“Hoaaam…” Lyra menguap panjang sambil meregangkan tangan. Tubuhnya masih terasa berat seolah habis tidur sangat lama.
Ia membuka mata perlahan—dan langsung mengerjap bingung.
“…Lho?” Matanya menyapu sekeliling ruangan asing yang tak dikenalnya.
Dinding putih polos, lemari kayu yang kusam, dan sebuah cermin besar berdiri di pojok ruangan. Tak ada satu pun yang terlihat familiar.
“Ini… di mana?!” serunya panik.
Lyra beranjak dari tempat tidur, berjalan mondar-mandir seperti ayam kehilangan induk. Jantungnya berdegup kencang, dan ia bahkan sempat mencubit pipinya sendiri.
“Auw! Sakit… berarti ini bukan mimpi.”
Pandangan Lyra kemudian tertumbuk pada cermin besar di sudut kamar. Rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Ia mendekat perlahan.
Begitu melihat pantulan di sana, Lyra langsung menjerit.
“AAAKHHHH!! SIAPA ITU?!”
Seorang gadis bertubuh gempal, pipi tembam, wajah penuh jerawat, dan rambut awut-awutan menatap balik padanya.
Lyra buru-buru meraba wajahnya sendiri. “T-tidak… ini nggak mungkin… KENAPA AKU JADI BEGINI?!”
Belum sempat ia berpikir lebih jauh, rasa sakit luar biasa tiba-tiba menghantam kepalanya.
“Aaarghh!!” Lyra memegangi kepalanya. Ingatan asing menyerbu masuk—seperti ratusan film diputar sekaligus dalam otaknya.
Gambar-gambar muncul: ia bekerja di sebuah perusahaan… jadi karyawan baru… sering ditumpuki pekerjaan… dan dibully habis-habisan oleh rekan kerja.
“Hah? Aku… pegawai baru? Sering dibully? Ya ampun hidupmu mengenaskan banget, dek…” gumam Lyra, matanya mulai berair saking pusingnya.
Lalu potongan memori lain muncul: tubuh ini yang akhirnya mati karena kelelahan dan kesehatan yang buruk.
Lyra tercekat. “Jadi… aku… transmigrasi?!”
Tapi tiba-tiba—kilatan lain muncul di kepalanya. Sebuah buku. Sampulnya familiar.
“Eeeh bentar… aku kayak… kenal cerita ini…”
Ia menepuk keningnya keras-keras.
“ASTAGAAA!!! Ini novel Putri Palsu yang Dicintai Semua Orang!!!”
Lyra terduduk lemas di lantai. “Jangan bilang… aku jadi TOKOH PENJAHATNYA?!”
Memori dalam kepalanya semakin jelas, seperti seseorang yang sedang membacakan narasi novel: Lina Kandiswara, gadis cantik yang baik hati dan dicintai semua orang… keluarga kaya raya super berpengaruh di Jakarta… rahasia besar bahwa Lina bukan putri kandung… dan—
“ASTAGAAAAA!! Tubuh yang aku tempati ini tuh putri asli yang jadi antagonisnya!”
Ia langsung merangkak ke pojok ruangan sambil memeluk lutut. “Hidupku tamat sudah…”
Lyra mengingat dengan jelas akhir cerita tragis si putri asli—dibuang ke hutan oleh keluarga sendiri setelah gagal operasi, sedangkan Lina hidup bahagia bersama pengusaha tampan Adrian Martadinata.
“OH NO NO NO NO!” Lyra mengguncang kepalanya. “Aku nggak mau mati konyol begitu!”
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Lalu, dengan ekspresi serius yang jarang terlihat darinya, Lyra berdiri dan mengepalkan tangan.
“Baiklah! Aku akan jadi orang baik! Aku akan menjauh dari Lina dan keluarga Kandiswara, dan hidup bahagia jauh dari konflik! Ya, ini rencana yang sempurna!”
…
Krucukkk…
Suara perutnya yang berbunyi keras menghancurkan aura serius itu.
“…Tapi sebelumnya aku harus makan dulu,” gumamnya malu sendiri.
Lyra berjalan ke dapur, mengambil tiga bungkus mie instan—karena dua bungkus rasanya kurang, tapi empat bungkus terlalu banyak. Ia menyalakan kompor, menuang air ke panci, lalu mulai bersenandung riang.
