Waktu adalah hal yang begitu cepat berlalu, saat hati tak lagi mendambakan satu cinta yang tumbuh sejak lama, masih muda adalah masa dimana seharusnya kamu bermanja pada orang tua dan waktu itu adalah memori yang paling indah di dunia. Memangnya siapa lagi, selain keluarga.
Waktu itu, aku masih polos dan sangat manja karena ayahku—cinta pertamaku—masih ada disamping kami, kami hidup dalam kecukupan dan senyuman yang merekah setiap hari, seperti bunga yang mekar dengan indahnya dipagi hari, merona dan menyeruakkan wanginya yang semerbak.
Tak ada kesulitan yang kurasakan waktu itu, sebagai anak pertama tentu selalu menjadi prioritas dalam keluarga, apalagi aku adalah anak perempuan satu-satunya milik ayah dan ibu.
Hidupku sangat berwarna pada masa itu.
"Zea!" panggil ibuku dengan penuh kelembutan, membangunkan aku yang masih hanyut dalam mimpi indahku.
Aku memimpikan teman kecilku menjadi suamiku, ayah anak-anakku dan juga sandaran selain ayahku. Hehehe aku gila, bukan ... Ya, anggap saja begitu.
"Satu menit lagi, Bu," pintaku dengan mata yang masih terpejam, rasanya enggan untuk berpisah dengan dunia kehaluan dimana itu hanyalah sebuah mimpi.
"Satu menit apanya, kamu sudah telat, ze. Lihat jam berapa sekarang?" ujar ibuku semakin gencar menggoyangkan badanku untuk menyambut hari senin sebagai awal sekolah—biasanya upacara.
Karena aku adalah orang yang sangat malas berdiri terlalu lama, ditambah dengan cuaca yang lagi panas-panasnya juga wajah guru-guru di sekolahku yang tak ada yang tampan sama sekali.
Tapi jika kalian lihat teman kecilku, ia memiliki paras yang wow, mirip idol k-pop, tak ayal jika ia menjadi sasaran cewek-cewek ganjen di sekolah. Membuatku harus berselisih dengan mereka, namun laki-laki itu mengatakan pada semuanya bahwa aku adalah pacarnya.
Hmmm ... Tentu saja itu bohong, agar mereka tak mengganggu elang lagi. Tapi aku lah yang sering jadi buruan bully para remaja pecinta elang, kadang aku pulang dengan luka lebam, kadang juga luka lecet, ya ... seperti itulah masa abu-abu ku.
Namanya Elang prasetyo soedibjo. Lelaki yang memiliki perawakan campuran china dan indonesia itu berhasil membuatku luluh hingga mengatakan cinta kala kami pulang bersama, saat itu kami masih bersekolah SMA, sayangnya ia menolakku.
"Ayolah, El. Jadi pacar beneran aja, yuk!" pintaku dengan suara genit, menggoyangkan lengannya dengan pelan, membujuknya dan merayunya.
"Sorry, Ze. Gue gak mau, kita temenan aja, ya," jawabnya dengan tegas tanpa ada sedikitpun memberikan aku harapan.
Ia melepaskan tanganku dan hendak pergi meninggalkan aku di tikungan jalan sekolah, saat jingga memancarkan gejolak dengan indahnya, ia tanpa membalikkan badannya pergi begitu saja.
"Alasannya kenapa, El?" tanyaku berteriak, "Beri aku alasan, please."
Elang menghentikan langkahnya, kulihat ia berbalik menatapku dari kejauhan sehingga warna putih dari kulitnya begitu terpancar saat cahaya mengenai wajahnya. Ia sangat tampan seperti malaikat.
"Elo itu manja, gue gak suka cewek manja. Elo juga gak mandiri tapi gue lebih suka cewek yang mandiri, jika kita pacaran yang ada elo gangguin gue mulu, posesif dan juga risih," jawab Elang dengan suara yang keras, bahkan suara itu masih terngiang sampai aku tak berani mendekatinya beberapa lama.
Tapi, kami masih saling bertemu dalam acara keluarga sehingga mau tak mau kami mengobrol seperti biasanya.
