NovelToon NovelToon

Pernikahan Penuh Luka

Bab 1

Aku tidak menangis.

Entah karena air mataku sudah habis, atau karena tubuhku mulai terbiasa dengan luka yang terus bertambah setiap hari. Tapi saat nama kami disebutkan bersamaan oleh penghulu, dan suara laki-laki itu menjawab dengan tegas, aku tahu… hidupku tidak akan pernah sama lagi.

"Saya terima nikahnya Nayla Rahadian binti Adnan Rahadian…"

Suaranya dingin. Tegas. Tanpa keraguan sedikit pun.

Seolah dia sedang menandatangani kontrak bisnis, bukan mengikatkan diri pada seseorang seumur hidup.

Aku memejamkan mata.

Ada suara pelan dari para saksi yang duduk di seberang.

"Sah."

Itu dia. Satu kata yang cukup untuk mengikatku dalam kehidupan yang tak pernah aku pilih.

---

Kudengar suara kursi digeser. Langkah kaki mendekat. Aku masih menunduk, menatap kedua tanganku yang menggigil di atas pangkuan. Jemariku sudah dingin sejak tadi, tapi sekarang rasanya lebih dingin dari es.

Dia berdiri di hadapanku. Reyhan Alfarezi. Suamiku, menurut undang-undang. Tapi tak pernah sekalipun dia menatapku dengan tatapan seorang suami. Yang ada hanya tatapan tajam, seolah aku adalah bagian dari kesalahan yang harus dia hancurkan.

"Akhirnya," katanya datar. "Sekarang kau resmi jadi milikku."

Aku mendongak perlahan, menatap wajahnya. Rautnya datar, rahangnya mengeras. Pria itu memakai setelan jas hitam elegan, berdiri sempurna di hadapanku. Tampan, ya. Tapi terlalu berbahaya untuk disebut laki-laki impian. Tidak ada kelembutan. Tidak ada kehangatan. Yang ada hanya dingin yang mematikan.

“Kenapa?” gumamku pelan, hampir tidak terdengar.

“Kenapa aku?”

Dia menatapku dengan sinis. "Karena kau satu-satunya cara untuk membalas mereka."

Aku menahan napas.

"Dan kalau kau berpikir pernikahan ini akan mengubah cara aku memperlakukanmu… kau salah besar, Nayla."

---

Resepsi tak ada. Tak ada pesta, tak ada foto bahagia. Hanya ruangan besar hotel tempat akad tadi diadakan, lalu kami langsung keluar menuju mobil hitam panjang yang sudah menunggu.

Dalam mobil, sunyi.

Dia duduk di sampingku, tapi seolah kami tinggal di dunia yang berbeda.

Tanganku terus menggenggam gaun putih sederhana yang kupakai. Tak ada senyum, tak ada pelukan selamat. Bahkan papaku hanya memberi anggukan dingin sebelum pergi meninggalkan ruangan, seolah menyerahkan beban hidupku kepada pria asing itu.

"Mulai sekarang, kau tinggal di rumahku," ucap Reyhan pelan tanpa menoleh.

"Bukan rumah kita?"

Dia menoleh, menyipitkan mata. "Jangan pernah mimpi tentang kata kita, Nayla."

---

Rumahnya seperti istana kecil, megah, mewah. Tapi tidak terasa seperti rumah. Semua tampak terlalu rapi, terlalu hampa.

Dia menunjukkan kamar untukku. "Kau tidur di sini. Jangan masuk ke kamarku tanpa izin."

Aku mengangguk pelan. “Aku tidak akan ganggu kehidupanmu.”

Dia tertawa kecil. “Bagus. Kita sepakat.”

Saat pintu kamarku ditutup, aku bersandar ke dinding dan perlahan tergelincir ke lantai. Dadaku sesak.

Aku harus tetap bertahan. Entah bagaimana caranya.

Aku tak tahu sudah berapa lama duduk di lantai seperti ini. Lampu kamar menyala terang, tapi semua terasa gelap. Seperti jiwaku ikut padam bersama kebebasanku yang dirampas hari ini.

