NovelToon NovelToon

Janda Cantik Untuk Om Duda

BAB 1

Di sebuah butik yang dipenuhi dengan pakaian cantik beraneka warna, Bella, gadis kecil berusia tiga tahun, menjadi pusat perhatian. Dengan senyum lebar yang merekah di wajahnya, ia menyambut setiap pelanggan yang memasuki butik tersebut. Rambutnya yang diikat dua terus bergerak-gerak, penuh semangat, setiap kali ia berlari kecil menghampiri pengunjung.

"Bella! Celamat datang di butik kami, nyonya," serunya ceria saat melihat Julia, seorang wanita elegan yang tak asing di butik itu. Dengan pesonanya, Julia telah menjadi pelanggan setia yang selalu membuat butik semakin hidup.

"Terima kasih, kamu sangat menggemaskan," jawab Julia dengan senyum hangat, sambil mengusap pipi bulat Bella yang terlihat merah merona. Kehangatan interaksi antara keduanya membuat suasana butik terasa lebih akrab.

"Bella memang menggemaskan, cudah ada celibu olang yang belkata cepelti itu," ungkap Bella penuh percaya diri, memberi warna pada percakapan dengan kekonyolan khas anak-anak. Julia terkekeh, hatinya berbunga-bunga menyaksikan keimutan gadis kecil itu.

Dari jauh, Arumi, ibu Bella dan pemilik butik, mengamati momen manis itu. Senyumnya tak pernah pudar saat melayani pelanggan yang datang. Ia beranjak mendekati mereka dengan langkah penuh percaya diri.

"Silakan, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Arumi ramah begitu ia sampai di dekat Julia.

"Saya sedang mencari beberapa gaun pesta, untuk perempuan dan laki-laki. Nanti kamu antar ke rumah saya, ini alamatnya," ujar Anita sambil menyerahkan kartu namanya kepada Arumi, penuh harap agar butik ini dapat memenuhi kebutuhannya.

Arumi menerima kartu nama tersebut dengan senyum dan mengangguk, "Tentu, Nyonya Danendra. Akan saya pilihkan beberapa model untuk Anda." Suasana butik yang ramah dan penuh keceriaan itu membuat setiap pelanggan merasa seperti bagian dari keluarga.

Julia pun tersenyum lebar, puas dengan pelayanan yang tak hanya profesional, tetapi juga dipenuhi dengan kasih sayang antara Bella dan Arumi. Dalam setiap interaksi, butik itu bukan hanya sekadar tempat berbelanja, tetapi juga sebuah rumah hangat untuk setiap jiwa yang melangkahkan kaki ke dalamnya.

Setelah membayar, Julia pun meninggalkan butik tersebut. Arumi merasa bersyukur, hari ini mendapatkan pesanan yang lumayan banyak.

"Mama, olang itu tadi beli banyak baju ya?" tanya Bella dengan mata berbinar, penuh rasa ingin tahu.

"Iya, sayang," jawab Arumi seraya menggendong tubuh kecil putrinya, merasakan rasa syukur yang mendalam atas keberhasilan hari itu.

"Acik... Bel bica beli mainan!" seru Bella, sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi, seolah ingin menyentuh awan-awan kecil yang melintas di langit biru.

Arumi tersenyum getir. Ia teringat janji yang pernah diucapkannya untuk membelikan mainan bagi putrinya setelah baju-baju di butik laku keras. Namun, dalam hati, ia tahu betul bahwa hari itu, meski penjualan cukup memuaskan, pendapatan yang ada tetap harus diperuntukkan bagi biaya produksi dan kebutuhan sehari-hari.

Ia menatap lembut ke wajah ceria Bella, anak yang baru berusia tiga tahun. Canda tawa si kecil selalu menjadi penawar lelah setelah seharian berjuang mengelola butik kecilnya. Rasa capek yang kadang menghampiri seolah sirna ketika melihat senyum manis putrinya.

“Kita lihat nanti ya, kalau ada sisa, Mama janji akan belikan Bella mainan baru,” ucap Arumi, berusaha menjelaskan dengan lembut. Ia ingin Bella mengerti, meskipun dengan cara yang sederhana.

