"Saya terima nikah dan kawinnya Luna Wijaya binti almarhum Seno Wijaya dengan mas kawin tersebut, tunai. "
Rafi mengucap kalimat ijab qobul itu dengan lantang dan kata "SAH" dari saksi dan tamu menandakan bahwa pernikahan Luna dan Rafi sudah Sah di mata hukum dan agama.
Air mata Luna menetes perlahan, dia tidak percaya Rafi sang kekasih akan menepati amanah dari ayahnya sebelum meninggal dunia.
Sebuah pernikahan sederhana dan hanya dihadiri kakeknya sebagai walinya. Tidak ada keluarga lain yang hadir, karena kakeknya juga sebenarnya ragu untuk menikahkan cucu kesayangannya dengan pria bernama Rafi itu.
Entah kenapa, tapi karena ini adalah amanat dari anaknya, mau tidak mau suka tidak suka dengan terpaksa kakek menikahkan Luna dengan Rafi. Dan setelah menikahkan Luna kakek tidak berbasa basi atau tinggal lebih lama di sana, dia langsung pergi meninggalkan Luna dengan keluarga barunya.
Luna mengerti perasaan kakeknya dan memakluminya, dia beralasan kepada keluarga Rafi kalau kakeknya sedang tidak enak badan dan harus istirahat lebih banyak.
"Wah, selamat ya, kalian akhirnya sudah sah menjadi suami istri. " ujar bu Endah ibu Rafi.
"Iya, Aku sangat bahagia bisa menikahi wanita cantik seperti Luna. " kata Rafi dengan bangga. "Tapi sepertinya kita tidak bisa terlalu lama larut euphoria ini, karena aku harus segera ke bandara dua jam lagi. Pesawatku akan berangkat sore ini. "
Rafi ingat kalau dia harus melakukan perjalanan ke luar negeri pertamanya untuk menjadi perwakilan perusahaan tempatnya bekerja selama beberapa bulan ke depan.
Karena itulah dia merencanakan pernikahan ini lebih awal, agar tidak menundanya terlalu lama. Bagaimana pun, amanat orang yang sudah meninggal harus segera di laksanakan. Luna juga tidak keberatan, Rafi menepati amanat ayahnya saja dia sudah sangat bahagia.
"Ya sudah kembalilah ke kamar dan beristirahatlah. Luna, bantu siapkan apa saja yang akan dibawa Rafi." ujar Bu Endah.
"Iya, bu." jawab Luna dengan senyum tipis di bibirnya.
Rafi merangkul tubuh Luna dan segera membawanya ke kamar. Dia akan bersiap pergi setelah sah mempersunting wanita cantik bernama Luna.
Di dalam kamar, Luna dan Rafi berdiri berhadapan. Rafi mencium kening Luna lama dan dalam seolah menyalurkan kekuatan kepada wanita itu kalau semua akan baik-baik saja.
"Maafkan aku, ya. Aku tidak bisa menolak pekerjaan ini, aku harus pergi di hari pertama pernikahan kita, tanpa malam pertama atau apapun itu. " kata Rafi penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa mas. Lagi pula hari ini aku juga tidak bisa melayanimu karena sedang berhalangan. " kata Luna sambil menunduk.
"Benarkah? Wah kebetulan seperti apa ini. " Rafi terkekeh namun dia merasa lega, karena belum bisa menyentuh istrinya sekarang.
"Tidak apa-apa, kita bisa melakukannya nanti saat aku pulang. Kita akan langsung melakukan program hamil agar segera mendapatkan momongan. " ucapnya dengan nada bercanda.
Luna menyembunyikan senyumnya, dia merasa malu membahas hal intim ini dengan vulgar, seolah Rafi tidak ada beban.
"Jangan malu-malu. Kamu sekarang istriku. Hal itu sudah biasa dibahas oleh pasangan suami istri. " kata Rafi seolah tau apa isi hati istrinya. "Sekarang ayo bantu aku berkemas. Aku sudah tidak punya waktu lagi. "
Setelah puas mengatakan apa yang ingin dia katakan, Rafi segera mengemas beberapa pakaian kerja juga pakaian santainya tak lupa beberapa keperluan tambahan kedalam koper dibantu oleh Luna. Setelah semua selesai, sudah tiba saat nya Rafi berangkat.