Tak ada pesan dari Mama. Tak ada pelukan dari Papa.

Yang ada hanya sepi. Dan sepotong cincin di jari manisku yang tak punya makna apa-apa selain jerat yang mengikat.

Ketukan pelan di pintu membuatku terkesiap.

Aku buru-buru berdiri, merapikan jilbab yang sedikit miring.

Pintu terbuka. Reyhan berdiri di sana, kali ini tanpa jas. Kemeja putihnya digulung di lengan, tubuh tegapnya menyender santai di ambang pintu.

“Besok ikut aku ke acara makan malam keluarga.”

Nada suaranya masih dingin. Seolah ini bukan perintah, tapi hukuman.

Aku mengangguk pelan. “Baik.”

Dia memicingkan mata. “Kau pikir semua ini mudah?”

Aku tidak menjawab. Tak ingin membuang tenaga menjelaskan luka yang bahkan belum bisa kuterjemahkan.

“Jangan pernah bikin malu,” lanjutnya tajam. “Kalau aku lihat kau pura-pura sedih atau menangis di depan mereka, aku sendiri yang akan buat alasan agar mereka mengerti kenapa kau pantas diperlakukan seperti ini.”

Napas tercekat di tenggorokanku.

“Kenapa… kau begitu membenciku?” tanyaku, suaraku tercekat.

Dia tertawa kecil. “Tanyakan pada ayahmu, Nayla. Dialah penyebab semuanya.”

Dan dengan itu, dia pergi begitu saja. Meninggalkan pintu setengah terbuka dan pikiranku yang kembali berantakan.

---

Malam terasa panjang.

Aku tidak bisa tidur. Bahkan suara detik jam pun terdengar seperti bom waktu yang menunggu meledak.

Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu antara Reyhan dan Ayahku?

Apa yang membuatnya begitu tega menjadikanku korban?

Kupandangi cermin di meja rias. Di balik riasan tipis, mataku sembab. Bibirku pucat.

Ini bukan wajah seorang pengantin baru. Ini wajah seseorang yang dijebloskan ke dalam neraka yang tak kasat mata.

Tapi aku bersumpah satu hal malam itu.

Aku tidak akan hancur. Biar dia perlakukan aku seperti musuh, tapi aku tak akan tunduk.

Kalau dia pikir aku akan menyerah, dia salah besar.

Aku Nayla. Dan aku akan bertahan.

***

Pagi datang tanpa aku benar-benar tidur.

Langit di luar jendela mulai memutih. Suara burung pun tak terdengar. Entah karena lingkungan perumahan ini terlalu sunyi atau karena dunia memang sedang bisu padaku.

Aku duduk di ranjang sejak subuh, tanpa tahu harus berbuat apa. Masih belum percaya bahwa aku sekarang sudah menjadi istri Reyhan Alfarezi, pria yang bahkan tak ingin menatapku lebih dari satu detik.

Ponselku berdering pelan di dalam tas.

Mama.

Aku mengangkatnya cepat, menekan tombol hijau sambil berjalan pelan ke arah jendela.

“Ma…”

Suaraku pecah.

“Nayla, kamu baik-baik saja?”

Nada Mama terdengar ragu, tapi khawatir.

Aku mengangguk meski dia tak bisa melihat. “Baik, Ma.”

“Maafkan Mama…”

Suara itu langsung membuat tenggorokanku sesak.

“Kenapa?” tanyaku lirih.

“Mama tidak bisa berbuat apa-apa. Semua ini sudah diatur papamu dan keluarga Reyhan sejak lama. Mama juga baru tahu semuanya kemarin malam. Kalau bisa, Mama yang menggantikan posisi kamu…”

Air mataku jatuh tanpa bisa ditahan. Tapi aku buru-buru menghapusnya.

“Sudah, Ma. Jangan menangis. Aku… aku bisa hadapi ini.”

Padahal aku sendiri bahkan belum tahu cara bertahan.

---

Setelah mandi dan mengganti pakaian, aku turun ke lantai bawah. Rumah itu sunyi. Lantai marmernya dingin, dindingnya putih bersih tanpa foto keluarga.