...
...
Beberapa tahun berlalu, setelah kami masuk ke dunia perkuliahan, aku dengan beraninya mengatakan cinta untuk kedua kalinya, namun lagi pria itu menolakku dengan alasan yang sama dan dengan gaya yang sama.
Miris bukan, dan yang lebih buruknya saat hendak mengucapkan kata cinta ke tiga kalinya, elang lebih dulu memperkenalkan Alana, gadis yang ia taksir dan akhirnya menikah dengannya. Katanya, mereka bahagia hingga sekarang.
Aku mundur, tak ada harapan lagi berharap pada pria yang hanya menganggapku teman. Atau mungkin aku terlalu baper saat ia peduli dan perhatian padaku padahal ia menganggapku teman, aku begitu bodoh bukan.
Ayahku mengatakan padaku, "Lupakan elang, dia bukan jodohmu. Level kita berbeda dengannya, walau ayah bersahabat baik dengan keluarga soedibjo tapi ayah hanyalah pegawainya. Kalau memang elang naksir sama kamu pasti ia akan menjadikan kamu pacar dan menikahinya. Tapi lihat! buka matamu dengan lebar, ia hanya menganggapmu teman."
Kalimat yang begitu menamparku, nyelekit bagai duri yang menusuk jantungku—akhirnya aku melepaskannya, melupakannya dan menjauhinya—sampai kini.
...
Usiaku sekarang 36 tahun, Zea Anggraeni itulah namaku. Keren bukan, selaras dengan wajahku yang oval dengan pipi tembam dengan lesung pipit yang membuatku terlihat manis, itu kata orang.
Tapi posturku pendek dengan tinggi badan hanya 156 cm, jika sedang berjalan dengan suamiku yang tingginya 175 cm sudah pasti aku tenggelam diketeknya.
Ya, kalian tak salah baca. Aku sudah menikah dan dianugerahi seorang jagoan kecil, yang kini sudah berusia 9 tahun. Malaikat yang menjadi teman dan juga penyemangat hidupku, wajahnya sangat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya, seorang pria yang ayahku pilih untukku: Reza Abimana namanya, dia 5 tahun lebih tua dariku.
Aku dijodohkan dengannya setelah elang resmi menikah setelah ku dengar ia hidup bahagia, kami sudah hilang kontak dan tak pernah bertemu lagi, karena aku juga tak ingin rumah tanggaku di penuhi kabut masa lalu—cinta pertamaku.
Kini aku harus menjalani kisah hidupku dengan mas Reza, ayah dari anakku dan juga sandaran yang harus aku hormati sebagai istri dan makmum untuknya.
Namun, semuanya berubah dan disinilah semuanya bermula ... Hidupku tak seperti dulu.
"Zea!" teriak mas Reza, memanggil namaku di pagi yang cerah.
Saat itu aku masih berduel dengan pakaian yang tengah ku jemur di belakang rumah, entah ada apa dengan suamiku?
Sejak ayahku meninggal sikapnya menjadi-jadi, ia menjadi pria yang suka marah-marah dan juga mulai jarang pulang, mungkin karena dia seorang kontraktor sehingga harus sering pergi ke luar kota.
"Zea!" panggilnya lagi.
Aku selesaikan jemuranku lalu ku datangi makhluk Tuhan yang dibilang sempurna itu, saat aku sudah berhadapan dengannya, ia menatapku dengan tajam seolah ingin menyerangku atau mungkin membanting barang.
Rasanya menakutkan melihat muka mengerikannya ketika marah.
"Mana uang recehku?" tanya mas Reza dengan bibir yang ditarik ke atas, suaranya sangat kasar hingga membuatku tersentak kaget.
"A-aku gak tahu, Mas," jawabku tergagap.
Kuremas jemariku yang terasa gemetar, dan tak jauh dari kami ada arsya yang melihat kami dengan mata yang kaget.
"Gak tahu kamu bilang, biasanya juga kamu yang ambil. Siapa lagi, HAH?" ujar mas Reza menuduhku seakan aku ini pencuri.