“Du-du-du-du-du~ mie enak mie lezat mie bahagia~”
Tiba-tiba—PRAAANG! Sebuah benda jatuh menimpa kepalanya.
“AWWW! Hidupku ini penuh cobaan ya Tuhan…”
(Ding! Sistem Kaya Cepat aktif!)
“HAH?!” Lyra melongo melihat layar hologram transparan yang muncul di depannya.
“WOAAAH JACKPOT! Aku hampir lupa, transmigrasi tuh pasti ada cheat-nya!” serunya kegirangan.
“Ya, ya! Aku mau ikat sistem ini!”
(Ding! Sistem berhasil diikat. Selamat, Host!)
“Host? Jangan panggil host dong, aneh. Panggil aku Lyra aja!”
(Ding! Baik, Lyra.)
(Ding! Misi sampingan: beri nama untuk sistem.)
“Nama ya? Hmm… Zen! Gampang diingat!”
(Ding! Misi berhasil. Hadiah pemula diterima.)
“Eh, ada hadiahnya?” Lyra membuka hadiah itu, matanya langsung berbinar.
“WHATTT?! Pil pelangsing, pil pemutih, sama pil ingatan fotografis?! Ini cheat premium dong!”
Tak butuh waktu lama, Lyra meminum semua pil itu (setelah sedikit drama dengan Zen soal efek samping).
Beberapa menit kemudian, setelah adegan dramatis di kamar mandi yang sangat… bau…
Lyra berdiri di depan cermin. Ia menatap pantulan dirinya—tubuh ramping, kulit mulus, bibir merah merona. Matanya berbinar.
“Zen, aku janji bakal buat tubuh ini bahagia!” katanya penuh tekad.
…
“Eh, tapi kayaknya aku ada yang lupa ya?”
(Ding! Lyra sedang bikin mie setengah jam yang lalu.)
“AHHHH MIE KU!!”
Lyra menatap panci gosong di depannya, pasrah.
“Ya sudahlah… aku beli aja.”
Lyra mengenakan celana panjang hitam dan kemeja polos yang baru saja disetrika. Ia berdiri di depan cermin, memutar tubuh ke kanan-kiri, lalu tersenyum lebar.
“Wahhh… cantiknya aku! Mana ada orang secantik ini di dunia?!” serunya sambil berkedip ke pantulan dirinya sendiri.
(Ding! Host terlalu narsis.)
“Biarin aja, Zen. Kamu iri ya, makanya komentar?” Lyra mendecak, lalu merapikan rambutnya yang kini jatuh indah di pundak.
“Eh, Zen, buka data diri dong!”
(Ding! Membuka data diri.)
Nama: Lyra Kandiswara
Umur: 19 tahun
Tinggi: 160+ cm
Penampilan: 70+ (cantik)
IQ: 110+ (normal)
Keterampilan: Mengemudi, Membaca
Aset: Rp 250.000
Poin: 3
Lyra membaca datanya dengan mata berbinar. “Hmm… yang ada tanda plus-plus itu maksudnya apa, Zen?”
(Ding! Plus berarti bisa ditingkatkan pakai poin. Poin didapat dari check-in atau misi sampingan.)
“OOOH, gitu ya!” Lyra mengetuk dagunya bak ilmuwan jenius. “Kalau begitu… tambahkan satu ke penampilan, satu ke tinggi badan, dan satu lagi ke IQ!”
(Ding! Poin berhasil ditambahkan.)
Data diperbarui:
Nama: Lyra Kandiswara
Tinggi: 161+ cm
Penampilan: 71+ (cantik)
IQ: 111+ (normal)
Aset: Rp.250.000
Poin: 0
Lyra bertepuk tangan girang. “Perfect! Eh tapi… kok asetku Cuma 250 ribu doang?” Ia menatap layar dengan tatapan pilu.
“Kapan aku bisa jadi sultan kaya raya, Zen?”
(Ding! Jangan khawatir. Dengan Zen, Lyra akan jadi orang terkaya sedunia.)
“Ya ampun, aku suka banget optimisme kamu, Zen!” Lyra ngakak sambil mengepalkan tangan. “Oke, ayo kita mulai perjalanan jadi cewek sultan!”
