NovelToon NovelToon

Bukan Dukun Beneran

Pelarian

Langit sore itu berwarna tembaga, seperti luka yang terbuka di balik awan. Di antara riuh kendaraan dan debu jalanan kota kecil itu, suara merdu seorang remaja memecah hiruk-pikuk. Demian, dengan rambut kusut dan baju usang, berdiri di trotoar sempit, gitar akustik reyot di tangan, menyanyikan lagu yang tak asing di telinga siapa pun yang melintas. Suaranya bersih, bening, seperti aliran sungai di musim hujan—tak sempurna, tapi penuh kehidupan.

Orang-orang kadang berhenti sejenak, melempar recehan ke kotak sepatu usang di depannya. Sebagian hanya lewat tanpa menoleh, tapi itu tak membuat Demian berhenti bernyanyi. Setiap bait lagu adalah harapan, setiap nada adalah doa. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk keluarga bibinya—satu-satunya tempat ia berpulang sejak kedua orang tuanya meninggal saat ia berumur delapan tahun.

Ia mengelap keringat dengan punggung tangannya, memandangi matahari yang mulai tenggelam di balik gedung tua. Hari itu hasilnya lumayan. Ia menurunkan kotak uang, menghitung cepat, lalu menyimpannya ke dalam kantong celana. Dengan gitar di punggung, Demian melangkah menyusuri jalanan, berusaha tiba sebelum makan malam.

Rumah bibinya terletak di gang sempit, berdinding papan, dengan atap seng yang bergemerisik kalau hujan turun. Ia mengetuk pintu dan menunggu. Tak ada jawaban. Perlahan ia dorong daun pintu yang ternyata tak terkunci. Suara dari dalam membuatnya berhenti melangkah.

“Kalau dijual ke Singapura, kita bisa dapat 15 juta langsung. Cukup buat bayar utang dan beli motor baru,” suara pamannya terdengar pelan tapi tegas.

“Tapi dia masih bocah, Mas. Emangnya yang di sana mau?” sahut suara bibinya, ragu tapi tak sepenuhnya menolak.

“Mau! Mereka butuh anak buat kerja di restoran. Gampang diatur. Yang penting kita bilang ke Demian kalau dia bakal kerja bagus, dikasih tempat tinggal, dikasih makan. Lagian, dia bukan anak kita,” lanjut pamannya sambil tertawa dingin.

Dunia Demian seperti runtuh dalam sekejap. Kakinya lemas. Ia mundur perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara. Gitar reyot yang ia lepaskan dari punggung ketika sampai didepan rumah, kini terlepas dari genggamannya dan jatuh, menimbulkan suara bising yang tentu saja mengagetkan paman dan bibinya yang sedang berdiskusi di dalam rumah.

“Siapa itu?” suara pamannya berubah siaga.

Demian berbalik dan berlari, tak sempat menutup pintu. Ia melesat melangkahi teras rumah, napasnya memburu. Di belakang, suara bentakan pamannya menggema, diikuti langkah kaki berat yang mengejar. Bibinya juga ikut, berteriak menyuruhnya berhenti.

“Demian! Dengar dulu! Demi kebaikanmu juga!”

Tapi Demian tak mau mendengar. Yang ia tahu, ia hanyalah alat tukar. Mata uang hidup. Dan sekarang, mereka akan menjualnya seperti barang bekas. Semua yang ia lakukan hanya sia-sia. Dialah satu-satunya tulang punggung keluarga di rumah ini, paman dan bibinya sungguh tak pernah membantu dalam menafkahi apapun, malah Demian lah yang menafkahi mereka. Tapi ternyata balasan mereka seperti itu.

Ia belok tajam ke arah jalan besar, napasnya makin berat, jantungnya berdegup kencang. Di kejauhan, ia melihat sebuah truk kurir berhenti, supirnya sibuk memeriksa dokumen di warung seberang. Tanpa pikir panjang, Demian berlari ke arah belakang mobil, mendapati pintu box terbuka. Kotak-kotak besar tertata rapi, dan satu di antaranya terbuka, sebesar peti mati. Tanpa ragu, ia melompat masuk dan menarik tutup kotak di atas tubuhnya.

Ia berbaring diatas sesuatu yang lembut dan kenyal, punggungnya merasa ada sesuatu yang seperti... bentuk tubuh wanita, tapi terbungkus oleh plastik yang membuatnya bergemerisik tiap Demian bergerak. Ini bukan kasur, meskipun empuk.