"Kamu ini gak cukup apa, dikasih uang belanja se-juta. Masih aja mencuri uang recehku," tambahnya semakin membuatku ketakutan.
Bibirku kelu, tak tahu harus berkata apa? Rasanya semuanya terasa percuma sekalipun itu kulakukan demi anak kami: Arsya Abimana.
Pernah aku membela diri tapi tetap saja kalah, ia seakan punya banyak alasan untuk memojokkan aku. Dimatanya apapun yang kulakukan selalu salah, jika ada masalah pun aku-lah yang menjadi sasaran kemarahannya.
Aku bingung, aku ini istrinya atau musuhnya, atau hanya tempat persinggahan untuk menuntaskan nafsu birahinya.
"Dasar!" umpat mas Reza membanting pintu pergi begitu saja dalam keadaan emosi menguasainya.
Aku tak tahu ia pergi kemana?
Entah bertemu teman-temannya atau bertemu keluarganya, yang jelas ia jarang sekali di rumah.
Arsya mendekatiku, anak itu memelukku dengan tubuh gemetarnya mungkin ia juga ketakutan melihat dan mendengar ayahnya mengamuk, hanya karena uang receh.
"Sudah, Mah. Mamah jangan ambil uang ayah lagi, seberapa yang ayah kasih mamah gak usah ambil uang recehnya ayah. Sepemberinya ayah aja," tutur anak kecil yang bicaranya terdengar dewasa itu.
Aku ingin menangis sekarang, kata-katanya cukup membuatku tenang tapi sangat menusuk jantungku.
"Sya, mamah cuma ambil uang 2 ribu paling gede lima ribu itu pun kalo mamah gak ada uang receh buat jajanya arsya. Kalo mamah gak ada uang receh arsya gak bisa jajan di sekolah," ucapku memberikan penjelasan.
Sungguh, tidak tiap hari aku mengambilnya itu pun suami sudah tahu, tapi masalah sekecil ini pun menjadi besar baginya.
"Gak apa-apa, Mah. Lain kali kalo gak ada uang receh, arsya gak jajan juga gak apa-apa. Yang penting jangan ambil uang ayah lagi," seperti itulah dewasanya putraku semata wayang, begitu hangat dan memahami keadaanku.
Aku mengusap puncak kepalanya lalu memeluknya.
"Do'a-in, Mamah. Biar cepet dapet kerjaan, ya," ucapku dan arsya menjawabnya dengan amin.
Pagi ini aku sudah membereskan pekerjaanku, dari mencuci hingga menyiapkan makanan yang tersedia di atas meja, semuanya kulakukan sendiri. Tak pernah sekalipun aku mencoba lepas kewajibanku sebagai ibu rumah tangga, kecuali saat tubuhku sedang sakit. Saat seperti itulah duniaku hanya berputar disekitar rumah.
Lalu, bagaimana dengan suamiku?
Pria itu masih tidur, saat hari sudah menunjukkan seluruh wajahnya. Masa bodo, jika ku bangunkan, ia akan mengamuk lebih baik diam saja. Namun, pikiran itu selalu menggangguku hingga akhirnya terpaksa ku bangunkan dengan pelan.
Ya, dia bangun. Amarahnya sudah kembali melunak, ia baik kembali seperti dulu. Lembut tanpa kalimat yang nyelekit.
"Aku mau pergi, hari ini aku ada wawancara kerja. Mungkin telat pulang, tapi aku sudah menyiapkan banyak makanan dilemari," paparku, entah ia mendengarnya atau tidak. Hanya anggukan dan deheman yang keluar dari mulut suamiku dengan mata yang masih terpejam.
Aku pun keluar dari kamar kami, ada Arsya yang siap berangkat sekolah. Aku bangga walau dia tak masuk rangking, dia bisa melakukan aktivitasnya dengan mandiri.
Ia menyodorkan telapak tangannya, "Mah, Arsya berangkat sekolah, ya," pamitnya.
"Iya, Nak. Hati-hati," ucapku menyahutnya memberikan tangan kananku untuk disalim.