Lyra berjalan menyusuri pinggir kota. Hiruk pikuk kendaraan, suara klakson, dan teriakan pedagang kaki lima bercampur jadi satu.
Tiba-tiba—SREEEEET! Aroma gurih pedas menusuk hidungnya. Ia menoleh ke kanan, menemukan sebuah kedai seblak dengan banner warna-warni yang menggoda iman.
“Oh my gosh… kayaknya aku udah jodoh sama kedai ini.”
Perutnya ikut berbunyi setuju. Krucuuuk~
Lyra masuk dengan langkah ringan. “Kak, aku pesan seblak spesial sama es teh jumbo, ya!”
“Baik, atas nama siapa, Kak?” tanya kasir yang ramah.
“Lyra!”
Kasir itu menulis namanya di kertas kecil, lalu menancapkannya ke besi panjang dekat dapur.
Sambil menunggu, Lyra memilih duduk di bilik kecil yang cozy. “Wih, konsepnya kayak Jepang-Jepangan gitu, aku suka! Privasi terjamin, nggak kayak meja terbuka di warkop.”
Tak lama, pelayan datang sambil membawa mangkok besar mengepul.
“Malam, Kak Lyra. Ini seblak spesial sama es teh jumbonya, ya. Selamat makan!”
“Makasihhhh~” Lyra langsung mengatupkan tangan gaya dramatis. “Oke, ayo masuk ke perutku yang kosong!”
Sendok pertama—
“WOAAAAH INI ENAK BANGET!!!” seru Lyra sampai hampir berdiri dari kursinya.
Pedasnya menusuk, gurihnya pas, dan tekstur kerupuknya… surga.
“Pedesss—hah—tapi nagih banget!” Ia buru-buru menyeruput es tehnya. “Aaaaaah segerrr! Ini definisi kebahagiaan sederhana, Zen!”
(Ding! Sistem ikut senang melihat Host bahagia.)
Lyra ngakak. “Gila, Zen, kamu wholesome banget!”
______________________________________________
Setelah makan, Lyra berjalan-jalan ke taman kota. Malam itu ramai anak-anak bermain gelembung sabun, pasangan muda-mudi duduk di bangku taman, dan para pedagang sibuk memanggil pembeli.
“Wah, suasananya enak banget. Jakarta bagian sini ternyata nggak terlalu sumpek ya…” Lyra menghirup udara malam.
Tapi ketenangan itu buyar ketika sebuah suara melengking memanggilnya.
“Heh, Lyra!”
Lyra menoleh—dan matanya langsung menyipit.
“Oh, ya ampun… Ria…” gumamnya datar.
Ria, senior kantor yang dulu hobi membully tubuh asli Lyra, berjalan mendekat dengan cowok berambut berminyak yang tampak… tidak menarik sama sekali.
“Ada apa?” tanya Lyra singkat.
Ria memandangnya dengan tatapan menilai. “Ohhh, udah berani kamu sekarang, ya?”
“Aku Cuma lagi nggak mood buat drama, Ria. Mau apa?”
Tanpa basa-basi, Ria menarik tangan Lyra kasar. “Beliin aku minuman di sana. Aku males antri. Ku tunggu, ya!”
Lyra tersenyum—senyum manis yang bikin bulu kuduk merinding.
“Kamu nggak punya tangan sama kaki, ya? Atau… otakmu lagi liburan di rumah?” tanyanya ramah, tapi nadanya menusuk.
“APA?!” Ria melotot.
“Pertama, ini bukan kantor. Kedua, aku benci disuruh-suruh. Ketiga, aku bukan pembantu atau orang tuamu. Jadi… bye-bye~”
Lyra melambai anggun, lalu melengos pergi begitu saja.
“Kurang ajar!!!” Ria hendak mengejarnya, tapi cowok berminyak di sebelahnya menahan.
“Udah, kita beli yang lain aja. Ribet banget sama cewek kayak gitu.”
“Awas aja besok, Lyra! Liatin aja nanti!” geram Ria sambil mengepalkan tangan.
Lyra akhirnya sampai di kontrakan mungilnya. Begitu pintu tertutup, ia langsung menjatuhkan tubuh ke ranjang.
