Hujan gerimis membasahi kota dengan irama monoton yang menciptakan simfoni kelam malam itu. Angin menusuk-nusuk kulit Dewi yang hanya terbungkus jaket tipis, membuat tubuhnya menggigil bukan hanya karena dingin, tapi juga karena kelelahan. Bau tanah basah bercampur dengan aroma alkohol yang masih melekat di tubuhnya, menjadi saksi bisu bahwa ia baru saja keluar dari dunia gelap tempatnya bekerja.
Langkah-langkahnya berat saat menyusuri gang sempit menuju rumah kost. Gang itu biasanya sepi, tak lebih dari lorong basah dan sunyi yang hanya ditemani suara jangkrik dan tetesan air dari talang bocor. Namun malam ini, sunyi digantikan oleh raungan pelan mesin mobil mewah yang berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri.
Cahaya lampu mobil menembus gelap, menyoroti jalanan sempit dan memperlihatkan pemandangan mengerikan: sekelompok pria berjas hitam mengepung seseorang yang terkapar di tanah. Tubuh korban penuh darah, wajahnya nyaris tak bisa dikenali. Satu pria berdiri dengan pistol berkilau di tangan, siap mengeksekusi.
Dewi membeku. Napasnya tercekat. Tenggorokannya kering. "Apa... yang..." bisiknya, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
Suara tembakan memecah malam. Letusan itu membuat lututnya lemas. Dia berbalik, mencoba bersembunyi di balik bayangan tembok yang lembab. Tapi nasib buruk datang begitu cepat. Kakinya menyenggol tong sampah logam.
BRAK!
Bunyi nyaring itu seperti petir di tengah keheningan. Semua kepala menoleh ke arahnya. Tatapan-tatapan tajam itu menghujam seperti pisau.
"Ada orang!" seru salah satu dari mereka.
Seorang pria bertubuh tegap, dengan jas hitam dan wajah dingin, memberi isyarat dengan tangannya. "Kejar dia. Jangan biarkan dia lolos."
Panik melanda. Dewi lari sekuat tenaga, hujan menghantam wajahnya, air mata bercampur dengan tetesan hujan. Nafasnya memburu, jantungnya berdentum keras di dada. Di belakangnya, suara langkah-langkah kaki memburu cepat.
"Cepat! Kejar dia! Jangan beri ampun!"
Lorong gang terasa semakin sempit. Kakinya tergelincir. Lututnya berdarah. Tapi ia bangkit lagi.
"Jangan mati malam ini… tolong Tuhan… jangan biarkan aku mati malam ini…" gumamnya penuh putus asa.
Suara langkah semakin dekat.
"Tangkap dia hidup-hidup! Tuan Rafael ingin dia bicara!"
Nama itu. Rafael.
Dewi tak tahu siapa Rafael, tapi dari cara mereka menyebutnya, pria itu bukan orang biasa. Bukan hanya pembunuh, tapi pemimpin. Otak di balik kekejaman malam ini.
Ia berbelok ke gang kecil lainnya, menabrak tumpukan kardus, membuat bunyi gaduh. Nafasnya semakin berat. Jantungnya seperti ingin meloncat dari dadanya. Ia menoleh ke belakang dan melihat sosok pria bertopeng mendekat dengan cepat.
Tiba-tiba tangan kuat menariknya dari samping. Mulutnya ditutup. Ia meronta, namun kekuatan pria itu jauh lebih besar.
"Diam," bisik suara dalam, berat, dan dingin di telinganya. "Kau membuat kekacauan yang tidak seharusnya."
Dewi berusaha menjerit, tapi suara itu membuat darahnya membeku.
"Kau seharusnya tidak ada di sana. Sekarang kau milikku."
Gelap menyelimuti. Kesadaran Dewi memudar saat kepalanya dipukul dari belakang. Dunia berubah menjadi kegelapan total.
Cahaya remang menerobos dari sela-sela tirai tebal ketika Dewi membuka matanya perlahan. Kepalanya berdenyut hebat, dan tubuhnya terasa seperti baru saja dilempar dari ketinggian. Ia mencoba duduk, tapi tangan dan kakinya diikat ke kursi kayu yang kokoh.
Ruangan itu asing. Dinding-dindingnya berwarna gelap dengan lukisan-lukisan klasik. Aroma kulit dan tembakau memenuhi udara. Lampu gantung bergoyang pelan di atas kepala, menciptakan bayangan yang menari di sekeliling ruangan.
