"Apa buat kamu pernikahan kita selama tiga tahun ini tidak ada artinya?"
Suara itu bergetar, lirih namun cukup tajam untuk menusuk dinding hati yang mulai retak.
Laki-laki itu terdiam. Tatapannya kosong menatap lantai, seolah sedang mencari jawaban di antara ubin yang dingin. Ia tidak berani menatap mata istrinya, mata yang dulu membuatnya jatuh cinta, kini dipenuhi luka dan kekecewaan.
"Aku tidak tahu harus jawab apa," gumamnya akhirnya. "Semua terasa... rumit sekarang."
Wanita itu menghela napas, berusaha menahan air mata yang menggenang. "Rumit?" ucapnya dengan suara nyaris tertawa pahit. "Kamu selingkuh, dan kamu menyebut ini rumit?"
"Aku tidak bermaksud menyakitimu," ujarnya pelan. "Semua ini, terjadi begitu saja."
"Terjadi begitu saja? Hah... Kamu selingkuh dengan perempuan itu dengan sadar! Dan kamu bilang itu terjadi begitu!" Nada suaranya meninggi, dadanya naik-turun menahan amarah yang selama ini ia pendam. Matanya merah, bukan hanya karena air mata yang jatuh, tapi karena hatinya menahan kecewa.
"Kamu tidak pernah berniat menyakitiku, tapi kamu selingkuh di belakangku? Lucu kamu, Hans... lucu sekali."
Arumi tersenyum miris, senyum yang tidak sampai ke matanya. Suaranya tenang, tapi jelas menyimpan luka yang dalam. Hatinya terasa perih, seperti dirobek dari dalam. Pria yang selama ini ia cintai, yang ia pikir akan menjadi tempat bersandar sampai akhir hayat, ternyata justru yang menghancurkannya.
Hans berdiri kaku di hadapannya. Matanya kosong, seolah tak sanggup membalas tatapan istrinya. Kata-kata yang selama ini ia susun dalam pikirannya kini menguap begitu saja. Tidak ada lagi alasan yang bisa dia ucapkan. Dia tahu, dia telah menyakitinya.
Hans hanya diam mematung, tak bisa lagi berkata-kata, alasannya telah habis. Dia tahu, dia memang menyakiti istrinya, tapi. Perasaan cintanya pada perempuan itu tidak bisa dia pendam dan dia diamkan begitu saja.
Dia sudah mencoba menjadi suami yang baik, tapi ternyata, dia kalah pada cintanya.
"Siapa dia? Siapa perempuan itu?" suara Arumi terdengar lirih, nyaris seperti bisikan yang ditelan angin malam.
Matanya menatap kosong ke arah suaminya, mencoba mencari jawaban di balik sorot matanya yang tak lagi hangat seperti dulu. Bukan nada marah atau penuh amarah yang keluar darinya, tapi ketenangan yang menyakitkan. Sebuah kelembutan yang lahir dari hati yang lelah dan patah.
"Siapa dia, Hans?" ulang Arumi, lebih tenang, tapi jelas menusuk. "Perempuan yang berhasil mengambil kamu dariku. Lelaki yang dulu bersumpah akan mencintaiku sampai akhir hayat."
Hans menunduk. Lidahnya kelu. Tak ada jawaban, tak ada pembelaan. Hanya diam yang membuat segalanya semakin jelas.
Arumi tersenyum tipis, pahit. Bukan karena ingin terlihat kuat, melainkan karena itulah satu-satunya cara agar air matanya tidak jatuh di depan pria yang telah menghancurkannya.
Arumi dan Hansel telah menikah selama tiga tahun. Sebelumnya, mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih selama lebih dari tiga tahun, hubungan yang tumbuh perlahan dari masa-masa kuliah yang penuh mimpi dan janji.
Waktu itu, menjelang akhir semester, Hansel yang lebih dulu lulus dan bekerja sebagai junior di sebuah perusahaan ternama, datang membawa kejutan. Di sebuah kafe kecil tempat mereka biasa menghabiskan waktu, Hansel melamarnya. Sederhana, tapi tulus.
“Aku belum punya banyak, Rumi. Tapi aku tahu satu hal, aku nggak mau menjalani masa depan tanpa kamu di dalamnya,” ucapnya saat itu, dengan mata yang berbinar penuh harapan.
