Didalam hidup, seringkali kita menyesali beberapa hal yang telah dilewati. Namun, kita tidak dapat memutar waktu untuk memperbaiki apa yang telah terlanjur terjadi. Karena itu adalah hal yang mustahil. Kecuali kalau sang kuasa dan alam ini berkehendak lain.
...****************...
...****************...
Thorns City, 2030
Sorak-sorai membahana di antara lautan manusia. Lampu-lampu gedung bergantian menyala, memantulkan gemerlap kota malam yang seolah ikut berpesta. Di antara kerumunan itu, Wislay Antika berdiri dengan mata berbinar, tangan menggenggam erat tiket konser berlogo BLUE yang sudah sedikit lecek karena terlalu sering disentuh. Di sampingnya, Michelle, sahabatnya sejak kuliah, ikut tersenyum lebar.
"Aku masih nggak percaya kita di sini! Di tempat konser BLUE!" seru Michelle, suaranya hampir tenggelam di antara riuh suara penggemar lain.
Wislay menoleh, matanya mengerjap-ngerjap menahan haru. "Aku juga, Chelle... ini kayak mimpi. Aku pikir nggak akan kebagian tiketnya. Kamu tahu kan, cuma dalam 17 detik... SOLD OUT!"
Michelle mengangguk cepat. "Iya! Tapi karena kamu standby dari jam dua pagi dan punya strategi buka enam device sekaligus, kita dapat! Dan bukan cuma tiket biasa, Lay. Kita di area tengah, dekat panggung! Kyaaa, jadi nggak sabar ketemu Jhon suamiku."
"Iya… semua perjuangan dan tabungan selama setahun ini akhirnya terbayar," ucap Wislay pelan. "Tiap malam lembur, tiap akhir pekan kerja freelance. Sampai kadang tidur pun cuma tiga jam."
Michelle menepuk pundaknya dengan bangga. "You did it, Lay. Kamu pantas dapetin ini."
Wislay tersenyum, namun senyum itu tidak bertahan lama. Wajahnya menegang seketika. Pandangannya menunduk, seolah bayangan sesuatu yang tak enak menyusup masuk ke pikirannya.
"Kenapa?" tanya Michelle, menyadari perubahan ekspresi sahabatnya.
Wislay menggigit bibir bawahnya. "Aku... tadi malam marahin Mama."
"Kenapa?"
"Dia... minta uang lagi. Buat bantu bayar utang Adi, adikku yang kuliah itu." Wislay menarik napas berat. "Padahal aku udah kasih waktu gajian minggu lalu."
Michelle mengangguk pelan, tak langsung bicara. Ia tahu betul bagaimana kehidupan keluarga Wislay. Tidak berada, bahkan cenderung pas-pasan.
"Kamu marah gimana?" tanyanya pelan.
Wislay terdiam, lalu suaranya pecah. "Aku bilang: 'Mama nggak ngerti ya, aku juga capek cari uang. Ini uang yang aku kumpulin setahun buat konser impian aku. Masa harus hilang juga? Adi terus aja jadi beban.' Aku... aku nyesel banget ngomong kayak gitu."
Michelle menatapnya prihatin. "Kamu cuma lelah, Lay. Kamu manusia."
"Tapi Mama diam, Chelle. Dia cuma bilang, 'Kalau kamu nggak bisa bantu, nggak apa. Mama pikir kamu udah cukup longgar sekarang.' Terus dia matikan telepon. Suaranya pelan banget. Aku tahu dia kecewa."
Wislay mengusap wajahnya. Air mata mulai menetes di pipinya, meski ia mencoba menyembunyikannya dari ribuan orang yang juga sedang bahagia.
"Aku cuma ingin satu malam ini buat aku sendiri, Chelle. Tapi kenapa aku harus jadi anak yang egois?"
Michelle meraih bahunya dan menariknya dalam pelukan singkat. "Kamu bukan egois. Kamu sudah banyak berkorban untuk keluarga. Kadang... kita juga harus kasih ruang untuk diri sendiri."
Wislay mengangguk, namun rasa bersalah tetap membekas di dada. Di tengah gemerlap konser dan ribuan penggemar yang sebentar lagi akan berdansa dengan lampu sorot bersama idolanya di atas panggung, ia merasa seperti titik kecil yang terperangkap dalam kabut emosi yang tak bisa ia jelaskan.
