa dan berkata, “udah kan kenalannya? Gua mau mandi dulu. Gerah banget.”
“Iya udah. Makasih waktunya ya, Kak Baskara. Gue balik ke sana dulu sama Kak Dona.”
“Oke.”
Maharani yang merasa senang malam itu berjalan sambil melompat-lompat sampai dia kembali duduk di samping Dona. Baskara yang memperhatian itu hanya bisa tersenyum lebar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
...♥
...
Hari Kamis tiba. Maharani masih pusing perkara modelnya dan selalu memantau ponselnya. Sampai sore ini, pria tinggi yang ia temui di lapangan futsal itu belum juga memberikan kabar.
Tim produksi yang memasang iklan untuk model pun, masih menyeleksi model yang cocok untuk produk mereka kali ini. Termasuk menyeleksi model dari agensi model. Namun, Maharani masih menanti jawaban dari pria yang dia temui di lapangan futsal minggu lalu, dan berharap ada jawaban positif dari pria itu. Padatnya jadwal, pekerjaan, deadline untuk launching produk baru ini, sedikit banyak menyumbangkan sakit kepalanya sore menjelang malam itu.
Ami, sekretaris Maharani, memberikan beberapa laporan dan juga jadwal Maharani untuk hari esok. Di tengah perbincangan serius mereka, ponsel Maharani berdering. Menunjukkan nomor yang dia tidak kenal.
“Halo, selamat sore.”
“Hallo. Sore, Maharani. Ini gue Baskara,” suara berat di sebrang sana membuat Maharani berdoa kalau pria itu menghubunginya karena ada kabar baik.
“HAI!” Maharani sangat bersemangat, “hai, Kak,” dia menyapa pria itu dengan lebih tenang.
“Sorry gua baru hubungin sekarang. Maaf bukan maksud mau ngelupain. Minggu depan gua bisa. Kalau tawaran dari lo masih berlaku.”
“MASIH!” Maharani semakin semangat. Dia bisa mendengar suara tawa yang merdu dari sebrang sana, “eh maaf. Masih kok, Kak. Makasih banyak loh, Kak. Kakak besok ada jadwal kosong? Atau lusa?
“Bentar ya. heeeem. Besok sore?”
“Oke. Jam berapa kira-kira kita bisa ketemu besok?”
“Jaaaaaaam setengah tujuhan kali ya.”
“Oke. Besok kita ketemuan ya, Kak. Mau kasih soal kontrak sekalian jelasin buat pemotretannya.”
“Kontrak?”
“Iya kontrak,” hening, “kak? Kakak gak mikir gua minta tolong cuma-cuma, kan?”
Gelak suara tawa berat disebrang sana terdengar merdu ditelinga Maharani, “sumpah gak kepikiran,” ucap Baskara.
“Kak?” Maharani tertawa, “Ada kontraknya jelas. Ada bayarannya juga.”
“Ketemu dimana besok?”
“Mau sekalian dinner gak?”
“Dinner meeting? Sound good.”
“Kita ketemuan di Poke Sushi gimana?”
“Oke. Kalo gua besok udah meluncur gua kabarin lo.”
“Oke. Thanks again, Kak.”
“Gua yang makasih harusnya. See you tomorrow?”
“See you tomorrow, Kak,” Maharani meletakkan ponselnya dengan wajah riang dan senang. Bebannya terangkat sudah.
“Amiiii,” Maharani keluar ruang kerjanya dan berdiri di depan meja sang sekretaris dengan wajah senang, “bilangin ke anak marketing sama anak produksi, modelnya udah ada.”
“Udah dapet jadinya, Mbak?”
“Udah udah. Barusan ini orang yang gua tunggu-tunggu.”
Wajah Maharani sore itu cerah seketika. Setidaknya, kepalanya tak terlalu terasa pusing untuk melanjutkan pekerjaannya yang masih ada di kantor.
...♥...
Maharani langsung meluncur ke Poke Sushi setelah sebelumnya mengabari Baskara kalau dia jalan ke tempat makan sushi itu. Setelah sampai di tempat makan itu, Maharani langsung menenteng tas lengkap dengan iPad dan juga map berisikan kontrak untuk pemotretan minggu depan.
