NovelToon NovelToon

Dikhianati Keluarga, Dicintai Mafia

Pewaris Ornadi Corp

Ornadi Corporation bukan sekadar perusahaan, ia adalah sebuah kerajaan bisnis. Didirikan lebih dari lima dekade lalu oleh almarhum Damian Ornadi, sang visioner dari generasi lama yang membangun pilar bisnis dari nol, Ornadi Corp kini menjelma menjadi konglomerasi raksasa lintas industri: properti, perbankan, farmasi, energi, dan teknologi.

Kini, di tangan Reza Ornadi, anak tunggal Damian dan CEO aktif, kerajaan bisnis itu memasuki era kepemimpinan baru. Reza dikenal luas di kalangan bisnis sebagai sosok cepat, tegas, dan tanpa kompromi. Ia menyulap warisan ayahnya menjadi mesin bisnis berdarah dingin yang terus menaklukkan pasar Asia dan Eropa.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, satu nama mulai bergema lebih kencang dalam ruang-ruang rapat dan halaman utama media bisnis: Irene Brilian Ornadi.

Putri pertama dari Reza Ornadi dan mendiang istri pertamanya, Adellia Wiranata. Lulusan bidang ekonomi strategis dari London, dengan jejak magang rahasia di Silicon Valley. Tak hanya cerdas, Irene juga dikenal memiliki insting bisnis tajam yang melampaui usianya.

Dia adalah arsitek di balik kebangkitan Ornadi Tech—anak perusahaan yang sebelumnya terseok-seok di tengah badai digitalisasi. Ketika direksi lainnya siap menyerah, Irene justru melangkah masuk, meninjau ulang seluruh struktur operasional, dan kemudian membuat keputusan yang dianggap gila: mengakuisisi Lucentix, perusahaan teknologi dari Amerika yang nyaris bangkrut.

Namun keputusannya terbukti jitu. Hanya dalam dua tahun, Lucentix berubah menjadi pionir dalam sistem keamanan siber dan AI enterprise. Nilai saham Ornadi Tech melonjak 160% hanya dalam delapan bulan. Pasar saham pun menggila. Media menyambutnya sebagai “Putri Besi dari Jakarta.” Dunia korporat akhirnya menyadari: Pewaris Tahta Ornadi Corp telah bangkit.

***

PAGI ITU – RUANG RAPAT UTAMA, ORNADI GROUP TOWER

Ruang rapat utama di lantai teratas penuh sesak oleh deretan direksi dan analis. Suasana formal, tegang, dan penuh ekspektasi. Dinding kaca menyuguhkan pemandangan ibu kota yang ramai, namun semua mata tertuju pada satu sosok yang berdiri di depan layar besar.

Irene.

Berbalut jas putih elegan dan blouse silk abu keperakan, ia memegang remote presentasi dengan mantap. Rambutnya dikuncir rendah, dan di hadapan puluhan pasang mata tajam, ia tampil tenang.

Slide demi slide ia paparkan, membedah tren global cloud computing, strategi penetrasi pasar Asia Tenggara, dan yang paling menyita perhatian rencana akuisisi berikutnya: Q-Mind Corp, sebuah perusahaan neuroteknologi dari Amerika yang sedang dalam masa pra-IPO.

“...dan karena leverage valuasi yang kita miliki setelah merger dengan Lucentix,” Irene menjelaskan dengan nada mantap, “kita berkesempatan membeli 17% saham Q-Mind Corp melalui bursa Nasdaq, sebelum mereka go-public dua kuartal dari sekarang.”

Suara seorang direksi tua memecah suasana.

“Kau yakin langkah ini tidak terlalu berisiko, Nona Irene?”

Irene tak gentar. Ia memencet tombol remote dan menyorot grafik tren proyeksi ke layar.

“Risiko hanya terasa menakutkan jika kita tidak memahami potensi dan waktunya,” jawabnya tajam.

“Kami sudah mengunci valuasi awal. Setelah IPO, nilainya bisa melonjak tiga bahkan lima kali lipat.”