Bella, yang belum sepenuhnya memahami kondisi keuangan mereka, hanya mengangguk. Harapannya terlihat jelas di matanya yang berbinar, seolah meyakinkan Arumi bahwa janji itu sangat berarti baginya.

Arumi mengusap rambut lurus Bella dengan penuh kasih sayang. Dalam hati, ia berharap suatu hari nanti dapat memenuhi setiap keinginan putrinya tanpa harus berpikir dua kali. Sambil memilih beberapa pakaian pesanan, Arumi berdoa dalam hati semoga keesokan harinya pesanan akan lebih banyak lagi. Dengan setiap kue yang terjual, harapannya untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi Bella semakin dekat, meski tantangan tidak pernah berhenti menghadang.

Arumi Bahira adalah seorang wanita yang tangguh, berjuang dalam kehidupan sebagai single mom setelah pernikahannya hancur. Kehidupan rumah tangganya yang dulu tampak penuh dengan harapan dan kebahagiaan berakhir tragis ketika suaminya, Reza, terpengaruh oleh hasutan ibunya.

Dalam sebuah skenario yang menyakitkan, mertuanya menuduh Arumi berselingkuh dengan pria lain, memperlihatkan foto yang ternyata adalah rekayasa belaka. Kenyataan pahit ini menghancurkan kenyamanan yang dulu mereka miliki.

Setelah beberapa tahun menikah, Arumi tidak pernah membayangkan bahwa ia akan dikhianati dengan cara seperti itu. Foto-foto yang dipermainkan dan cerita-cerita palsu membuat Reza lebih percaya kepada ibunya daripada kepada Arumi, yang telah menjadi pendamping hidupnya.

Ketika Bella lahir, ia berharap perasaan bahagia akan membawa mereka lebih dekat, namun Reza tetap bersikukuh tidak mengakui bahwa Bella adalah anaknya. Setiap kali Arumi berusaha menjelaskan dan memperlihatkan bukti-bukti, Reza menutup telinga, terperangkap dalam kebohongan yang dirancang oleh ibunya.

Arumi merasakan sakit yang mendalam. Dia bekerja keras untuk memberikan kehidupan yang layak bagi Bella, meski tanpa dukungan dari ayahnya. Setiap senyuman Bella menjadi penopang semangatnya, memberikan alasan untuk terus berjuang meskipun beban hidup terasa sangat berat. Momen-momen kecil kebersamaan mereka, tawa, dan pelukan hangat dari Bella adalah pengingat bahwa di tengah semua kesedihan, masih ada cinta yang tulus.

Bagi Arumi, setiap hari adalah perjalanan yang penuh dengan tantangan. Dia tidak hanya harus menghadapi stigma sosial sebagai seorang ibu tunggal, tetapi juga mencari cara untuk membuktikan bahwa cintanya kepada Bella tak tergoyahkan. Meski masa lalu menghantuinya, Arumi bertekad untuk membesarkan Bella dengan segala cinta dan kasih sayang, memberikan yang terbaik untuk masa depan mereka berdua, tanpa peduli pada cemoohan dan keraguan dari orang-orang di sekelilingnya.

*Flashback On*

Bella baru saja menginjak usia tiga bulan ketika Arumi mendengar suara ketukan keras di pintu rumahnya. Dengan wajah pucat dan langkah gontai, seolah seluruh tenaga terhisap oleh kecemasan, ia membuka pintu, hanya untuk mendapati suaminya, Reza, dan ibu mertuanya berdiri dengan tatapan tajam yang menyayat.

Sejak kelahiran Bella, Reza tak pernah kembali ke rumah, memilih bertaruh pada kenyamanan rumah ibunya daripada berjuang bersama Arumi.

"Kami datang untuk menemui kamu," ucap ibu mertuanya dengan nada dingin, tak dapat menyembunyikan kebencian yang ada.

Kata-kata itu seperti duri yang menusuk hati Arumi, yang seakan mempersiapkan dirinya untuk sebuah pertarungan yang tak ingin ia hadapi.