“Loh? Kok udah sampe aja sih Kak?” tanya Maharani melihat pria itu di parkiran.
“Hai,” sapanya, “iya, takut lo nunggu lama.”
“Ih, padahal kalo emang masih ada kerjaan mah gak apa-apa.”
“Yuk,” ajak Baskara masuk ke dalam tempat makan jepang itu. Untung malam itu tak terlalu ramai.
Maharani langsung memesan sushi plater, crab salad, ice tea untunya dan ice orange untuk Baskara juga green tea ice cream untuk dirinya.
“Pelan-pelan, Ara,” kata Baskara melihat Maharani yang begitu lahap.
Mendengar nama Ara keluar dari mulut pria yang duduk di depannya membuat gadis tinggi itu langsung menatap mata pria tersebut.
“Eh? Sorry,” Baskara melihat wajah kaget wanita yang duduk di hadapannya. Seperti tak biasa mendengar sebutan itu, “tempo lalu gua denger lo dipanggil Ara sama Johnny dan Dona.”
“Gak apa-apa kak. Kenapa minta maaf sih?” katanya tertawa ringan.
“Abis lo kayak kaget gitu.”
“Kaget aja. Biasanya yang manggil gua Ara cuma keluarga. Orang-orang pasti manggil gua Rani,” katanya.
“Jadi gua manggil lo apa?”
“Panggil Ara aja gak apa-apa, Kak.”
“Lo tau gak sih tawaran lo bikin gua bimbang?”
“Kenapa?”
“Gua gak ada bakat apa-apa soal pemotretan. Lebih sering di belakang layar, alias megang kamera. Nanti kerjaan orang jadi berantakan, terus barangnya gak laku gimana ini. Sampe gua tanya ke temen-temen gua gimana baiknya. Sampe akhirnya gua terima.”
“Serius?”
Baskara mengangguk, “itu juga yang bikin gua lama kasih jawaban. Selain emang sibuk sama kerjaan.”
“Tenang aja, Kak. Lo cocok banget kok jadi model. Masa tampang kece, body oke gini gak jadi model?” puji Maharani membuat Baskara tertawa, “jangan salah, pas lo lagi asik main bola itu, gua kepoin IG lo. Nanya ke Kak Dona, dan liat dari feed lo, oke kok elo jadi model. Oke banget.”
Baskara menggaruk tengkuknya yang tak gatal mendengar pujian dari gadis di depannya.
“Lo tenang aja, Kak, nanti fotografernya juga bakal bantu kok.”
“Mohon bantuannya dengan sangat ya, Ibu Maharani.”
“Sama-sama ya, Bapak Baskara,” tersenyum lebar dan cerah.
Selesai mereka makan, Maharani langsung menunjukkan produk yang akan dia launching juga konsep pemotretan. Baskara yang sudah terbiasa dengan pemotretan mengerti gambaran yang diberikan oleh Maharani.
Kontrak kerja yang hanya sehari itu pun dijabarkan. Termasuk bayaran yang diterima Baskara dan juga tentang wajahnya yang akan terpampang di IG dan website dari Hera, iklan dan katalog.
“Thank you, Kak,” Maharani memberikan salah satu map berisikan kontrak mereka kepada Baskara.
“Lo udah dari kapan ngerintis usaha ini?”
“Heeem, dari tahun 2018. Masih terbilang baru.”
“Keren. Udah 3 taun dan udah lumayan gede.”
“Masih belajar jalan kak. Belum gede. Ambisi gua buat Hera jadi besar dan kebanggan orang-orang Indonesia dan internasional. Jadi tempat one stop shopping kebutuhan akan pakaian buat cewek dan cowok.”
Baskara terbelalak dan tersenyum lebar. Merasa senang dan bangga pada gadis yang ada di depannya.
“Inspirational,” katanya mengangguk-anggukkan kepala.
Obrolan mereka malam itu terus bergulir. Saling menanyakan tentang pekerjaan, kuliah dimana yang membuat Baskara kaget karena ternyata mereka satu almamater.
...♥...