Sejenak, ruang rapat terdiam. Lalu, tepuk tangan perlahan mulai terdengar. Diikuti anggukan kepala dari sebagian besar jajaran direksi.

Namun satu sorotan mata memperhatikan Irene bukan dengan bangga, melainkan dingin, Vania Kartika, istri kedua Reza Ornadi. Wanita anggun bergaun pastel berdiri di sisi ruangan, mengenakan kalung mutiara halus dan senyum yang tak pernah sepenuhnya hangat pada Irene.

***

BEKAS KANTOR DAMIAN – BEBERAPA JAM SEBELUMNYA

Sebelum rapat dimulai, Reza Ornadi berdiri di depan jendela besar kantor yang dulunya milik ayahnya. Ia memandangi gedung-gedung pencakar langit Jakarta dengan tangan di belakang punggung.

“Pak, direksi sudah berkumpul,” ujar sekretarisnya dari pintu.

Reza mengangguk.

“Tunggu sebentar.”

Ia menatap meja antik yang masih dipertahankan sejak era Damian Ornadi, tempat di mana keputusan-keputusan penting pernah dibuat. Lalu, perlahan, ia menarik laci dan mengambil foto lama: Irene kecil dalam pelukannya, tersenyum ceria. Di sebelahnya, mendiang istri pertamanya, Adellia Wiranata.

Napasnya dalam. Matanya sedikit basah. Tak lama kemudian, Vania masuk ke ruangan. Cantik, rapi, tetapi selalu menjaga jarak.

“Sayang, rapat akan dimulai,” katanya pelan.

Reza hanya mengangguk.

“Irene akan memimpin presentasi.”

“Begitu ya?” Nada suaranya terdengar lembut, tapi Reza mengenal gelombang kecil ketidaksukaan di baliknya.

“Ia sudah membuktikan dirinya,” lanjut Reza.

“Dan jika dia berhasil dengan Q-Mind... dia siap memimpin era baru Ornadi.”

Vania tersenyum tipis.

“Tentu. Tapi hati-hati, Sayang. Terlalu cepat memberi kekuasaan bisa membuat orang muda jadi... terlalu percaya diri.”

Reza menoleh. Tatapannya tajam, tapi tenang.

“Irene bukan orang muda biasa. Dia memiliki darah Ornadi.”

***

SELESAI RAPAT – DI KORIDOR LUAR

Reno Wiratmaja berdiri tegap di luar ruang rapat, tubuhnya kaku bak tembok. Berpakaian serba hitam dengan headset kecil di telinga, ia adalah perpaduan disiplin dan kekuatan. Dulu anggota pasukan khusus. Kini, pengawal pribadi Irene.

Saat pintu ruang rapat terbuka, dan para direksi mulai keluar satu per satu, Reno melangkah maju.

“Acara TV-nya 45 menit lagi, Nona Irene,” ujarnya dengan nada datar.

“Mobil sudah disiapkan.”

Irene menoleh sebentar, matanya menatap dalam ke mata Reno. Hanya sedetik. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.

“Terimakasih, Reno,” katanya, lalu melangkah melewatinya.

Ia tahu perasaannya tidak masuk akal. Tidak pantas. Tapi semakin lama, semakin sulit diabaikan. Reno bukan hanya pengawal. Bagi Irene, dia adalah... tempat diam-diam hatinya tertambat.

***

STUDIO TELEVISI NASIONAL – 45 MENIT KEMUDIAN

Segmen “Wajah Muda Korporat Masa Depan” digelar di studio modern dengan pencahayaan terang dan kru sibuk di sekeliling.

Irene duduk di kursi narasumber utama. Ia menjawab pertanyaan host dengan percaya diri dan ketenangan seorang pemimpin muda. Kamera merekamnya dari berbagai sudut, menyorot wajahnya yang tegas tapi elegan.

Sementara itu, Reno berdiri di luar frame kamera, memperhatikan sekeliling. Instingnya tidak pernah tidur.

Lalu, tanpa peringatan—CLAKK!

Salah satu rigging lampu di atas kepala Irene bergetar. Mur pengait longgar. Kru mulai panik.