...
Langit hari ini begitu cerah, namun belum siang rasanya sudah gerah. Jantungku menegang, gugup luar biasa, kala satu persatu nama kami dipanggil. Ini bukan yang pertama, tapi melamar kerja kantoran diusia yang sekarang rasanya menciut. Diantara mereka, akulah yang paling tua dan mengenai usia selalu menjadi pertimbangan dalam masalah lamaran kerja.
"Zea Anggraeni!" panggil seorang laki-laki berparas tampan nan muda itu.
"Ya," sahutku seraya berjalan mendekati pria tersebut.
"Silahkan masuk!" ucap pria itu mempersilahkan.
Aku menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya. Mengepalkan tanganku erat, dan berdo'a dalam hati.
"Ya Tuhan, mudahkan-lah dan lancarkan-lah, Amin," gumamku dalam hati yang terdalam.
Aku melambaikan tanganku memutar knop pintu, bersamaan dengan kaki yang akan melangkah untuk masuk. Tanpa ku lihat wajahnya aku membungkukkan tubuh sebagai simbol penghormatan.
"Nama saya Zea—" ucapanku terhenti, saat mataku menangkap wajah yang tak asing didepanku.
Pria yang pernah menjadi pujaan hatiku dulu, dia tersenyum manis dengan duduk bersidekap dimeja juri. Hampir aku terlena, dan menyebalkannya jantungku mendadak berdebar. Padahal, jantung ini sudah lama mati. Tapi, bertemu dengannya lagi jantung ini serasa hidup lagi.
"Ah, Ma-maaf," ucapku pelan, segera ku buang perasaan itu. pikiranku secepatnya menyadarkanku bahwa kita sudah berada didunia berbeda.
"Lama gak bertemu, gimana keadaan kamu? Baik?" tanya Elang, mmm maksudku pak Elang.
"Baik, Pak," jawabku kian gugup.
Diruangan ini hanya ada kami berdua, aku tak menyangka pemilik perusahaan itu sendiri yang akan mewawancarai calon pelamar yang akan menduduki kursi Asisten.
Aku sempat berpikir hanya namanya saja yang sama, ternyata takdir mempertemukan kami kembali sebagai Bos dan karyawan. Bahkan pertanyaan-pertanyaan yang elang lontarkan sangat mudah kupahami, seolah mempermudah jalanku untuk mendapatkan kursi kosong itu.
Tak banyak yang aku sampaikan, Elang berbicara dengan begitu akrab seakan kami masih berteman lama. Namun, akulah yang bermasalah karena rasanya sudah berbeda. Jadi, aku harus tahu diri.
Setelah keluar dari gedung tinggi menjulang itu, aku merasa plong. Akan ada notifikasi sebagai pelamar yang akan diterima kerja, jadi cukup untuk hari ini.
...
Saat aku masuk, rumah yang tadi subuh sudah ku rapikan sekarang telihat sangat berantakan. Entah apa yang terjadi? Tapi, ini membuatku menghela nafas dengan sangat berat.
Dengan malas aku membereskan pakaian suamiku yang tercecer dilantai, saat itu aku mengambil kemeja putih bekas kerjanya semalam. Namun, ada gambaran aneh yang membuatku ingin melihat dengan jelas.
Aku melebarkan baju putih itu, bagian dada, disitu ada noda aneh yang mirip dengan bentuk bibir manusia dengan warna nude.
Tiba-tiba jantungku terasa berhenti berdetak, hanya sesaat, lalu berubah menjadi sesak yang terasa terhimpit oleh batu yang besar membuatku pusing. Pikiran ku terbuka antara nyata atau mimpi.
Ingin mencucinya segera pun, kakiku terasa lemas sampai untuk mengambil pakaian yang lainnya rasanya enggan. Aku jatuh terduduk dengan posisi menyamping, melebarkan kembali dan mengingat-ingat, kapan suamiku pulang?
"Ada apa sebenarnya, Mas?"
"Kamu sama siapa semalam?"