Arumi mengangguk lemah, meski harapannya bahwa pertemuan ini bisa menjadi kesempatan untuk menjelaskan semuanya teramat samar. Ia mempersilakan mereka masuk, berusaha menjaga ketenangan di tengah kecamuk yang mengguncang dalam hati.

Sambil memangku Bella yang sedang tertidur, Arumi berusaha menyusun kalimat-kalimat yang tepat. "Saya tidak pernah selingkuh. Foto itu hanya rekayasa. Saya bisa bersumpah..." Ucapnya dengan suara penuh harapan.

Namun, kata-katanya terhenti begitu Reza memotong dengan suara keras, "Cukup, Arumi! Aku tidak ingin mendengar penjelasanmu lagi. Aku datang ke sini hanya ingin memberikan surat ini." Suara Reza yang tegas membuat hatinya berdesir.

Tatapan Arumi gusar, matanya berkaca-kaca menahan air mata yang berusaha untuk tumpah. Melihat apa yang akan terjadi selanjutnya, Arumi merasa situasi ini sungguh tidak adil. Dengan tangan yang bergetar, ia menerima surat yang diberikan Reza.

"Su-rat cerai?" tanyanya, menatap suaminya dengan peluh gugup membasahi dahi.

"Iya, aku akan menceraikanmu. Sekarang juga, kamu harus tanda tangan surat itu!" Reza berkata tanpa keraguan sedikit pun, seolah keputusan itu sudah bulat dalam pikirannya.

Ibu mertuanya menghampiri, tangan kasar mengusap kepala Bella yang masih tak berdaya dalam pelukan Arumi. "Lihatlah, tidak ada yang tahu siapa sebenarnya ayah kandung anak ini" sindirnya dengan nada menyakitkan, seolah kalimat itu adalah senjata untuk merobek-robek sisa harapan di hati Arumi.

Arumi merasakan hatinya hancur mendengar kata-kata itu. Namun, demi Bella, ia harus tetap kuat. Suara yang bergetar hampir tidak bisa keluar dari bibirnya, namun semua penjelasannya hanya sia-sia di hadapan dua orang yang tidak pernah mau mendengarkan.

Dengan sisa tenaga, Arumi akhirnya memutuskan untuk menerima perceraian itu. Dia menghela napas panjang dan menandatangani surat perceraiannya dengan Reza.

"Ini," ucap Arumi sambil menyerahkan surat itu kepada Reza dengan tangan bergetar.

"Ambil lah, aku tidak menginginkan itu semua. Dan secepatnya aku akan pergi dari rumah ini," tambahnya dengan tegas, meski hatinya penuh kepedihan.

Reza dan ibu mertuanya segera pergi, meninggalkan Arumi dalam suasana yang terasa hampa. Setiap detik yang berlalu ibarat jam-jam yang menyiksa bagi Arumi.

Setelah menutup pintu, ia kembali ke ruang tengah dan memeluk Bella erat-erat, berbisik lembut, "Apapun yang terjadi, mama akan selalu ada untukmu, sayang." Emosi bercampur antara keputusasaan dan kekuatan untuk melindungi anaknya di tengah badai yang tak kunjung reda.

*Flashback Off*

BAB 2

Ceklek!

Suara pintu butik terbuka dengan nyaring, memecah kesunyian pagi yang hangat.

“Yuhu... Aku datang!” teriak Rindu, sahabat setia Arumi, yang tak hanya menjadi teman, tetapi juga penolong dalam merawat Bella, gadis kecil yang kini sedang menjaga butik.

Di antara tumpukan barang dagangan dan aroma makanan lezat, Bella menatap Rindu dengan wajah sedikit cemberut. "Aunty Lindu, jangan belicik-belicik cih, nanti pelanggan mama pada kabul dengal cuala cempleng aunty Lindu"tegurnya, sambil memangku kedua pipi chubby nya.