“Fiuh… hari ini lumayan seru juga. Makan enak, jalan-jalan, bikin Ria sakit hati. Not bad.”
(Ding! Host terlihat puas dengan hidupnya.)
“Zen, besok aku mau cari cara biar makin kaya, ya. Kita harus naik level nih!”
(Ding! Siap, Lyra. Besok jangan lupa untuk masuk.)
“Yoshhh! Sekarang… waktunya tidur cantik. Selamat malam, Zen.”
(Ding! Selamat malam, Lyra.)
Tak butuh waktu lama, Lyra pun terlelap senyuman puas masih tersungging di wajahnya.
Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai kamar kontrakan Lyra yang kecil namun hangat. Lyra membuka mata perlahan, menguap panjang sambil menggeliat.
Sejenak ia memandang langit-langit kosong, otaknya masih loading.
“...Eh, iya! Aku bukan Lyra yang kemarin. Aku transmigrasi! Dan aku punya sistem!”
“Zen…” panggil Lyra dengan suara pelan, sedikit ragu.
(Ding! Selamat pagi, Lyra. Apakah ingin check-in hari ini? Ya/Tidak.)
“Ya, mau dong!” jawab Lyra sambil duduk tegak.
(Ding! Selamat, Lyra mendapatkan uang tunai Rp10.000.000, sebuah vila nomor 10 di Starlight, dan 1 poin!)
Sejenak Lyra hanya melongo. Lalu matanya membesar, mulutnya terbuka lebar.
“APA?!”
Ia melompat turun dari kasur, membuka ponsel, mengetik “Vila Starlight harga”.
Begitu melihat harga per meter yang mencapai puluhan juta, Lyra nyaris jatuh terduduk.
“ZEN… INI BENERAN?! Aku… aku baru bangun tidur dan langsung jadi orang kaya?!”
(Ding! Sudah dipastikan asli, Lyra.)
Lyra menutup mulutnya dengan kedua tangan, wajahnya campuran antara shock, euforia, dan tawa gila.
“Aku… aku punya vila seharga miliaran… HAHAHAHA!”
Ia berguling di kasur seperti anak kecil, memeluk bantal sambil ngakak tidak terkendali.
Butuh lima menit sampai akhirnya Lyra bisa bernapas normal. Ia mengusap pipinya yang sampai pegal karena terlalu banyak tertawa.
“Zen, buka data diri!”
(Ding! Membuka data diri.
Nama: Lyra Kandiswara
Umur: 19 tahun
Tinggi: 161+ cm
Penampilan: 71+ (cantik)
IQ: 111+ (normal)
Keterampilan: Mengemudi, Membaca
Aset: Rp10.200.000 + Vila Starlight
Poin: 1)
Lyra tersenyum puas. “Hmm… poinnya baru satu. Oke, aku simpan dulu deh. Kita harus strategi!”
(Ding! Zen mengingatkan bahwa pemilik tubuh asli masih bekerja di kantor. Host harus bersiap.)
Lyra mematung. “Oh iya… aku hampir lupa kalau aku masih punya kerjaan.”
Ia mendesah panjang, lalu berdiri. “Baiklah… saatnya berangkat kerja. Tapi kali ini, aku bukan Lyra yang dulu.”
...----------------...
Lyra bersiap rapi. Kemeja navy, celana kerja hitam, sedikit liptint, sunscreen, dan semprotan parfum wangi lembut. Rambutnya kini terlihat sehat dan indah, membuatnya tampak seperti orang baru.
Saat naik bus kota, Lyra duduk di dekat jendela, menikmati musik lewat earphone.
Tiba-tiba ia merasakan gerakan di sebelahnya. Seorang nenek duduk di kursi sampingnya.
Nenek itu menatap Lyra dengan ramah. “Mau ke mana, Nak?”
Lyra melepas earphonenya. “Kerja, Nek. Kalau Nenek?”
“Ah, Nenek mau ke supermarket. Kamu cantik sekali, Nak. Siapa namamu?”
“Lyra.”
Nenek itu tersenyum makin lebar. “Lyra, ya? Mau nggak sama cucu Nenek? Dia ganteng, kaya, baik, pokoknya idaman!”