Gelap. Pengap. Jantungnya berdentum lebih keras dari sebelumnya. Ia bisa mendengar langkah kaki pamannya mendekat, suara mereka bercampur panik dan marah.

“Ke mana dia? Barusan masih di sini!”

“Cari ke gang sebelah! Jangan sampai bocah itu kabur! Dia satu-satunya benda yang bisa digunakan untuk mendapatkan uang dan membayar hutang!!" tukas yang lainnya.

Langkah-langkah itu menjauh perlahan. Demian menahan napas selama yang ia bisa. Di dalam kotak itu, dunia seperti diam. Hanya suara detak jantung dan bisikan takut yang mengisi ruang sempit. Keringat mengucur deras, terlebih lagi tutup peti tadi begitu berat hingga ia kesulitan untuk membukanya.

Tak lama kemudian Demian terkesiap, suara dentuman pintu box truk tertutup. Suara mesin menyala dengan getaran tak menentu yang di rasakan Demian, dan kendaraan itu mulai bergerak, membawa Demian entah ke mana.

Demian berusaha membuka pintu, namun tenaganya tak cukup kuat untuk melakukan itu. Ia lelah seharian bekerja tanpa makan, dan sekarang harus terkurung dalam tempat gelap seolah menyambut kematiannya.

Usaha tak pernah mengkhianati hasil, tapi kali ini Demian tak mau berusaha. Ia memilih diam dan membiarkan mobil truk membawanya entah kemana. Untuk apa ia berusaha? Toh hidupnya sudah tak berguna lagi, ia tak ada keluarga yang benar-benar tulus dan tak ada tempat untuk kembali. Ia.. sudah mati. Memang sudah lama mati bersama kedua orang tuanya.

Di balik gelap dan sempitnya kotak, air mata Demian jatuh tanpa suara. Ia menggenggam ujung jaket lusuhnya, berusaha mengusir rasa dingin dan takut. Ia merasa dingin ditempat tertutup dan pengap. Ini bukan perihal cuaca, tapi hatinya merasa terluka. Dan ia takut, kemana kah semesta akan membawanya?? Hidupnya sudah keras, tapi dikhianati orang yang ia sebut keluarga—itu luka yang lain.

Sekarang Demian sebatang kara yang terombang-ambing. Tak ada tujuan dan tempat kembali. Tak ada keluarga lagi, tak ada teman yang menemani. Semuanya hilang bersama debu jalanan, dimana truk menyusuri setiap kelamnya meski tak temaram.

Namun, di tengah ketakutan itu, ada satu hal yang tetap hidup dalam dirinya: harapan. Ia tak tahu ke mana truk itu akan membawanya. Ia tak tahu bagaimana ia akan hidup besok. Tapi ia tahu satu hal: selama ia masih bisa berdoa dan mempercayai takdir Allah, selama napasnya belum putus, ia tak akan berhenti melawan takdir. Allah bersamanya, ia mendapatkan apa yang tak dimiliki anak seusinya yang lain. Doa seorang anak yatim piatu, meskipun itu adalah hal yang tak selayaknya dibanggakan, tapi ia.. hanya punya itu.

Dan di tengah kegelapan itu, Demian berdzikir pelan-pelan, hanya untuk dirinya sendiri. Berharap apa yang digariskan Allah, adalah suatu hal yang lebih baik dari apa yang terjadi kini. Bahwa Allah punya hal yang lebih baik, hanya saja ia belum memahami.

Truk terus melaju, menuju si pemilik kotak yang sebentar lagi akan segera menemukan satu barang lain yang tak pernah ia pesan sebelumnya. Barang yang disebut sebagai manusia hidup dengan segala praharanya.

Pertanyaannya.. siapa yang akan menemukan Demian?

Bersambung...

Paket yang Bernapas

Suara mesin diesel perlahan melemah. Truk yang membawa Demian berhenti setelah beberapa jam perjalanan yang penuh guncangan dan gelap. Di dalam kotak sempit, tubuh Demian menggigil karena dingin dan lapar. Napasnya berat. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. Ia tidak tahu di mana dirinya berada sekarang, hanya merasakan bahwa truk itu benar-benar berhenti.