Rindu hanya bisa tersenyum lebar, meski menyadari teguran Bella. “Bel, Bel sayang, di mana mama?” tanyanya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Mama cedang cibuk pilih baju untuk olang, coalnya hali ini mama dapat pecanan banyak,” jawab Bella, cepat dan lugas, penuh semangat.

“Sungguh? Keren sekali! Sekarang aunty bantuin mama kamu ya. Kamu di sini saja jaga toko. Panggil aunty kalau ada pembeli yang datang,” ungkap Rindu, berusaha menjaga semangat Bella. “Sebagai imbalannya, aunty kasih kamu cimol sama telur gulung,” lanjutnya, membuat mata Bella berbinar.

Dengan penuh semangat, Bella menerima cita rasa favoritnya. Namun, setelah Rindu pergi,

Bella merasa sepi, duduk di meja kasir dengan pikiran melayang. “Mulah cekali bayalan Bella, tapi nda apa-apa deh, dalipada nggak ada yang di bayal, hihii,” gumamnya pelan, sambil menikmati makanan yang menggugah selera.

Namun, seiring dengan rasa kenyang yang mulai menggelayuti pikirannya, keluhan mulai menghampiri. "Cepeltina penyakit Bella kumat," keluhnya dalam hati, saat kepalanya terasa berat.

Tanpa dapat menahan rasa ngantuk yang semakin menyerangnya, Bella merebahkan kepala di atas kaca meja yang dingin, berusaha mencari kenyamanan.

Mata kecilnya perlahan terpejam. Dalam ketenangan yang melingkupi, tubuh mungilnya terkulai di atas meja—tak peduli dengan hiruk-pikuk kota yang ramai di luar. Rasa kantuk menyergapnya seperti perasaan hangat setelah makan yang lezat. Dalam sekejap, gadis kecil itu terlelap, terbawa ke dalam mimpi di mana segala penyakit dan kesedihan tak lagi mengganggu. Di dalam dunia mimpinya, Bella bebas berlari, tertawa, dan bermain tanpa rasa sakit, menikmati kebahagiaan yang tulus.

******

Alvaro Danendra merupakan CEO tampan di sebuah perusahaan yang tengah berkembang pesat. Namun, kesibukannya sering kali mengorbankan hal-hal penting dalam hidupnya, terutama keluarganya. Di pagi yang cerah itu, Julia, sang ibu, merasa khawatir melihat putranya yang hendak pergi bekerja di hari Minggu.

"Kamu mau kemana, Al? Rapih begitu?" tanya Julia, nada suaranya mencerminkan keprihatinan seorang ibu.

"Aku ada meeting dengan klien, Mom," jawab Alvaro sambil meraih kunci mobilnya.

Helaan napas panjang keluar dari mulut Julia. Hari Minggu seharusnya menjadi waktu untuk berkumpul dan menikmati kebersamaan, namun putranya itu malah terjebak dalam kesibukan kerja yang tiada henti.

"Apa tidak sebaiknya ajak anakmu jalan-jalan, Al? Mumpung hari ini mereka libur. Mommy lihat, kamu sudah lama tidak mengajak anak-anakmu jalan-jalan," saran Julia, mencoba mengingatkan Alvaro akan tanggung jawabnya sebagai ayah.

"Mungkin lain kali, Mom. Meeting hari ini penting untuk kemajuan perusahaan kita," ucap Alvaro, mencoba mempertahankan fokusnya pada pekerjaan.

Melihat putranya bersiap pergi, Julia merasa kecewa. Alvaro telah mengenakan jas hitam rapi dan dasi yang terikat sempurna. Ia berbalik menatap ibunya dengan senyum yang dipaksakan, sebuah usaha untuk menutupi rasa bersalahnya.

Julia mendekat, tatapannya penuh harap. "Perusahaan memang penting, tapi bukan berarti kamu bisa mengabaikan kebutuhan anakmu, Al. Naka butuh perhatianmu, sosok ayah yang bisa merawat dan mencintai dia."

Kata-kata ibunya menghujam sanubari Alvaro. Ia menundukkan kepala, merasakan beban yang menyangkut di hati. "Aku tahu, Mom. Akan kuusahakan untuk mencari waktu."

