Hari pertama masuk sekolah setelah libur semester seharusnya menjadi awal yang menyenangkan bagi Icha. Tapi harapan itu langsung hancur begitu langkahnya melewati gerbang SMA Bintang Jaya dan melihat sosok paling menyebalkan di dunia: Albar.
Dengan hoodie abu-abu belel dan ransel satu tali, Albar melambaikan tangan seperti orang kurang kerjaan.
“Icha! Akhirnya sinyal hidup gue balik lagi!”
Icha langsung berhenti dan menghela napas panjang. “Astaga, bukan lagi…”
Seolah-olah sudah jadi rutinitas wajib, Albar akan muncul setiap pagi, tepat saat Icha datang, dan mulai bicara soal wifi-wifi-an yang gak jelas.
“Lo tuh gila ya, Bar. Sadar gak sih lo tuh ngeganggu?” Icha mendelik.
Albar malah tersenyum lebar. “Di zaman modern ini, gak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Dan lo itu, sumber wifi hidup gue!”
“Sumber kepala lo benjol!” Icha melengos, mempercepat langkah masuk ke kelas.
Tapi tentu saja, makhluk menyebalkan bernama Albar itu tetap mengikuti di belakang seperti bayangan. Nempel terus.
“Gue cuma pengen deket lo, Cha. Gue gak niat ganggu, sumpah.”
“Lo ngikutin gue dari rumah ke sekolah tadi. Lo nongkrong di depan gerbang dari jam enam pagi. Terus lo bilang gak ganggu?”
Albar cengengesan. “Namanya juga usaha.”
Icha menahan emosi. Kalau bukan karena takut kena skors, mungkin sudah dari dulu dia lempar tas ke kepala Albar. Cowok itu gak ngerti arti kata “tidak”. Diabaikan? Dikecam? Diteriaki? Tetap datang. Tetap nempel. Tetap nyebut dirinya “sumber wifi hidup”.
“Gue beneran gak ngerti, Bar. Dari semua cewek di sekolah ini, kenapa harus gue?”
“Karena lo yang paling nyambung.”
“NYAMBUNG PALU LO!”
Albar tertawa. Icha mencibir. Entah kenapa, setiap kali dia marah, Albar malah tambah semangat.
Di kelas, Icha memilih duduk paling depan. Biasanya, itu tempat paling aman karena Albar ogah dekat guru. Tapi hari itu, entah kenapa, bangku di sebelahnya kosong. Dan seperti mimpi buruk, Albar duduk di sana tanpa ragu.
“Ini tempat gue,” bisik Albar sambil mengeluarkan buku tulis yang masih bersih tanpa coretan.
Icha melotot. “Sejak kapan? Lo biasanya duduk belakang!”
“Mulai hari ini, gue berubah. Gue mau lebih deket ke… pendidikan.”
“Yang bener aja, lo mau deket sama gue, kan?”
“Ya, itu juga.”
Icha ingin teriak. Tapi guru sudah masuk. Ia hanya bisa mendengus dan menatap lurus ke depan, pura-pura tidak mendengar Albar yang terus mencorat-coret sesuatu di bukunya. Dari ekor matanya, ia sempat lihat satu tulisan besar di buku cowok itu: “ICHANET – sinyalnya paling kenceng.”
“Gila,” gumam Icha. “Beneran gila.”
Saat bel istirahat berbunyi, Icha langsung berdiri dan pergi secepat mungkin. Tapi Albar, seperti biasa, selalu tahu cara mengejar.
“Aku udah pesen tahu bulat dan teh manis, favorit lo!” seru Albar dari belakang.
Icha berhenti. Berbalik cepat. “Denger ya, Bar. Sekali lagi lo pesenin makanan buat gue tanpa izin, gue lempar tahu bulatnya ke muka lo!”
Albar mengangkat tangan. “Oke! Oke! Tapi teh manisnya udah dibayar, loh…”
Icha menggeleng pelan, berjalan cepat ke sudut kantin yang paling jauh, berharap bisa menghindar. Tapi dia tahu, selama Albar masih bernapas dan punya dua kaki, dia akan tetap muncul.
Entah sampai kapan cowok itu bakal sadar kalau perasaannya cuma sepihak. Bahwa semua kata-kata romantisnya gak lucu—tapi mengganggu.
“Ichaaaa!”
Dinda, sahabat Icha sejak SMP, sudah melambai dari meja kantin yang paling pojok. Rambut kritingnya yang diikat dua seperti tanduk terlihat mencolok dari kejauhan. Icha segera menghampiri, meletakkan tas dengan berat seolah menaruh seluruh beban hidupnya.
“Lo bawa bom, Cha?” canda Dinda melihat wajah sahabatnya yang kusut.
“Bukan bom. Beban hidup gue namanya Albar.”
“Oh… si wifi berjalan,” gumam Dinda sambil mengunyah keripik.