Suara pintu truk bagian belakang terbuka, bersamaan dengan suara langkah kaki yang semakin lama semakin mendekat ke arah box berisi Demian.

Tiba-tiba, kotak besar tempat ia bersembunyi bergeser. Demian menahan napas, bersamaan suara gaduh terdengar dari luar.

"Gila berat banget, Ton! Buruan bantu angkat yang sebelah sana!!"

"Lagian isinya apasih? Jangan-jangan peti mati isi mayat yang di kargo? Gak punya uang buat bayar ambulans, jadi bayar kita."

"Hush!! Mana ada yang kayak gitu! Bayar kita dengan isi paket seberat ini lebih mahal ketimbang bayar ambulans, jadi gak mungkin!"

"Ya siapa tau isinya mayat korban pembunuhan, buat ngilangin jejak."

"Ngga! Lu liat nama barang dari box ini!!"

"Oh, hahaha yang punya c*bul!"

Setelahnya, Demian merasakan tubuhnya diangkat bersama kotak, lalu suara sepatu menghentak lantai kayu atau semen. Lalu, BRUK! — kotak itu diturunkan dengan tidak terlalu lembut. Tubuh Demian terguncang sedikit, membuat kepalanya terbentur sisi dalam.

“Barangnya udah diterima ya, Mas. Ini buktinya.”

Suara pria terdengar, mungkin kurir yang tadi.

“Ya, ya, taruh aja situ. Terima kasih, ya,” sahut suara laki-laki lain, lebih muda, santai.

Langkah kurir menjauh, suara truk kembali meraung dan pergi. Lalu, senyap.

Demian mencoba tetap diam, tubuhnya sudah mulai terasa berat. Kepalanya pusing, perut kosong sejak pagi, dan ia hampir kehilangan kesadaran. Tapi di balik matanya yang tertutup, ia masih bisa menangkap suara-suara.

"Eh, Nehara.. ngapain kesini? Kangen ya?"

"Cuih!! Gue cuma penasaran, mau liat benda gede apa yang elu pesen? Kok segede peti mayat? Apaan isinya?" gerutu seorang perempuan.

“Serius lu beli beginian, Sid? Lu itu emang udah nggak waras, ya?”

Suara perempuan itu lagi. Tajam. Geram.

“Eh, jangan langsung marah dulu, Nehara,” jawab pria tadi, terdengar santai, sedikit tergelak. “Ini buat konten makeup, kok.”

“Konten makeup apaan? Lu aja gambar alis nggak bisa, apalagi make up boneka!”

“Gue lagi belajar, Nehara. Sekarang kalau belajar kan harus ada bahan praktik. Daripada make up di muka sendiri, mending di boneka ini, kan... lebih realistis.”

“Jangan bilang elu c*bul, Sid! Ini tuh s*x doll kan?! Boneka itu bisa nyimpen air panas cowok! Geli tau nggak! Jorok banget sih!! Lagian nama paketnya juga nggak di sensor, serius elu gak malu barang ginian di baca orang, sampai di anter ke depan kosan punya nyokap gue?”

“Namanya juga usaha! Gue gak mau nganggur, bentar lagi duit gue abis. Ya lumayan gue ada kegiatan. Gue juga udah beli kamera ama lampu buat bikin video makeupnya. Kalau gue gagal jadi beauty content creator, ya mau nggak mau... alternatif kedua, bikin konten dewasa.”

Tawa Alsid pecah keras. Suara Nahera makin kesal.

“Cowok oon!” pekik Nehara, tak habis pikir.

Namun sebelum debat mereka makin memanas, suara pelan terdengar dari dalam kotak.

"Tolong..."

Hening.

Nehara mundur setengah langkah. Alsid menoleh ke kotak besar yang baru diterimanya. Ia mengerutkan kening.

“Lu... denger itu?” tanya Nehara pelan.

“Eh, iya... barusan...” Alsid mendekat ke kotak, menempelkan telinga ke kotak tersebut dan mendengar suara napas yang berderu dan terdengar berat. “Kok kayak... bernapas, ya? Apa ini benda hidup?”

“Ya ampun!! Jangan-jangan bonekanya punya nyawa? Jangan-jangan juga, boneka lu kerasukan!” seru Nehara, matanya membesar, suara meninggi.

“Gila... jangan bercanda gitu dong,” kata Alsid sambil berusaha membuka tali dan perekat di sisi kotak. Kotak besar itu mulai terbuka perlahan. Cahaya dari jendela ruangan menyusup ke dalam, menguak isi yang tersembunyi.