"Kau sudah sadar."
Suara itu membuat bulu kuduk Dewi berdiri. Ia mendongak. Seorang pria berdiri beberapa meter darinya. Tegap. Berpakaian rapi. Mata tajamnya mengamati seperti elang.
"Siapa kau?" bisik Dewi dengan suara parau.
Pria itu tak menjawab. Ia melangkah mendekat, mengambil kursi, dan duduk di hadapannya. Kedekatan mereka membuat Dewi bisa melihat wajahnya lebih jelas, tampan, tapi dingin. Ada luka tipis di pelipisnya, dan tatapan matanya begitu gelap.
"Namaku Rafael," katanya akhirnya. "Dan kau telah melihat sesuatu yang tidak boleh kau lihat."
Dewi mencoba menghindari tatapannya.
"Aku... aku nggak akan bilang ke siapa-siapa. Sumpah... Aku cuma lewat! Aku bahkan nggak ngerti apa yang kulihat!"
Rafael tertawa kecil. Bukan tawa lucu. Tapi tawa merendahkan.
"Semua orang bilang begitu sebelum mereka membuka mulut. Tapi aku tak suka berjudi."
Ia berdiri dan berjalan ke arah rak, menuang segelas anggur.
"Kau beruntung aku tak membunuhmu saat itu juga," lanjutnya.
"Tapi sekarang, kau ada di sini. Dan kau milikku."
"Aku bukan barang!" teriak Dewi, marah dan takut bercampur menjadi satu.
"Tidak," sahut Rafael sambil berbalik.
"Tapi kau akan tetap di sini. Sampai aku memutuskan nasibmu."
Dewi mulai menangis. Tangis tanpa suara. Air mata mengalir di pipinya saat ia menyadari bahwa hidupnya takkan pernah sama lagi.
Rafael berdiri memandangi Dewi sejenak, seperti sedang menimbang sesuatu. Ia melangkah pelan ke belakang, membiarkan keheningan membunuh itu menguasai ruangan. Detik berlalu, namun bagi Dewi, waktu seakan berhenti. Suara detak jam dinding terdengar seperti ledakan di telinganya. Setiap detik menambah tekanan di dada yang terasa sesak.
"Apa yang akan kau lakukan padaku?" tanyanya akhirnya, suara gemetar seperti bisikan angin.
Rafael menatapnya lama. "Untuk sekarang? Tidak ada. Tapi kau harus belajar satu hal: aku tidak suka dibohongi. Sekali kau mencoba melarikan diri atau membuka mulut... aku tidak segan-segan mengakhiri mu."
Kata-katanya bagai pisau yang menembus kulit, menorehkan rasa takut yang baru. Dewi menggigit bibir, mencoba menahan tangisnya yang kembali naik ke permukaan. Luka di lututnya masih terasa perih, tapi lebih perih lagi adalah kenyataan bahwa ia sekarang adalah tawanan dari pria berbahaya yang memimpin malam dengan darah.
Rafael melangkah ke pintu, lalu berhenti. "Mulai sekarang, kau akan tinggal di sini. Akan ada seseorang yang merawat mu, memberimu makan. Tapi kau tidak akan keluar. Tidak akan menyentuh apapun tanpa izin. Jika kau melanggar..."
Ia tak menyelesaikan kalimatnya. Ia hanya menoleh sedikit dan memberi senyum tipis—senyum yang tak membawa hangat, tapi dingin seperti salju yang membekukan jiwa.
Kemudian pintu tertutup. Bunyi klik kunci terdengar jelas. Dewi sendiri. Di ruangan asing, penuh bayangan dan rasa takut. Ia menangis lagi. Kali ini keras. Tanpa malu. Ia memanggil Tuhan, memanggil siapa pun yang mungkin bisa mendengar. Tapi dinding itu terlalu tebal. Dunia luar terlalu jauh.
Dan ia tahu, malam itu adalah awal dari mimpi buruk yang nyata. Sebuah malam yang tak hanya mengubah takdirnya, tapi juga menjadikannya bagian dari permainan kejam seorang pria bernama Rafael.
Beberapa jam berlalu. Mungkin lebih. Dewi kehilangan jejak waktu. Tubuhnya lelah, pikirannya lelah, tapi rasa takut terus membuatnya terjaga.