Lampu seberat 25 kilogram meluncur jatuh ke bawah. Tepat ke arah kepala Irene.

“AWAS!!” suara Reno membelah udara.

Ia melesat maju seperti anak panah, menubruk Irene dari kursinya dan membanting tubuh mereka ke lantai studio. Dalam detik yang bersamaan.

BUK! suara berat menghantam punggung Reno.

Studio hening. Semua mata membelalak. Irene terperangkap dalam pelukan Reno, nafasnya memburu, tubuhnya gemetar.

“Reno... kau terluka?” bisiknya dengan suara nyaris tak terdengar.

Reno mengernyit menahan nyeri, tapi menatap Irene dengan tenang.

“Tidak apa-apa yang penting... Anda aman.”

Irene menatap mata itu. Dalam, jernih, dan melindungi. Saat itu juga ia tahu, ini bukan sekadar kekaguman. Bukan sekadar rasa hormat. Perasaannya terhadap Reno adalah sesuatu yang dalam. Nyata dan berbahaya.

***

DI MOBIL – DALAM PERJALANAN PULANG.

Mobil hitam mewah melaju tenang di jalan tol. Irene duduk di kursi belakang, Reno di sampingnya. Ia sudah diperiksa dokter studio dan dinyatakan tidak mengalami luka serius, hanya memar di punggung. Tapi Irene tidak tenang.

"Kenapa kau begitu nekat tadi?" tanyanya pelan, menatap ke depan.

Reno tidak langsung menjawab.

“Itu tugas saya.”

“Bukan. Itu... lebih dari tugas.”

Reno akhirnya menoleh. Mata mereka bertemu.

“Iya,” katanya pelan.

“Karena saya peduli.”

Diam. Sunyi. Irene nyaris menangis.

Namun di kejauhan, di ponselnya, muncul notifikasi: panggilan dari Vania.

Ia tahu, perjalanannya baru dimulai dan cinta, kuasa, serta darah akan segera bertabrakan dalam badai tak terelakkan.

*Irene Brilian Ornadi

Dua Wajah Dua Nafsu

Di balik gemerlap ruang makan utama kediaman keluarga Ornadi, Vania Kartika duduk dengan anggun di kursinya yang empuk berlapis beludru merah tua. Ia menyuapkan potongan kecil salmon panggang ke bibirnya dengan gerakan lambat, matanya sesekali menatap Reza Ornadi, suaminya yang tengah membahas perkembangan divisi energi baru Ornadi Corp. Setiap kata yang keluar dari mulut Reza adalah celah bagi Vania untuk menyusun langkah selanjutnya.

"Kalau ekspansi di sektor energi ini sukses, nilai saham kita akan melonjak. Irene juga sempat mengusulkan integrasi vertikal untuk efisiensi logistik," ujar Reza sambil mengunyah.

Nama Irene kembali meluncur ringan dari bibir sang suami. Mata Vania yang semula teduh menyipit nyaris tak terlihat. Senyum tipisnya tidak bergeser sedikit pun, namun dalam pikirannya bergolak rencana-rencana yang selama ini ia rancang dalam diam. Ia tahu, untuk menguasai Ornadi Corp, ia harus menyingkirkan sang pewaris utama. Irene adalah benteng terakhir yang menghalangi ambisinya.

"Irene memang luar biasa," ujar Reza lagi, kali ini menoleh pada Vania dan Cassandra.

"Kalian harus banyak belajar darinya. Fokus, tenang, dan tidak emosional."

Cassandra meletakkan garpu dan pisau makannya dengan perlahan.

"Papa, aku juga belajar banyak dari Kak Irene kok," jawabnya lembut. Senyumnya manis, matanya berbinar seperti biasa. Reza tampak puas.

Namun, begitu ayahnya kembali fokus pada makanan, senyum Cassandra menguap seperti kabut pagi. Ia menatap ibunya sejenak. Vania hanya memberi anggukan kecil, kode bagi Cassandra bahwa waktunya hampir tiba. Mereka akan menyingkirkan Irene, perlahan, satu langkah demi satu langkah.