Di dalamnya, tergeletak tubuh seorang remaja laki-laki. Rambutnya acak-acakan dan lepek, wajahnya pucat pasi, bibirnya kering, dan bajunya basah oleh keringat. Matanya terpejam, dadanya naik turun perlahan—ia masih hidup.

“W-WOYY!! Ini bukan boneka!! Ini ORANG!!” teriak Nehara panik, meloncat ke belakang.

“YA GILA! KENAPA ISI PAKET GUE COWOK?!? GUE KAN PESEN CEWEK CANTIK!” Alsid menjerit tidak percaya.

"Masih mikirin hal gak penting!! Lu beli boneka cewek emang untuk hal lain kan?! Kalau buat make up beli cowok aja!!" bentak Nehara.

 “Ini... bukan boneka? Ini beneran manusia?”

“YA IYA LAH! Emang lu pikir boneka bisa keringetan dan napas? Dasar o-on!” bentak Nehara sambil tetap berdiri jauh-jauh.

Alsid mengulurkan tangan, menepuk pipi remaja itu perlahan. “Hey... hey, elu oke? Elu hidup kan?”

Demian hanya mengerang lemah, matanya setengah terbuka. Pandangannya buram, hanya melihat dua bayangan—satu perempuan dengan rambut panjang tergerai, satu lagi laki-laki dengan baju kaos sederhana namun terlihat mahal, dengan rambut coklat gelap kehitaman.

“Dia dehidrasi. Gila, ini anak bisa mati beneran kalau kita telat nemu! Bentar gue ambil minum.” kata Nehara cepat, mengambil botol berisi setengah air dari meja kosan Alsid dan menyodorkannya. “Bantu dia minum!”

Alsid segera menyentuhkan botol ke bibir Demian dan menuangkan perlahan. Demian menelan pelan, tubuhnya mulai sedikit bergerak. Ia bergumam lirih, “Aku... aku di mana...?”

“Tenang, bro. Lu lagi aman. Ini rumah gue,” kata Alsid. “Gue... eh, bukan penculik. Gue kira... ini tuh boneka. Sumpah.”

Demian mengerjap. “Aku... diantar ke sini? Sama truk? Kurir?”

Nehara duduk di lantai, masih belum sepenuhnya percaya. “Lu siapa? Kok bisa masuk ke kotak itu?”

Demian berusaha bangkit, tapi tubuhnya lemas. Alsid menahannya. “Nggak usah gerak dulu. Istirahat. Ceritain pelan-pelan aja.”

Dengan napas yang masih berat, Demian menceritakan sedikit—tentang keluarganya, tentang mengamen, tentang mendengar rencana pamannya menjual dirinya ke Singapura, dan pelariannya yang membawanya ke dalam kotak itu.

Nehara menatap dengan mata berkaca-kaca. “Ya ampun.. hidup kamu kayak neraka.”

Alsid, yang tadi penuh canda, kini diam. “Lu beneran kabur dari rumah? Gila. Kalau bokap gue kayak paman lu, mungkin gue juga bakal kabur.”

“Lu ngungsi ke dalam paket gue,” kata Alsid, menghela napas. “Jadi... gimana dong sekarang? Lu nggak bisa balik ke rumah, kan?”

Demian mengangguk pelan. “Aku... nggak tahu harus ke mana.”

Suasana ruangan mendadak hening. Di luar, matahari mulai turun. Cahaya jingga masuk melalui jendela dan menyinari wajah pucat Demian. Ia tampak seperti seseorang yang baru saja muncul dari peti kubur, tapi masih menyimpan bara kecil yang belum padam.

Nehara berdiri, menatap Alsid tajam. “Dia harus nginep sini dulu. Kita nggak bisa ngelepasin dia gitu aja.”

“Lu yakin? Gue nggak ngerti cara ngurus orang sakit...”

“Lu juga nggak ngerti cara make up, tapi tetep beli boneka s*x,” sindir Nehara, membuat Alsid nyengir malu.

Demian hanya bisa tersenyum samar, untuk pertama kalinya sejak hari itu. Di balik kelelahan dan ketakutannya, ada secercah harapan baru. Mungkin, ia telah masuk ke dalam kotak untuk lari dari kegelapan—dan kini keluar ke dalam cahaya yang sama sekali berbeda.

