Semerbak aroma harum dari gerobak tua Pak Jono.Minyak goreng yang berdesis memenuhi udara pagi hari di sudut Jalan Merdeka,kota Bandung. Gerobak kayu itu menjadi saksi bisu perjuangan Pak Jono selama bertahun-tahun,hingga kini tampak sedikit kusam,namun tetap tegak berdiri,menjajakan dan menawarkan aneka gorengan lezat kepada para pelanggan setia.Ada pisang goreng yang renyah, bakwan yang gurih,dan cireng yang kenyal,semua disajikan dengan sambal rawit yang menggugah selera.
Pak Jono, dengan senyum ramah yang tak pernah lepas dari wajahnya,menyapa setiap pembeli.
"Pagi, Bu! Pisang gorengnya masih hangat, nih." Suaranya lantang,menembus hiruk-pikuk lalu lintas pagi.
Tangannya cekatan menyendok gorengan ke dalam plastik,geraknya lincah dan terampil,hasil bertahun-tahun bergelut dengan wajan dan minyak panas.
Pelanggannya beragam, dari anak sekolah yang membeli sebungkus pisang goreng untuk sarapan hingga ibu rumah tangga yang memesan banyak untuk camilan keluarga,dan ada pula pekerja kantoran yang mampir sebentar untuk mengisi perut sebelum memulai aktivitas.Setiap orang yang datang disambutnya dengan keramahan yang sama,membuat gerobak gorengannya terasa seperti tempat berkumpulnya orang orang yang menyempatkan diri untuk sarapan di awal hari.
Hari itu,seperti hari biasanya,Pak Jono berharap dagangannya laris manis, sebab iamembutuhkan uang untuk membayar cicilan pinjaman modal berdagangnya, biaya sekolah anaknya, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.Senyumnya tetap mengembang,menutupi sedikit kekhawatiran yang terpatri di lubuk hatinya.Ia tak pernah menyangka,senyum itu kelak akan tergantikan oleh keputusasaan yang mendalam.Pandemi yang datang tanpa permisi,akan mengubah segalanya.
Pandemi datang tanpa aba-aba.Sehari,dua hari, pelanggan Pak Jono mulai berkurang,Jalanan yang biasanya ramai, kini lengang.Sekolah-sekolah ditutup,kantoran menerapkan work from home, dan orang-orang lebih banyak berdiam diri di rumah.Gerobak gorengan Pak Jono, yang dulu selalu ramai, kini sepi senyap.Di rumah istrinya Bu Ani,menunggu dengan cemas,memandang wajah lelas suaminya.Tiga anak mereka,Siti (kelas 3 SD),Rudi (kelas 1 SD)dan Ayu (kelas TK)tak mengerti apa yang terjadi,hanya tahu ayah mereka pulang dengan wajah murung.
Awalnya, Pak Jono masih bertahan.Ia mengurangi porsi bahan baku,mencoba berjualan lebih lama,bahkan menawarkan harga lebih murah.Namun, usaha itu sia-sia.Uang yang ia dapatkan tak cukup untuk menutupi modal bahan baku,apalagi untuk membayar cicilan pinjaman,biaya sekolah anak-anak,dan kebutuhan keluarga.Senyumnya mulai memudar,tergantikan oleh kerutan khawatir di dahi.Bu Ani mencoba membantu dengan berjualan makanan kecil di depan rumah,namun hasilnya tak seberapa. Mereka harus berhemat, bahkan seringkali harus menahan lapar.
Akhirnya,Pak Jono terpaksa gulung tikar.Gerobak tua itu ia jual dengan harga miring,hanya cukup untuk membayar sebagian hutangnya,swmakin hari ia semakin terpuruk.
Demi untukntuk bertahan hidup, ia mencoba menjadi tukang ojek pangkalan di dekat rumahnya.Motor butut pemberian almarhum ayahnya menjadi satu-satunya harta yang masih tersisa,sekaligus sumber penghasilannya.Setiap rupiah yang didapatnya harus dibagi untuk kebutuhan keluarga.
Namun, nasib tampaknya tak berpihak padanya. Penghasilannya sebagai tukang ojek sangat minim. Hutang yang menumpuk semakin mencekik. Suatu sore, seorang penagih hutang datang dengan wajah garang. Tanpa ampun, mereka menyita motor butut Pak Jono,satu-satunya alat pencari nafkah yang masih dimilikinya.Pak Jono terduduk lemas,memandang motornya yang dibawa pergi,menyesali nasib yang begitu kejam.Ia menganggur,tanpa pekerjaan,tanpa harta,dan tanpa harapan.Di rumah,Bu Ani dan anak-anaknya menunggunya dengan cemas,tak tahu bagaimana mereka akan bertahan hidup.Senyumnya telah lenyap ditelan kepahitan hidup.