Kemudian suara langkah terdengar mendekat. Lembut, ringan. Bukan seperti sepatu bot kasar para penjaga tadi. Pintu berderit terbuka, dan cahaya lampu dari lorong menyelinap masuk, memperlihatkan siluet seorang wanita.
"Aku tidak akan menyakitimu," kata suara lembut itu.
Wanita itu melangkah masuk perlahan, membawa nampan berisi semangkuk sup hangat dan sebotol air. Wajahnya tampak tenang, sekitar usia akhir dua puluhan, mengenakan pakaian sederhana: blus putih dan celana hitam. Matanya menyorotkan empati, berbeda jauh dari tatapan dingin Rafael.
"Namaku Clara," katanya sambil meletakkan nampan di meja kecil dekat kursi Dewi.
"Aku yang akan menangani mu di sini."
Dewi menatapnya penuh curiga, masih bergetar. Tapi suara Clara begitu berbeda. Tidak mengancam. Tidak menghina. Justru seperti pelukan yang nyaris tak pernah ia dapatkan.
"Kenapa aku di sini...?" tanya Dewi lirih.
Clara menarik napas panjang, lalu duduk di kursi seberang.
"Karena kau melihat sesuatu yang tidak seharusnya kau lihat. Rafael tidak suka saksi. Tapi dia juga bukan pria yang selalu membunuh tanpa alasan."
Dewi memalingkan wajahnya. "Dia psikopat."
Clara terdiam sejenak. Kemudian berkata pelan, "Mungkin. Atau mungkin dia cuma pria yang terlalu lama hidup dalam kekuasaan dan dendam."
Kalimat itu menggantung di udara. Ada luka dalam suara Clara. seolah ia juga pernah merasakan kekejaman Rafael, atau mungkin menyaksikannya terlalu sering.
"Aku nggak mau di sini," ucap Dewi, nyaris menangis lagi. "Aku cuma ingin pulang. Aku nggak akan bicara ke siapa-siapa, sungguh..."
Clara menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Lalu mendekat, membuka tali pengikat di tangan dan kaki Dewi dengan cepat tapi hati-hati.
"Aku percaya kamu. Tapi bukan aku yang memutuskan."
Dewi mengusap pergelangan tangannya yang merah. Ia menatap Clara, suara bergetar. "Kenapa kamu bantu aku?"
Clara terdiam sesaat. Lalu menjawab, "Karena dulu... aku juga pernah duduk di kursi itu."
Darah Dewi berdesir. Ia memandang wanita itu dengan mata membelalak. Tapi sebelum bisa bertanya lebih jauh, Clara sudah berdiri.
"Makanlah. Luka di kakimu akan ku bersihkan nanti. Tapi untuk sekarang, jangan buat masalah, ya? Mereka mengawasi mu."
Kemudian Clara melangkah pergi, meninggalkan Dewi dalam campuran rasa takut dan penasaran. Siapa Clara sebenarnya? Apa maksudnya dengan pernah berada di kursi ini? Apa hubungannya dengan Rafael?
Dan yang paling menyesakkan: berapa lama lagi ia harus bertahan di tempat neraka ini?
Rafael, 32 tahun. Seorang pria dingin dan berkuasa, pemimpin kelompok kriminal yang beroperasi secara brutal dan penuh perhitungan. Ia tidak menunjukkan belas kasihan, namun di balik sikap tegas dan ancamannya, tersembunyi masa lalu kelam yang membentuk pribadinya. Rafael tak suka ketidakpatuhan dan sangat menjaga rahasia kelompoknya.
Dewi, 22 tahun. Gadis muda yang tangguh meski berasal dari latar belakang keras. Ia bekerja di dunia malam demi bertahan hidup, tapi memiliki hati yang lembut dan keinginan kuat untuk bebas dari kehidupan kelamnya. Tanpa sengaja menyaksikan pembunuhan, Dewi terjebak dalam permainan berbahaya Rafael dan harus mencari cara untuk bertahan.
Langit pagi itu mendung, tapi di dalam rumah besar bergaya klasik tempat Dewi dikurung, sinar matahari nyaris tak pernah menyentuh lantai. Tirai-tirai tebal menutup rapat jendela, dan setiap sudut ruangan terasa seperti menyimpan rahasia. Clara baru saja keluar setelah memberi sarapan, meninggalkan Dewi yang kini bisa berjalan bebas. setidaknya di kamar itu.
Ia mencoba membuka pintu. Tetap terkunci.
Napasnya berat. Kebebasan palsu. Seolah tali di tubuhnya diganti dengan dinding tak terlihat.