"Aku berangkat dulu ya, kamu baik-baik tinggal disini bersama ayah dan ibuku. Anggap mereka seperti orang tuamu sendiri. " kata Rafi sebelum berangkat.
"Tenang saja, nak. Sudah pasti kami akan menganggap Luna seperti anak kami sendiri. Kamu jangan khawatir, bekerja lah dengan baik dan bawa uang yang banyak saat kembali. " kata Bu Endah dengan nada bercanda.
"Iya, kamu jangan khawatir, Rafi. Kami akan menjaga Istrimu dengan baik. " sahut Pak Doni, ayah Rafi.
"Syukurlah kalau begitu. Aku akan merasa tenang meninggalkan istriku disini. Aku pergi dulu ya, aku akan kembali untukmu. Percayalah padaku. "
Luna mengangguk dengan senyum tipis.
Rafi kembali mencium kening Luna dalam dan lama seolah meyakinkan wanita itu kalau dia akan kembali hanya untuknya.
"Hati-hati dan jaga dirimu disana. "
"Iya, tentu saja. "
Taksi yang membawa Rafi pergi meninggalkan pekarangan rumah dan Luna segera masuk ke dalam rumah saat taksi itu sudan tidak terlihat dalam pandangan matanya.
Rumah itu terlihat berantakan dengan sisa makanan dan piring yang masih kotor sisa acara pernikahannya tadi. Tanpa disuruh dan tau diri sebagai seorang menantu Luna segera membawa piring-piring kotor ke dapur agar di cuci bibi dan membersihkan sampah yang berserakan.
Bu Endah yang melihat menantunya sangat rajin itu tentu saja merasa sangat bangga. Ternyata meskipun cantik, ternyata Luna adalah wanita yang ringan tangan.
"Nggak usah repot-repot Luna, kamu istirahat saja dulu. Kamu kan pengantin baru di keluarga ini. " kata Bu Endah.
"Nggak apa-apa bu, mana mungkin saya diam saat melihat rumah berantakan seperti ini. Setidaknya saya membantu beres-beres sedikit. " kata Luna yang masih sedikit canggung,
"Ya sudah, kalau begitu ibu masuk ke kamar dulu ya, Ibu ingin istirahat. " kata Bu Endah menepuk bahu menantunya.
Luna pun segera masuk ke dalam kamarnya saat dirasa cukup membantu. Karena dia juga merasa lelah dan butuh istirahat.
Saat berbaring dia membuka galeri ponselnya dan melihat foto kedua orang tuanya yang meninggal karena kecelakaan beberapa bulan yang lalu. Dia tidak menyangka kalau kedua orang tuanya akan meninggal secepat itu saat pulang dari pertemuan bisnis.
Sebelum meninggal, Ayahnya berpesan kepada Rafi kekasihnya untuk menjaganya dengan baik. Dan Rafi menyanggupi amanat itu dengan menikahinya sekarang.
"Ayah, ayah pasti bahagia disana karena melihatku sudah menikah dengan Rafi. Tapi sayangnya, suamiku meninggalkanku tepat setelah kami menikah. Aku tidak bisa melarangnya dan tidak bisa ikut dengannya karena ini bukan perjalanan bulan madu, tapi perjalanan bisnis. Aku akan mencoba percaya padanya dan akan menunggunya. Tapi jika nanti di tengah jalan aku merasa lelah, Aku harap ayah tidak akan kecewa jika aku berhenti. " gumamnya sambil menyentuh lembut foto kedua orang tuanya.
"Aku akan menunggunya kembali dirumah ini, Aku akan menjadi istri dan menantu yang baik, melahirkan anak-anak yang lucu. Cepatlah pulang. " gumamnya lagi membayangkan masa depan yang indah bersama Rafi dan keluarganya disini.
Saat Luna sedang larut dalam lamunannya, terdengar pintu kamarnya diketuk dengan keras dan dari luar terdengar suara kepanikan semua orang.
"Mbak Luna, mbak tolong, ibu pingsan. "
Luna segera keluar dari kamar dan ingin melihat apa yang terjadi bagaimana bisa ibu mertua nya pingsan padahal tadi wanita itu baik-baik saja.
"Apa yang terjadi, bi. " tanyanya saat melihat Ibu mertuanya sudah dibaringkan di atas kursi panjang di ruang tamu.