***

Pagi itu, halaman sebuah panti asuhan yang terletak di pinggiran Jakarta riuh oleh suara anak-anak yang bermain. Beberapa wartawan dari stasiun televisi swasta hadir, lengkap dengan kamera dan kru. Di tengah sorotan kamera, tampak Cassandra Ornadi mengenakan dress putih gading yang sederhana namun elegan. Rambut panjangnya yang berwarna coklat dikepang rapi ke samping, memperkuat citra gadis anggun dan penuh kasih.

"Bernyanyi lagi yuk!" serunya ceria, menggandeng tangan dua anak kecil dan mulai menyanyikan lagu anak-anak. Tawa renyah terdengar, disambut kilatan kamera.

"Putri kedua Ornadi Corp menunjukkan kepedulian luar biasa terhadap anak-anak yang membutuhkan," komentar salah satu reporter yang meliput.

Tayangan itu viral di media sosial. Banyak warganet memuji keanggunan dan kebaikan Cassandra.

Namun, ketika kamera telah padam dan kru bersiap berkemas, wajah Cassandra berubah. Begitu masuk ke ruang kecil belakang panggung acara, ia melepas senyum manisnya.

"Siapa yang bertugas make-up hari ini?" tanyanya tajam.

Seorang staf muda dengan wajah panik maju.

"Saya, Nona Cassandra. Maaf kalau ada yang—"

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi gadis itu.

"Foundation ini terlalu tebal. Aku bukan badut! Dan kenapa riasan mataku seperti boneka? Kak Irene selalu tampil sempurna, kenapa kamu membuatku seperti ini?!"

Ia meraih cermin dan melemparnya ke meja.

"Kamu dipecat. Keluar sekarang juga!"

Staf itu berlari keluar sambil menahan tangis. Cassandra merapikan rambutnya sambil mendesis lirih, "Tak akan ada yang ingat kamu. Tapi semua orang akan ingat aku."

***

Sementara itu, di kantor pusat Ornadi Corp, suasana koridor lantai eksekutif pagi itu tampak tenang. Reno Wiratmaja berdiri tegak di depan pintu ruang kerja Irene. Tubuhnya tinggi, tegap, dengan seragam bodyguard hitam dan jam tangan taktis di pergelangan kiri. Namun wajahnya saat ini tak sekeras biasanya. Ia menatap layar ponsel, menonton ulang video Cassandra di panti asuhan.

Di layar, senyum Cassandra begitu memikat, tawanya terdengar murni. Reno tersenyum kecil.

“Gadis seperti itu... langka,” gumamnya pelan.

Pintu di belakangnya terbuka. Irene Brilian Ornadi keluar dengan langkah tenang, membawa salep kecil di tangannya.

"Luka di punggungmu kemarin belum diobati," ucap Irene tanpa ekspresi, mengulurkan salep itu ke Reno.

Reno segera mengambilnya.

"Terimakasih, Nona Irene."

Irene mengangguk kecil dan kembali masuk ke ruang kerjanya. Namun saat melewati Reno, matanya sempat melihat layar ponsel Reno yang menampilkan wajah adik tirinya. Hatinya terasa mencelos. Namun ia tetap menjaga wibawanya.

Di dalam ruangannya, Irene duduk dan menatap layar laptop. Tangannya mengetik cepat, namun pikirannya kacau. Ia mencintai Reno sejak lama dan kini, diam-diam, hatinya terasa tergantikan oleh bayang-bayang gadis yang selama ini hanya memakai topeng kebaikan.

***

Malam harinya, di meja makan utama keluarga Ornadi, Reza sedang berbicara penuh semangat.

"Tadi aku mendapat laporan bahwa presentasi strategi terbaru Irene membuat investor Korea Selatan sangat terkesan. Bahkan mereka menawarkan joint venture langsung."

Cassandra menahan sendok supnya di udara. Vania meremas tangan di bawah meja. Wajahnya tetap tersenyum, tapi matanya mulai menyimpan bara.

"Kak Irene memang luar biasa, ya, Pa," Cassandra berkata, tapi nadanya terasa hambar.

"Dia sangat visioner. Bahkan lebih cepat dari analis senior kita," ujar Reza bangga.