Tiba-tiba, suara ketukan terdengar di balik pintu. Tapi bukan ketukan lembut milik Clara. Lebih berat. Lebih cepat.
Pintu terbuka. Seorang pria muda masuk. Rambutnya pirang gelap, matanya tajam dan gerak-geriknya seperti binatang liar yang siap menerkam kapan saja. Wajahnya mengingatkan Dewi pada seseorang, tapi ia tak bisa mengingat siapa.
“Baru seminggu di sini dan kau sudah membuat banyak perhatian,” katanya sambil berjalan mengelilingi ruangan.
“Aku heran Rafael tidak langsung membuang mu.”
Dewi berdiri kaku, tubuhnya kembali kaku seperti malam pertama ia tiba. “Siapa kamu?”
“Namaku Matteo,” jawab pria itu singkat, lalu menatap tajam. “Adik tiri Rafael.”
Dewi tersentak. “Kau... mirip...”
“Ya, semua orang bilang begitu,” ucap Matteo sambil menyeringai sinis.
“Tapi kami sangat berbeda. Aku tak bermain-main dengan ancaman seperti dia. Kalau aku yang menemukanmu malam itu... kau sudah mati.”
Napas Dewi tercekat. “Apa yang kau mau?”
Matteo menghampiri, berdiri sangat dekat. “Aku ingin tahu kenapa Rafael membiarkanmu hidup. Dia tak pernah selembut itu, bahkan pada orang-orang kepercayaannya. Clara, misalnya. Kau pikir dia betul-betul peduli padamu?”
Dewi menatap Matteo lekat-lekat. “Clara baik padaku.”
“Clara dulu tunangannya,” ujar Matteo santai.
Dunia Dewi terasa runtuh sesaat. “Apa...?”
“Ya. Tapi itu dulu. Sekarang, dia hanya hantu yang berkeliaran dalam istana ini. Dan kau... hanya korban berikutnya.”
Matteo mendekatkan wajahnya, bisikannya nyaris menyentuh telinga Dewi. “Hati-hati, Dewi. Jangan percaya siapa pun di tempat ini. Bahkan Clara. Apalagi Rafael.”
Lalu ia pergi, meninggalkan Dewi membeku dalam kebingungan dan ketakutan baru.
...
Malam Hari
Clara datang kembali dengan makanan malam. Dewi duduk di pojok ruangan, memeluk lutut.
“Kau tidak makan?” tanya Clara.
“Siapa Matteo?” tanya Dewi cepat.
Clara terdiam. Tangan yang memegang nampan sedikit gemetar.
“Dia bilang kau dulu tunangan Rafael…”
Clara menunduk. “Aku... dulu percaya dia bisa berubah. Tapi Rafael yang sekarang bukan lagi lelaki yang dulu kucintai.”
Dewi bangkit, matanya berkaca-kaca. “Kau bilang aku bisa percaya padamu.”
“Kau bisa.”
“Tapi kau tidak pernah bilang siapa kau sebenarnya. Kau berbohong, Clara!”
Clara menutup mata sejenak, lalu membuka perlahan. “Aku tetap di sini karena seseorang harus menjaga agar tempat ini tidak sepenuhnya gelap. Karena kalau aku pergi… mungkin tak akan ada lagi yang tersisa dari sisi manusia Rafael.”
Dewi memalingkan wajahnya. Kepercayaan yang sempat tumbuh, kini mulai retak.
...
Sementara itu, Rafael menatap layar monitor yang menunjukkan rekaman dari kamar Dewi. Ia mendengar semua percakapan itu. Wajahnya tenang, tapi jemarinya mengetuk meja dengan ritme tak menentu.
“Matteo bergerak lebih cepat dari yang kupikirkan…” gumamnya.
Salah satu pengawalnya masuk. “Tuan, Matteo menyelinap ke kamar wanita itu pagi ini.”
“Aku tahu.”
“Apa perlu kami cegah?”
Rafael berdiri, matanya penuh bara. “Tidak. Biarkan dia berpikir dia memegang kendali. Tapi awasi dia. Jika dia menyentuhnya… bunuh.”
...
Beberapa Hari Kemudian
Dewi menemukan kertas kecil terselip di bawah bantalnya.
"Malam ini. Pukul dua. Jendela barat. Jangan beritahu siapa pun."
—M
Matanya melebar. Ia berbalik, mencari tanda-tanda siapa yang meletakkannya. Tak ada siapa-siapa.