Hari demi hari kehidupan keluarga pak jono dirasa semakin terasa berat.
Rumah kecil Pak Jono terasa semakin sempit. Keheningan yang dulu dipenuhi canda tawa anak-anak, kini berganti dengan ketegangan yang mencekam.Pandemi telah merenggut lebih dari sekadar penghasilan,ia telah mencuri kedamaian keluarga kecil itu.
Malam itu,Bu Ani sedang memasak air untuk membuat mie instan,makanan satu-satunya yang mampu mereka beli.Wajahnya tampak lelah,mata sembab menahan airmata.Siti & Rudi,yang biasanya riang,hanya diam,memandang ibunya dengan tatapan kosong.Ayu yang masih kecil,menangis pelan menahan perutnya yang lapar sembari merengek.
Pak Jono pulang dengan tangan hampa.Ia telah seharian mencari pekerjaan,namun tetap tak membuahkan hasil.Melihat kondisi keluarganya yang memprihatinkan,rasa putus asa menggerogoti hatinya.
"Maaf,bu,"
katanya lirih dan suaranya serak.
"Bapa belum dapat kerja."
Bu Ani menoleh,matanya berkaca-kaca.
"Pak,kita sudah hampir tidak punya apa-apa & Anak-anak lapar mana hutang terus numpuk. Mau Sampai kapan kita begini?"
suaranya bergetar sembari menahan tangis.
"Bapa sudah berusaha bu semaksimal mungkin. Bapa janji akan mencari kerja yang lebih baik lagi"
kata Pak Jono yang suaranya terdengar lemah.
"Sampai kapan,pak?Sampai kapan kita harus terus-menerus menahan lapar dan menanggung malu ini?"
"Yang sabar bu, inshaAllah pasti ada rejekinya"
Gumam pak jono
"Tapi ibu sudah gak kuat pak, sakiit rasanya melihat anak-anak harus menanggung beban ini"
Bu Ani tak kuasa lagi menahan air matanya.tangisnya pecah,mencurahkan semua beban dan keputusasaan yang selama ini ia pendam.
Siti dan Rudi ikut menangis, menyaksikan orang tuanya bertengkar.Ayu,yang masih kecil,hanya bisa merengek dan menangis, tak mengerti apa yang terjadi.Pak Jono memeluk Bu Ani, mencoba menenangkan istrinya. Namun,pelukan itu tak mampu meredam amarah dan kesedihan yang teramat perih.Keheningan malam itu dipenuhi isak tangis keluarga kecil yang tengah berjuang menghadapi badai kehidupan.Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung,kini terasa seperti penjara yang mengurung mereka dalam keputusasaan....
Beberapa minggu berlalu dalam kesunyian dan kesedihan.
Pak Jono menghabiskan harinya dengan melamar pekerjaan ke berbagai tempat,namun selalu ditolak...
Ia merasa seperti terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan yang tak berujung.
Bu Ani,dengan tabah,mencoba tetap tegar di hadapan anak-anaknya,meski hatinya juga dipenuhi keputusasaan.
Mereka makan seadanya,berbagi sepotong roti untuk bertiga,dan tidur berhimpitan di atas kasur tipis yang sudah usang.
Suatu sore,saat Pak Jono duduk termenung di teras rumah,menatap jalanan yang lengang,teleponnya berdering...
Nomor yang tidak dikenal.
Ia ragu untuk mengangkatnya,
tapi rasa penasaran mengalahkan keraguannya.
"Halo?"
"Pak Jono, ya?"
suara di seberang terdengar ramah.
"Saya dari PT Karya Mandiri, kami sedang membutuhkan tenaga kerja untuk proyek pembangunan jalan tol di Cikampek...Apakah Bapak berminat?"
Jantung Pak Jono berdebar kencang.
Tawaran kerja?
Setelah sekian lama terpuruk,akhirnya ada secercah harapan.Ia hampir tak percaya....
"Benar, saya Pak Jono...Tentu saja saya berminat!" suaranya bergetar karena haru.
Setelah beberapa kali wawancara dan pemeriksaan kesehatan,Pak Jono diterima.
Gaji yang ditawarkan cukup besar,jauh lebih tinggi daripada penghasilannya sebagai tukang ojek.Ia tak ragu lagi.Demi keluarganya,ia memutuskan untuk merantau ke Cikampek,meninggalkan istri dan anak-anaknya di Bandung.
Kepergian Pak Jono meninggalkan kesedihan,tapi juga harapan baru.Bu Ani,meski berat hati,mengucapkan selamat jalan kepada suaminya.Ia tahu,ini adalah jalan terbaik untuk masa depan keluarga mereka.Kehidupan di Cikampek keras,
Pak Jono harus bekerja keras di bawah terik matahari dan hujan.Ia tinggal di barak pekerja,hidup sederhana, menahan rindu kepada keluarga di Bandung.