Di meja makan, hanya ada satu cangkir kopi dan piring kosong.

Reyhan duduk di sana, membaca koran. Ponselnya tergeletak di samping tangan kanannya. Dia memakai jam tangan hitam yang mencolok, menambah kesan kuat pada sosoknya.

Saat melihatku datang, dia hanya melirik sekilas. Lalu kembali membaca.

Aku berdiri diam beberapa detik sebelum memutuskan duduk di ujung meja, jauh darinya.

Tak ada sapaan. Tak ada senyum. Hanya suara detik jam yang terus berdetak.

“Kau harus pakai dress biru malam ini. Mamaku menyukai warna itu. Aku tidak mau dia mulai bertanya kenapa selera istriku buruk.”

Aku mengangguk, walau mataku mulai panas.

Kenapa pria ini begitu mudah merendahkan?

“Ada pertanyaan?” tanyanya tanpa menoleh.

Aku menatap meja, mengepal tangan. “Ada.”

Dia akhirnya menurunkan koran. “Apa?”

“Kalau kau benci aku… kenapa tetap menikahiku? Kenapa tidak cari cara lain untuk balas dendam?”

Dia tersenyum tipis, lalu menatapku dengan mata gelapnya.

“Karena ini cara paling menyakitkan. Papamu sudah membunuh Papaku, sekarang giliran kau yang merasakan hukuman atas perbuatannya.”

Aku menelan ludah.

“Dan satu hal lagi,” tambahnya, “jangan coba-coba keluar dari rumah ini tanpa izin. Kamu pikir aku tak bisa membuat hidupmu lebih buruk dari ini?”

Aku mengangguk pelan, meski napasku mulai sesak.

---

Malam itu, aku berdiri di depan cermin.

Dress biru tua yang Reyhan pilih tergantung pas di tubuhku. Riasan di wajahku sempurna, tapi jiwaku berantakan. Aku tak kenal siapa diriku sekarang.

Kupandangi pantulan wajah di kaca, lalu berkata pada diri sendiri:

“Kau akan tetap hidup, Nayla. Bahkan jika tak ada yang berpihak padamu.”

Lalu aku keluar kamar, melangkah menuju mobil hitam yang menunggu di halaman.

Suamiku menatapku dingin dari kursi kemudi, tanpa sepatah kata.

Dan perjalanan menuju makan malam keluarga itu… terasa seperti perjalanan menuju medan perang.

Bab 2

Aku bahkan belum benar-benar paham siapa suamiku sekarang… tapi malam ini, aku akan bertemu dengan keluarganya. Orang-orang yang, konon katanya, membesarkannya dengan cinta. Tapi kalau itu benar… kenapa hatinya terasa sedingin batu?

Setelah Paman Alfarezi meninggal, Reyhan tak di izinkan lagi untuk bertemu denganku dan keluargaku. Bahkan Reyhan sendiri tak ingin bertemu denganku. Dia berubah sejak saat itu. Mereka semua menuduh papaku yang membunuh Paman Alfarezi.

Mobil Reyhan meluncur tenang, tapi jantungku tidak. Aku menatap jendela, mencoba mengatur napas. Tapi tetap saja, tanganku gemetar.

"Bagaimana kabar mamamu, Rey?" tanyaku pelan, mencoba terdengar tenang.

Dia tidak menjawab. Hanya fokus menyetir. Hening.

Begitu mobil berbelok dan melewati gerbang besar berukir, napasku tercekat. Rumahnya, maksudku, rumah keluarganya, tampak seperti mansion di film. Lampu-lampunya terang, taman rapi, dan mobil-mobil mewah berjejer di depan teras.

Aku merapikan jilbabku, menatap bayangan wajah sendiri di kaca jendela.

“Kau tahu apa yang harus dilakukan?” tanyanya tanpa menoleh.

Aku mengangguk. "Jangan membuat malu. Jangan menangis. Jangan pura-pura sedih."

Dia menatapku sekilas, lalu keluar dari mobil. Aku ikut turun, menahan napas begitu pintu besar dibuka oleh seorang pelayan.

Kami masuk.