Baju Mas Reza yang ku pungut tadi akhirnya aku lempar asal, jika di ingat-ingat lagi ia sudah lama jarang pulang. Bahkan sudah sering menginap di rumah orang tuanya, alasannya karena ia sedang sibuk.
...
Keesokan harinya, hari ini pun langit menampakkan warna birunya. Sangat cerah secerah hatiku, karena semalam mendapat pemberitahuan bahwa aku diterima kerja.
Tapi, hatiku masih terasa membebani karena semalam suamiku tak pulang. Sudah kuhubungi, tapi tak ada jawaban, hanya nada dering yang terdengar dari ponsel miliknya.
"Sudahlah, lupakan saja. Dia memang begitu," ucapku menenangkan hati.
Bangunan tinggi dengan lantai bertingkat puluhan itu sudah didepan mataku, jadi aku harus fokus pada pekerjaanku. Untuk sementara aku harus melupakan suamiku, yang kini entah ada dimana.
Kerja lembur atau libur, akan aku tanyakan lagi setelah ia pulang kerumah.
Kakiku melangkah cepat mendekati pintu masuk dan menemui resepsionis, karena sesuai perintah bahwa mereka anak mengantarkan aku ke meja kerja ku.
Didalam lift, ruang yang bergerak naik dan turun itu, sayup-sayup aku mendengar karyawan lain berbisik dan mengghibah.
"Gue denger pak Elang udah jadi duda, loh. Mana belum punya anak lagi, lengkap deh performanya jadi duren sawit," ujar seorang wanita yang ada dibelakang.
"Duren sawit apaan sih, maksudnya?" tanya wanita lain, terdengar kepo.
"Duda keren sarang duwit," jawab wanita itu lagi, terdengar suara cekikikannya yang centil.
Aku berdiri paling depan, jadi aku tak tahu wajah-wajah wanita yang bergosip itu. Tapi, mendengar percakapan mereka aku hampir tak percaya.
Elang sangat mencintai Alana, aku tahu sedalam apa perasaannya pada wanita spek model tersebut. Bahkan elang sangat takjub akan kepribadian perempuan yang setengah bule itu.
Sesuai banget dengan kriterianya.
Ting
Suara lift berhenti dan terbuka membuyarkan lamunanku, aku melupakannya sejenak dan mengekori resepsionis wanita lagi.
Ia membawaku ke lantai paling atas bersama dengan pegawai lain yang bekerja dibagian lantai tersebut. Kami hanya berpisah ditikungan, karena jalananku lurus. Hingga terlihat sebuah pintu besar yang menjadi ruang Ceo, aku melihat papan tulisan yang terukir namanya dan menempel di atas daun pintu sebelah kiri.
CEO. ELANG P.S
Plus ukiran rumit yang tak bisa ku jelaskan bentuknya.
"Silahkan, ini meja kerja anda. Jika ada sesuatu yang ingin ditanyakan, mohon tanya langsung pada Pak Elang. Sebentar lagi beliau akan datang," ucap wanita yang bekerja dibagian resepsionis itu.
"Baik, terima kasih," ucapku dengan sopan, karena wanita disampingku ini sangat sopan jadi aku membalasnya juga.
Aku duduk dikursiku, disebelahku ada meja kerja lain yang masih dengan kursi kosong tapi meja kerjanya penuh dengan berkas yang menumpuk. Sepertinya itu meja sekretarisnya.
Kurang dari lima belas menit, sang Ceo pun datang. Dengan sekretarisnya yang mengekorinya dibelakang. Dua pria dengan usia yang berbeda tapi wajah mereka sebelas dua belasnya sangat meresahkan.
Mereka berjalan dengan gagah layaknya idol yang berjalan di red karpet. Setelan jas dan dasinya berbeda, tapi mereka benar-benar tampak seperti model yang berpakaian formal.
Aku membungkukkan badanku, "Selamat pagi, Pak."
Elang menghentikan langkahnya begitu pun sekretarisnya.
"Masuklah! Kamu harus tahu pekerjaanmu mulai sekarang, dia akan menjelaskan detailnya," kata pak Bos, sembari menunjuk pada sang sekretarisnya.