"Kami nggak tau, mbak. Tadi ibu tiba-tiba memegangi dadanya lalu pingsan. " jelas salah seorang bibi.
"Ya ampun, serangan jantung. Kita harus membawanya ke rumah sakit. Ayah kemana? " tanya Luna yang sejak tadi tidak melihat ayah mertuanya.
"Bapak tadi keluar, kami tidak tau kemana. "
"Ya Ampun. "
Luna segera menghubungi taksi online secepatnya, karena dia tidak ingin terjadi apa-apa dengan ibu mertuanya.
Hanya menunggu waktu lime menit saja, Taksi yang dipesan Luna akhirnya datang juga. Dengan dibantu bibi dan sopir taksi online akhirnya Bu Endah berhasil dibawa ke rumah sakit saat itu juga.
"Bi, nanti kalau ayah datang, suruh ke rumah sakit ya."
"Iya mbak, nanti saya sampaikan."
Luna segera membawa ibu mertuanya sendiri ke rumah sakit, dia hanya membawa dompet dan ponselnya saja tanpa membawa apapun.
Untung jarak rumah sakit tidak terlalu jauh sehingga Bu Endah bisa segera di tangani oleh dokter.
"Dengan keluarga pasien? " seorang perawat memanggil Luna untuk masuk kedalam ruang tindakan.
"Bagaimana dengan ibu saya dokter? " tanya Luna khawatir.
"Ibu anda mengalami penyumbatan pada pembuluh darah. Karena itu beliau mengalami serangan jantung. " jelas dokter yang menangani ibunya.
"Lalu apa yang harus di lakukan agar ibu bisa sembuh? " tanya Luna lagi.
"Bisa diredakan dengan obat-obatan, tapi untuk kasus ini ibu anda sebaiknya di lakukan operasi pemasang ring Jantung untuk melebarkan kembali arteri darah yang tersumbat. Sehingga aliran darah ke jantung dapat kembali normal dan gejala seperti nyeri dada dan sesak nafas bisa berkurang. " jelas dokter Budi.
"Operasi." Luna mengulang ucapan dokter Budi.
"Iya, silahkan anda pikirkan dulu atau berembuk dengan keluarga lainnya. Untuk sementara Keadaan Bu Endah sudah normal." dokter Budi segera pergi dari sana meninggalkan Luna bersama Bu Endah yang sepertinya tidak sadarkan diri karena pengaruh obat.
Luna menatap wajah Bu Endah lekat-lekat, dia berharap wanita di depannya ini bisa menggantikan sosok ibunya yang sudah meninggal, walaupun sosok ibu kandung sendiri tidak mungkin bisa tergantikan oleh siapapun.
Kini bu Endah sudah dipindahkan di ruang VIP yang diminta oleh Luna. Dia tidak bertanya dulu kepada ayah mertuanya,karena pria itu tidak hisa di hubungi sejak tadi. Dan hanya Luna yang menemani Bu Endah sendiri di ruangan itu.
Terdengar suara langkah kaki cepat yang menuju ruang perawatan Bu Endah, dan pintu terbuka dengan cepat.
"Nak, apa yang terjadi pada istriku? " tanya Pak Doni dengan wajah khawatir.
"Kata dokter, ibu terkena serangan jantung karena penyempitan pembuluh darah, dan harus dilakukan operasi pemasangan ring untuk melebarkan pembuluh yang tersumbat. " Luna menjelaskan kembali apa yang dokter sampaikan kepadanya kepada ayah mertuanya.
"Operasi? "
"Iya, operasi. " Luna mengangguk.
Pak Doni segera mendekati istrinya dan menggenggam tangan lemah wanita itu, sepertinya mereka berdua saling mencintai. Luna tersenyum melihatnya, seperti melihat sosok kedua orang tuanya dulu yang saling mencintai.
Suasana tenang itu tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba, nafas Bu Endah tiba-tiba kembali tersengal dan seperti kejang.
Pak Doni yang berada di sampingnya merasa panik dan khawatir begitu juga dengan Luna. Namun Luna berfikir cepat, jika semua orang panik itu tidak ada gunanya. Dan salah satu diantara mereka berdua harus tenang, dan itu dia.