Setiap malam,ia menelepon Bu Ani.Suara istrinya yang terdengar lelah,namun tetap tegar,memberinya semangat untuk terus bekerja keras.Ia menceritakan tentang pekerjaannya, tentang teman-temannya, & tentang bagaimana ia berjuang untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin.Bu Ani juga menceritakan tentang keadaan anak-anaknya,tentang bagaimana mereka belajar,bermain,dan menunggu kepulangan ayahnya.
Percakapan lewat telepon itu menjadi pengikat batin mereka.Meskipun terpisah jarak,cinta dan kasih sayang mereka tetap terjaga.Perlahan-lahan,ekonomi keluarga mulai membaik.Uang kiriman Pak Jono cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,bahkan untuk membayar hutang-hutang yang menumpuk.Bu Ani bisa membelikan anak-anaknya pakaian dan makanan yang lebih bergizi.Siti,rudi, dan ayu mulai ceria kembali,canda tawa mereka kembali mengisi rumah kecil itu.
Suatu malam,Pak Jono menelepon bu Ani dengan suara gembira.buuu...ibuuu..bapak sudah bisa menabung cukup untuk memperbaiki rumah kita.Kita bisa pindah ke rumah yang lebih layak!"
Bu Ani menangis haru mendengar kabar itu."Terima kasih ya tuhaaan, kau telah memberikan kebaikan pada keluarga kamu"
Gumam bu ani
"Bapak juga sangat bersyukur"
kata Pak Jono.
"Demi anak-anak kita.bapak akan terus bekerja keras, sampai kita bisa hidup lebih baik"
Suasana tegang dan penuh pertengkaran perlahan sirna. Percakapan telepon malam hari menjadi momen intim bagi mereka,menyegarkan kembali ikatan cinta yang sempat teruji.Meskipun terpisah jarak dan waktu,cinta mereka tetap menjadi cahaya yang menerangi jalan mereka menuju kehidupan yang lebih baik. Pak Jono,yang dulu terpuruk dalam kesedihan,kini bangkit dengan penuh semangat,didorong oleh harapan untuk masa depan yang cerah bersama keluarga tercintanya. Setiap panggilan telepon,setiap kata-kata yang terucap, menyatukan kembali hati mereka,menjalin kembali ikatan keluarga yang sempat retak.mereka menyadari, bahwa keluarga adalah segalanya,dan bersama-sama, mereka mampu melewati badai kehidupan yang menerjang..
Sudah hampir satu tahun Pak Jono bekerja di proyek tol. Ia mulai terbiasa dengan ritme keras kehidupan barak dan medan kerja yang melelahkan. Namun, proyek perlahan mulai rampung. Banyak pekerja dikurangi. Pak Jono termasuk yang terkena pemutusan kontrak. Dunia seperti mengulang kembali luka lama.
Hingga suatu pagi, ketika ia sedang duduk termenung di warung kopi dekat barak, seorang pria mendekatinya. Usianya sekitar 40-an, kulitnya gelap terbakar matahari, dan sorot matanya tajam namun bersahabat.
"Permisi, Mas... Boleh duduk?" tanyanya sambil tersenyum.
Pak Jono mengangguk. "Silakan."
"Nama saya Pak Raka. Saya sedang rekrut tenaga kerja untuk kapal penangkap ikan. Gajinya besar, bisa sampai dua kali lipat dari proyek tol ini... Tapi, medannya berat. Laut lepas. Bisa berbulan-bulan di tengah laut."
Pak Jono diam. Ia bukan nelayan. Laut hanya sebatas pandangan dari pantai saat libur dulu. Tapi uang... tawaran itu terlalu menggiurkan untuk ditolak...
____
"Berangkatnya kapan?"
"Lusa. Dari Pelabuhan Tanjung Priok. Kalau Mas berminat, saya bisa daftarkan sekarang juga."
Pak Jono menatap langit. Ia teringat wajah Bu Ani dan anak-anaknya.Ia tak ingin mengecewakan mereka lagi.
Pak Raka menatap Pak Jono dengan senyum tipis.
____
"Tapi saya harus jujur Mas.Laut yang kita tuju... katanya sering ada kejadian aneh. Seperti Awak kapal hilang tanpa jejak.Radio sering bermasalah.Tapi gaji besar Mas. Orang yang berani pasti dapat untung."
Pak Jono menelan ludah. Ada rasa tidak enak di perutnya. Tapi bayangan anak-anaknya yang tidur beralaskan tikar robek membuatnya mengangguk.
"Aku ikut."