Lyra hampir tersedak. “Ehh?! Nggak, Nek! Kasihan cucunya kalau nggak tau apa-apa…”
Nenek itu malah mengeluarkan kertas dan bolpoin, menulis nomor telepon. “Ini nomor Nenek. Nama cucu Nenek… Adrian Martadinata.”
Nenek itu turun di halte berikutnya, melambaikan tangan sebelum menghilang di antara kerumunan.
Lyra hanya bisa menatap kertas di tangannya, wajahnya merona karena shock.
(Ding! Nama Adrian Martadinata terdeteksi sebagai karakter penting dalam jalur cerita utama.)
Lyra menahan napas. “Serius? Tokoh utama cowok yang bikin pemilik tubuh asliku mati itu? Ih… gila. Aku nggak mau deket-deket!”
Setelah sampai kantor, Lyra absen dan duduk di mejanya. Baru beberapa detik ia bernapas lega, suara menyebalkan itu muncul.
“Nih, kerjain semua ya, Junior. Harus selesai hari ini.”
Ria senior yang paling Lyra benci meletakkan tumpukan berkas setinggi gunung di mejanya sambil tersenyum penuh kesombongan.
Beberapa rekan kerja melirik. Ada yang senyum simpul, ada yang pura-pura tak melihat.
Lyra menatap Ria dengan datar. “Ini bukan tugas aku. Kenapa aku yang harus kerjain?”
“Sebagai junior, kamu harus berterima kasih! Aku kasih tugas biar kamu terbiasa kerja keras. Anggap aja latihan.”
Lyra memiringkan kepalanya, menatap Ria seperti melihat badut sirkus. “Oh begitu…”
Ia berdiri, melangkah mendekat. “Ambil nggak.”
“Kalo nggak, kenapa?” Ria melipat tangan, menantang.
Lyra tersenyum tipis. “Ambil. Sekarang.”
Suasana kantor mendadak hening. Rekan-rekan lain mulai saling berbisik.
Ria mendengus, menepis berkas-berkas itu hingga jatuh berserakan di lantai. “Huh! Lihat aja nanti, kamu bakal nyesel!”
Beberapa menit kemudian, Ria kembali… dengan seorang pria yang Lyra kenal pacar Ria yang kemarin di taman.
“Sayang, dia berani sama aku!” ucap Ria manja sambil memeluk lengan pria itu.
Pria itu, Ardan Salindra, anak pemilik perusahaan, menatap Lyra dingin.
“Lyra, ini nggak pantas. Terlepas dari dia senior, kamu harus patuh.”
Lyra terdiam sebentar, lalu tersenyum tipis.
“Heh… sama-sama bodoh.”
“Apa?!”
“Untuk apa aku mengerjakan tugas yang bukan tugasku? Ada di kontrak kerja nggak aturan harus patuh sama Ria?”
Beberapa karyawan yang biasanya ikut membela Ria mulai terlihat gelisah.
“Hanya orang bodoh yang nurut seenaknya,” lanjut Lyra, nadanya dingin dan menusuk.
“Berani-beraninya kamu bicara begitu ke atasanmu!”
Lyra tersenyum lebih lebar. “Mantan atasan. Mulai detik ini… saya mengundurkan diri.”
Ia meraih tasnya, berjalan keluar dengan langkah anggun tanpa menoleh sedikit pun.
“KAU—KELUAR DARI SINI!” teriak Ardan dengan wajah merah padam.
...----------------...
Begitu pintu kantor tertutup di belakangnya, Lyra menarik napas panjang.
“Ahhh… udara di luar jauh lebih segar. Bye-bye drama kantor.”
(Ding! Host terlihat sangat puas.)
Lyra tertawa pelan. “Zen, hari ini aku resmi bebas. Kita mulai hidup yang baru, oke?”
(Ding! Siap, Lyra. Besok akan ada misi baru menantimu.)
Lyra berjalan pergi dengan langkah ringan, sementara di kejauhan, beberapa pasang mata yang tak ia kenal menatapnya penuh minat.
Sebuah mobil hitam mewah berhenti tak jauh dari sana. Jendela mobil sedikit terbuka, memperlihatkan mata seorang pria yang tengah mengamati Lyra dengan penuh rasa ingin tahu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!