Seolah-olah semua suara di ruangan langsung menghilang begitu aku muncul di samping Reyhan.

Beberapa orang menoleh. Menatap. Menilai.

Seorang wanita bergaun maroon berdiri dari kursinya, wajahnya nyaris tak menyembunyikan ekspresi tak suka. Di sampingnya, seorang pria paruh baya dengan sorot tajam memandangku dari atas ke bawah.

"Nayla," Reyhan memperkenalkanku singkat. "Istriku."

Wanita itu tersenyum kecil, tapi tidak sampai ke mata. Aku masih ingat dia, meskipun aku tidak terlalu mengenalnya. Dia adalah Mamanya Reyhan.

"Istri? Begitu cepat kau mengganti pilihan, Reyhan?" suaranya tajam, menusuk tanpa perlu nada tinggi.

Seorang gadis berdiri dari sudut ruangan. Cantik. Anggun. Senyumnya lebar saat menatap Reyhan, lalu padam saat matanya bertemu denganku.

Oh. Aku tahu instingku tak salah.

"Ara juga ada di sini, Reyhan," kata mamanya. "Kami pikir… kau akan tetap pada rencana awal. Bukankah kalian tumbuh bersama?"

Ara.

Gadis itu melangkah mendekat, menyentuh lengan Reyhan dengan lembut. "Sudah lama kita tidak bertemu, Rey…"

Aku berdiri di sampingnya seperti bayangan.

Reyhan menarik tangannya. "Aku sudah menikah," katanya datar.

Mamanya tertawa kecil. "Iya, dengan anak dari orang yang menghancurkan keluarga kita. Ironis."

Aku menegang. Pandanganku langsung menatap lantai.

"Papanya Nayla," lanjut wanita itu, "adalah orang yang membuat perusahaan Papa bangkrut. Dan semua itu yang menyebabkan sakit jantung Papa makin parah. Kau tahu itu."

Aku menahan napas. Ingin bicara. Tapi apa yang bisa kubela dari papaku kalau aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi?

Reyhan tak menjawab. Hanya berjalan menuju kursi makan, dan aku terpaksa mengikuti.

Sepanjang makan malam, aku seperti tidak ada. Tak satu pun dari mereka bertanya padaku. Bahkan saat makanan dihidangkan, tak ada yang menawarkan piring. Aku mengambil sendiri. Menahan tangis. Menelan makanan yang terasa seperti kerikil.

"Jadi, sampai kapan drama ini berlangsung, Reyhan?" tanya pamannya sambil mengaduk sup. "Ara sudah menunggumu sejak lama."

"Aku sudah menikah," ulang Reyhan, suaranya tegas.

"Dengan anak dari pengkhianat," desis salah satu sepupu perempuan di seberang meja.

Aku tidak tahan.

Aku bangkit pelan. "Permisi," suaraku pelan, hampir tak terdengar.

"Apa?" suara nyonya Alfarezi meninggi. "Kau bahkan tidak cukup sopan untuk menyelesaikan makan malam bersama kami?"

Reyhan ikut berdiri. "Istriku tidak harus mendengar omong kosong seperti ini."

Tapi aku sudah lebih dulu berjalan pergi. Aku tak kuat. Bukan karena mereka benci padaku, aku sudah siap untuk itu. Tapi karena mereka memperjelas bahwa aku hanyalah luka baru yang mereka tak rela terima.

Begitu sampai di luar, udara malam menyerbu wajahku. Aku menarik napas panjang, berharap bisa menenangkan detak jantungku yang tak karuan.

Tak lama, Reyhan menyusulku.

"Kau tidak bisa pergi begitu saja saat acara keluarga," katanya dingin.

Aku menoleh, menatap matanya. "Kau memaksaku menikah. Kau menjebakku dalam hidup yang tidak kupilih. Tapi jangan paksa aku untuk tersenyum saat semua orang menyebutku racun dalam hidupmu."

Reyhan terdiam. Rahangnya mengeras.

"Lalu kenapa tidak ceraikan aku saja? Kalau aku benar-benar tidak berarti?" tanyaku lirih.

"Karena aku belum selesai."