Julia menggenggam tangan Alvaro, matanya yang berkaca-kaca mencerminkan harapan dan kerisauan. "Anakmu merindukan kasih sayangmu, Al. Jangan sampai pekerjaan menghalangimu dari kewajiban sebagai ayah. Mommy juga sudah mengusahakan beberapa jodoh untukmu, tapi kamu menolak semua itu."

Alvaro menghela napas panjang, antara tanggung jawab profesional dan kebutuhan emosional keluarga. "Aku berjanji akan memikirkannya lebih serius, Mom," ujarnya, memberikan kecupan lembut di kening ibunya sebelum melangkah ke pintu.

Di sisi lain, Naka, cucu Julia dengan pipi bulat dan mata berbinar, mendekat dengan langkah gontai, menyeret boneka beruang kesayangannya.

"Papa pelgi lagi ya, oma?" tanyanya lirih, penuh kerinduan.

Julia mengangguk dengan senyum pahit, merasakan berat hati melihat cucunya rindu pada ayahnya yang jarang di rumah. "Iya, sayang. Kamu harus bujuk papamu untuk mencari mama baru," canda Julia, berharap bisa meringankan suasana.

Naka merespons dengan semangat. "Naka cudah coba bujuk papa, tapi dia bilang cedang cibuk. Nanti Naka aja yang calikan ictli balu untuk papa," celotehnya, tampak antusias seolah ini adalah petualangan yang mengasyikkan.

Julia tertawa kecil, terhibur oleh kepolosan dan ketulusan cucunya. "Oma setuju, cari yang cantik ya," ujarnya sambil mengusap kepala Naka dengan penuh kasih sayang.

Dalam momen sederhana itu, meski Alvaro menghadapi tantangan besar di dunia kerjanya, Julia dan Naka menunjukkan betapa pentingnya cinta dan perhatian dalam keluarga, menciptakan harapan di tengah kesibukan yang kerap membutakan.

Setelah ayahnya pensiun, Alvaro mengambil alih perusahaan milik keluarga dengan penuh tanggung jawab. Dalam perjalanan hidupnya yang sarat dengan tantangan, ia harus memikul beban sebagai seorang duda yang ditinggal istrinya dua tahun lalu akibat kecelakaan mobil. Rasa kehilangan yang mendalam menggenggam hatinya, membuatnya enggan untuk melanjutkan hidup atau mencari cinta baru. Baginya, cinta almarhum istrinya adalah satu-satunya yang berarti, dan satu-satunya sosok wanita yang ia butuhkan.

Di tengah ruang kantornya yang megah dan dikelilingi pemandangan kota yang menakjubkan, Alvaro duduk di belakang meja kerjanya yang berantakan. Berbagai dokumen dan foto keluarga memenuhi sudut-sudut meja, mencerminkan kehidupan yang dulunya penuh kebahagiaan. Namun sekarang, rasa kesepian menguasai dirinya; ia sering kali termenung, matanya menerawang jauh menembus jendela kaca. Tak jarang, air mata hangat menggenang di sudut matanya saat memandangi foto istrinya yang tersenyum manis, wajah yang kini pudar oleh waktu namun tetap hidup dalam ingatannya. Kenangan-kenangan indah terus terbayang, menyakiti jiwanya dan mengoyak setiap serpihan memori yang pernah mereka bagi bersama.

Suara lembut asistennya, yang memanggilnya Tuan Al, mengguncang lamunan Alvaro. "Tuan Al, nyonya Julia Anda menelpon. Beliau menanyakan apakah Anda sudah mempertimbangkan saran beliau." Nada ragu sang sekretaris membuat Alvaro merasa tertekan, seolah sosok ibunya terus menerornya tanpa henti.

Dengan menghela napas panjang, Alvaro mengusap wajahnya yang kelihatan letih. "Katakan saja, saya masih belum siap. Saya masih membutuhkan waktu," ujarnya dengan suara serak yang penuh penolakan. Setiap kata yang terucap mencerminkan rasa berat yang menempel di hatinya, menolak ide untuk menikah lagi.