Pemotretan dimulai. Maharani mengawasi jalannya pemotretan yang dilakukan outdoor sejak pagi buta itu. Ada 7 model yang meragakan dresses, skort, blouse, kemeja casual untuk pria, polo shirt, rok, jeans, yang bertemakan summer. Bahan yang di gunakan Hera kebanyakan adalah bahan yang menyerap keringat, cocok untuk cuaca Indonesia yang panas. Dengan sasaran utama mahasiswa dan pekerja kantoran, Maharani ingin eksplore sisi lain target utama pembelinya untuk different occasions. Koleksi kali ini lebih kepada kebutuhan untuk bersantai, piknik, berlibur, atau ke pantai, namun tetap terlihat stylist dan nyaman.
“Yang ini oke,” kata Maharani memperhatikan layar monitor milik sang fotografer.
Rangga, sang fotografer, juga menyetujui pendapat Maharani. Mereka sudah mendapatkan semua A cut. "Oke, done!” seru sang fotografer di sesi foto terakhir mereka.
“Thank you, Mas Rangga. Foto-foto lo gak pernah mengecewakan.”
“Itu siapa by the way? Gua gak pernah liat. Model baru?”
“Bukan model sih sebenernya. Tapi oke kan dia, Mas?”
“Keren banget. Udah macem model pro.”
Senyum Maharani mengembang hingga matanya membentuk bulan sabit. Sangat senang mendengar pujian untuk pria yang kenal beberapa waktu belakangan.
“Thank you semuanya!” Maharani menghampiri kelima modelnya yang sedang berteduh di bawah tenda yang dipasang dekat pohon rindang yang ada di taman itu. “Kalian ada jadwal lagi gak? Kita makan siang bareng dulu yuk,” ajak Maharani yang diiyakan oleh seluruh kru yang ada di sana.
Siang itu, Maharani dan seluruh timnya berpindah ke rumah makan padang pagi sore untuk menikmati makan siang mereka. Totalnya ada 17 orang termasuk Maharani yang sudah tak sabar ingin mengisi perut yang sudah demo sejak pagi tak di isi makan.
...♥...
“Bas,” sapa Jemmy, sahabat Baskara sekaligus salah satu pendiri Raghamy. Raghamy didirikan Baskara bersama kedua sahabatnya, Jemmy yang juga seorang arsitek, dan Ghani, sahabatnya sejak SMA yang seorang interior designer. Jemmy dan Baskara adalah teman dekat sejak mereka masuk kampus, dan Baskara mengenalkan Ghani yang merupakan lulusan Ausie kepada Jemmy. Kedua tamannya itu bisa langsung akrab karena sama-sama memiliki ketertarikan pada olahraga terutama bola.
Didirikan pada 23 Oktober 2018 oleh mereka bertiga. Mencari klien, ikut tender, membuka workshop untuk pekerjaan interior, hingga kini sudah merampungkan dari proyek rumah, perumahan, ruko, mall, café, restorant, hingga high rise building seperti office dan apartment.
Kantor mereka berlokasi di daerah panglima polim. Menyewa rumah kecil yang cukup bisa menampung mereka bertiga plus 3 orang karyawannya juga rak berisikan berkas-berkas dan buku. Ketiga pria itu juga memiliki posisinya masing-masing di kantor, Baskara sebagai Direktur, Jemmy yang mengurusi bangian keuangan dan Ghani bagian HR dan administration.
“Minggu ini mau mereka kerjain renov yang kita minta sekaligus masangin signage.” Jemmy menjelaskan rencana kebutuhan ruangan mereka.
Raghamy berencana untuk pindah kantor serta menambah sumber daya karena project mereka yang cukup banyak tak sanggup untuk dikerjakan 6 orang. Sejauh ini, sudah ada beberapa orang yang melamar.