Malam itu, setelah makan malam, Vania dan Cassandra berbincang di ruang rias kamar pribadi mereka.

"Papamu sudah terlalu mabuk dengan bayangan Adellia di dalam diri Irene," gumam Vania sambil menghapus lipstiknya.

"Kita harus percepat rencana kita, Ma," sahut Cassandra.

"Kita mulai dari reputasinya. Kalau nama Irene rusak di publik, dia akan hancur di mata Papa."

Vania tersenyum tipis.

"Biarkan aku yang main di media. Kamu fokus ke Reno. Dia masih punya pengaruh sebagai orang kepercayaan Irene. Jika kamu bisa tarik hatinya, itu akan jadi senjata."

Cassandra mengangguk.

***

Keesokan harinya, Irene berpura-pura memegang perutnya dengan ekspresi lelah. Ia sengaja duduk di sudut lorong kantor, tempat Reno biasa lewat. Saat pria itu mendekat, Irene pura-pura menunduk kesakitan.

"Nona Irene?! Anda tidak apa-apa?"

Irene mengangguk lemah.

"Cuma sedikit pusing... mungkin masuk angin."

Reno langsung menopangnya.

"Biar saya antar ke ruang medis."

Saat tangan Reno menyentuh punggungnya, Irene merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia memejamkan mata sejenak, berharap waktu berhenti. Ia tahu, Reno pasti memiliki perasaan padanya. Ia hanya belum menyadarinya... Namun itu... hanya keyakinannya sendiri. Tanpa ia tahu, Reno pulang malam itu dan kembali membuka video Cassandra di panti asuhan.

Di malam yang sama, Irene duduk di kamarnya. Rambut panjangnya diurai, wajahnya pucat, bukan karena sakit… tapi karena penat. Ia memandang refleksinya di cermin. Ia membuka kotak P3K kecil dan mengoleskan salep di tangannya sendiri. Lalu, ia menatap layar ponselnya, satu pesan yang belum dikirim.

Reno… bisakah kau datang sebentar? Aku merasa pusing.

Namun, sebelum menekan kirim, ia berhenti. Matanya berkaca.

“Aku bahkan harus berpura-pura sakit untuk membuatmu memperhatikanku?” bisiknya getir.

Ia menghapus pesan itu. Dalam sunyi, Irene membaringkan tubuhnya, dan menutup mata. Di luar jendela, lampu kota menyala terang. Tapi dalam dirinya, ada bagian yang perlahan meredup dan di luar layar ponsel itu, sebuah permainan berbahaya mulai berjalan, menyusup di balik senyuman, dalam bayangan kekuasaan dan ambisi yang akan menelan semuanya hidup-hidup...

***

Di balik gemerlap citra dan kekuasaan, tak semua cinta bisa ditemukan di tempat yang semestinya. Irene Brilian Ornadi tahu, ia sedang bermain dalam panggung yang tak adil dan orang yang paling ingin ia percaya… perlahan mulai berpaling. Tapi permainan belum selesai dan Irene belum kalah.

Diantara Lindungan dan Luka yang Terucap

Langit sore di Jakarta mulai redup, menyisakan rona oranye yang mengendap di balik pencakar langit.

Gedung Ornadi Corp berdiri megah, menjadi pusat perhatian publik dalam acara peresmian galeri inovasi terbaru mereka, sebuah proyek gabungan antara divisi kreatif dan teknologi perusahaan. Karpet merah membentang, wartawan berlomba-lomba mendapatkan angle terbaik, dan undangan berdatangan dalam balutan kemewahan.

Irene Brilian Ornadi melangkah anggun di sisi adiknya, Cassandra. Gaun putih gading berpotongan sederhana namun elegan membalut tubuh Irene, menegaskan kelasnya sebagai pewaris utama Ornadi. Sementara Cassandra tampil lebih mencolok dengan gaun berkilau warna perak, mencuri perhatian dengan senyuman yang telah ia latih selama bertahun-tahun.