Dan dengan itu, dia berjalan kembali ke dalam. Namun dia berhenti dan menoleh kembali padaku.

"Masuklah. Kau tetap harus melakukan tugasmu," ucapnya dingin kemudian berjalan meninggalkanku.

Aku berdiri diam, membiarkan angin meniup gaun biru tuaku. Di balik pintu rumah besar itu, mereka tertawa. Mereka punya dunia yang tak akan pernah menerimaku.

***

Malam itu, aku duduk sendiri di balkon kamar tamu yang Reyhan tunjukkan. Udara dingin menusuk kulit, tapi pikiranku lebih dingin lagi.

Di bawah sana, cahaya lampu dari ruang keluarga menyala terang. Suara tawa samar-samar terdengar, keluarga Reyhan masih menikmati malam, seolah kedatanganku tak ada artinya. Seolah aku hanya bayangan yang kebetulan lewat.

Kupikir setelah makan malam penuh sindiran itu, Reyhan akan mencoba menjelaskan sesuatu. Atau setidaknya... bertanya apakah aku baik-baik saja.

Tapi tidak.

Dia tidak datang. Tidak menoleh. Tidak peduli.

Ketika akhirnya aku mulai tertidur dengan mata sembab, suara ketukan keras menggema di pintu.

Aku membuka sedikit. Reyhan berdiri di sana. Dingin. Kaku.

"Kita bicara," katanya datar, lalu melangkah masuk tanpa menunggu izin.

Aku berdiri di tempat, mencoba mengatur napas. "Kalau kau mau bicara soal keluargamu, aku—"

"Bukan soal mereka," potongnya tajam. "Ini tentang kita."

Aku mengangkat daguku. "Kalau kau ingin aku pergi, tinggal bilang. Aku juga tidak nyaman di sini. Jika kau tidak pernah menganggap pernikahan ini, kenapa tidak kau ceraikan saja aku?"

Dia tersenyum, sinis. "Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi semudah itu?"

Aku mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

Reyhan melangkah pelan ke arahku. Wajahnya hanya beberapa inci dari wajahku, tapi tak ada kehangatan di sana. Hanya dingin… dan kemarahan yang tertahan.

"Perceraian terlalu mudah untukmu, Nayla," bisiknya. "Kau akan melarikan diri tanpa membayar apa pun atas kehancuran keluargaku."

Aku mundur selangkah, menahan rasa gugup yang mulai menyeruak. "Aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi dulu. Kau menghukumku atas sesuatu yang tidak kulakukan."

"Tepat," katanya. "Tapi kau anak dari pria itu. Dan hidupmu sekarang… akan jadi pengingat bahwa setiap luka bisa dibayar dengan luka lain."

Aku menahan napas. Rasanya seperti ditampar kenyataan. "Jadi… selama ini kau menikahiku karena sudah kau rencanakan. Karena kau ingin aku menderita?”

Dia menatapku lama, lalu mengangguk. "Akhirnya kau paham."

Air mataku mulai jatuh, tapi aku buru-buru menghapusnya. Aku tidak mau dia melihat aku lemah.

"Kalau begitu, lanjutkan permainanmu," kataku pelan. "Tapi ingat satu hal, Reyhan... orang yang kau benci bukan aku. Dan semakin lama kau mencoba menjatuhkanku, semakin jelas siapa yang sebenarnya hancur."

Dia tidak membalas. Hanya menatapku dengan mata gelap yang tak bisa kutebak.

Setelah itu, dia pergi begitu saja, membiarkanku berdiri di kamar yang terasa semakin sempit.

Aku merosot ke lantai, menatap kosong ke depan.

Aku adalah tawanan dendamnya. Tapi aku tidak akan membiarkan diriku hancur hanya karena Reyhan tak bisa menyembuhkan lukanya sendiri.

Kalau dia ingin menyakitiku, biar dia lihat… aku tidak semudah itu tumbang.

Bab 3

Keesokan paginya, aku bangun lebih awal dari biasanya. Mata masih sedikit sembab, tubuh terasa berat, tapi aku tak ingin terlihat rapuh di rumah ini. Aku tahu, setiap sudut mata akan kembali meniliku, setiap langkahku akan diperhatikan.