Selesai membahas calon kantor baru mereka, Baskara kembali melanjutkan pekerjaannya. Sangat fokus sampai alisnya berkerut. Kalau muka Baskara lagi settingan serius gini, suka dibilang serem dan galak. Bahkan karyawan pertama mereka, Dewo, pernah bilang kalau Baskara itu serem kalau lagi serius kerja. Sejak pertama kali ketemu pun Dewo sudah segan dengan pria itu karena settingan mukanya yang tak santai kala itu. Tapi setelah berbulan-bulan jadi karyawan di sana dan kenal baik dengan sang atasan, Dewo menghapus pikirannya itu. Hal yang sama juga dialami Wuri, karyawan yang masuk pertengahan 2019. Dibandingkan dengan Jemmy yang selengekan, rame dan tengil, Baskara lebih preserve, kalem, ganteng, serem juga gak banyak omong.
Setidaknya dengan orang yang baru dia kenal, orang yang tidak dekat dengannya. Kalau sudah kenal akrab, Baskara akan banyak ngomong dan lebih jail dari Jemmy. Sisi yang tidak semua orang lihat dari Baskara.
Jam menunjukkan pukul 3 sore. Ghani sudah pulang dari meeting-nya. Baskara langsung mengajak meeting internal untuk membahas proyek restaurant yang baru sama mereka dapatkan kemarin. Mulai dari konsep yang diinginkan client, material, color scheme, lighting, hingga furniture. Ya, proyek restaurant ini lebih kepada pekerjaan interior dan bongkaran. Gedung lama yang ada juga akan disesuaikan dengan fungsi sebagai tempat makan. Sang owner juga menyerahkan pengerjaan area parkir restaurantnya yang memang tak terlalu besar.
“Kayaknya cukup ya,” ujar Ghani yang diikuti anggukan keempat kepala lainnya. “Nanti gua mulai langsung bikin konsepannya sembari lo analisa fasad & area parkir sesuai bahasan kita tadi ya.”
“Oke, sip,” kata Baskara. “Dewo nanti bantu Ghani buat bikin konsepnya ya,” tambahnya.
“Siap, Mas.”
...♥...
Malamnya, saat Baskara baru saja merebahkan tubuhnya setelah mandi, ponselnya terus-terusan berdenting. Tanda ada pesan masuk beruntun. Dia langsung membuka kotak chat Maharani yang membuat ponselnya terus menerus berdenting itu.
Baskara tersenyum.
Baskara meninggalkan ponselnya di kasur dan berjalan ke meja kerjanya. Menyalakan laptop. Berniat untuk melanjutkan pekerjaannya. Beberapa pekerjaan selalu membuatnya kembali bekerja bahkan saat sudah di rumah. Dimana seharusnya dia beristirahat. Kebiasaan Baskara sejak tahun lalu. Selalu menyibukkan dirinya dengan pekerjaan.
...♥...
“Hey, Ra, Don,” sapa Baskara yang baru datang ke lapangan hijau itu. Jumat itu, mereka tak main futsal, melainkan sepak bola untuk minggu ini.
“Hai, baru beres kerja, Kak?” tanya Maharani.
“Kirain gak dateng lo,” ucap Dona.
“He-em nih. Beresin kerjaan dikit dulu tadi.”
“Duh sibuk ya si bapak,” goda Dona, “pemanasan deh sana lo.”
“Tinggal dulu ya, Ara, Dona.”
“Yoi, Kak.”
Dona mengamati sepupunya dan pria tampan nan tinggi tadi.
“Kenape sih?” kata Maharani yang sendari tadi menyadari dilihat oleh Dona dengan tatapan penuh curiga.
“Kok kayaknya deket banget.”
“Biasa aja, Kak.”
“Masa?”
“Iya ih.”
“Emang gak pernah chattingan atau apa gitu? Kok keliatan deket?”
“Enggak. Chattingan juga bahasannya cuma soal yang pemotretan kemaren doang. Lo aja kali yang ngerasa gitu,” ucap Maharani terkekeh.
“Yaa kalo kalian bisa deket gak apa-apa juga sih, Ra. Gak ada salahnya nyoba kenal sama orang baru, deket, siapa tau cocok,” katanya.
“Here we go again,” Maharani memutar bola matanya.
Dona tertawa, “dia ganteng kan, Ra?”
“Ganteng, kak.”
“Tinggi pula.”
“He-eh.”
“Liat badannya, strong af,” kata Dona terus berusaha menggoda sepupunya itu.