"Nanti setelah konser selesai, aku akan telepon Mama lagi dan berencana mau memberikan uang simpananku yang tersisa buat bantu Adi," bisiknya. "Aku akan minta maaf. Aku janji."
Michelle tersenyum lembut. "Itu yang terbaik."
Tiba-tiba, suara pengumuman menggema di atas panggung. Lampu-lampu mendadak meredup, membuat kerumunan semakin gaduh.
"Wah, kayaknya opening-nya mulai nih!" seru Michelle antusias.
Namun tak lama, bukan suara musik yang keluar dari speaker. Suara pembawa acara, laki-laki, terdengar gugup.
"Kami mohon maaf kepada semua pengunjung... konser malam ini dibatalkan karena insiden yang tak terduga. Kami minta semua pengunjung untuk tetap tenang."
"Apa maksudnya?!" Michelle melotot.
Wislay membeku. "Tidak... tidak mungkin..."
Layar besar yang semula menampilkan visual konsep konser mendadak menampilkan berita kilat: GUSTRO MENGALAMI KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM PERJALANAN KE VENUE, DAN DINYATAKAN MENINGGAL DUNIA SEBELUM DILARIKAN KE RUMAH SAKIT.
Wislay merasa lututnya lemas. Dunia seolah runtuh dalam satu tarikan napas. Sorak berubah menjadi jeritan panik. Semua fans mulai menangis. Beberapa pingsan. Michelle menggenggam tangan Wislay erat.
"Lay! Kamu jangan pingsan! Lay!"
Namun dunia Wislay sudah berputar. Hanya saja ia berusaha untuk tetap berdiri tegak. Tidak lama ponselnya berdering, tertulis nama 'Adi Adikku' di layar ponsel. Segera Wislay mengangkat telepon tersebut. Entah apalagi yang bakal didengarnya dari adiknya itu.
"Halo, Di... kenapa?"
Di ujung telepon, suara Adi terdengar kacau dan terbata. "Kak... Kak Wislay... aku—aku baru aja dikabarin dari kampung... dari tetangga. Kak..."
"Pelan-pelan, Di. Napas dulu. Ada apa?" suara Wislay mulai bergetar, firasat buruk mencengkeram dadanya.
"Mama, Kak... Mama..."
"Mama kenapa?!"
"Mama... barusan... meninggal, Kak... katanya tekanan darahnya naik mendadak... tetangga bilang Mama sempat pingsan... terus nggak sadar-sadar... dibawa ke puskemas... tapi katanya udah terlambat... Kak... Mama udah nggak ada..."
Wislay mematung. Nafasnya tercekat. Kaki-kakinya lunglai seketika.
"Adi... jangan bercanda... ini aku lagi di konser BLUE dan barusan dikabari kalau Gustro idolaku, meninggal dunia. Lalu tiba-tiba, kamu nelpon buat ngasitau jika mama sudah..." Wislay tidak kuasa melanjutkan perkataannya, dan malah menunaikan isak tangisnya seraya berseru penuh penyesalan, "Ini tidak masuk akal, hiks. Aku... aku baru aja mau nelpon Mama... aku mau minta maaf..."
"Aku juga baru tahu barusan... aku di kost, Kak... aku nggak tahu harus gimana... Kak... Kak, aku takut..."
Dan saat itu juga, tubuh Wislay merosot jatuh ke lantai pelataran konser. Suara-suara bising tak lagi ia dengar. Dunia seolah membungkam semuanya kecuali detak jantungnya yang memukul-mukul telinga.
Air mata membanjiri wajahnya. Tangisnya membludak dahsyat, tak bisa ditahan. Bagaimana tidak? Gustro idolanya dan ibunya tercinta mengalami musibah di hari yang sama. Michelle yang masih memegangi ponselnya ikut menangis, lalu segera duduk bersimpuh memeluk Wislay dari samping.
"Mama... aku belum bilang maaf... aku belum bilang aku sayang Mama... aku anak jahat... aku... aku jahat...!" ratap Wislay, suaranya melengking di antara deru napas dan tangisnya.
Michelle hanya bisa mengusap punggungnya. "Lay... Lay... aku di sini... Kamu mesti kembali ke kampung... Kamu harus kuat... Mama pasti tahu kamu sayang dia..."