Setelah meninggalkan kantor lebih awal, Alvaro memutuskan untuk mengunjungi makam istrinya. Angin sepoi-sepoi menyapu lembut saat ia mendekat ke batu nisan yang terlihat baru, sebuah simbol kekasih yang telah pergi.

"Maafkan aku, aku masih belum bisa melanjutkan hidup ini tanpamu," ungkapnya lirih, tangannya meraba lembut batu nisan itu, mencari kehangatan dari sosok yang telah lama tiada. Dalam keheningan, dia berharap agar istrinya bisa mendengar dan memahami kesedihannya.

Ketika matahari mulai terbenam, Alvaro berbalik dan mengambil napas dalam-dalam, berjalan perlahan meninggalkan pemakaman. Bayang-bayang kesepian dan kehilangan mengikutinya pulang, menutupi hari-hari yang ia jalani tanpa sosok pendamping hidup yang pernah ia cintai dengan sepenuh hati.

Malam telah larut ketika Alvaro tiba di rumahnya. Tubuhnya terasa lelah, dan matanya sembab menahan beban pikiran yang telah menghantuinya selama berhari-hari. Dengan langkah berat, ia menaiki anak tangga menuju lantai atas. Setiap anak tangga seolah-olah memperpanjang perjalanan menuju pengakuan atas kesalahannya sebagai ayah sekaligus ibu untuk putranya.

Sebelum menuju kamarnya, Alvaro mengintip ke kamar putranya. Pintu kamar terbuka sedikit, membiarkan cahaya dari lorong menyelinap masuk dan menerangi wajah tenang anaknya yang tengah tertidur. Melihat Reynald dalam tidurnya, Alvaro merasa sejumput harapan muncul. Putranya membutuhkan sosok ibu, dan perjuangan ini tidak hanya tentang dirinya, melainkan juga tentang masa depan Naka yang layak memiliki cinta dan perhatian.

Saat itulah, di tengah malam yang sunyi, Alvaro mulai merenung. Mungkin saatnya untuk melangkah maju, meskipun rasa takut dan kesedihan akan kehilangan masih membayangi. Dengan hati yang berat, ia bersiap untuk menemukan cara agar cinta dan kenangan tidak membuatnya terpuruk selamanya.

Alvaro mendorong pintu pelan, berusaha sebisa mungkin agar tidak mengeluarkan suara yang bisa membangunkan sang anak.

Di dalam, terlihat jelas sosok putranya yang meringkuk di tempat tidur, memeluk guling dengan erat, seolah-olah mencari kehangatan. Alvaro menghampiri ranjang dengan hati yang berat, duduk di sisi ranjang sambil memperhatikan wajah damai putranya.

Dengan gerakan yang penuh kasih, dia menarik selimut untuk menutupi tubuh anaknya yang tidak lagi merasakan dingin malam. Dia berhenti sejenak, mengamati setiap detail dari wajah anaknya, mengingatkan dia pada masa-masa ketika keluarga kecilnya masih lengkap.

Alvaro menundukkan kepalanya, merasakan beratnya tanggung jawab yang belum dia penuhi sepenuhnya. Dengan lembut, dia mencium kening putranya, sebuah tanda cinta dan penyesalan yang mendalam.

Suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar, ketika dia berbisik, "Maafkan papa, belum bisa menjadi papa yang baik untukmu." Air mata mulai menggenang di matanya, dia berusaha menahan agar tidak jatuh dan membangunkan anaknya.

BAB 3

Pagi yang cerah menyelimuti rumah Alvaro dan Naka. Sinar matahari menyusup masuk melalui jendela, menandai awal hari yang baru. Dalam suasana tersebut, Alvaro menghampiri putranya yang tengah asyik dengan aktivitasnya.

"Pagi boy, kamu lagi apa hmm?" tanya Alvaro sambil menjatuhkan tubuhnya di samping Naka. Suara hangatnya terasa seperti pelukan di pagi hari, namun Naka tampak sedikit sinis menanggapi.