Aku mengenakan gamis sederhana berwarna krem dan menata jilbabku serapi mungkin. Saat menatap cermin, aku memaksakan seulas senyum.

Aku tak ingin mereka melihat luka di balik wajah ini.

Aku turun ke ruang makan, dan seperti yang kuduga, semua sudah berkumpul. Reyhan duduk di ujung meja, berbicara dengan pamannya. Ara duduk tidak jauh dari Reyhan, senyumnya kembali muncul saat melihatku.

Nyonya Alfarezi menatapku sesaat sebelum menyesap tehnya. “Kau bangun juga akhirnya,” katanya dingin.

Aku hanya menunduk sedikit. “Pagi.”

Tak ada balasan. Hanya suara sendok dan garpu. Hanya suara tawa kecil di antara mereka.

Aku duduk, dan saat hendak mengambil roti, sepupu Reyhan, yang kemarin menyebutku anak pengkhianat, berkata sambil terkekeh, “Di rumah ini, tamu biasanya menunggu makanan disajikan, bukan asal ambil sendiri.”

Aku membeku sejenak. Tapi sebelum aku sempat berkata apa pun, suara Reyhan terdengar.

“Dia bukan tamu. Dia istriku. Jika dia ingin mengambil sendiri, itu terserah dia.”

Semua mata menoleh ke Reyhan. Termasuk aku.

Ara tampak tak senang. Nyonya Alfarezi mengerutkan dahi, lalu meletakkan cangkirnya dengan sedikit bunyi. “Tentu saja. Tapi rumah ini punya aturan. Bahkan untuk istri sekalipun.”

Reyhan tidak menanggapi. Ia hanya kembali memakan rotinya, seolah tak ada yang terjadi.

Setelah sarapan, aku berjalan keluar ke taman belakang. Butuh udara. Butuh tempat untuk mengatur emosi yang masih tersisa sejak semalam.

Dan saat aku duduk di bangku taman itu, seseorang datang.

Ara.

Langkahnya ringan, tapi ada ketegasan dalam suaranya. “Kau pikir kau bisa tinggal di sini begitu saja?”

Aku menoleh pelan. “Aku tidak pernah ingin tinggal di sini.”

Dia tersenyum sinis. “Bagus. Karena kau tidak akan bertahan lama. Reyhan hanya sedang... marah. Dan ketika marahnya selesai, dia akan menyadari tempatmu bukan di sampingnya.”

Aku menatapnya lekat-lekat. “Kalau begitu, kenapa kau takut?”

Wajahnya berubah seketika. “Apa?”

“Kalau kau yakin dia akan kembali padamu, kenapa kau repot-repot datang ke taman hanya untuk menegaskan sesuatu yang kau sendiri ragukan?”

Ara terdiam, lalu mendekat. “Kau mungkin sudah jadi istrinya, Nayla. Tapi cintanya… milikku sejak dulu.”

Aku berdiri. “Maka biarkan waktu yang membuktikan, Ara. Apakah kau memang bagian dari cintanya, dan bagian dari masa depannya?"

Aku melangkah pergi, tak peduli lagi dengan wajahnya yang mulai marah. Tidak lagi peduli dengan siapa yang ada di belakang Reyhan dulu. Karena satu-satunya yang kupikirkan sekarang… Aku tidak akan mudah di tindas oleh siapapun di keluarga ini termasuk Reyhan sendiri.

***

Malam ini, hujan turun pelan-pelan, mengguyur halaman belakang rumah keluarga Alfarezi. Aku memilih berdiam di kamar, menatap jendela dengan pikiran yang berkecamuk. Rumah ini terasa dingin, tidak hanya karena cuaca, tapi karena tatapan dan kata-kata yang menusuk setiap saat.

Ketika aku hendak berbaring, pintu kamarku diketuk. Pelan. Tapi cukup membuatku terjaga. Aku membuka pintu, dan di sanalah Reyhan berdiri. Wajahnya datar, sorot matanya seperti biasa, dingin, penuh perhitungan.