"Tidak! Tidak! Aku marahi dia semalam! Aku... tega bilang kata-kata itu... Mama pasti sakit hati... dan dia... dan dia meninggal pasti dalam keadaan kecewa... Chelle... gimana aku bisa maafin diriku sendiri?!"
Wislay terhuyung ke depan, nyaris tersungkur kalau Michelle tak segera menahannya.
"Aku harus ke Mama sekarang! Aku harus lihat Mama! Aku harus minta maaf! Aku harus..."
"Iya... iya kamu bakal ke sana. Kita akan pulang sekarang," Michelle berkata dengan suara gemetar namun tegas.
Wislay mengangguk histeris. Ponselnya kembali ia pegang. Tangannya gemetar saat mencoba menelepon ulang tetangga di kampung, tapi tak sanggup bicara saat panggilan tersambung. Ia hanya menangis.
Di antara lampu-lampu kota yang masih menyala dan suara orang-orang yang mulai bubar dari lokasi konser, Wislay duduk dengan napas tercekat, menyatu dengan malam yang kelam.
~
Bandara malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin menusuk tulang, menyatu dengan rasa kehilangan yang menggantung berat di dada Wislay.
Ia duduk bersama Adi di ruang tunggu, menatap papan keberangkatan yang menyala-nyala dengan informasi pesawat pulang ke kampung halaman mereka. Michelle telah membelikan dua tiket tercepat yang tersedia dan mengantar mereka sejauh pintu keberangkatan. Namun sejak mereka tiba di bandara, Wislay hampir tak bicara sepatah kata pun.
Adi duduk di sampingnya, matanya sembab dan linglung. "Kak... kamu nggak apa-apa, kan?" tanyanya lirih, seolah pertanyaan itu sendiri pun menyesakkan.
Wislay hanya mengangguk tanpa suara. Ia tidak tahu lagi bagaimana menggambarkan perasaannya. Hancur? Sudah lewat. Kosong? Terlalu dalam. Ia merasa seperti lubang hitam berjalan.
Setelah sepuluh menit, Wislay berdiri. "Tunggu di sini, ya. Aku... aku mau cari angin sebentar."
Adi menatapnya dengan heran. "Mau ke mana, Kak? Ini udah malam banget."
"Nggak jauh. Dekat-dekat sini aja. Aku cuma butuh... waktu sebentar."
Tanpa menunggu jawaban, Wislay melangkah keluar dari area terminal. Matanya kosong, langkahnya ringan seolah tubuhnya tidak berbobot. Tak jauh dari bandara, berdiri sebuah hotel bertingkat delapan, dengan akses rooftop yang tak terlalu diawasi. Ia menemukan keberadaan hotel tersebut saat perjalan menuju terminal tujuan mereka.
Dengan langkah pelan namun pasti, ia menyeberang jalan dan masuk ke lobi hotel. Tidak ada yang memperhatikan. Tidak ada yang curiga. Tidak ada yang tahu bahwa malam ini, seorang gadis sedang menggendong duka yang terlalu berat untuk dipikul manusia.
Tangga darurat menjadi pilihannya. Ia mendaki satu per satu anak tangga hingga sampai ke lantai delapan. Nafasnya terengah, tapi bukan karena lelah, melainkan karena emosi yang menyesakkan.
Saat ia tiba di rooftop, kota terbentang luas di hadapannya. Lampu-lampu kendaraan terlihat seperti bintang-bintang yang jatuh dari langit. Suara pesawat dari kejauhan menjadi latar sunyi yang menakutkan.
Wislay berdiri di tepi atap. Angin malam menyapu rambutnya yang kusut. Pikirannya kacau. Matanya sembab. Namun yang paling mencolok adalah ketenangan aneh yang menyelimuti dirinya.
"Entah kesialan macam apa yang tengah menimpaku ini. Rasanya amat sakit dan memuakkan. Mama... Gustro... kalian pergi di hari yang sama..." ucapnya dengan suara parau. "Kenapa? Kenapa harus sekarang? Kenapa harus bersamaan?"
Angin malam menjawab dengan keheningan.
"Aku udah nggak punya apa-apa lagi."
Air matanya jatuh lagi. Tapi ia tak menyekanya. Ia hanya berdiri di sana, menghadap gelap malam, mencoba menerima satu kenyataan pahit yang tidak bisa diterima.