Naka menatap ayahnya dengan tatapan mengejek, "kok di lumah, nda kelja? cudah cadal ya kalau puna anak," sindirnya. Seolah mengkritik pilihan ayah yang mulai mengambil waktu untuk bersantai, alih-alih menuntut keseriusan.

Alvaro mengerutkan kening, rasa kesal mulai muncul. "Kerja salah, tidak kerja salah. Dari dulu juga papa sadar kalau punya anak. Kalau tidak sadar, mana mungkin papa membelikanmu mainan?" balasnya cepat. Namun, dalam hatinya, Alvaro merasakan dampak dari pernyataan Naka yang tajam.

"Alacan, kalau tahu cudah puna anak, kenapa kelja telus? Nda pelnah papa temani Naka. Mendelita cekali dili ini, cendilian telus dibuatnya," ucap Naka dengan nada dramatis, seolah meminta perhatian yang selama ini ia rasa terabaikan.

Mendengar itu, hati Alvaro teriris. Ia menoleh, matanya menatap putranya yang masih kecil dengan beban rasa bersalah yang mendalam. Keberanian dan semangat Naka mengguncang kesadarannya.

"Naka, papa benar-benar minta maaf," ujarnya sambil menghela napas berat. "Papa bekerja keras agar bisa memberikan yang terbaik untukmu, untuk masa depan kamu." Suara Alvaro bergetar, mencoba menjelaskan perjalanan yang mungkin belum bisa dipahami oleh Naka.

Naka, dengan bola mata yang mulai berkaca-kaca, menundukkan kepalanya. Ia merasa bingung, tidak mengerti mengapa ayahnya selalu sibuk, sementara teman-temannya bisa merasakan kehangatan bermain bersama orang tua mereka.

Alvaro berusaha merangkul bahu Naka, tetapi Naka sedikit menghindar. Tindakan itu membuat Alvaro semakin menyadari bahwa masih banyak yang harus diperbaiki dalam hubungan mereka.

"Papa janji, akan mencoba lebih sering ada di rumah. Kita bisa main bola atau main game bersama, ya?" tawarnya penuh harap, ingin mengajak Naka kembali ke momen-momen indah yang pernah mereka lalui.

Namun, Naka mengangkat wajahnya, menatap Alvaro dengan ragu. "Nda mau, nda teltalik Naka" tolaknya dengan nada yang penuh ketidakpuasan, seolah mengisyaratkan bahwa luka hatinya belum sembuh.

"Terus kamu maunya apa? Kenapa kamu tidak mau ngertiin papa? Kalau papa ngga kerja, bagaimana bisa beli susu untuk kamu?" kesal Alvaro, perasaannya di ambang sewot, berjuang mengingatkan Naka akan kenyataan.

"Papa juga nda pelnah ngelitiin Naka, cih. Naka cudah becal nda butuh cucu, butuhnya mama balu," seru Naka sambil menahan emosinya yang mulai meluap. Kata-kata itu menggema, menandakan jarak yang semakin melebar antara mereka.

Keduanya terdiam, kesempatan untuk saling memahami terbuka lebar, namun keinginan untuk melanjutkan perdebatan lebih kuat. Dalam ketegangan itu, harapan untuk memperbaiki segalanya tampak semakin samar.

Alvaro melongo tak percaya. Kata-katanya berputar di benaknya, mencerna permintaan tak terduga dari putranya: ingin mama baru. Rasa kecewa menyelip di hatinya, menyadari bahwa ini semua mungkin karena Sang mommy yang meracuni otak kecil putranya.

Naka, putranya yang biasanya hanya menjalani hari-hari dengan ringannya, kini tiba-tiba saja menuntut sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Sebelumnya, Naka tidak pernah menyebut-nyebut tentang mama baru. Namun, belakangan ini, ia lebih sering berkata ingin memiliki sosok seperti mama teman-temannya yang selalu menjemput dengan hangat.