Jam dinding menunjukkan pukul 1:55 dini hari.
Dewi duduk gelisah di atas ranjang, tangannya menggenggam kertas kecil itu erat-erat. Di luar, angin berdesir pelan, menyapu jendela yang mengarah ke sisi barat rumah. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Sunyi. Terlalu sunyi.
Dia melangkah perlahan ke arah jendela. Tirai tebal ia singkap pelan-pelan. Jendela itu terkunci, tapi seperti yang diinstruksikan dalam catatan Matteo, ada baut yang bisa dilonggarkan dari dalam.
Dengan gemetar, ia membuka baut itu. Satu per satu, hingga jendela terbuka pelan-pelan, mengeluarkan suara berdecit kecil yang menusuk keheningan malam.
“Dewi.”
Suara pelan dari luar mengejutkannya. Matteo muncul dari balik bayangan. Ia mengenakan pakaian serba hitam, menyatu dengan malam.
“Kau datang,” katanya sambil menyodorkan tangan.
Dewi memandang tangannya ragu. “Ke mana kau akan membawaku?”
“Keluar dari tempat ini. Kau tak akan bisa bertahan jika terus di sini. Rafael... dia tak akan membiarkanmu hidup jika kau tak lagi menarik baginya.”
Dengan keraguan yang masih menggelayuti hatinya, Dewi akhirnya menyentuh tangan Matteo. Ia dibantu keluar jendela. Di bawah, rerumputan basah menyentuh kakinya.
“Lewat sini,” bisik Matteo, menariknya menuju pagar samping, di mana sebuah mobil hitam sudah menunggu.
Namun baru beberapa langkah, lampu sorot menyala dari arah atas gedung. Sirine pendek berbunyi.
“Kita ketahuan!” seru Matteo. Ia menggenggam tangan Dewi lebih erat dan mulai berlari.
Beberapa pria berbaju hitam muncul dari balik semak. Dewi menjerit kecil saat suara tembakan terdengar di belakang mereka. Peluru menghantam pohon dekat kakinya.
“Matteo!” teriak Dewi panik.
“Tetap lari!” balasnya.
Mereka berlari menuju hutan kecil di belakang rumah besar itu. Nafas Dewi tersengal, tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Tapi ketakutan mengalahkan rasa lelah. Mereka menyusuri jalur licin, berkelok, hingga akhirnya Matteo menariknya masuk ke sebuah gubuk kayu tua yang tersembunyi di antara pepohonan.
Dia mengunci pintu dari dalam dan menyalakan lilin kecil.
“Tenang. Mereka takkan menemukan tempat ini dalam waktu dekat,” ujarnya.
Dewi masih terengah, tubuhnya gemetar. “Kau bilang semuanya aman!”
“Aku tak menduga Rafael akan menambah kamera di sisi barat. Ini jebakan untukku, bukan hanya untukmu,” katanya, wajahnya keras.
“Jadi ini bukan tentang menyelamatkanku?” tanya Dewi lirih.
Matteo menatapnya lama. “Separuhnya ya. Tapi kau juga kunci. Kau membuat Rafael lemah. Itu bisa kupakai.”
Wajah Dewi menegang. “Jadi aku cuma alat bagimu juga?”
Matteo mendekat. “Aku tak pernah pura-pura menjadi pahlawan, Dewi. Tapi aku bisa jadi jalan keluar terakhirmu.”
Sebelum Dewi sempat menjawab, suara kendaraan terdengar mendekat. Sorot lampu menyisir pepohonan.
Matteo mencengkeram lengannya. “Kita harus pergi sekarang.”
Sementara itu, di dalam rumah Rafael
Rafael berdiri di depan layar CCTV, menyaksikan pelarian itu dengan ekspresi dingin. Di belakangnya, Clara berdiri sambil menahan tangis.
“Kau sengaja membiarkan mereka lolos,” kata Clara pelan.
Rafael hanya diam. Matanya tak lepas dari layar.
“Kau ingin tahu siapa yang lebih berani melawa mu: aku, atau dia?” lanjut Clara.
Rafael akhirnya bicara, suaranya berat. “Tidak. Aku ingin tahu siapa yang paling tega mengkhianati ku.”
Kembali ke hutan
Dewi dan Matteo akhirnya mencapai jalan setapak berbatu. Di kejauhan, lampu sebuah pondok kecil terlihat. Matteo menunjuk ke sana.