“Kak?” Maharani menatap lurus sepupunya, dan kemudian tertawa, “gua aduin Bang Johnny lo drooling over other man.”
“Heh,” Dona tertawa dan memukul paha sepupunya, “gua kan godain lo.”
“Duuuuh, gua gak buta kak,” katanya tertawa. Obrolan mereka bergulir hingga tak terasa, permainan bola di lapangan hijau itu sudah selesai.
“Seru banget sih,” Johnny datang menghampiri mereka dengan pakaiannya yang basah penuh keringat. Bahkan rambutnya yang tadi masih tertata rapi sudah berantakan.
“Jooo, laper deh aku,” kata Dona dengan manjanya pada sang suami.
“Kamu mau makan apa?”
“Maunya sih kamu,” godanya diiringi suara tawa dari sang suami.
“Kamu nih,” Jonny mencubit hidung Dona gemas, “gak usah mancing-mancing.”
“Hadeeeeeeehh. Padahal tadi aja ada yang bilang cowok laen ganteng.”
“Nakal,” Johnny mengecup bibir Dona singkat sebelum mengangkat tasnya, “aku mandi dulu. Gerah. Kamu pikirin ya mau makan apa. Aku juga laper.”
“Siap bos.”
“Lo jadi nginep?”
“Enggak deh. Gua balik aja. Lo kayaknya ada agenda lain nanti.”
Dona tertawa, “elah becanda doang. Lo katanya males sendirian di rumah.”
“Iya sih.”
“Makan yuk,” ajak Baskara yang menghampiri kedua wanita cantik itu.
“Buset cepet amat, Kak. Mandi bebek ya?”
“Sial. Mandi bener lah.”
“Lo mau makan dimana, Kak? Gua ikut dong. Males sama pasutri.”
“Hem, sate taichan yuk.”
“Ih mau. Gua udah lama bm sate taichan.”
“Pake motor gua aja nanti ke sananya. Deket kok. Nanti kita balik lagi ke sini ambil mobil lo gimana? Biar gak susah nyari parkiran.”
“Okidokiiii.”
“Jangan kaget ya kalo nanti dia nambah 2 porsi, Bas,” ujar Dona.
Baskara tertawa ringan dan mengangguk mendengar perkataan Dona.
“Udah nentuin mau makan apa?” tanya Johnny yang sudah selesai mandi.
“Kamu.”
“Yang bener aja dong, Babe,” tawa Johnny.
“Tuh liat kan, Kak. Gitu tuh. Males makanya. Padahal gua ada niat mo nginep di tempat mereka. Males di rumah sendirian.”
“Lo aja Bas temenin ade gua di rumahnya,” ujar Dona asal.
“Lo gila!” kata Baskara cepat membuat Dona tertawa.
“Becanda,” katanya, “kalo ada yang berani juga, bakal langsung di piting sama bokapnya Ara nanti. Paper lunch yuk, Jo,” sang suami mengangguk setuju dengan menu makan malam mereka.
“Dah yuk ah. Lo ikut kan, Ra, Bas?” tanya Johnny.
“Enggak ah. Gua mau sate taichan aja.”
“Oh ya udah. Gua duluan. Kalo jadi ke rumah kabarin,” ucapnya dan berpamitan dengan Baskara sebelum menghilang dari lapangan bola dengan mobil audi putihnya.
“Yuk. Helmnya,” Baskara memberikan helm cadangan yang selalu ada di motornya dan membantu gadis itu mengaitkan pengencang helm.
“Thank you.”
“Pegangan ya.”
“Eh?”
“Pegang aja baju gua, Ra,” balas Baskara.
Untung Maharani gak keburu mikir pria ini lagi modus ke dia. Gadis tinggi itu pun menggenggam jaket hijau yang dikenakan Baskara. Sembari menceritakan tentang gimana tadi dia super senang karena feedback produk terbarunya yang menyenangkan.
Berdua dengan Baskara gak pernah membuat Maharani kehabisan topik. Ada aja bahan obrolan di antara mereka. Dari hal dimana Maharani heran melihat pelangi padahal hari itu gak hujan sama sekali sampai masalah ekonomi Indonesia.
...♥...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!