Arumi mengangguk sambil menangis, menerima cincin sederhana yang diberikan Hansel. Baginya, saat itu cinta sudah cukup. Janji setia, kebersamaan, dan harapan mereka akan masa depan adalah segalanya.
Mereka menikah beberapa bulan setelahnya, membangun rumah tangga dengan cinta yang tampak kuat, setidaknya itu yang Arumi percayai selama tiga tahun ini, hingga akhirnya pengkhianatan itu datang ke dalam rumah tangganya.
Sungguh, sesuatu yang tidak pernah Arumi banyangkan, bahkan pikirkan, pria seromantis dan se'care Hansel akan melakukan kecurangan itu.
Perhatiannya pada Arumi tidak berubah sedikitpun, bahkan, dia lebih romantis akhir-akhir ini.
Hampir setiap hari dia membawakan bunga yang di sukai Arumi.
Bahkan, kecupan manis yang setiap pagi tidak pernah berubah.
Bagaimana mungkin... pria seperti itu, yang terlihat begitu mencintainya, ternyata dengan sadar dan tega berselingkuh di belakangnya? Bagaimana bisa seseorang begitu pandai memainkan peran, seolah tidak terjadi apa-apa, sementara diam-diam ia mengkhianati semua janji suci yang pernah terucap?
"Jawab, Hansel!" suara Arumi meninggi, mengguncang keheningan malam yang semula tenang. "Siapa perempuan itu?!"
Nada suaranya naik dua oktaf, tak lagi mampu ditahan. Amarah, luka, dan pengkhianatan yang selama ini ia pendam pecah dalam satu letupan tajam. Sorot matanya bergetar, bukan hanya karena marah, tapi karena hatinya benar-benar remuk.
Hansel tersentak. Bahunya menegang, tapi mulutnya tetap terkunci rapat. Tak ada kata, tak ada penjelasan, hanya diam yang memekakkan telinga Arumi.
"Jangan diam!" serunya lagi, kali ini suaranya bergetar. "Kau bisa memelukku setiap malam, menciumku setiap pagi, berpura-pura mencintaiku seperti biasa, tapi di belakangku, kau tidur dengan wanita lain?!"
Arumi tertawa miris, tawa yang hambar dan penuh perih. “Kau benar-benar hebat, Hansel. Aku bahkan sempat berpikir, mungkin aku wanita paling beruntung karena dicintai pria sepertimu.”
Matanya kembali basah, tapi ia menegakkan dagu. menatap jelas wajah pria yang telah menghancurkan semua harapannya.
"Jawab! Siapa perempuan itu?!" Arumi kembali bertanya, kali ini dengan tekanan penuh pada dua kata terakhir, seperti pisau yang dilemparkan tepat ke jantung Hansel.
Hansel menarik napas panjang, mencoba tetap tenang meski sorot matanya mulai gelisah. Namun, alih-alih menjawab, ia justru berkata dengan datar, "Sebaiknya kamu tenangkan dirimu malam ini. Jangan biarkan emosi menguasai hatimu."
"Aku tidur di luar malam ini," lanjut Hansel sambil mengambil jaketnya di gantungan. Ia melangkah menuju pintu tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.
Arumi mematung. Tidak percaya.
Begitu mudahnya Hansel memilih pergi, alih-alih menjelaskan. Begitu tenangnya ia meninggalkan luka, seolah bukan dia yang menyebabkannya.
"Jadi segitu saja?" gumamnya lirih tersenyum kecut.
Suara pintu dibuka pelan. Cukup pelan untuk memberi harapan bahwa Hansel akan berubah pikiran. Tapi tidak. Ia tetap melangkah, tanpa suara, tanpa pamit dan bahkan tanpa menoleh.
Paginya, Arumi bangun dengan mata sembab. Kelopak matanya berat, menyisakan jejak tangis yang tak kunjung kering sepenuhnya. Namun ia tetap bangkit. Menyibakkan selimut, menapaki lantai dingin, dan berdiri seperti biasa, seolah malam sebelumnya tak pernah terjadi apa-apa.
Dengan langkah pelan, ia menuju dapur. Tangannya mulai bergerak otomatis, mengambil telur, memanaskan wajan, menyalakan kompor. Tangannya bekerja, tapi pikirannya kosong. Aroma bawang tumis dan roti panggang mengisi udara, tapi hatinya tetap hampa.
Ia menyiapkan dua piring, seperti biasanya. Menuangkan teh ke dua cangkir. Meletakkan piring-piring itu di meja makan yang sudah begitu akrab bagi mereka, dulu.