Luna segera memencet tombol darurat untuk memanggil dokter atau perawat untuk memeriksa keadaan ibunya. Benar saja tak lama, dokter Budi segera dan bebrapa orang perawat masuk kedalam ruangan itu dan melihat keadaan pasien.
"Minggir biar saya periksa. " kata dokter Budi panik meminta jalan. "Serangan jantung lagi, ini harus segera dioperasi. Jika tidak akan berakibat fatal. " kata dokter Budi.
Pak Doni dan Luna saling berpandangan. Lalu pak Doni memberanikan diri untuk bertanya.
"Berapa biayanya dokter? "
"Itu, silahkan berkoordinasi dengan pihak administrasi. Jika anda setuju untuk operasi maka saya akan membawa istri anda ke ruang operasi sekarang." Kata dokter Budi tak sabaran, karena nyawa di depannya sedang dipertaruhkan.
"Silahkan operasi ibu saya dokter, jika itu bisa membantunya. Masalah biaya jangan khawatir pak, semua bisa dibicarakan. " kata Luna.
"Baik, kalau begitu. Suster siapkan ruang operasi dan kamu persiapkan bu Endah untuk menjalani operasinya. Aku akan memanggil dokter Bima dan lainnya. " kata dokter Budi dan segera meninggalkan ruang perawatan itu.
"Silahkan anda urus administrasi dulu, pak Bu. sebagai bukti persetujuan keluarga untuk melakukan tidakan operasi kepada Bu Endah. Setelah mendapat kan bukti persetujuan itu, kami baru akan secepatnya melakukan tindakan. " ujar seorang perawat kepada Luna dan Pak Doni.
Mendengar itu Luna segera membawa Pak Doni ke ruang admin, karena tanda tangannya diperlukan untuk persetujuan.
"Berapa Biaya operasinya, sus. " tanya Pak Doni yang masih menanyakan biaya operasi itu.
"Sekitar empat puluh sampai seratus juta pak, bisa lebih tergantung berapa ring yang akan dokter pasang. " kata pegawai admin.
Pak Budi langsung terhuyung mendengar jumlah nominal yang harus dibayar untuk biaya operasi istrinya.
"Darimana uang sebanyak itu? " gumamnya.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya yang akan bayar. "
"Be... benarkah? Apakah Rafi sudah memberimu uang bulanan? " tanya pak Doni, kali ini matanya terlihat berbinar.
"Tidak, mas Rafi sepertinya lupa meninggalkan uang bulanan untukku. Pakaii uang tabunganku saja dulu, nggak apa-apa. Lagi pula sekarang Ibu mas Rafi juga sudah aku anggap ibuku sendiri. " kata Luna.
Mata Pak Doni berkaca-kaca, terharu mendengar ucapan menantunya itu. Tidak disangka Luna begitu baik, mau mengorbankan uang tabungannya di hari pertama pernikahan mereka.
"Dasar anak payah, bagaimana dia bisa lupa meninggalkan uang bulanan untuk istrinya. " gerutu pak Doni sambil membubuhkan tanda tangannya.
"Tidak apa-apa pak. Mungkin karena mas Rafi lupa, karena tadi dia kan terburu-buru. " Luna mencoba mengerti keadaan Rafi saat itu.
"Ya sudah, Ayo. Kita tunggu ibumu di depan ruang operasi. "
Setelah melakukan pembayaran awal, Luna dan Pak Doni segera menuju ke ruang operasi untuk menunggu proses operasi yang dilakukan kepada Bu Endah. Dengan perasaan khawatir dan cemas.
"Nanti kalau Rafi sudah sampai, Aku akan bilang padanya untuk mengganti uang yang sudah kamu keluar kan untuk biaya operasi ibunya. Dan mengingatkannya agar memberimu uang bulanan. " Kata Pak Doni, yang merasa sungkan dengan Luna karena sudah mau membayar biaya operasi istrinya.
Luna hanya tersenyum dan mengangguk. Dalam hatinya dia ikhlas, karena sudah menganggap Bu Endah sudah seperti ibunya sendiri, tapi jika memang uang itu nantinya dikembalikan, maka dia akan menerima dengan senang hati.
Suara gesekan roda brankar di lantai rumah sakit memecah keheningan yang menyesakkan. Luna dan Pak Doni berdiri di samping ranjang kosong, menanti kepindahan Bu Endah dari ruang operasi. Ketegangan yang mencekik perlahan mengendur saat suster memberitahu bahwa operasi pemasangan ring jantung Bu Endah berjalan lancar. Luna menghela napas lega, menyandarkan kepalanya ke bahu Pak Doni.