"Baik, Pak," jawabku.
Aku pun mengekori Elang dari belakang, segaris dengan pak sekretaris.
Ruangan luas itu begitu mewah, sesuai dengan derajat dan level Elang sebagai pewaris satu-satunya. Aku tak ingin norak jadi tak ku jelaskan apa yang ada disana, aku hanya ingin fokus bekerja.
Aku dan pak sekretaris itu berdiri menghadap Elang yang sudah duduk dikursi kebesarannya, menatap kami dengan kedua jemari yang bertaut.
"Kau jelaskan sekarang, Er," titah Elang dengan suara tegasnya.
"Baik," sahut Pak Er, aku tak tahu nama kepanjangannya karena wawancara kemarin dia hanya bilang panggil pak Er saja.
"Begini, pertama anda yang akan menemani pak Elang untuk dinas didalam dan diluar negri. Kedua ...," ucap Par Er.
Jantungku mendadak tak karuan, mataku bahkan sampai membelalak mendengar kalimat tugas pertama.
"Aku yang menemani Elang dinas, tak salahkah?" batinku.
Aku tak paham, kenapa harus aku yang ikut dinas sedangkan aku masih baru di Perusahaan ini. Rasanya agak aneh sih, tapi jika aku protes bolehkah?
Aku beranjak dari tempat dudukku, menghadap pak Er yang tengah sibuk dengan komputernya. Tanganku saling meremas, merasakan gugup yang teramat takut jika aku tak sopan, namun aku butuh penjelasan.
"Ada apa, bu Zea?" belum aku bicara, pak Er bertanya lebih dulu.
"Ng, anu pak. Kenapa saya yang menemani pak Elang dinas, saya kan masih baru?" tanyaku akhirnya terucap juga.
Pak Er menghentikan aktivitasnya, menatapku dengan wajah serius.
"Karena anda masih baru, jadi harus tahu kegiatan dan agenda pak Elang. Anda juga diberi kesempatan untuk bisa mengenal Bos kita, selain itu kalau anda disini anda tak akan mengenal Bos kita," jelas Pak Er dengan cukup singkat.
Namun, aku masih merasa ada yang kurang sreg aja. Jika dipikirkan bukankah pak Er bisa menuliskan dan memberikan apa saja agenda dan kegiatan pak bos padaku, tapi kenapa langsung praktek? seperti ...
"Lagi pula, bukankah anda sahabatnya pak Elang. Kalau begitu gampangkan, Bu," ujar Pak Er lagi, hal itu sangat mengejutkan ku.
"Anda tahu soal kami?" tanyaku melebarkan mata, jujur aku semakin tak nyaman. Takutnya, Elang menerimaku karena aku temannya bukan karena alasan lain seperti pengalaman atau skil.
Aku menundukkan kepalaku, ada rasa malu yang meletup begitu saja. Jika orang kantor tahu aku dan elang pernah sahabatan, mereka pasti mikirnya aneh-aneh. Apalagi gosip tadi pagi masih hangat, jika mareka tahu pasti aku akan jadi bahan julid.
Ya, tidak semua rekan kantor itu seperti di TV. Kadang mereka suka memendam kebenciannya pada atasan demi jabatan, dan ya, kadang pula saling menikung antar rekan kerja demi naik jabatan dan gaji.
Itu realitanya.
"Sudahlah, Bu zea. Ini tugas anda, silahkan antarkan ini ke pak Elang," titah pak Er, pria dengan lesung pipit dan berkulit sawo matang itu memerintahku. Memberikan aku setumpuk berkas untuk diantar ke ruang bos yang ternyata cinta pertamaku.
Aku mengambilnya, untuk saat ini patuh saja demi pekerjaan. Karena mencari kerja itu susah, jadi aku harus mulai beradaptasi dengan dunia baru ini.
Akhirnya aku melangkahkan kakiku menuju ruang Elang, tanganku memutar knop pintu dengan jantung yang berdebar kencang. Ku ketuk pintu untuk memberitahu bosku sembari melongokkan kepalaku, takut Elang sedang sibuk.