Arumi duduk sejenak di kursi, menatap kursi kosong di seberangnya. Kursi Hans.
Ia menghela napas panjang. Dalam diam, ia mencoba meyakinkan diri sendiri. Aku baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja.
Pintu depan terbuka pelan. Arumi menoleh refleks, jantungnya berdebar lebih cepat dari yang seharusnya. Langkah kaki yang ia kenal dengan sangat baik terdengar memasuki rumah, tenang, santai, seperti biasa. Seolah tak ada badai semalam, seolah luka yang ditinggalkan hanyalah mimpi buruk yang kini sudah lewat.
Hansel muncul di ambang pintu ruang makan, masih dengan jaket yang sama, dan rambut sedikit berantakan karena angin pagi. Matanya tak menyiratkan penyesalan apa pun.
Tanpa sepatah kata, ia berjalan mendekat dan menunduk mengecup kening Arumi.
Begitu saja.
Seolah semalam ia tidak menghempas kepercayaan perempuan itu, seolah tidak ada air mata, tidak ada luka, tidak ada keheningan menusuk yang menghantui sepanjang malam.
Arumi mematung.
Dunia seakan berhenti berputar saat bibir Hansel menyentuh keningnya. Bukan karena rindu. Tapi karena keterkejutan, dan kehampaan.
Ia tidak membalas. Tidak mengelak. Hanya diam, menatap kursi kosong yang kini kembali diduduki oleh laki-laki yang sama, namun tak lagi membawa rasa yang sama.
Di dalam dirinya, pertanyaan bergemuruh, tapi mulutnya tak sanggup mengucap satu pun. Apakah segampang itu? Apakah semudah itu mengabaikan luka dan kembali duduk seolah semuanya tak pernah terjadi?
Tangannya yang masih memegang cangkir teh sedikit bergetar. Aroma teh melati menguar, tapi rasanya hambar di lidah. Persis seperti hatinya kini.
"Siapa dia?" Kini pertanyaan itu kembali dilontarkan Arumi. Suaranya pelan, tapi cukup tajam untuk memotong udara pagi yang hening. Tangannya masih menggenggam cangkir teh yang kini sudah dingin, matanya menatap lurus ke arah Hansel.
Hansel, yang baru saja mengunyah suapan terakhir rotinya, terdiam. Gerakannya terhenti. Beberapa detik berlalu tanpa jawaban.
"Arumi..." Ia menyebut nama itu dengan nada lelah, seperti pria yang kelelahan karena harus menjelaskan sesuatu yang tak ingin ia akui.
Arumi akhirnya mendongak. Matanya sembab, tapi sorotnya tajam.
"Katakan," bisiknya serak.
Hansel mendesah, menunduk sejenak, lalu berkata lirih, "Arumi aku lelah, jangan membahas ini lagi, hal ini tidak penting."
Arumi tertawa kecil, getir. "Tidak penting? Kamu tidur di luar rumah, menciumku seolah tidak terjadi apa-apa, dan kamu bilang 'tidak penting'?"
Hansel menatapnya, dengan lelah. "Aku hanya butuh ruang."
Kalimat itu, ringan di bibir Hansel, tapi jatuh seberat batu di dada Arumi.
"Baik... kalau kamu tidak mau jujur siapa dia. Aku yang akan mencari tahu sendiri!" ucap Arumi, kali ini dengan suara yang tegas, penuh luka, tapi juga penuh keteguhan.
Hansel menghela napas, lalu berdiri dari kursinya dengan gerakan tergesa, frustrasi. "Kamu terlalu membesar-besarkan semuanya, Arumi. Kamu adalah istriku, dan itu tidak mengubah apa pun!" ucapnya dengan nada tinggi.
Matanya menatap tajam, dan kalimat selanjutnya meluncur begitu saja dari mulutnya tanpa jeda, tanpa rasa bersalah.
"....Sekalipun aku punya wanita lain di luar sana!"
Dunia Arumi seperti berhenti berputar.
Napasnya tercekat, jantungnya serasa terjun bebas. Suara itu, suara dari orang yang dulu berjanji untuk setia padanya, kini terdengar asing dan tajam, menancap langsung ke dadanya.
Kalimat itu tak sekadar pengakuan.
Itu adalah pengkhianatan yang disampaikan dengan kepala tegak. Tanpa rasa takut. Tanpa niat menyesal.