"Mama... aku belum sempat minta maaf atas semua kata-kata menyesakkan dan kebohongan-kebohongan kecil yang telah aku lakukan.. aku bahkan nggak ngelihat wajah Mama untuk terakhir kalinya."
Langkahnya maju satu sentimeter.
"Dan Gustro... kamu adalah alasan aku bertahan. Lagu-lagumu bikin aku tersenyum di saat dunia membenciku. Senyumanmu serta tingkahmu bagai terang dalam gelapku. Kamu penyemangatku waktu semua terasa berat. Tapi, kamu juga malah pergi begitu saja. Padahal... Hiks, padahal aku sudah susah payah menabung mati-matian demi melihatmu bersinar secara langsung di atas panggung."
Langkahnya maju lagi. Satu kaki kini menggantung di ujung atap.
"Untuk apa aku hidup kalau semua yang aku cintai udah pergi?"
Satu tarikan napas dalam. Mata tertutup.
"Kalau memang hidupku harus berakhir sekarang... biarlah... Tapi..."
Air matanya jatuh.
"Kalau aku bisa hidup sekali lagi... kalau aku bisa kembali ke waktu sebelum semua ini terjadi... aku janji... aku akan selamatkan Mama... aku akan selamatkan kamu, Gustro... Dengan cara apa pun... Aku bersumpah!"
Dan dalam bisikan yang lirih, Wislay membiarkan tubuhnya terhempas ke udara. Meluncur ke bawah menuju kematian, pikirnya.
Atau mungkin... Malah sebaliknya? Misalnya seperti kesempatan kedua? Tidak ada yang tahu bahwa betapa misteriusnya dunia tempat kita tinggal. Sebab terkadang, apa yang kita kira mustahil... Nyatanya tidak sama sekali.
...****************...
...****************...
Gelap.
Hening.
Tidak ada rasa sakit. Tidak ada suara benturan. Tidak ada akhir seperti yang ia bayangkan. Hanya kekosongan, lalu perlahan—cahaya.
Wislay membuka matanya dengan lambat. Pandangannya buram, cahaya matahari yang menyusup lewat jendela tipis terasa menyilaukan. Aroma khas kayu tua bercampur wangi kapur barus menyapa hidungnya. Ia mengenal aroma itu.
Dengan panik, ia terduduk. Matanya membelalak ke sekeliling. Ini... kamarnya. Kamar kecil di rumah tua mereka di kampung halaman. Tirai biru dengan motif bulan-bintang. Lemari usang peninggalan almarhum kakek.
"Apa... ini mimpi?"
Ia menampar pipinya sendiri. Sekali. Dua kali. Perih. Tapi nyata.
"Aku... aku di rumah? Aku hidup?" Wislay menatap kedua tangannya yang gemetar lalu meraba-raba sekujur tubuhnya. Lengkap tanpa ada yang lecet atau terluka. Jantungnya berdegup kencang. Ia bangkit dari ranjang, membuka pintu kamar dan berlari ke ruang tengah.
Masih sama. Meja kayu bundar di sudut, toples kerupuk di atasnya. Gorden kuning pucat yang bergoyang ditiup angin.
Tanpa pikir panjang, Wislay berlari keluar rumah. Matanya menelusuri setiap sudut halaman yang ia rindukan. Lalu matanya menangkap dua sosok di teras.
"Mama... Bapak...?"
Ibunya duduk di kursi bambu, mengenakan daster kuning sambil menopang seekor anak anjing bernama Turbo, tertawa kecil saat mendengar Ayahnya yang sedang menceritakan kisah lawas. Ibunya... Hidup. Dan dia ada di sana.
Wislay tersentak. Bibirnya bergetar. Air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Dengan langkah tergesa, ia berlari ke arah mereka dan langsung memeluk keduanya dengan erat.
Takk.... Takkk... Takk.
"Ma... Pak..." isaknya. "Aku... Hiks... aku kangen..."
Ibu dan ayahnya tampak terkejut.
"Astaga, Lay! Ada apa ini? Kamu kenapa nangis begini?" tanya ibunya panik, mencoba melepaskan pelukan putrinya agar bisa melihat wajahnya.
Wislay tak bisa menjawab. Ia hanya menggeleng sambil menangis, memeluk erat tubuh kedua orangtuanya, seolah takut mereka menghilang jika dilepaskan.