"Masuk," sahut Elang, menoleh sejenak ke arah pintu hingga kami bertemu pandang.
Aku berjalan mendekatinya, tanganku gemetar sehingga berkas yang hendak ku simpan dimeja kerjanya berantakan. Segera ku rapikan berkas tersebut dimeja itu, sembari merutuki diri.
"Ma-maaf, Pak," ucapku, menaruh berkas yang sudah ku rapikan tepat didepannya.
"Santai aja, Ze. Jangan gugup gitu, kaya baru pertama ketemu saja," ujar Elang, senyum menawannya mengarah padaku seakan sengaja ia perlihatkan bahwa ia senang bertemu denganku.
Aku tak GR, dulu untuk tersenyum saja gak pernah ia tampakkan sejak aku mengatakan cinta padanya. Sekarang malah seolah ditebar aja itu senyuman.
Aku menghela nafas panjang, menenangkan diriku sendiri lalu menunduk tak ingin melihat wajah itu.
"Kalau begitu saya permisi, Pak," pamitku hendak pergi tapi ...
"Kamu gak kangen sama aku, udah hampir sebelas tahun loh kita gak bertemu," katanya, yang membuatku bingung.
Padahal terakhir kali, ia begitu senang tak bertemu lagi denganku. Namun kini, semuanya serasa berubah. Aku merasa, ia bukan Elang yang kukenal.
Aku menghempaskan pikiran itu, Elang berubah atau tidak itu bukan urusanku. Aku disini untuk kerja bukan ingin bertemu Elang.
"Bukannya bapak sudah bahagia dengan istri bapak, saya gak mau ganggu," deg, aku lupa dengan gosip tadi pagi.
Bibir bawah ku gigit bersamaan dengan mataku yang terpejam, ini sangat tak nyaman.
Kulihat Elang hanya tersenyum saja, ia menatapku dengan muka yang dibilang santai. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi kebesarannya, menggerakkan kursinya kekiri dan kekanan.
Ia menatapku dengan tatapan yang aneh, seperti seorang jaksa yang menatap pelakunya dengan penuh menyelidiki. Tapi, dengan aura yang begitu tenang.
"Gue udah jadi duda, Ze. Elo pasti gak tahu, gue maklum-in sih. Karena kita udah lama gak bertemu," ucap Elang dengan jelas mengatakan statusnya padaku.
Tak terlihat wajah orang yang penuh beban perceraian, seperti marah, mengomel atau penyakit patah hati lainnya. Lelaki itu begitu bahagia dengan status barunya itu, seakan tak ada yang harus ia khawatirkan.
Jelas itu bukan Elang.
"Itu urusan bapak, kalau bapak mau nikah lagi, ya silahkan," sahutku, aku sudah tak peduli.
Lihat! Elang menelan salivanya, tampak tersindir oleh perkataanku. Ia menggaruk belakang kepalanya yang entah gatal atau tidak, namun ia kembali tenang dan menyembunyikan rasa gugupnya dengan senyuman gila itu.
"Formal banget sih, Ze. Aku inget kita itu main bareng sejak kecil, aku juga sering bantu ngerjain PR kamu, dan masa kecil kita begitu indah, aku inget semuanya tentang kita. Jadi, gak usah formal gitulah," papar Elang, mengingatkan aku akan betapa bahagianya masa-msa itu.
Aku diam saja, tak tahu mau menyahutnya bagaimana. Karena keadaan dan masa sudah berubah, dia bosku sekarang bukan temanku. Sudah seharusnya aku menjaga sikap dihadapannya.
"Gimana kalo nanti, kita makan siang bareng?" ajak Elang membuatku membelalakan mata.
Ini gila, sumpah! Mana elang yang ku kenal itu?
Elang yang dulu gak pernah mau ku ajak makan siang bareng, dia akan cuek dan dingin menolak ajakan aku. Apalagi pas udah ada Alana.
"Saya bawa bekal dari rumah, Pak," segera ku jawab begitu, aku tak bohong demi menolaknya. Itu kulakukan demi menghemat uang.