“Kita pulang,” ucapnya singkat.

Aku menatapnya heran. “Pulang?”

“Iya. Ke rumah kita.”

Aku menelan ludah pelan. Entah kenapa, kata “rumah kita” terdengar seperti jebakan. Tapi aku tak berkata apa-apa. Hanya mengangguk kecil dan bersiap dalam diam.

---

Perjalanan pulang diwarnai keheningan. Tak ada obrolan, tak ada penjelasan. Hanya suara mesin mobil dan rintik hujan di kaca jendela.

Sesampainya di rumah, semuanya masih seperti sebelumnya. Rapi. Dingin. Sunyi. Tak terasa seperti rumah, hanya bangunan besar yang dipenuhi oleh ketegangan.

Aku meletakkan tas kecilku di kamar, mencoba menarik napas panjang sebelum berbalik untuk keluar. Tapi langkahku terhenti saat melihat Reyhan berdiri di ambang pintu, menatapku tajam.

“Kenapa?” tanyaku pelan.

“Apa kau kira dengan aku membawamu kembali ke sini, semuanya akan membaik?” ucapnya dengan suara rendah, tapi sarat emosi. “Ini bukan tentang memberi kenyamanan padamu, Nayla.”

Aku terdiam, menatapnya penuh tanda tanya.

Dia mendekat. “Ini tentang hukuman. Tentang balasan. Dan yang baru saja kau terima di rumah keluargaku… itu belum seberapa.”

Mataku mulai berkaca-kaca. “Reyhan… sampai kapan?”

“Sampai aku puas,” jawabnya cepat. “Sampai aku melihatmu benar-benar terpuruk karena telah menghancurkan hidupku.”

Aku tersenyum miris. “Kau pikir dengan menyakitiku, lukamu akan sembuh?”

Dia membalas tatapanku, lalu berbalik. “Jangan berharap apa-apa dariku, Nayla. Karena mulai sekarang… setiap hari di rumah ini akan mengingatkanmu bahwa kau hanya wanita yang kupilih bukan karena cinta… tapi karena dendam yang harus kau bayar.”

Setelah itu dia pergi, membiarkanku berdiri sendiri di tengah kamar. Hujan di luar masih turun, tapi rasanya tak sebanding dengan hujan yang kini turun di dalam hatiku.

Aku menatap langit-langit kamar, membiarkan air mata jatuh pelan.

***

Pagi harinya, aku menyiapkan sarapan. Meski belum terbiasa berada di dapur ini, aku tetap mencoba bersikap tenang. Telur, roti, dan teh. Sederhana, tapi cukup untuk menyambut hari baru yang entah akan seburuk apa lagi. Aku tetap menyiapkan sarapan untuknya. Ini ku lakukan karena tugas istri adalah melayani suami, meskipun mungkin dia hanya akan melihat kebencian.

Saat aku sedang menuang teh ke dalam cangkir, suara langkah Reyhan terdengar dari arah tangga. Dia masuk ke ruang makan tanpa menatapku, lalu duduk di kursi paling ujung.

Aku meletakkan cangkir di depannya. “Sarapan sudah ku siapkan untukmu.”

Dia tidak menjawab. Hanya mengangkat roti dan mulai memakannya, seperti aku tidak ada di sana.

Aku duduk di seberang, mencoba mencicipi tehku sendiri.

Beberapa menit berlalu, sampai akhirnya dia berkata, “Kau masih suka teh manis, kan?”

Aku mengangkat wajah, sedikit terkejut. “Masih.”

Dia mengangguk pelan. “Aneh.”

“Kau mengingatnya?”

Dia menatapku datar. “Aku mengingat semua hal yang berkaitan denganmu, Nayla. Termasuk rasa sakit yang kau tinggalkan.”

Aku menahan napas. Entah kenapa, suaranya menusuk lebih dari sekadar ejekan.

“Reyhan…” Aku mencoba bicara, tapi dia segera berdiri.

“Aku akan ke kantor. Jangan keluar rumah. Jangan kemana-mana. Dan jangan pikir untuk bertingkah macam-macam. Rumah ini punya aturan juga, Nayla. Dan aku pemiliknya.”