Ayahnya tertawa kecil. "Apa kamu mimpi buruk?"
Ibunya mengerutkan dahi, lalu menatap wajah Wislay yang penuh air mata. Kemudian, dengan nada bercanda yang khas, ia berkata, "Jangan-jangan kamu berubah pikiran ya? Kamu nggak jadi berangkat ke kota buat kuliah, besok? Makanya nangis sesenggukan begini?"
Wislay terdiam. Perlahan, kalimat ibunya itu menyatu dalam pikirannya.
'Kuliah... Besok...?'
Matanya melotot. Ia segera melihat ke arah kalender tua yang tergantung di dinding luar rumah. Tangannya gemetar saat membaca tanggal.
Lima tahun yang lalu.
Tepat... Lima tahun sebelum Gustro meninggal. Lima tahun sebelum Mama pergi. Serta lima tahun ketika usianya masih 19 tahun.
"Aku... beneran kembali... Aku beneran kembali ke masa lalu...!"
"Karena sudah begini, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang telah dianugerahkan oleh sang Kuasa. Aku harus mengubah hidupku menjadi lebih baik dari kehidupan sebelumnya. Aku akan membebaskan mama dari belenggu beban hidup yang berat, lalu menyelamatkan Gustro juga mama dari kematian!"
Di tengah haru, Wislay tersenyum di balik tangisnya. Kali ini, ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan.
"Ma.. Aku janji, kali ini tidak akan membuat mama, bapak dan kedua adikku kecewa apalagi bersedih. Aku pastikan bahwa ke depan bakal penuh kebahagiaan."
"Begitupun denganmu, Gustro. Tunggu aku di kota. Sebentar lagi aku datang. Melindungi dan menjagamu, agar terhindar dari segala musibah."
~
Langit kota terlihat mendung saat pesawat yang ditumpangi Wislay akhirnya mendarat di ibu kota, Thorns City. Angin dari jendela bandara menerpa wajahnya dengan dingin yang menembus kulit. Tapi bukan cuaca yang membuatnya menggigil, melainkan kenangan dan juga butir-butir penderitaan didalamnya.
Kota yang penuh memori indah sekaligus tempat dimana harapan dan tubuhnya terkikis habis. Namun kini, dengan tekad dan ingatan masa depan yang kembali bersamanya, ia datang sebagai pribadi berbeda.
Di pelataran bandara, seorang pria paruh baya menunggunya dengan wajah datar dan tatapan yang sulit ditebak. Itu adalah Pak Rinto, pamannya dari pihak ayah, yang bersedia menampungnya selama ia mempersiapkan diri sebelum kuliah dimulai.
“Lay,” sapa Pak Rinto singkat.
Wislay tersenyum kecil. “Iya, Paman. Terima kasih sudah jemput.”
Perjalanan dari bandara ke rumah pamannya terasa panjang. Jalan-jalan besar, gedung pencakar langit, dan keramaian ibu kota mengalir di jendela mobil. Semua tampak seperti dejavu yang menusuk.
Sesampainya di rumah pamannya, aroma masakan dan suara tangisan anak kecil menyambutnya. Tante Ayu, istri pamannya, keluar dari dapur sambil menggendong anak mereka yang masih balita.
“Oh, Lay! Kamu sudah sampai. Masuk, ya. Jangan lupa lepas sepatu,” ucapnya, setengah tergesa sambil menggendong bocah yang tengah rewel.
Wislay masuk, meletakkan tasnya. Rumah ini masih seperti yang ia ingat—tidak terlalu luas, tapi cukup untuk satu keluarga kecil. Namun dalam kehidupannya yang dulu, rumah ini berubah menjadi neraka kecil. Enam bulan ia di sini, bukan untuk ‘menyesuaikan diri’ seperti yang dijanjikan, melainkan mengurus rumah, mengasuh anak mereka, hingga ia kehilangan berat badan dan semangat.
Tapi kali ini, tidak. Sebab ia datang dengan rencana.
Satu hari sebelum keberangkatannya dari kampung, Wislay telah menelpon sahabat lamanya, Rani—teman sekolah yang lebih dulu merantau ke ibu kota dan sekarang bekerja di sebuah kafe kecil di Rose Regency.