Keramaian menyambut mereka. Kilatan kamera, sapaan hangat, hingga pidato formal dari para petinggi menyemarakkan suasana. Namun dalam bayang kerumunan, ada mata yang membara penuh dendam.

Ketika acara usai dan para tamu mulai menyebar, Irene dan Cassandra berjalan melewati pintu utama gedung, menyapa para undangan yang masih setia menunggu. Irene tersenyum lembut kepada seorang anak kecil yang menyodorkan bunga, ketika tiba-tiba sebuah gerakan cepat muncul dari arah kiri. Seorang pria dengan jaket gelap menerobos pagar keamanan. Matanya merah, penuh amarah, tangannya menggenggam sesuatu yang berkilat – pisau.

"Irene Brilian Ornadi! Aku hancur karena keputusanmu!" teriak pria itu dengan suara yang serak dan penuh emosi.

Dalam sekejap, tubuh Irene kaku. Semua terasa berjalan lambat. Cassandra menjerit, para wartawan terdiam sesaat sebelum mengangkat kamera mereka, dan pasukan keamanan terlambat bereaksi. Namun satu sosok bergerak lebih cepat dari siapapun.

Reno Wiratmaja, yang berdiri tak jauh dari mereka, langsung melompat ke arah Irene. Instingnya sebagai mantan pasukan khusus mengambil alih. Dalam gerakan refleks, ia memeluk tubuh Irene dari belakang, menariknya keluar dari jalur serangan. Tangan kirinya memegang pinggang Irene dengan kokoh, sementara kaki kanannya melesat, menghantam dada pria bersenjata dengan kekuatan penuh.

Pria itu terjungkal dan pisau meluncur ke aspal. Dalam detik berikutnya, tim keamanan mengamankan pelaku. Tapi pusat perhatian masih tertuju pada Irene yang kini masih berada dalam pelukan Reno.

Kilatan kamera meledak. Wartawan mengabadikan momen itu – Irene yang terengah, terkejut, dengan tubuh yang masih dilindungi oleh Reno yang tegap. Dalam pelukan itu, waktu seperti berhenti. Irene menoleh perlahan, dan mata mereka bertemu.

Reno menatapnya dengan tenang, profesional, menjaga ekspresi tetap netral. Tapi di mata Irene, itu lebih dari sekadar perlindungan. Ia melihat pahlawan. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menjadi tempat ia sandarkan kepercayaan.

"Anda tidak apa-apa, Nona Irene?" suara Reno dalam dan stabil.

Irene mengangguk perlahan. Tapi di dalam hatinya, ada badai yang tak mampu ia redakan. Ia tak mampu menjawab. Tak jauh dari mereka, Cassandra menyaksikan segalanya dengan mata yang menyempit.

***

Di kediaman keluarga Ornadi, malam itu suasana lebih hening dari biasanya. Irene duduk di balkon kamarnya, menyentuh perban di pergelangan tangannya yang lecet saat insiden tadi.

Namun yang mengganggunya bukan luka itu.

Ia terus mengingat detik saat Reno memeluknya. Pegangan tangannya. Ketegasan wajahnya. Ia tahu, ada rasa yang tumbuh diam-diam dalam dirinya. Bukan sekadar kekaguman. Tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih tajam.

"Reno... kau selalu ada. Tapi apakah kau tahu apa yang kurasakan?" bisik Irene, nyaris tanpa suara.

Di ruangan lain, Cassandra membuka kotak kecil berisi pastry buatan chef pribadi mereka. Wajahnya tenang, namun sorot matanya penuh perhitungan. Ia menggigit bibir bawahnya sambil menatap layar ponselnya yang menampilkan foto Reno saat mengamankan Irene.

"Apapun yang jadi milik Irene, harus bisa jadi milikku," gumamnya.

Ia melangkah ringan menuju ruang istirahat Reno, membawakan kue sebagai alasan.

"Kak Reno," sapanya lembut, mengetuk pintu.

"Aku cuma ingin mengucapkan terimakasih. Ini untukmu... karena sudah menyelamatkan Kak Irene."

Reno membuka pintu, sedikit terkejut melihat Cassandra berdiri dengan senyum manis dan mata berbinar.