“Kita istirahat di sana sebentar. Itu tempat persembunyianku.”
Namun sebelum mereka sampai, suara langkah dari dua arah menghentikan mereka.
“Matteo…”
Suara pria lain. Dalam bayang-bayang muncul dua pria bersenjata. Salah satunya menodongkan pistol ke arah Dewi.
“Serahkan perempuan itu. Perintah langsung dari Tuan Rafael.”
Matteo berdiri di depan Dewi, melindunginya.
“Sentuh dia, dan kalian mati.”
Ketegangan mencapai puncak.
Lalu terdengar suara lain dari arah belakang mereka. Clara muncul, tubuhnya dibasahi hujan ringan yang mulai turun. Di tangannya, pistol. Ia menodongkan ke salah satu pria itu.
“Jangan sentuh dia,” ucap Clara.
Dewi menatap wanita itu tak percaya. “Clara…?”
“Aku janji padamu, aku akan melindungi mu… walau itu berarti melawan Rafael.”
Suasana jadi semakin kacau. Tiga pihak, satu konflik. Dan di antara mereka, Dewi. korban, kunci, dan api yang bisa membakar segalanya.
Hujan turun makin deras, membasahi tanah dan menyamarkan jejak. Udara di hutan berubah menjadi dingin dan penuh ketegangan. Tiga arah, tiga senjata, dan satu keputusan yang bisa mengubah segalanya. Suara dedaunan yang terinjak menjadi satu-satunya musik latar, menyertai detik-detik yang seperti membeku.
Matteo berdiri tegap di depan Dewi, tubuhnya basah kuyup. Senjata yang tersembunyi di balik jaketnya perlahan ditarik keluar, tapi ia tak langsung menodong. Tatapannya menyapu wajah dua pria utusan Rafael.
Clara bergerak mendekat dari sisi lain, pistolnya bergetar ringan di genggaman. Matanya merah, bukan karena hujan, tapi karena pilihan yang sedang ia buat.
“Aku bilang, mundur,” katanya sekali lagi, lebih tegas.
Salah satu pria bersenjata, yang tampak lebih muda, menoleh ke rekannya. “Kita tidak dapat perintah untuk membunuh… hanya bawa dia kembali.”
Yang satunya menggeleng keras. “Tuan Rafael tak akan ampun kalau kita pulang dengan tangan kosong.”
“Kalau begitu, kau bisa mati di sini juga,” sahut Matteo dingin.
Pria itu menegang. Tapi sebelum dia bisa menembak, terdengar suara keras. letusan pistol. Tidak berasal dari salah satu dari mereka, tapi dari belakang pohon, arah yang tak mereka perhitungkan.
Peluru menancap di tanah hanya beberapa sentimeter dari kaki pria bersenjata.
Semua menoleh serempak.
Dari balik bayangan, muncullah sosok tinggi berpakaian gelap. Rafael.
Basah kuyup, wajahnya nyaris tak bisa dibaca. Ia berjalan perlahan, tenang, seakan badai di sekitarnya tak menyentuh dirinya sedikit pun. Di tangannya, pistol yang masih mengepulkan asap.
“Turunkan senjatamu,” katanya pada anak buahnya.
Keduanya langsung mematuhi tanpa bicara.
Matteo mengangkat pistolnya, tapi Rafael hanya menoleh sekilas. “Kau tidak cukup cepat untuk menembak ku, adik.”
Matteo menggertakkan gigi. “Kau selalu tahu, ya? Selalu mengawasi? Kau senang melihat orang mengkhianatimu satu per satu?”
Rafael mengangkat bahu sedikit. “Lebih baik tahu daripada dibutakan harapan palsu.”
Clara menatap Rafael lama. “Lalu kenapa kau biarkan semua ini terjadi?”
Rafael menatapnya. Dan untuk pertama kalinya, ada emosi di wajahnya. Luka. Kekecewaan. “Karena aku ingin tahu… siapa yang masih bisa ku percaya.”
Dewi berdiri diam di antara mereka. Napasnya berat. “Jadi aku cuma pion, ya? Umpan untuk melihat siapa yang mengkhianatimu?”
“Bukan,” jawab Rafael pelan.
“Kau adalah cermin. Mereka tak mengkhianati ku karena kau… mereka menunjukkan siapa mereka sebenarnya… karena ingin menyelamatkanmu.”