Jawab pak jono dengan sigap
Sementara itu.. hujan gerimi membasahi atap barak tempat pak Jono menginap malam itu, sembari duduk termenung di tepian tempat tidur, pak Jono menggenggam ponselnya sembari menatap nomer seseorang yang ia rindukan (ibu
ia menekan tombol hijau,lalu mendekatkan ponsel ke telinganya.
"Assalamu'alaikum..."
Tak lama kemudian, suara lembut istrinya menyambut, "Wa’alaikumsalam…Pak?Udah makan belum?"
Pak Jono terdiam sejenak,menahan gumpalan di tenggorokan.
Ia tak ingin Bu Ani tahu bahwa hatinya tengah berperang sengit...
Ia ingin terdengar kuat,seperti kepala keluarga yang tahu arah hidupnya...
padahal ia sedang berjudi dengan takdir...
"Sudah, Bu… Anak-anak gimana?"
.
"Alhamdulillah pa,tadi Siti bantuin Ibu nyuci, terus Rudi ikut belajar online,kalo ayu ya masih rewel, tapi mereka semua sehat. Mereka kangen sama Bapak."
Pak Jono menarik napas panjang. Suara anak-anak yang samar terdengar di belakang membuat dadanya semakin sesak.
"Bu…"
suaranya nyaris pelan,"
Bapak mau berangkat lusa.Tapi bukan kerja bangunan lagi."
"Hah? Maksudnya gimana Pak?"
"Ada kerjaan di kapal.Tangkap ikan,jadi nelayan bu! katanya Gajinya besar. Tapi... mungkin Bapak nggak bisa telepon setiap hari. Sinyalnya susah di laut."
Hening sejenak di ujung sana. Hanya terdengar desah napas dan suara hujan.
"Jauh, ya?"
"Iya, Bu… Tapi Bapak janji...
ini yang terakhir.
Kalau pulang nanti, kita bisa cicil rumah.
Bisa mulai lagi..
Ayu gak harus lagi...tidur sambil kelaparan."
Bu Ani menahan suara tangisnya, namun ia tak bisa menyembunyikan getir dalam suaranya.
"Pak… hati-hati ya. Apapun yang terjadi, pulanglah. Jangan tinggalin kami."
Pak Jono memejamkan mata.
"Bapak pasti pulang, Bu. Demi kalian."
Dua hari kemudian, langit Jakarta dipenuhi mendung saat Pak Jono tiba di Pelabuhan Tanjung Priok. Ia berdiri di dermaga, memandangi kapal besar berwarna kusam di depannya.
Kapal KM Laut Jaya 08.
tertulis di buritan dengan cat terkelupas.
Bau solar, ikan asin, dan karat bercampur di udara.
Di atas dek, beberapa orang tampak sibuk namun tak satu pun dari mereka bicara. Ada suasana aneh, seperti para awak saling menjaga jarak.
Bahkan kapten kapal, seorang pria tua berjanggut putih, hanya menatap Pak Jono dengan mata yang dalam dan kosong...
Perjalanan dimulai saat senja,Laut tenang tapi langit memerah pekat, seolah mengisyaratkan sesuatu...
Pak Jono mengisi waktunya dengan mencuci jaring, mengatur barang, dan berusaha menghafal wajah-wajah di kapal.
Tak ada yang mau berbagi cerita. Seolah semua punya rahasia sendiri.
Malam pertama, kapal menembus perairan yang semakin gelap.Tak ada sinyal.Tak ada cahaya lain kecuali lampu redup dari anjungan.
Di hari ketiga, angin mulai berubah...
Burung-burung laut yang biasanya terbang di kejauhan... menghilang.
Radio kapal berderit pelan lalu mati total.
Kompas berputar tidak karuan,seolah-olah mereka telah melintasi dunia lain, dan di kejauhan, langit terlihat menggulung seperti asap hitam.
Salah satu awak berbisik pelan saat lewat di dekat Pak Jono.
"Kita masuk zona terlarang...!!"
Di malam itu tanpa peringatan& aba-aba
tiba-tiba terjadi ledakan besar dari ruang mesin. Guncangan keras melempar Pak Jono ke dek. Api menyala lalu menelan sisi kapal...
Asap tebal memenuhi udara..
Teriakan menggema di mana-mana.
Pak Jono berusaha bangkit,matanya perih oleh asap dan air asin...
Ia melihat seseorang terbakar & terjun ke laut sambil menjerit-jerit
Tubuh-tubuh melompat ke air demi menyelamatkan diri.
Di antara kekacauan itu, sesuatu muncul di permukaan laut..
Hitam, tinggi, dan bergerak cepat...
Bukan ikan. Bukan manusia.
Seperti... bayangan dengan mata menyala merah.