"Ulangi," bisik Arumi, nyaris tak terdengar. Matanya membelalak, seakan ia masih berharap itu hanya mimpi buruk.
Hansel mendengus. "Kamu dengar sendiri, kan?"
"Aku memang istrimu, tapi aku bukan barang milikmu yang tidak punya hati dan perasaan, Hansel," suaranya mulai bergetar, tapi nada bicaranya tetap kuat. Matanya memerah, tapi sorotnya tak lagi lemah seperti semalam.
Hansel membatu. Mungkin tidak menyangka Arumi akan berkata setajam itu.
"Jangan bawa emosi, Arumi," jawabnya akhirnya, suaranya terdengar lelah. "Apa yang terjadi di luar rumah, itu urusanku. Dan, kamu tetap istri di rumah ini. Kamu tahu posisimu."
Arumi tertawa kecil. Bukan tawa bahagia, tapi tawa getir penuh kepedihan. "Posisiku?" ucapnya sambil menggeleng pelan. "Apa menurutmu aku ini hanya penjaga rumah yang kamu tinggalkan sesuka hati? Istri, bagimu, cuma gelar tanpa arti."
Hansel menatapnya dengan sorot meremehkan. "Kamu terlalu sensitif. Lihat kenyataan, Arumi. Semua orang melakukannya. Asal kamu tetap di rumah, tetap masak, tetap jadi istri yang baik, kenapa harus ribut?"
"Karena aku bukan boneka," jawab Arumi, kini berdiri. Bahunya gemetar, tapi wajahnya tegak. "Aku manusia. Aku punya harga diri. Dan aku tidak akan tinggal bersama laki-laki yang tak tahu arti kesetiaan."
Hansel terdiam, terkejut oleh ketegasan yang jarang ia lihat dari istrinya.
Arumi melangkah ke arah kamarnya tanpa menoleh lagi. Setiap langkahnya membawa keputusan yang mulai mengeras di dalam hatinya.
Sesampainya di kamar, runtuh sudah ketegaran yang tadi ia perlihatkan.
Pintu kamar belum sempat tertutup rapat, tubuhnya sudah terhuyung, jatuh bersandar di balik daun pintu. Napasnya memburu, matanya berkaca-kaca, dan sebelum ia sempat menahannya, air mata itu tumpah, banjir tanpa bisa dikendalikan.
Dada Arumi bergemuruh hebat. Seakan semua emosi yang tadi ia tahan di depan Hansel kini meledak serentak. Hatinya terasa sesak, seperti diremas tanpa ampun, seperti retak yang tidak bisa lagi disatukan.
Dia menangis sejadi-jadinya, menangis tanpa suara. Bahunya terguncang hebat, tapi tak ada satu pun isakan yang lolos dari bibirnya. Ia menekap wajah dengan kedua tangan, membiarkan air mata jatuh deras membasahi telapak dan lengan bajunya.
Arumi tidak ingin Hansel mendengar suara tangisnya yang meraung-raung.
Dia tidak ingin memberikan kemenangan itu padanya.
Tidak ingin menunjukkan betapa hancurnya dia di balik dinding kamar yang kini menjadi satu-satunya tempat persembunyiannya.
Karena untuk apa?
Untuk siapa?
Seorang pria yang sanggup mengkhianati istrinya, dengan hati yang dingin dan wajah tanpa penyesalan, tidak akan pernah merasa iba. Tidak akan pernah peduli dengan kepiluan yang menggerogoti hati perempuan yang selama ini setia menjaga dan mencintai.
Tangis Arumi membungkam dirinya sendiri. Ia menggigit bibir agar tidak mengeluarkan suara, menggenggam erat bantal agar bisa menjerit tanpa terdengar. Bukan karena ingin terlihat kuat, tapi karena ia tahu, air matanya tidak akan mengubah apa pun di hati Hansel.
*****
Jangan lupa untuk Like,komen dan subscribe cerita ini ya, biar author semangat up. terima kasih.
Kafe kecil di pojok jalan itu masih seperti dulu, hangat, tenang, dengan aroma kopi yang menyambut siapa pun yang masuk. Arumi duduk di bangku pojok dekat jendela. Matanya kosong menatap ke luar, tapi pikirannya melayang jauh. Jemarinya membolak-balik sendok kecil di atas cangkir cappuccino yang mulai dingin.
“Arumi?”