"Ran, tolong bantu aku bersandiwara sedikit. Aku akan bilang pada paman dan tante kalau aku dapat pekerjaan paruh waktu di tempat kamu kerja. Minimal, alasan itu cukup kuat buat menghindari mereka menyuruhku jadi babu ataupun baby sitter gratis selama enam bulan ke depan."
Rani sempat terdiam di ujung telepon, lalu menjawab, "Oke, aku bantu. Nanti kamu bilang aja, kamu mulai kerja minggu depan. Aku akan backup kalau ada yang tanya. Tapi kamu serius?"
"Aku sangat serius. Kali ini, hidupku harus berbeda."
"Maksudmu?"
"Tidak ada apa-apa, Ran. Makasih ya."
"Oke, Wislay."
Kini, duduk di ruang tamu rumah pamannya, Wislay memulai sandiwara itu.
"Paman, Tante," ucapnya dengan suara lembut namun tegas. "Aku sudah dapat kerja paruh waktu. Mulai minggu depan aku akan bantu-bantu di sebuah kafe, dekat kampus yang akan menjadi tempatku berkuliah nantinya. Temanku yang bantu masukin.”
Pak Rinto dan Tante Ayu saling berpandangan.
"Kok buru-buru banget kerja? Kamu kan belum mulai kuliah. Emang bapak dan mamamu setuju? Perasaan, rencana mereka tidak kaya gini sebelumnya," kata Tante Ayu sambil membetulkan letak gendongan anaknya.
"Aku hanya pengen cepat menyesuaikan diri. Dan juga... mau bantu biaya sendiri. Biar nggak terlalu merepotkan. Bapak sama mama juga setuju kok,” jawab Wislay, masih dengan senyum yang ia latih sejak di kampung.
Pak Rinto mengangguk pendek. “Ya sudah. Yang penting kamu jaga diri. Jangan sampai keteteran antara kerja dan kuliah nanti. Kemudian, jangan berpacaran dulu sebelum impianmu serta bapak ibumu, tercapai.”
“Siap, Paman.”
Wislay menatap dinding ruang tamu. Dalam hatinya ia berkata, "dulu aku hanya diam dan menerima. Tapi sekarang, aku yang kendalikan alur hidupku."
Dan inilah awal baru untuk menyelamatkan masa depan.
...****************...
...****************...
Beberapa hari setelah tinggal di rumah pamannya, Wislay menjalankan rencananya. Dengan alasan memulai pekerjaan paruh waktu, ia pamit kepada Pak Rinto dan Tante Ayu, lalu berangkat menuju tempat tinggal Rani.
Setelah perpisahan singkat yang tanpa curiga dari keluarga pamannya, Wislay membawa koper kecil dan uang saku dua juta rupiah yang diberikan oleh ayah dan ibunya sebelum berangkat ke ibu kota. Uang itu ia hemat betul-betul, karena ia tahu bahwa pada kehidupan sebelumnya, uang kebutuhannya lah yang seringkali jadi beban kedua orangtuanya khususnya sang ibu.
Sebab bila diulas, keluarga Wislay bukan orang yang cukup mampu. Namun karena tidak ingin mengubur mimpi anak, kedua orangtuanya rela meminjam uang kesana-kemari hingga ditumpuki oleh utang yang banyak, bila sedang dalam keadaan sesak.
Kali ini, Wislay bertekad tidak boleh bergantung pada siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Rani menyambutnya dengan pelukan hangat di depan kos-kosan kecil yang terletak di gang sempit area Rose Regency.
"Gila... kamu beneran dateng!" kata Rani dengan senyum lebar.
"Aku nggak punya pilihan," sahut Wislay sambil tertawa kecil, walau lelah terlihat jelas di wajahnya. "Tapi serius, Ran... makasih banget, ya. Kamu penyelamat hidupku."
"Kita saling bantu. Lagian aku juga butuh tetangga kosan yang bisa diajak begadang nonton drama," canda Rani sambil membantu membawa koper Wislay ke dalam.
Kos-kosan itu sederhana tapi nyaman. Sepetak kamar kecil untuk ditinggali Wislay yang cukup untuk satu kasur lipat, sebuah meja belajar, lemari dan kipas angin tua yang berdiri di pojok ruangan. Tapi bagi Wislay, itu adalah surga kecil. Di seberang kamarnya adalah tempat Rani. Jadi jika butuh apa-apa, tidak susah untuk menjangkaunya.