Sebelum sempat berpikir, Pak Jono merasakan tubuhnya terangkat oleh ledakan kedua lalu segalanya gelap.
@#$+&+3-";$8";'8
Entah berapa lama waktu berlalu...
Pak Jono terbatuk keras...
Tenggorokannya dipenuhi rasa asin dan panas. Pandangannya kabur, silau oleh matahari yang menyengat..
Tubuhnya terasa kaku, nyeri di hampir seluruh permukaan kulit.
"Pak!!! Bertahanlh Pak!"
Suara itu menggema samar. Perlahan-lahan, bayangan mulai menjadi nyata...
seorang pria muda dengan wajah penuh luka, mengguncang tubuhnya.
Pak Jono terbaring di sebuah sekoci tua...
Catnya mengelupas,ujungnya patah.
Di sekitarnya lautan membentang luas..
tak terlihat daratan.Bau solar, darah,dan hangus bercampur di udara.
"Pak Jono... saya Jefri,anak mesin...
Saya narik Bapak waktu kapal meledak. Kita selamat... sebagian."
Pak Jono mencoba duduk, tapi tubuhnya terasa seperti ditusuk dari dalam...
Luka bakar di tangan dan punggungnya terasa perih...Ia menahan jeritan.
"Berapa... orang kita?"
Jefri menunduk.
"Dari dua belas...tinggal kita berlima yang selamat... Tujuh orang hilang...hanyut dan tenggelam... atau mungkin terbakar habis."
Pak Jono terdiam.Air matanya mengalir tanpa suara.
Ia mengenang wajah-wajah di kapal
beberapa sempat ia ajak bicara..
sebagian hanya sempat ia lihat sesaat. Kini, mereka semua… mungkin tinggal nama.
Di dalam sekoci,selain Pak Jono dan Jefri,tampak Kapten Rahmat,pria tua yang kini diam menatap cakrawala...Wajahnya murung,penuh jelaga.Dua orang lainnya, Gilang dan Arman,awak dek,tampak shock dan pucat.Salah satunya menggenggam tas kecil berisi makanan darurat dan botol air yang hampir kosong.
"Ada sinyal?" tanya Gilang sambil mengecek ponsel hanya layar hitam.
"Radio darurat rusak.GPS mati total"
gumam Kapten Rahmat dengan suara berat.
"Kita tersesat... entah di mana."
\_\_\_\_\_\_\_\_
mereka terus terombang-ambing terapung entah ke mana..
terseret arus yang tak bisa diprediksi...
Sinar matahari membakar kulit. Air minum tinggal tetesan..
Malam datang dengan dingin yang menggigit.
Di malam kedua, mereka melihat sesuatu di kejauhan ..siluet gelap, datar, dan memanjang.
"Tanah…?" gumam Arman.
Sekoci diarahkan ke sana, mendayung perlahan..
hingga fajar ketiga datang bersama kabut tipis. Di balik tirai embun laut itu, tampak pulau kecil, asing, dan tak bernama.
Tak ada dermaga.Tak ada bendera & Tak ada tanda-tanda kehidupan manusia.
Hanya hutan lebat, pantai berpasir kelabu, dan suara burung yang asing di telinga.
Mereka mendarat lemas.Tubuh Pak Jono dibopong oleh Jefri dan Arman.
"Pulau ini... aneh,"
gumam Gilang.
Kapten Rahmat menatap sekeliling dengan tatapan tajam.
"Kita istirahat. Bangun tenda darurat. Tapi jangan jauh-jauh dari pantai. Pulau terpencil bisa penuh kejutan."
Tak ada yang menanggapi.
Semua tahu: kejutan bukan kata yang menyenangkan dalam situasi seperti ini.
Pak Jono berbaring di atas pasir,menatap langit mendung yang menggulung pelan.
Di sela-sela semak, sesuatu tampak bergerak cepat
bayangan... atau mungkin hanya hembusan angin?
Tapi entah mengapa, ia merasa… seolah-olah
mereka tidak sendirian..
Mentari pagi mengintip malu malu dari balik awan kelabu...
saat Pak Jono terbangun di atas pasir lembap,tubuhnya menggigil meski mentari perlahan mulai muncul...
Luka bakar di punggung dan tangannya terasa perih dan terlihat mulai bernanah dan mengeluarkan aroma tak sedap..
Pakaiannya sudah compang-camping, sebagian menempel di kulit yang mengelupas.
Di sebelahnya,
Jefri duduk bersandar pada batang pohon mati. Wajahnya pucat dan matanya merah,akibat kurang tidur.
“Air kita habis” katanya pelan, nyaris tak terdengar.
Pak Jono mengangguk lemah. Bibirnya pecah-pecah, lidahnya kering.Tenggorokannya seperti terbakar.
ia bahkan tak bisa menelan ludah.