Di sudut ruangan, Alvaro duduk termenung, kepalanya bersandar pada dinding yang dingin. Ia mengusap wajahnya yang letih dengan kedua tangan, berusaha mencerna ucapan Naka yang baru saja terlontar. Cara pikirnya kacau; bagaimana mungkin anak sekecil itu, baru berusia tiga tahun, sudah berbicara tentang 'mama baru'? Pandangannya menerawang jauh ke dalam sisa-sisa memori, mencari jawaban yang mungkin bisa mengobati luka yang baru terbuka.

Di sisi lain, Naka duduk dengan kedua kakinya yang mungil bergelantungan di kursi, matanya menatap ayahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Bibir mungilnya mengerucut, seolah menyimpan kekesalan yang dalam.

“Apa calahnya minta mama balu? Naka juga ingin cepelti teman-teman Naka,” ucapnya, suaranya lirih namun sarat akan tuntutan. Kesedihan dan kekesalan bercampur aduk dalam kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Alvaro menghela napas panjang, berusaha untuk tidak emosi.

"Untuk kedepannya, papa janji akan meluangkan banyak waktu untuk naka" ucap Alvaro sambil berjongkok di hadapan putranya.

Naka menyipitkan matanya, dia merasa papanya itu tidak mengerti keinginannya. "Papa ini cebenalnya mengelti nda cih? kecal kali Naka ini. Naka itu minta mama bukan minta waktu papa" serunya kesal.

"Cudahlah, males kali Naka ngoblol cama papa, nda pelnah nyambung" ucapnya dan pergi meninggalkan papanya.

Hari ini, Alvaro sengaja tidak masuk kerja untuk menemani putranya, Naka. Namun, rencana mulia itu sepertinya justru ditolak oleh Naka, yang merasa jauh lebih kesepian dan sakit hati daripada sebelumnya. Kesedihan menghantuinya, seperti bayangan panjang yang tak kunjung pergi.

"Al, mau sampai kapan kamu larut dalam kesedihanmu itu?" tanya Nyonya Julia, sang ibu, sambil melangkahkan kakinya penuh rasa prihatin menghampiri putranya. Ia tidak sengaja mendengar perdebatan antara Alvaro dan Naka, dan hatinya merasa terbebani melihat putranya terpuruk dalam kesedihan yang berkepanjangan. "Clara sudah tenang di sana. Tidak seharusnya kamu terus memikirkannya. Kamu juga harus memikirkan Naka. Dia membutuhkan kasih sayang seorang ibu," lanjutnya dengan nada lembut, berusaha menyentuh hati Alvaro.

"Yang dikatakan mommy mu benar, Al. Tidak ada gunanya kamu terus meratapi kesedihanmu itu. Toh, sampai kapan pun Clara tidak akan pernah bisa hidup lagi," timpal Tuan Jason, ayah Alvaro, dengan suara tegas namun tetap lembut. Dua orang yang paling dekat dengan Alvaro itu berusaha memberikan nasihat, berharap anak mereka perlahan bisa bangkit dari keterpurukan.

Alvaro menghela napas panjang, merasakan beratnya beban di dadanya. Dia merasa terpojok oleh kata-kata memojokkan dari kedua orang tuanya. Bukan tidak mau, tetapi di dalam hatinya masih tersemat begitu dalam nama almarhumah istrinya. Kenangan indah dan masa-masa bersamanya masih bercampur dengan rasa kehilangan yang menyakitkan.

Namun, di sudut hatinya, dia juga menyimpan harapan. Jika suatu hari dia dipertemukan dengan perempuan lain—seorang wanita yang tulus dan bisa menerima serta menyayangi kedua putranya sepenuhnya—mungkin dia akan mempertimbangkan semuanya. Mungkin dia akan membuka hati untuk wanita tersebut dan memberi mereka kesempatan.

"Aku masih belum bisa melupakan Clara, mom, dad,” ucap Alvaro pelan, suaranya nyaris terdengar putus asa. Kata-katanya menandakan betapa dalamnya kesedihan yang ia rasakan, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa hidup harus terus berjalan, dan Naka sedang menunggu di tengah pergulatan emosional ini. Kesedihan akan tetapi tetap menjadi bagian dari jalan menuju penyembuhan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!