Suara lembut itu membuyarkan lamunannya. Arumi menoleh dan mendapati Hilda, sahabatnya sejak masa kuliah, berdiri di sana dengan tatapan khawatir.
“Hil,” gumam Arumi sambil berdiri pelan. Mereka saling berpelukan singkat, hangat namun ada kegelisahan yang tak terucap di antara keduanya.
Begitu duduk, Hilda langsung menatapnya, tanpa basa-basi. “Kamu nggak apa-apa, Rum? Kamu terlihat lelah.”
"As you can see, Hil. Nggak ada perempuan yang baik-baik aja setelah tahu dia di selingkuhi suaminya." Ujar Arumi dengan senyum perih.
"Aku... sebenarnya nggak tahu harus bilang apa, Rum," ucap Hilda pelan. “Tapi kamu tahu kan, aku selalu ada buat kamu.”
Arumi mengangguk pelan. “Iya. Dan makasih, karena kamu yang pertama bilang sejujurnya.”
Hilda adalah orang yang memberitahu Arumi tentang Hansel yang memiliki perempuan lain.
Awalnya, dia hanya ingin diam, merahasiakan hal itu dari Arumi. Tapi perasaan bersalah tidak bisa dia tepis, akhirnya, Hilda pun memutuskan untuk memberitahu Arumi jika beberapa hari lalu dia melihat Hansel di hotel dengan seorang perempuan yang ia tak tahu siapa.
*****
Beberapa hari lalu sebelum pertengkaran Arumi dan Hansel...
Arumi sedang melipat kain di kamar, ketika ponselnya berdering. Nama Hilda muncul di layar. Ia tersenyum kecil sebelum menjawab.
“Halo?”
“Rum…” suara Hilda terdengar ragu. “Kamu bisa bicara sekarang?”
“Iya, kenapa?” tanya Arumi sambil merapikan kaus milik Hansel.
Hening sejenak di seberang. Lalu suara Hilda terdengar lebih pelan. “Aku... nggak tahu gimana harus ngomong." Jedah sejenak, Hilda masih menimbang-nimbang, apakah dia memang bagus memberitahu ini pada Arumi.
"Hil... Kamu pengen ngomong apa?"
"Tadi siang aku habis meeting di Grand Atria. Pas keluar, aku lihat Hansel.” Akhirnya Hilda membulatkan tekadnya untuk jujur dan memberitahu Arumi.
“Terus?” Arumi masih terdengar santai.
“Dia nggak sendiri. Dia gandengan sama perempuan. Mereka masuk lobi bersama, mereka terlihat mesrah dan itu nggak mungkin hanya sebatas teman kerja atau meeting klien di hotel.”
Arumi membeku. Tangannya yang memegang baju tiba-tiba lemas. “Kamu yakin itu Hansel?”
“Aku yakin. Maaf, Rum. Aku sempat mikir buat diem aja. Tapi aku nggak bisa. Kamu sahabatku. Aku tahu ini akan nyakitin kamu, tapi aku lebih nggak rela kamu dibohongi.”
****
Kembali masa kini...
"Waktu itu, apa kamu liat muka perempuan itu?" Tanya Arumi yang ingin memastikan apakah Hilda sempat melihat wajah perempuan itu.
Hilda menggeleng pelan. "Nggak. Aku nggak lihat wajahnya, dia buru-buru pergi. Tapi. entah kenapa, dari belakang, aku merasa familiar. Seperti pernah lihat dia sebelumnya. Tapi aku lupa di mana."
"Kamu nggak nanya ke Hans, siapa perempuan itu?" Tanya Hilda.
Arumi mengangguk pelan. "Aku nanya, Hil..." suaranya melemah, lalu ia menghela napas panjang. "Tapi Hans diam."
Hilda mengernyit, matanya membulat tak percaya. "Dia sama sekali nggak jawab apa-apa?"
"He didn’t want to tell me, Hil."
Suara Arumi nyaris tenggelam dalam gumaman. Ia menunduk, menatap jemarinya yang saling menggenggam erat di pangkuannya.
"Yang kuat Rum, I’ve always known that behind all the pain.. you’re still strong." ucap Hilda meletakkan tangannya diatas tangan Arumi untuk menguatkan sahabatnya.
Setelah pertemuannya dengan Hilda di Kafe, Arumi langsung pulang ke apartemennya, membuka pintu. Lalu masuk, namun, yang dia dapati kini hanya kehampaan.