Di sudut bibirnya,darah mengering membentuk kerak tipis.
Sekitar sepuluh meter dari mereka, Kapten Rahmat duduk bersila dengan mata tertutup, seolah sedang berzikir, atau mungkin menenangkan pikirannya yang mulai retak..
Ia belum banyak bicara sejak pendaratan kemarin. Sesekali ia membuka matanya dan menatap hutan lebat di depan mereka,
seperti sedang membaca sesuatu yang tak terlihat oleh yang lain.
Gilang dan Arman,
dua awak kapal yang tersisa, sedang memeriksa sekoci yang mereka tumpangi, berharap bisa menemukan sisa makanan tersembunyi atau barang yang terlewat.Tapi nihil...Hanya sehelai kain sobek, sepotong plastik, dan... secarik foto keluarga yang basah dan robek di tepinya.
“Aku nggak tahan Gilaaaang. Perutku sakit. Kepala pusing.Kita harus cari makanan” kata Arman sembari menggenggam perutnya yang melilit.
Gilang mengangguk.
“Iya, tapi kita nggak bisa masuk hutan sembarangan. Kita nggak tahu ada apa di sana. Belum tentu aman.”
“Aman atau nggak, kita bakal mati pelan-pelan di sini kalau terus nunggu.”
Arman berdiri, mengambil potongan pipa logam yang ia temukan di sekoci.
“Aku mau cari sesuatu dulu di sekitar hutan, nggak jauh. Siapa tau nemu buah-buahan atau setidaknya binatang, kalo nemu nanti aku balik. Kalau nggak… ya paling aku cari lagi.”
Tak ada yang membantah. Bahkan Kapten Rahmat hanya membuka matanya sebentar, lalu kembali diam.
Arman pun melangkah ke dalam hutan, menyingkap semak-semak tebal yang menjulang tinggi. Ia membawa potongan pipa dan botol kosong, berharap bisa menemukan mata air atau apapun yang bisa dimakan.
Waktu berlalu.
Satu jam.
Dua jam.
Tiga.
Langit mulai berubah warna dari biru kelabu menjadi jingga temaram.
Angin bertiup kencang dari arah timur, membawa aroma aneh seperti darah dan kayu terbakar. Daun-daun berguguran, dan suara burung pun hilang. Hutan tampak... terlalu sunyi.
Pak Jono semakin lemah. Napasnya berat dan dadanya sesak.Luka bakarnya kini diselimuti lalat-lalat kecil yang mengerumuni bagian yang terbuka.
“Harus dibersihkan,” kata Jefri pelan. Ia mencoba mencari air di antara bebatuan pesisir, mengorek tanah dengan tangan kosong, berharap ada mata air tersembunyi. Tapi tak ada. Hanya pasir, akar mati, dan serangga yang merayap.
Gilang mondar-mandir, matanya liar, pikirannya mulai tidak stabil.
“Dia masih belum kembali Arman... Dia nggak balik-balik!” Gilang berteriak, suaranya retak oleh panik. “Harusnya dia balik! HARUSNYA DIA BALIK!”
“Tenang!” kata Kapten Rahmat dengan nada keras untuk pertama kalinya. “Kalau kau masuk hutan dalam kondisi begini, kau juga hilang.”
“Kita nggak bisa diem aja! Dia bisa aja jatuh, kejebak, atau”
“Atau dimakan binatang buas!” potong Jefri.
Semua diam.
Angin semakin kencang. Ranting-ranting bergoyang, dan suara sesuatu terdengar dari balik pepohonan. Suara itu... aneh. Seperti gendang dipukul pelan, berulang-ulang.
Dum... dum... dum...dum
Tak keras.Tapi cukup untuk membuat bulu kuduk meremang.
Pak Jono menatap hutan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Ada... orang?”
Kapten Rahmat berdiri perlahan, matanya menyipit.
“Kalau itu suara manusia, maka mereka sedang memperingatkan kita. Dan kalau bukan manusia... kita sudah melangkah terlalu jauh.”
Malam tiba.
Tak ada cahaya kecuali dari bintang yang redup. Bulan tak tampak. Mereka membuat api kecil dari ranting dan serpihan sekoci,mencoba bertahan dari dingin. Perut lapar, haus yang menusuk, dan pikiran yang tak tenang membuat suasana di sekitar api unggun menjadi neraka tersendiri.
Jefri akhirnya memecah keheningan.
“Kapten... pulau ini... kenapa terasa ada yang janggal, ya?”
Kapten Rahmat menatap api.
“Dulu... saya pernah dengar cerita dari nelayan tua...Ada pulau di perairan utara,
yang tak pernah tercatat di peta.Pulau itu katanya muncul dan tenggelam sesuka hati. Kadang terlihat, kadang tidak.”