"Terimakasih, Nona Cassandra," jawabnya singkat, menerima kotak itu.

"Panggil aku Cassandra saja," ucap gadis itu dengan senyum yang memerah di pipi.

"Kalau Kak Reno butuh apa-apa, jangan ragu hubungi aku, ya. Aku... senang ngobrol sama Kak Reno."

Reno sempat terdiam. Ada sesuatu dalam senyum Cassandra yang membuat dadanya hangat. Berbeda dari sikap formal Irene yang kaku, Cassandra lebih ekspresif, lebih menggoda dalam batas wajar.

"Baik... Cassandra," balas Reno.

Pipinya merah. Senyum Cassandra menancap. Sejak malam itu, Reno menyimpan foto Cassandra dalam ponselnya. Sebuah potret candid saat Cassandra tertawa di panti asuhan. Tanpa ia sadari, ia mulai menatap foto itu setiap malam sebelum tidur. Di sela tugasnya, saat jeda kerja, ia membuka galeri ponsel dan melihat senyum itu.

***

Beberapa minggu kemudian, dalam perjalanan bisnis ke Bandung, Irene dan Reno berada dalam satu mobil eksekutif yang disediakan perusahaan. Perjalanan itu bersifat rahasia, demi keamanan dan kesepakatan penting dengan mitra internasional.

Irene tampil berbeda hari itu. Ia mengenakan blouse satin dengan potongan terbuka di bahu dan rok pensil yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Tetap elegan, tetap anggun, tapi dengan tambahan sentuhan daya tarik feminin. Di tengah perjalanan, saat mobil melaju di tol, Irene menoleh ke arah Reno yang duduk di kursi depan.

"Reno, apakah kau selalu seserius ini dalam bekerja?" tanyanya sambil tersenyum tipis.

Reno menoleh singkat.

"Itu bagian dari tugas saya, Nona Irene. Tanggung jawab saya adalah memastikan Anda aman."

Irene tersenyum, sedikit kecewa. Ia menyesap air mineral pelan.

"Kau tahu, tidak mudah mempercayakan keselamatan pada orang lain. Tapi entah kenapa, aku merasa aman setiap kali kau ada di dekatku," ujarnya lembut, matanya menatap Reno lewat cermin.

Namun Reno hanya membalas dengan anggukan kecil. Sikapnya tetap tenang. Irene menarik napas dalam. Ia tahu dirinya sedang merayu, tapi dengan cara yang tetap menjaga harga dirinya. Tak ada sentuhan murahan, tak ada lirikan agresif. Hanya seorang wanita yang diam-diam berharap ada hati yang menyambut hatinya. Tapi Reno tetap tak menunjukkan apa-apa. Irene menggigit bibirnya perlahan. Ia belum tahu… bahwa hatinya sedang bersaing dengan senyuman lain.

***

Di rumah utama Ornadi, malam hari itu, Vania berdiri di depan jendela, memandangi taman yang tenang. Cassandra duduk di sofa, memoles kukunya.

"Hubungan Irene dan Reno terlalu dekat," ujar Vania tiba-tiba.

Cassandra menoleh.

"Tenang saja, Ma. Reno mulai melirikku. Aku bisa lihat dari caranya menatapku akhir-akhir ini."

Vania tersenyum tipis.

"Bagus. Irene terlalu lama mendominasi. Jika kita ingin menyingkirkannya dari pusat kekuasaan, kita harus lemahkan pondasi emosionalnya."

"Dia pikir dia bisa punya semuanya. Saham, pengaruh, bahkan cinta?" gumam Cassandra, "Sebentar lagi, tidak satupun yang akan tersisa untuknya."

Keduanya tertawa kecil. Rencana telah disusun. Panggung sedang dibersihkan dan bidak-bidak mulai bergerak.

Apa yang belum diketahui Irene adalah bahwa musuh terbesarnya bukanlah mereka yang berdiri di luar pagar kekuasaan. Tapi mereka yang duduk bersamanya di meja makan, mengenakan nama keluarga yang sama... dan tersenyum seolah tak ada rencana pengkhianatan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!