Apartemen yang dulu terasa hangat dan selalu dia rindui saat berada di luar, kini seperti memasuki gua yang gelap, bahkan seperti penjara tanpa ventilasi, rasanya begap dan sakit.
Setelah pertemuannya dengan Hilda di kafe, Arumi langsung pulang ke apartemennya. Ia membuka pintu dengan tangan gemetar, berharap ada sedikit kehangatan yang bisa menyambutnya di balik pintu itu. Namun, yang ia dapati kini hanyalah kehampaan.
Langkahnya masuk ke dalam terasa berat. Ruang tamu itu, dulu tempat mereka duduk bersama, tertawa, menonton film sembari bersandar satu sama lain, kini tampak asing. Kosong. Dingin.
Apartemen yang dulu terasa hangat, tempat pelariannya dari dunia luar, kini tak lebih dari ruang sunyi yang memantulkan suara hatinya sendiri. Seperti gua gelap tanpa ujung. Bahkan, lebih parah. Seperti penjara tanpa ventilasi. Begap, menyesakkan, dan tak ada celah untuk bernapas lega.
Arumi menjatuhkan tasnya ke sofa, lalu berdiri mematung di tengah ruangan. Matanya menyapu sekeliling. Disana, hanya ada furnitur kaku dan cahaya lampu yang terasa terlalu terang untuk kesedihannya.
Ia melangkah perlahan ke jendela, menarik tirai yang semula selalu ia buka setiap pagi. Tapi kali ini, ia hanya ingin dunia di luar tidak melihatnya. Tidak melihat betapa kosongnya dirinya.
Arumi menyandarkan keningnya ke kaca jendela yang dingin. Air matanya kembali jatuh, diam-diam, tanpa suara.
Malamnya, setelah mandi, Arumi duduk di depan cermin kamar. Rambutnya masih basah, air menetes perlahan dari ujung-ujung helai ke bahunya. Ia mengenakan piyama sederhana, tanpa riasan, tanpa perisai. Hanya dirinya, apa adanya.
Lampu meja rias menyala temaram, memantulkan bayangan dirinya di permukaan kaca. Arumi menatap wajah itu lama. Sangat lama. Seolah mencoba mengenali seseorang yang sudah lama tidak ia ajak bicara.
Mata itu sembab. Pipi itu masih menyimpan bekas tangis yang belum sempat benar-benar kering. Tapi lebih dari itu, ada kehampaan di sana. Kekosongan yang tak bisa ditutupi bahkan oleh senyum pura-pura sekali pun.
Apa dia sudah tidak menarik sampai suaminya berpaling? Pertanyaan itu muncul pelan-pelan di dalam hatinya, lalu tinggal di sana, seperti duri kecil yang tak terlihat tapi terus menusuk.
Ia menatap wajahnya lagi di cermin, lebih dekat kali ini. Mengamati garis-garis halus di bawah mata, rona pucat di pipi, dan tatapan lelah yang di matanya. Tangannya terangkat, menyentuh pipinya perlahan.
“Apakah aku sudah berubah...?” gumamnya nyaris tanpa suara.
Dulu, Hansel selalu memuji senyumannya. Katanya, matanya bisa menenangkan badai. Dulu Hansel selalu memuji kecantikannya, kata Hansel, dia adalah pria paling beruntung karena bisa menikahi perempuan paling cantik yang ada di muka bumi ini.
Bibirnya mengerucut, menahan tangis yang datang lagi tanpa aba-aba. Ia menggigit bibir, mencoba bertahan.
Apa karena aku hanya wanita rumah tanpa karir, tapi bukankah, Hansel yang meminta dia hanya menjadi seorang istri yang menunggu suami di rumah? Bukankah, Hansel mengatakan dia menginginkan perempuan seperti itu. Lalu kenapa? Kenapa Hansel berpaling darinya?
Pertanyaan-pertanyaan itu menghantam pikirannya satu per satu. Ia tahu, perselingkuhan bukan salahnya. Ia tahu, pengkhianatan tidak pernah bisa dibenarkan, apa pun alasannya. Tapi tetap saja, luka itu menyesap lewat celah-celah keraguan diri. Membuatnya mempertanyakan nilainya sebagai perempuan. Sebagai seorang istri.
“Kalau memang aku sudah tak cukup untukmu, kenapa kamu tidak bilang baik-baik?” bisiknya, air mata jatuh diam-diam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!