Elang ber-oh, ia tampak kecewa mendengarnya. Bibirnya hendak mengatakan sesuatu, tapi aku segera membungkukan badanku.
"Saya permisi, pak. Ada kerjaan yang harus saya selesaikan segera," tanpa menoleh padanya lagi, aku secepatnya pergi dari ruangan tersebut.
Aku tak tahu dan tak mau tahu bagaimana ia merespon, sopan atau tidak yang penting aku tak ingin akrab dengannya lagi. Aku masih punya suami dan aku ... sangat tahu diri.
...
Aku melihat ponselku, tak ada balasan pesan atau pun panggilan dari suamiku. Entah dimana keberadaan ayah Arsya itu?
Ini membuatku gelisah.
Kuketikkan sesuatu dibenda pipih itu, lalu kukirim pada kontak bernama 'Suamiku'. Setelahnya ku simpan barang tersebut disamping tangan kananku.
Ini sudah jam istirahat, jadi waktunya untuk makan siang. Hanya ada aku sendiri, sementara pak Er sudah pergi untuk makan siang.
Kalau Elang ...
Dia baru keluar dari ruangannya, berjalan padaku. Dengan gayanya yang maskulin. Ia tak memakai jasnya, tak terlihat seperti orang yang mau pergi makan siang.
"Elo lagi makan siang, ya?" tanyanya.
Aku melihat mejaku yang memang sudah ada kotak makan dan minumnya, aku memang mau makan. Namun kehadiran pria itu secara tiba-tiba, membuat bulu kudukku berdiri.
"I-iya," jawabku, lalu aku membuka penutup kotaknya.
Aroma makanan dari sana menusuk hidungku, membuatku ingin segera menikmatinya. Aku tak masak banyak, hanya perkedel kentang dan mie goreng pedas yang ku masak untuk hari ini.
"Saya makan dulu, Pak," aku minta izin pada Elang yang masih bediri didepan mejaku.
Baru saja aku mau menyendokkan makananku, Elang mengambil kotak makanku. Membuatku mematung dengan sikap pria yang kini tengah menatap makananku.
"Ini masakan mamamu ya, Ze?" tanya Elang menyelidiki setiap sudut kotak makananku dan isinya.
Aku menumpukan siku kiriku diatas meja dan kudaratkan pipi kiriku pada telapak tangan dengan mata yang menatap pada pria tengil itu. Aku tak tahu sedang diuji kesabaran atau memang Elang sudah berubah jadi begitu.
Rasanya ingin mencakar muka tampan yang pernah membuatku malu karena ditolaknya. Ya, aku sadar betapa bodohnya aku dulu yang berani menembaknya duluan tanpa tahu perasaannya padaku. Mengemis cinta karena sikapnya yang hangat padaku.
Elang mencubit perkedel kentang miliku, lalu memakannya.
"Hmmm, enak banget. Tante Nuri emang pinter masak dari dulu. Gak kaya anak perempuannya, masak telor ceplok aja gosong," ujar Elang dengan mulut penuh dan masih mengunyah makananku.
"Maaf, ya. Pak Elang yang terhormat, saya sama ibu sudah lama pisah rumah setelah saya menikah. Jadi, itu masakan saya," paparku memberinya penjelasan yang betul.
"Oh, ya. Gua gak percaya," ujar Elang, ia merebut sendok yang masih kupegang.
Pria bernama Elang itu memakan makananku dengan lahap, bak orang yang tengah kelaparan.
Dan aku hanya menjadi penontonnya saja.
"Ini gak bisa dibiarin." Aku berdiri dan merebut kotak makanku darinya.
Alih-alih ia memberikannya, Elang malah merebut kembali dengan paksa dan memutar tubuhnya membelakangiku. Menatapku dengan sebal.
"Pak, itu makan siang saya," geramku, tapi lelaki itu malah menikmatinya tanpa dosa.
Setelah beberapa detik, ia mengembalikan kotak makan kosong.
wajah tanpa rasa bersalah itu, membuatku ingin ahhhhh ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!