"Alhamdulillah, Yah," bisiknya, suaranya sedikit bergetar.
Pak Doni mengusap lembut rambut putrinya. "Iya, Nak. Syukurlah. Sekarang tinggal pemulihan."
Tak lama kemudian, Bu Endah tiba, terbaring lemah dengan wajahnya yang masih pucat. Setelah membantu suster menata Bu Endah dengan nyaman, Luna bersiap pamit.
"Luna mau pulang dulu, Pak. Ambil baju sama perlengkapan ibu buat di sini," ujar Luna sambil meraih tasnya.
Pak Doni menahan pergelangan tangan Luna. "Jangan buru-buru, Nak. Kamu juga pasti capek. Istirahat saja di rumah. Besok pagi baru ke sini lagi."
Luna menatap Pak Doni, melihat kekhawatiran di mata pria paruh baya itu. Sejak seharian ini, ia memang belum sempat memejamkan mata. Rasa lelah mulai menyerang, dan tawaran Pak Doni terdengar sangat menggiurkan.
"Baik, Pak. Aku pulang dulu kalau begitu. Besok pagi aku ke sini lagi," jawab Luna, mengangguk setuju.
Perjalanan pulang terasa begitu panjang. Setibanya di rumah, Luna langsung merebahkan diri di sofa, merasakan setiap ototnya menjerit minta istirahat. Ia memejamkan mata, berharap bisa segera terlelap. Namun, baru saja matanya terpejam, ponselnya berdering nyaring. Nama "Rafi" tertera di layar.
Dengan malas, Luna menggeser tombol hijau. "Halo, Mas?"
Suara Rafi terdengar ceria di seberang sana. "Halo, Sayang! Sudah sampai rumah? Aku sudah sampai nih di hotel. Baru mau istirahat."
Luna tersenyum tipis. Meskipun hatinya masih merasakan sedikit ganjalan, mendengar suara suaminya membuatnya merasa sedikit lebih baik. "Iya, Mas. Sudah sampai. Alhamdulillah operasi Ibu lancar."
"Syukurlah kalau begitu. Terima kasih banyak ya, Sayang. Sudah mau menalangi biaya operasi Ibu. Nanti pasti aku ganti semua," kata Rafi, terdengar tulus.
"Sudah kewajiban ku, Mas," jawab Luna. "Yang penting Ibu cepat pulih."
"Iya, Sayang. Kamu juga jangan terlalu capek ya. Istirahat yang cukup. Besok aku telepon lagi," ucap Rafi sebelum menutup telepon.
Luna meletakkan ponselnya di samping. Rasa lega menyelimutinya, namun di sisi lain, kesepian kembali menyeruak. Hari pertama pernikahannya, ia sudah ditinggal pergi suaminya ke luar negeri untuk urusan pekerjaan. Ia berusaha mengusir pikiran-pikiran negatif itu, meyakinkan dirinya bahwa ini semua demi masa depan mereka.
Minggu-minggu berikutnya, Luna menjalani perannya sebagai menantu dengan sepenuh hati. Setiap pagi, ia bangun paling awal, menyiapkan sarapan untuk Pak Doni dan Bu Endah. Setelah Pak Doni berangkat kerja, ia akan fokus merawat Bu Endah. Membantu mertuanya mandi, mengganti pakaian, menyuapi makan, dan menemani nonton tv untuk mengusir kebosanan. Ia telaten merawat Bu Endah pasca operasi hingga mertuanya benar-benar pulih dan bisa beraktivitas seperti biasa.
"Luna, kamu itu menantu idaman. Ibu beruntung sekali punya kamu," puji Bu Endah suatu sore, saat Luna membantunya berjalan-jalan di teras.
Luna hanya tersenyum. "Ibu ini bisa saja. Sudah kewajiban Luna, Bu."
Terkadang, ia juga harus membelikan obat-obatan untuk Bu Endah yang harganya tidak murah. Rafi memang mengirim uang bulanan, namun jumlahnya tidak seberapa untuk menutupi seluruh kebutuhan rumah tangga, apalagi dengan tambahan biaya obat-obatan Bu Endah. Akhirnya, Luna sering menggunakan uang pribadinya untuk menalangi. Awalnya, ia tidak keberatan sama sekali. Ia beranggapan bahwa Bu Endah adalah ibunya juga, jadi tidak masalah jika ia mengeluarkan uang untuk kebutuhannya.