Gilang menelan ludah.
“Mitos?”
“Suku yang tinggal di sana... katanya bukan manusia. Mereka pemakan daging.Tapi bukan daging hewan.” Kapten mengangkat alisnya.
Pak Jono gemetar.
“Suku... kanibal?”
Kapten mengangguk perlahan.
“Tapi itu cerita lama. Katanya, sudah punah. Pulau itu ditinggalkan. Tapi kalau cerita itu benar... kita bisa saja berada di tempat yang sama sekarang.”
Angin kembali berdesir.Dan kali ini, dari dalam hutan, terdengar suara ranting patah.
Semua menoleh.
Tak ada yang bicara. Api unggun berderak.Cahaya temaram menari-nari di wajah mereka yang penuh ketakutan.
Jefri perlahan meraih potongan kayu tajam. Gilang merapat ke Kapten. Pak Jono hanya bisa berbaring, tubuhnya terlalu lemah untuk melawan apapun.
Dari balik pepohonan... tampak sesuatu bergerak.
Sosok gelap.Tidak terlalu tinggi.Tapi bentuknya tidak jelas.
Jefri berseru, “Arman?!”
Namun sosok itu tidak menjawab.
Ia hanya berdiri.....diam... dan kemudian lari menembus hutan dengan kecepatan luar biasa.
Gilang berteriak, “Itu bukan Arman! Itu BUKAN ARMAN!!”
Kapten bangkit berdiri.“Jaga api tetap menyala! Apapun yang terjadi, jangan biarkan kita dalam gelap!”
Malam itu panjang dan tak ada yang tidur. Mereka duduk melingkar, saling berjaga.Suara hutan tak pernah berhenti. Gendang itu... terus berdetak.
Dum... dum... dum...dum
Sesekali, terdengar tawa kecil tipis, seperti suara anak-anak bermain,tapi terlalu pelan,terlalu nyaring untuk terdengar normal.
Pak Jono, di ambang kesadaran,berdoa pelan.
Dalam hatinya, ia tahu Arman tidak akan kembali.
Dan entah siapa tau apa yang mengintai mereka dari dalam hutan itu,
Apa pun itu semoga bukan sesuatu yang dapat menarik mereka pada jalan kematian.
Lantas ke esok harinya,
Langit masih kelabu,udara lembap menusuk ke tulang, dan api unggun tinggal abu yang nyaris padam...
Di tengah pasir yang kini semakin dingin dan keras, Pak Jono menggeliat lemah,
tubuhnya berkeringat deras, namun menggigil tak henti. Wajahnya pucat, matanya sayu,dan bibirnya membiru.
“Pak Jono...Bapak kuat, ya. Tahan dulu,” bisik Jefri sambil menepuk dahi Pak Jono yang panas membara. Keringatnya mengucur deras, dan tubuhnya meronta sesekali seperti mengalami mimpi buruk yang terlalu nyata.
Luka di punggung dan tangan Pak Jono mulai menghitam.Nanah bercampur darah merembes dari balik perban darurat yang dibuat dari sobekan kaos. Di sekitar luka itu,kulitnya mengeras dan membengkak.
“Dia... demam tinggi. Bisa jadi infeksi. Atau... lebih buruk,tetanus,” kata Kapten Rahmat dengan suara rendah,nyaris putus asa.
“Tetanus?”
Gilang mengulang, matanya membelalak.
“Kita bahkan nggak punya obat! Air aja nggak punya! Kita harus...harus cari bantuan!”
Kapten menatap hutan lebat di depan mereka. “Bantuan? Di pulau ini?”
Gilang menggertakkan gigi.
“Kalau cuma duduk nunggu, kita semua mati di sini, satu-satu!
Pertama Arman... sekarang Pak Jono... Besok siapa lagi?!”
Jefri berdiri,wajahnya keras. “Aku ikut, Kap. Kita cari air, makanan, dan... apapun yang bisa dipakai. Kalau terus diam, kita habis.”
Kapten Rahmat mengangguk pelan. “Tapi kita pergi bertiga.Sisakan satu di sini bersama Pak Jono.”
“Aku tinggal,” kata Gilang cepat. “Aku... aku nggak mau masuk hutan itu. Suaranya... tempat itu... salah.”
Pagi menjelang saat Kapten Rahmat,Jefri, dan seorang kru yang tersisa bernama Sarman (baru disebutkan di sini sebagai awak bagian logistik)
mulai menapaki hutan. Mereka membawa pipa logam, sepotong besi tumpul, dan botol kosong.
Jefri membawa senter kecil yang baterainya sudah lemah.