Dewi nyaris tak percaya. “Lalu kenapa kau tidak hentikan semua ini sejak awal?”
“Karena aku ingin tahu... apakah aku masih punya sisi manusia,” katanya, pelan. “Dan ternyata, jawabannya ada padamu.”
Matteo tertawa pahit. “Kau bicara seolah punya hati, Rafael. Tapi semua orang di rumah itu mati pelan-pelan karena kau.”
Rafael menatapnya tajam. “Dan kau pikir kau lebih baik? Kau menggunakannya juga, Matteo. Sama sepertiku.”
Clara maju selangkah. “Kalau begitu, biarkan dia pergi. Biarkan Dewi pergi malam ini. Anggap saja... ini akhir dari semua permainanmu.”
Sunyi sesaat. Rafael menunduk, menarik napas dalam-dalam. Lalu ia menodongkan pistolnya ke langit, dan menembak satu kali lagi.
“Tembakan peringatan terakhir,” katanya.
Rafael menatap ketiganya dengan sorot mata yang sukar dibaca, lalu berkata dengan suara serak namun jelas di tengah gemuruh hujan,
“Lari lah… jika kalian bisa. Aku ingin tahu, seberapa jauh kalian bisa berlari dariku.”
Clara menatap Matteo sejenak, lalu menyentuh lengan Dewi dengan gemetar. Matteo menggertakkan gigi, lalu menarik Dewi untuk berbalik.
Dan mereka mulai berlari.
Tanpa kata. Tanpa rencana. Hanya naluri dan harapan samar untuk lolos dari seorang pria yang sudah kehilangan semua batas logika.
Deru napas mereka bercampur dengan suara hujan dan tanah becek yang terinjak. Tapi tak sampai lima detik kemudian.
DOR! DOR!
Dua letusan pistol memecah malam.
Jeritan Clara menyusul, disusul erangan dalam dari Matteo. Keduanya terjatuh hampir bersamaan, tubuh mereka menghantam tanah yang basah dan berlumpur. Darah mulai merembes dari kaki mereka. Clara tertembak di betis, Matteo di paha kanan. Keduanya menggeliat kesakitan.
Dewi berhenti di tengah langkah, menoleh dengan napas terengah. “Clara! Matteo!”
Rafael berjalan mendekat perlahan, suara sepatunya yang menghantam lumpur nyaris terdengar seperti detak jam kematian. Tatapan matanya seperti tidak membawa dosa sedikit pun.
Dan kemudian..
Ia tertawa. Terbahak-bahak.
Kepalanya mendongak ke langit, suara tawanya menggelegar lebih dari suara petir yang menyambar di kejauhan.
“Aku bahkan tak berniat membunuh kalian malam ini,” katanya di antara tawa yang mulai mereda. “Tapi lucu sekali… kalian benar-benar berpikir bisa kabur dariku?”
Clara menggertakkan gigi sambil menahan nyeri, air matanya bercampur dengan hujan. Matteo mencoba menyeret tubuhnya, melindungi Dewi dengan sisa tenaganya.
Rafael mendekat lagi, kini berdiri hanya beberapa meter dari mereka. Ia membungkuk sedikit, menyentuh pistol yang masih hangat di tangannya.
“Beginilah akhirnya… permainan pengejaran yang kalian banggakan.”
Dewi berdiri tegak. Tangannya gemetar, tapi ia tidak bergerak mundur. Mata mereka bertemu.
“Bunuh aku, kalau itu tujuanmu,” katanya pelan.
Rafael menggeleng, tersenyum samar. “Tidak. Kau… tetap harus hidup. Supaya bisa melihat semua ini. Merasakan semuanya. Karena luka yang hidup… lebih menyakitkan daripada kematian.”
Ia menoleh pada anak buahnya. “Bawa mereka. Tapi jangan biarkan mereka mati… belum saatnya.”
...
Suara pintu besi berderit keras saat terbuka, menggema di lorong bawah tanah yang lembap dan pengap. Dua anak buah Rafael menyeret tubuh Clara dan Matteo yang masih berdarah, lalu melempar mereka ke dalam sebuah sel besi yang gelap di ujung lorong. Cahaya lampu redup membuat bayangan di dinding bergerak-gerak menyeramkan.
Di seberang sel mereka, ada ruangan kaca tebal yang di dalamnya tampak lima ekor harimau besar berjalan mondar-mandir, sesekali menggeram rendah. Mata mereka menyala tajam, mencerminkan kelaparan dan keganasan. Harimau-harimau itu menatap langsung ke arah sel tempat Clara dan Matteo berada, seolah-olah menanti aba-aba.