Dia mengambil jasnya dan melangkah ke pintu. Tapi sebelum pergi, dia berbalik sesaat. “Dan satu lagi… Kau tidak perlu memasak untukku. Aku tidak lapar karena masakanmu. Aku hanya lapar karena ingin melihatmu bekerja seperti pelayan.”

Aku mengatupkan bibir rapat-rapat. Menahan air mata yang nyaris jatuh. Tapi aku tahu… menangis hanya akan membuatnya puas.

Saat pintu tertutup dan deru mobilnya menghilang, aku menghela napas panjang. Jantungku terasa sesak. Tapi aku tahu, ini baru permulaan.

Aku berjalan ke taman belakang, tempat yang kupakai untuk menenangkan diri. Duduk di bangku kayu, menatap langit yang masih mendung.

"Nayla, kau harus kuat. Bukan untuk membalas… tapi untuk bertahan. Karena bertahan adalah satu-satunya cara agar dia tahu… kau bukan wanita lemah seperti yang dia kira."

Aku memejamkan mata sejenak di bangku taman itu. Dedaunan yang basah oleh hujan semalam masih meneteskan sisa-sisa air. Suara alam yang tenang justru membuat pikiranku kembali ke masa lalu, ke tempat yang dulu kusebut rumah, ke kenangan yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatan.

Reyhan… dulu bukan seperti ini.

Waktu kecil, dia sering datang ke rumahku bersama ayahnya. Papa Reyhan adalah orang yang sangat dihormati di mata Papa. Mereka bersahabat. Papa bekerja sebagai asisten keuangan pribadi keluarga Alfarezi, dan karena kedekatan itulah hubungan kami dengan keluarga Reyhan cukup dekat.

Reyhan kecil… dia anak laki-laki yang keras kepala, tapi diam-diam perhatian. Aku masih ingat saat aku jatuh dari sepeda di depan rumah, lututku berdarah dan aku menangis. Teman-teman yang lain hanya tertawa. Tapi Reyhan... dia malah berlari ke dapur rumah kami, mengambil air dan kain bersih, lalu membersihkan lukaku.

"Aku nggak suka lihat darah," katanya waktu itu. "Tapi aku lebih nggak suka lihat kamu nangis."

Kami tertawa waktu itu. Aku masih ingat jelas senyum itu. Senyum yang hangat. Senyum yang... kini tak ada lagi.

Tapi semua berubah sejak Papa Reyhan meninggal dunia secara mendadak karena serangan jantung.

Sejak hari itu, Reyhan mulai berubah. Tatapan matanya padaku tak lagi sama. Seolah ada kebencian yang disembunyikannya, seolah kepergian ayahnya adalah awal dari semua kegelapan yang kemudian menghancurkan segalanya. Bahkan hubungan kami.

Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi, atau apa yang dipikirkannya. Tapi aku bisa merasakannya. Dingin. Penuh jarak. Dan perlahan, rasa tidak suka itu tumbuh dari tahun ke tahun, hingga kini menjadi dendam yang ia siram dengan luka-luka baru untukku.

“Apa mungkin… dia menyalahkan Papa?” bisikku pelan pada diri sendiri.

Karena sejak Papa kehilangan pekerjaan setelah itu, kami tak pernah lagi dipanggil ke rumah mereka. Kami menjauh. Kami... diasingkan.

Aku menggigit bibir. Luka lama itu ternyata belum benar-benar sembuh. Bahkan kini Reyhan sendiri seolah ingin menghidupkannya kembali dengan cara yang paling menyakitkan.

Aku membuka mata. Langit mulai cerah, tapi hati ini tetap mendung. Namun satu hal yang aku tahu dengan pasti, aku harus terus bertahan. Karena jika Reyhan ingin menghukumku untuk sesuatu yang tak pernah kulakukan… maka aku akan menjawabnya bukan dengan air mata.

Aku ingin tetap menjadi Nayla… gadis kecil yang dulu pernah menangis karena terluka, tapi selalu bangkit sendiri karena dia percaya, suatu hari luka itu akan sembuh juga.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!