Langkah mereka pelan,menyingkap dedaunan besar dan semak berduri.Setiap suara, setiap desir angin, membuat mereka menoleh tajam.Bau tanah basah bercampur dengan aroma busuk yang datang entah dari mana.
Setelah hampir satu jam berjalan,mereka menemukan sebuah aliran air kecil yang tersembunyi di balik bebatuan.Jefri bergegas mengisi botol, bahkan minum beberapa teguk,meski rasanya asin dan agak berlendir.
“Kita bisa bawa balik ke Gilang dan Pak Jono,” katanya dengan sedikit harapan.
Namun sebelum mereka berbalik, Kapten Rahmat menghentikan langkah.
“Lihat itu…”
Di depan mereka, ada sebuah gubuk kecil, nyaris tak terlihat di balik rimbunan pakis dan pohon-pohon gelap. Gubuk itu terbuat dari kayu tua,diikat dengan tali rotan. Atapnya beratapkan daun kering yang tampak rapuh. Tapi yang paling mencolok adalah benda-benda yang menggantung di sekelilingnya.
Tulang-tulang.
Bukan tulang hewan.Terlalu kecil, terlalu rapih. Beberapa bahkan masih berwarna kecokelatan, dengan bekas daging yang belum sepenuhnya lepas.
Gelang rotan menggantung di tengkorak kecil yang diletakkan di atas tonggak kayu.Dan di depan pintu gubuk... terukir simbol aneh, menyerupai mata dengan garis-garis menyilang di tengahnya.
“Sialan...ini semacam altar,”
gumam Sarman. “Mereka... menyembah sesuatu.”
“Ini bukan tempat tinggal,”
sahut Kapten. “Ini... tempat persembahan.”
Jefri menahan napas.
“Arman... jangan-jangan...”
Kapten menggeleng cepat.
“Jangan berpikir buruk dulu. Kita ambil air, cari apapun yang berguna, dan balik Cepat.”
Namun sebelum mereka pergi, Sarman melihat sebuah kotak besi di sudut gubuk. Ia mendekat dengan hati-hati dan membukanya.
“Kap... ini...”
Kotak P3K.
Di dalamnya ada perban, obat antiseptik, dua tablet antibiotik tua, dan suntikan yang tak terpakai. Mereka tak tahu seberapa kadaluarsanya, tapi saat ini itu seperti harta karun.
Mereka segera kembali ke pantai dengan napas tersengal,tak henti menoleh ke belakang.Selama perjalanan,mereka merasa... diikuti.
Sore menjelang saat mereka tiba kembali.
Namun suasana di pantai berbeda.
Pak Jono menggigil keras,napasnya terengah,matanya memutih.Gilang tampak linglung, duduk sambil memeluk lutut.
“Apa yang terjadi?!” seru Jefri, meletakkan kantung air.
“Dia kejang-kejang tadi...mulutnya berbusa... aku... aku nggak tahu harus ngapain!”
tangis Gilang pecah.
Kapten segera membuka kotak P3K, membersihkan luka Pak Jono dengan antiseptik,lalu menyuntikkan cairan yang kemungkinan antibiotik ke bagian lengan yang tak terinfeksi.
“Mungkin ini bisa tahan infeksinya.Tapi demamnya... dia butuh istirahat dan air.”
Jefri membantu meminumkan air perlahan ke mulut Pak Jono,meski sebagian besar tumpah karena tubuhnya menggigil hebat.
Pak Jono menggumam dalam keadaan setengah sadar, “iBu… Siti… Rudi… Ayu…”
Tangis Jefri nyaris pecah. “Bapak kuat… demi mereka, Bapak harus hidup…! "
Malam turun.Api unggun kembali dinyalakan,dan Gilang akhirnya bisa tertidur sebentar di sisi Pak Jono.Jefri berjaga,mata menatap ke hutan yang kini tampak seperti mulut raksasa yang menganga.
Kapten Rahmat duduk di tepi pantai, wajahnya menghadap laut yang sunyi.
“Sarman belum kembali,” katanya pelan.
Jefri menoleh tajam.“Apa?! Bukannya dia ikut pulang dengan kita tadi?”
Kapten menggeleng. “Ia kembali sebentar ke gubuk... katanya ada yang tertinggal. Tapi sejak itu... tak terlihat lagi.”
Jefri membeku.
Dua orang hilang.Arman. Sekarang Sarman. Semua yang masuk terlalu dalam ke hutan…menghilang.
Dan dari kejauhan, kembali terdengar itu gendang.
Dum… dum… dum…dum
Tapi kali ini… diiringi oleh suara bisikan.Tak jelas dari mana asalnya. Seperti suara anak kecil menggumamkan lagu,tapi tidak dalam bahasa manusia.
Dan dari semak-semak di pinggir pantai…
sepasang mata menyala merah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!