Icha menarik napas panjang. “Gue tuh heran, Din. Udah dua tahun. Dua tahun loh! Lo pikir cowok itu bakal nyerah. Tapi enggak! Dia makin gila!”
Dinda terkekeh. “Ya mungkin emang udah rusak dari sononya.”
Sementara mereka berbincang, dari kejauhan Albar juga sedang duduk di bangku kantin lainnya, bersama Rio—sahabat satu geng dan satu frekuensi gilanya. Rio adalah versi lebih kalem dari Albar, meski tetap suka usil.
“Gue rasa Icha makin suka lo, Bar,” kata Rio sambil menyeruput es campur.
Albar mengangkat alis. “Suka nendang gue, iya.”
“Bro, itu bentuk cinta yang terpendam. Kadang orang gengsi nunjukin perasaan, makanya mereka pakai emosi.”
“Kayak wifi-nya lemot tapi tetap dicari, gitu?”
Rio nyengir. “Ya gitu lah…”
Kembali ke meja Icha dan Dinda, percakapan masih panas.
“Gue beneran mikir mau ganti sekolah,” keluh Icha.
Dinda melotot. “Woi! Jangan gila. Lo mau ninggalin gue demi cowok sinting itu?”
“Kalau nggak gitu, bisa-bisa gue gila beneran. Pagi-pagi disambut wajah dia, siang diteror di kelas, sore kadang ngikutin gue sampe halte. Besok-besok gue dikuntit sampe kamar mandi!”
Dinda tertawa ngakak. “Kalau itu kejadian, gue akan kasih dia sertifikat ‘Cowok Paling Nggak Punya Kesadaran’.”
Icha mengangkat kepala, memperhatikan Albar dari kejauhan yang sedang tertawa bareng Rio. Sejenak, dia mengerutkan kening.
“Eh, Din. Temennya Albar itu siapa sih? Yang gondrong-gondrong kalem itu.”
“Rio. Kelas sebelah. Katanya anak klub musik. Gitaris.”
Icha mendengus. “Kenapa cowok kayak gitu bisa punya temen nyebelin kayak Albar, ya?”
Dinda mengedikkan bahu. “Yang sabar itu biasanya dapet cobaan.”
Keesokan harinya, Albar kembali dengan rencana baru.
Pagi-pagi, saat Icha baru turun dari angkot, Albar sudah berdiri di depan gerbang. Tapi kali ini dia tak sendiri. Di tangannya, ada papan karton bertuliskan:
“Selamat Datang Sumber Wifi Hatiku – Jangan Block Aku Lagi 😢”
Icha langsung berhenti. Seketika wajahnya memanas.
“YA ALLAH, MALU-MALUIN AMAT!”
Siswa lain yang lewat ikut menoleh dan tertawa. Beberapa mengambil foto diam-diam.
Icha berjalan cepat, menunduk, sambil menahan amarah. Di belakangnya, Rio datang menghampiri Albar.
“Bro… itu udah bukan sinyal, itu sinyal SOS,” bisiknya.
Tapi Albar tetap berdiri gagah.
“Gue yakin hari ini hatinya Icha mulai konek.”
Di kelas, Icha duduk bersama Dinda, masih mendesis kesal.
“Lo liat tadi, Din? GILA! Gila banget tuh anak!”
Dinda menahan tawa. “Tapi kreatif sih. Gue belum pernah lihat cowok sekomitmen itu sama satu cewek.”
“Komitmen? Dia tuh kayak virus! Nggak ngerti privasi!” seru Icha.
“Kalau lo gak suka, kenapa gak lapor ke guru aja, Cha?”
Icha diam sejenak. Ia bisa saja. Tapi entah kenapa, ia tak sampai hati. Bukannya karena peduli, tapi… mungkin karena Albar tidak pernah kasar, tidak pernah menyerang. Dia hanya… menyebalkan. Sebel banget, tapi tidak jahat.
“Gue nggak tahu, Din. Gue cuma pengen hidup normal, tanpa dia kayak CCTV nempel terus.”
Dinda menepuk bahu Icha.
“Yaudah, Cha. Kita bikin strategi buat ngindarin dia. Tapi lo juga harus siap kalau suatu saat sinyal itu beneran ilang. Dan lo malah nyari-nyari.”
Icha memelototkan mata. “NO WAY.”
Tapi di lubuk hatinya… entah kenapa, kalimat Dinda sedikit mengganggu.
Hari Senin itu, suasana sekolah terasa berbeda. Semua murid sibuk membicarakan satu hal: murid pindahan dari Bandung yang katanya super ganteng, pinter, dan atlet basket.
Icha sama sekali tidak tertarik.
Baginya, cowok baru atau lama, sama saja—kalau nyebelin kayak Albar, lebih baik tidak usah ada sekalian.