Namun, seiring berjalannya waktu, Luna mulai merasakan perubahan. Keluarga ini, terutama Bu Endah dan Pak Doni, seolah-olah semakin bergantung padanya. Mereka mulai menganggap uang bulanan yang diberikan Rafi sangat banyak, cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan rumah, bahkan untuk membeli obat-obatan Bu Endah. Setiap kali Luna menanyakan perihal uang atau kebutuhan rumah tangga, jawabannya selalu sama: "Kan sudah ada uang dari Rafi."
Luna mulai merasa muak. Perasaan itu tumbuh perlahan, bagai lumut yang merayap di dinding, merusak keindahan awalnya. Ia merasa dimanfaatkan. Rafi sendiri jarang bertanya tentang pengeluaran rumah tangga. Ia hanya akan mengirim uang di awal bulan dan setelah itu, seolah-olah masalah selesai.
"Bu, obat Ibu sudah mau habis. Luna harus beli lagi," kata Luna suatu pagi, saat Bu Endah selesai sarapan.
Bu Endah mengernyit. "Lagi? Perasaan baru kemarin beli, Nak."
"Iya, Bu. Ini kan obat rutin. Lagipula, harganya lumayan mahal, Bu," jelas Luna, berusaha menahan kekesalan.
"Loh, kan ada uang dari Rafi? Itu kan banyak," sahut Bu Endah enteng.
Luna mengepalkan tangannya di bawah meja. "Tapi, Bu, uang itu juga kan untuk kebutuhan sehari-hari. Belum lagi untuk belanja dapur."
"Ya kan diatur saja. Toh kamu juga jarang pakai uang itu kan?" Bu Endah membalas, seolah Luna yang terlalu boros.
Napas Luna tercekat. Ia ingin berteriak, ingin menjelaskan bahwa ia juga memiliki kebutuhan pribadinya, bahwa ia sering menahan diri untuk tidak membeli sesuatu demi memenuhi kebutuhan rumah ini. Tapi ia memilih diam. Kata-kata itu terasa pahit di lidahnya.
Suatu malam, saat Rafi menelepon, Luna memberanikan diri. "Mas, uang bulanan dari Mas itu... sepertinya kurang cukup, Mas."
Rafi terdiam sejenak. "Kurang cukup bagaimana, Sayang? Bukannya sudah banyak ya?"
"Bukan begitu, Mas. Obat Ibu kan lumayan mahal, terus kebutuhan rumah juga banyak," Luna berusaha menjelaskan dengan tenang.
"Ya kan diatur saja, Sayang. Ibu juga sudah sembuh kan? Jadi pengeluarannya pasti berkurang," jawab Rafi, terdengar sedikit tidak sabar.
Luna menahan napas. Hatinya mencelos. Ia merasa seperti berbicara dengan tembok. Rafi tidak mengerti, atau pura-pura tidak mengerti. Ia merasa sendirian dalam menghadapi beban ini. Kesepian yang dulu hanya sesekali terasa, kini mulai menjadi teman setia. Ia merindukan masa-masanya sebelum menikah, di mana ia memiliki kebebasan finansial dan tidak perlu pusing memikirkan uang untuk kebutuhan orang lain.
Waktu terus berjalan, dan Luna semakin terbebani. Senyumnya semakin jarang terlihat, digantikan oleh kerutan samar di keningnya. Ia mulai lelah, bukan hanya secara fisik, tapi juga mental. Ia mencintai Bu Endah dan Pak Doni, namun rasa dimanfaatkan itu terus menggerogoti. Pertanyaan-pertanyaan mulai muncul di benaknya: Apakah pernikahannya akan terus seperti ini? Akankah ia terus menanggung beban ini sendirian? Dan yang paling penting, di mana letak kebahagiaannya dalam semua ini?
Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Mata yang dulu berbinar kini tampak sayu. Ada keputusan yang harus ia buat, entah itu berbicara terus terang dengan Rafi dan mertuanya, atau mengambil langkah yang lebih drastis. Yang jelas, ia tahu, ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam kemuakan ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!