Selama beberapa hari pertama, ia menghabiskan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar, mengenal pemilik kosan, dan membersihkan area kosan dengan dibantu oleh Rani dan anak-anak lain. Namun tak lupa, setiap malam ia duduk di pojok kamar sambil membuka ponselnya, mencari-cari lowongan kerja seraya menggigit bibir menahan kecemasan.
Rani juga tidak tinggal diam. Ia bertanya pada teman-teman di tempat kerjanya, bahkan menanyakan ke pelanggan kafe yang terlihat ramah.
Dan akhirnya, seminggu kemudian, harapan datang.
“Lay! Ada toko buku di dekat perempatan Anggrek yang lagi butuh penjaga toko. Temenku, kerja di situ. Dia bilang manajernya baik banget dan butuh staff buat shift pagi!”
Mata Wislay berbinar. “Serius?! Aku bisa daftar?!”
“Bisa. Temanku bilang suruh dateng besok pagi jam delapan buat langsung wawancara. Siapin CV, ya.”
Tanpa menunggu lama, malam itu juga Wislay merapikan CV seadanya. Ia mengetik dengan penuh semangat, mengingat-ingat pengalaman kecil apa pun yang bisa ditulis, bahkan jika itu hanya pengalaman menjadi wakil ketua kelas di sekolah dulu.
Pagi harinya, ia mengenakan pakaian paling rapi yang ia punya. Sebuah kemeja putih dan celana panjang hitam, rambut diikat rapi, wajah hanya dengan bedak tipis dan lip balm.
Toko buku itu tidak terlalu besar, tapi nyaman. Aroma khas buku-buku lama menyeruak dari balik rak-rak kayu yang berjajar rapi. Saat pertama kali masuk, Wislay sudah merasa seperti menemukan tempatnya.
Manajer toko, adalah wanita paruh baya yang berpenampilan tenang dan ramah.
“Jadi kamu Wislay, ya? Kamu kuliah tahun ini?”
“Iya, Bu. Enam bulan lagi. Saya ingin kerja dulu sambil nunggu pendaftaran,” jawab Wislay penuh semangat.
Manager toko yang sebut saja namanya Bu Sari, mengangguk pelan. “Saya suka anak muda yang niat. Kita memang butuh pengganti staff yang resign minggu lalu, buat shift pagi. Nanti kamu bantu tata buku, layani pembeli, dan sesekali bantu input data. Gajinya memang nggak besar yakni dua juta lima ratus sebulan, tapi cukup buat biaya hidup dasar. Gimana?”
“Apapun saya terima, Bu. Saya bersedia belajar.”
Melihat semangat dan kerendahan hatinya, Bu Sari langsung menerima Wislay saat itu juga.
Saat pulang ke kosan, Wislay memeluk Rani dengan mata berkaca-kaca. "Ran, aku diterima. Aku kerja di toko buku. Aku... senang banget."
Rani tertawa sambil memeluk balik. “Selamat datang di dunia kerja!”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak kembali ke masa lalu, Wislay merasa benar-benar melangkah ke arah yang tepat. Tidak ada lagi enam bulan penuh siksaan. Tidak ada lagi air mata dalam diam. Kini, ia yang mengendalikan jalan hidupnya.
...****************...
...****************...
Sudah seminggu Wislay menjalani pekerjaannya sebagai penjaga toko buku. Pekerjaan itu memang tidak mudah, tapi juga bukan sesuatu yang tak bisa ia nikmati. Ia mulai terbiasa bangun pagi, membereskan rak, mencatat stok, dan menyapa pelanggan dengan ramah.
Pagi itu toko sangat sepi. Hanya sesekali ada orang yang datang dan keluar dengan membawa satu atau dua buku. Jam menunjukkan pukul 11 siang saat Wislay duduk di balik meja kasir, membuka bungkus roti isi dan menyeduh teh hangat dari botol termos.
Sambil menikmati waktu luangnya, ia teringat pada ibunya. Rindu membuncah. Tanpa pikir panjang, ia segera mengambil ponsel dan menelepon.
"Halo, Ma?"
Suara lembut dari seberang langsung menyahut, "Wislay! Lagi apa kamu, Nak?"