Tapi semua berubah saat murid baru itu masuk ke kelas mereka. Tinggi, rapi, wajahnya teduh dengan rambut sedikit bergelombang. Senyum ramahnya sukses membuat satu kelas mendadak hening.
“Kenalin, gue Rayan. Pindahan dari SMA 7 Bandung,” katanya, suara baritonnya bikin beberapa cewek langsung membenahi rambut.
Icha cuma menunduk, berusaha tidak peduli.
Namun nasib berkata lain.
Bu Tati, wali kelas mereka, langsung menunjuk bangku kosong di sebelah Icha.
“Kamu duduk di situ ya, di sebelah Icha.”
Albar, yang duduk tepat di belakang Icha, langsung menegang. Napasnya tercekat.
“Apaan ini… ada ancaman baru?”
Rayan duduk dengan tenang, menoleh ke Icha dan mengulurkan tangan.
“Hai, Icha, ya? Salam kenal.”
Icha ragu-ragu menjabat. “Eh… iya. Hai.”
“Gue dengar kamu yang paling pinter di kelas ini,” kata Rayan santai.
Icha mengerutkan kening. “Siapa yang bilang?”
“Semua orang. Mereka juga bilang kamu yang paling galak.”
Icha mendelik. “Nah, itu baru benar.”
Rayan tertawa. Tawa yang terdengar wajar, tidak dibuat-buat seperti Albar. Tidak ada kalimat aneh, tidak ada metafora tentang wifi. Hanya tawa biasa… tapi menenangkan.
Albar yang mendengar semuanya dari belakang, merasa jantungnya terbakar.
“Si Rayan udah kayak sinyal 5G! Gak bisa dibiarkan!”
Saat istirahat, Albar langsung menemui Rio di lapangan belakang.
“Bro, gue dalam masalah besar,” katanya panik.
Rio menguap. “Lagi-lagi Icha?”
“Bukan ‘lagi-lagi’. Ini serius! Ada cowok baru, namanya Rayan, dan dia duduk di sebelah Icha! Dan… dan Icha ketawa! KETAWA! Sama cowok lain!”
Rio mengangkat alis. “Terus?”
“Terus lo gak liat betapa seriusnya ini?! Gue bisa kehilangan sinyal utama gue!”
Rio tertawa pelan. “Bro, lo dari dulu ngejar sinyal itu tanpa hasil. Mungkin udah waktunya lo nyari jaringan baru.”
Albar menggeleng. “Gue gak bisa! Hanya Icha yang bisa bikin hidup gue konek.”
Sementara itu, di kantin, Dinda sedang menguping Icha dan Rayan ngobrol. Ya, menguping dengan terang-terangan.
“Lo betah pindah ke sini?” tanya Icha.
“Lumayan. Apalagi punya teman sebangku yang... unik,” jawab Rayan sambil tersenyum.
Icha mendesis. “Kalau yang lo maksud ‘unik’ itu artinya galak dan sensitif, lo gak salah sih.”
Rayan terkekeh. “Gue suka cewek yang gak gampang ditebak.”
Dinda langsung menyikut Icha di bawah meja. "IH DIA NGODE BANGET WOOI!"
Icha berdeham dan menghindari tatapan Rayan. Dalam hati, dia sebenarnya senang bisa bicara normal dengan cowok tanpa perlu dengar kata “wifi”.
Tapi saat itulah, Albar muncul—dengan dua minuman dingin dan ekspresi sok cool.
“Cha, gue pesenin es teh buat lo. Dua gula, dikit es, kayak biasa.”
Rayan langsung menoleh. “Eh, lo pacarnya Icha ya?”
Albar terdiam. Icha nyaris memuntahkan es tehnya.
“HAH?! PACAR?!”
“Wah, bukan ya?” Rayan mengangkat alis. “Soalnya kelihatannya deket banget.”
Icha mengibaskan tangan. “GAK! Dia penguntit. Penjaga warung. Tukang wifi keliling!”
Albar tertawa getir. “Gue lebih suka dibilang tukang wifi daripada dibilang gak penting.”
Setelah itu, Albar langsung pergi, meninggalkan minuman di meja.
Rayan menatap punggung Albar. “Cowok itu serius banget, ya?”
“Lebih dari serius. Ngeyel,” gumam Icha.
Tapi entah kenapa… ada sedikit rasa bersalah muncul. Walau menyebalkan, Albar gak pernah segalau tadi.
Sore itu, Albar duduk sendiri di taman belakang sekolah. Tempat dia pertama kali lihat Icha dua tahun lalu—waktu cewek itu sedang membaca sambil makan donat.
Ia menatap langit, lalu menunduk.
“Gimana kalau sinyalnya beneran pindah ke orang lain?”
Untuk pertama kalinya, Albar merasa takut.
Bukan takut kehilangan sinyal. Tapi takut kehilangan satu-satunya alasan dia semangat datang ke sekolah setiap hari.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!