“Selamat datang di kandang para penghianat,” ujar salah satu anak buah Rafael dingin sebelum menutup dan mengunci pintu sel itu dengan keras. Mereka pergi tanpa bicara lagi, meninggalkan ketiganya dalam gelap dan dingin yang mencekam.
Clara terisak pelan sambil memegangi betisnya yang masih berdarah. “Ya Tuhan… harimau itu… mereka benar-benar ada… bukan cuma ancaman gila Rafael…”
Matteo duduk dengan susah payah, wajahnya pucat. “Dia benar-benar sudah kehilangan akal… menaruh kita di sini… di depan kandang binatang buas…”
Dari balik jeruji, suara napas berat terdengar. Dewi duduk di lantai sel sebelah mereka, tubuhnya bersandar lemas ke dinding, wajahnya penuh luka dan kelelahan.
“Dewi…” Clara memanggil lirih. “Kau… kau baik-baik saja?”
Dewi mengangkat kepala perlahan, matanya basah. “Aku tidak tahu… apa itu namanya baik-baik saja… setelah melihat apa yang dia lakukan pada kalian.”
Matteo menarik napas dalam-dalam, menahan rasa sakit. “Kau masih di sini… berarti dia belum selesai dengan kita semua.”
Dari kandang kaca, salah satu harimau mengaum keras, mencakar kaca seperti ingin menerobos keluar. Dewi memeluk lututnya, tubuhnya menggigil.
“Harimau itu… mereka seperti tahu… mereka menatap kita seakan menunggu kita masuk ke kandang mereka.”
Clara menatap binatang-binatang itu dengan getir. “Rafael merawat mereka sejak kecil. Katanya… mereka satu-satunya makhluk yang bisa dia percaya.”
Dewi menoleh pelan, wajahnya penuh ngeri. “Apa maksudnya? Dia pelihara harimau… untuk makan manusia?”
“Untuk menghukum,” jawab Clara lirih.
“Siapa pun yang menghalanginya… atau membuatnya merasa dikhianati… akan berakhir di sini.”
Matteo menatap kaca itu tajam, napasnya berat. “Dia gila…”
“Gila… tapi cerdas,” sahut Clara.
“Dia membuat tempat ini seperti panggung kematian. Dan dia selalu jadi penonton pertama.”
Tiba-tiba lampu di atas mereka menyala terang. Sebuah layar besar di dinding menyala, menampilkan wajah Rafael yang duduk di kursinya dengan angkuh, seolah-olah sedang menikmati sebuah pertunjukan teater.
“Bagaimana rasanya?” suara Rafael keluar dari speaker, dingin dan penuh ejekan.
“Tempat ini dibangun untuk orang-orang seperti kalian. Penghianat yang tidak tahu berterima kasih.”
Dewi memekik marah. “Kau iblis!”
Rafael hanya tersenyum di layar. “Dan kau? Hanya pion kecil yang tak bisa berlari jauh. Tapi tenang saja… aku tidak akan membunuh kalian… belum. Tapi binatang-binatang itu…” Ia menunjuk ke arah kandang.
“Mereka lebih sabar daripada kalian. Mereka bisa menunggu.”
Matteo berdiri dengan susah payah, berdiri di depan jeruji. “Apa yang kau mau, Rafael? Kau sudah menang. Hentikan permainan ini!”
Wajah Rafael di layar mendekat, matanya menatap tajam. “Bukan aku yang bermain, adik. Kalianlah yang memilih permainan ini. Aku hanya… mengakhiri dengan caraku sendiri.”
Lalu layar mati. Lampu kembali redup. Sunyi menyelimuti ruangan, hanya diselingi oleh napas ketakutan dan raungan pelan dari lima makhluk buas yang terus menatap mereka dari balik kaca.
Dewi menunduk, air matanya jatuh membasahi lantai dingin.
Clara berbisik dengan suara bergetar, “Apa kita… akan mati di sini?”
Matteo menggenggam tangan Clara. “Tidak. Tidak kalau aku masih hidup.”
Dan dalam keheningan yang menggantung di udara, tekad mulai tumbuh. Luka boleh menyakitkan, tubuh boleh lemah, tapi mereka belum menyerah. Tidak malam ini. Tidak sebelum segalanya benar-benar berakhir.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!