"Aku lagi di toko, Ma. Sepi banget, jadi bisa nelpon sebentar. Ma, aku cuma pengen cerita... kerja pertamaku nggak semudah yang kupikirin, tapi aku senang, Ma. Aku senang bisa ngelakuin ini dengan usahaku sendiri."
"Mama bangga banget, Nak. Meski awalnya mama sama bapak ragu, tapi akhirnya kamu bisa buktiin kalau dirimu mampu."
Wislay tersenyum tipis, menahan air mata. "Aku janji nggak akan nyusahin Mama. Biaya hidup aku di sini, biar aku tanggung sendiri. Mama simpan uangnya buat keperluan rumah aja, ya."
"Jangan maksa juga, Lay. Kalo kamu butuh, bilang ke Mama. Tapi Mama seneng dengarnya. Kamu hebat."
Wislay tertawa kecil, meski dadanya terasa sesak oleh rindu dan rasa haru.
Namun tiba-tiba, sebuah ketukan lembut di bahunya menghentikan pembicaraan.
"Permisi..."
Wislay menoleh.
Dan dunianya terhenti.
Seorang pemuda berdiri di hadapannya. Tinggi, tegap, berkulit putih bersih, dan wajah yang terlalu familiar untuk tidak dikenali. Rambutnya berwarna cokelat gelap, mengenakan kaus hitam sederhana dan celana jeans. Di tangannya, ada dua buku.
Wislay membeku. Matanya membelalak.
"Gus... Gustro..."
Suaranya nyaris tidak terdengar. Nafasnya tercekat. Tangannya gemetar.
"Iya? Apakah barusan, kau menyebut namaku?" tanya pemuda itu, tampak bingung.
Wislay masih tak bisa bergerak. Ia hanya menatap wajah itu dengan penuh emosi. Ini tidak mungkin. Ini tidak logis. Tapi yang berdiri di hadapannya kini adalah… Idolanya. Orang yang dalam hidup sebelumnya… telah meninggal.
Dari ponsel yang masih berada di tangannya, suara ibunya masih terdengar samar, “Lay? Lay? Kamu kenapa, Nak?”
Namun Wislay tidak menjawab. Ia terlalu terkejut.
Ibunya di ujung telepon menghela napas, “Halo? Putus sambungan ya? Ini sinyalnya jelek banget.” Klik.
Sambungan terputus.
Wislay tertegun, sementara air matanya mulai jatuh tanpa ia sadari. Tanpa suara. Perlahan.
Gustro melihatnya dengan tatapan cemas. Ia mengulurkan tangan ke depan, menyentuh bahu Wislay pelan.
"Hei... Kau baik-baik saja? Kau... menangis?"
Wislay tersentak sadar. Ia buru-buru menyeka air matanya.
"A-aku... maaf. Aku cuma... kaget.'
“Kalau kau nggak enak badan, aku bisa bayar bukunya sendiri.”
Wislay cepat-cepat menggeleng. “Nggak, nggak! Aku cuma... ya, sedikit emosional. Bentar ya, aku hitung dulu.”
Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, Wislay memindai barcode buku-buku itu, menyebutkan harga dengan suara yang serak. Sementara itu, Gustro masih menatapnya seolah mencoba mengingat apakah mereka pernah bertemu sebelumnya.
Setelah transaksi selesai, pemuda itu berkata dengan nada yang agak datar tanpa ekspresi wajah. “Makasih. Ngomong-ngomong, buku keluaran terbarunya bagus-bagus. Dan ini pertama kalinya kita bertemu. Kau, karyawan baru?”
"Berarti dia sering kesini," batin Wislay.
Wislay mengangguk kaku. “Iya... Disini, aku yang mengambil shift paginya.”
Gustro tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya mengangguk lalu kemudian memalingkan badan untuk berpulang, seakan mengakhiri pembicaraan. Dan dengan itu, pemuda itu melangkah pergi.
Wislay masih berdiri di tempatnya, memegangi dadanya yang berdebar keras. Ia memejamkan mata, menahan emosi yang menggelegak dalam dadanya.
"Gustro... Meski kamu agak berbeda dari kehidupan sebelumnya... Tetapi, kamu hidup." gumamnya dalam hati.
Di antara rak-rak buku dan aroma kertas tua, takdir mempertemukan mereka lebih cepat dari yang Wislay kira.
~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!