Meskipun ia tak tahu, orang seperti apa Alsid dan Nehara.

Bersambung...

Jarak Dua Orang Asing

Malam itu, kamar kos elit yang disewa Alsid terasa seperti panggung pertunjukan dua aktor yang belum hafal naskah. Di satu sisi, Demian duduk bersila di atas karpet, mengenakan hoodie pinjaman yang kedodoran di tubuh kurusnya. Wajahnya tenang, tapi matanya waspada, seolah siap kabur lagi jika keadaan mencurigakan.

Di sisi lain, Alsid duduk di ujung ranjang, memeluk bantal seperti tameng. Posturnya tegap, bahunya lebar, dan ekspresinya... mirip orang baru saja ditipu toko online.

“Gue masih shock, tahu gak,” kata Alsid tiba-tiba. “Gue kira lo tuh boneka... ya ampun... dan lo hidup! Jalan! Berkeringat! Nyerocos!” Ia berbicara sambil membentang-bentangkan tangannya ke arah Demian.

Demian menatapnya datar. “Aku juga kira kamu manusia waras. Ternyata koleksi bonekanya... agak menyeramkan. Aku jadi penasaran, buat apa juga kamu beli paket yang begituan. Konten make up untuk orang yang gak bisa make up kan gak masuk akal."

Alsid menunduk malu, lalu cepat-cepat bangkit membela diri. “Eh, jangan salah! Itu emang buat konten make up! Gue tuh artistik dan suka seni dari dulu!”

“Seni apa seniwen?? Ngaku aja, kamu pasti cowok-cowok jomblo yang punya orientasi s*x menyimpang, dan boneka itu sebagai tanda bahwa semua itu beneran. Pasti wibu juga kan? Soalnya bau bawang bombay."

“Woy! Kalo penyimpang, gue udah tidur sama lo sekarang. Dah gue rodok-rodoh dah elu sampe pingsan!”

Demian langsung geser posisi duduk. “Nih orang... semakin gue liat semakin aneh ternyata.”

“Lagian elu, gue normal dan sholehah gini malah di tuduh aneh-aneh."

"Sholeh kali, bukan sholehah! Emang elu betina? Makin yakin gue, kalau elu gila." Demian mengoreksi dengan mata yang menyipit sinis.

"Oh, emang gak sama?" Alsid malah menambah bumbu yang meyakinkan Demian, membuat lelaki berambut keemasan itu menarik napas panjang dan memantapkan apa yang telah ia simpulkan. "Tapi, tunggu dulu,” kata Alsid sambil mengangkat tangan seperti jaksa di sidang. “Boleh gue nanya sesuatu?”

Tanpa pikir panjang Demian menjawab. “Boleh.”

“Umur lo berapa?”

“17.”

Alsid melotot. “APA?! Lo?! Tujuh belas?! Gue juga tujuh belas! Tapi lo... kurus banget. Gue kira lo murid SD. Apa elu stunting? Stunting nih Jangan-jangan!”

Demian mengangkat alis. “Ya karena aku miskin. Mau nyalahin metabolisme juga gak bisa. Aku kerja dari kecil, gak sempat makan protein shake kaya kamu. Kamu makan daging aku makan tempe, kamu makan keju aku makan ubi. Kamu tidur di ranjang empuk dan enak, aku tinggal di tikar tipis. Aku nyari duit dari ngamen, kamu ngabisin duit buat beli boneka s*x.”

“Ya ampun, sabar dong, bro. Ngomelnya asli kayak emak-emak, nyerepet gak abis-abis. Gue cuman kaget, soalnya seumuran tapi elu kurus.”

“Kayak gak pernah liat orang kurus aja. Gue kurus tapi masih ada isi, kayak gue busung lapar aja!" omel Demian sinis. "Pasti mau pamer, karena badannya gede kayak gerobok orang-orang jaman dulu.”

“Ya ampun, gerobok gak tuh?" Alsid memasang ekspresi sedih mendengarnya, namun ada tawa di baliknya. "Gue gede karena gym. Lo kurus karena hidup. Ayolah, hidup ini harus imbang. Ada yang kurus ada yang berisi, tampan dan bagus.”

Demian mendecak. "Idih."

Alsid mendekat sedikit, lalu menyipitkan mata. Ia memandang wajah Demian lekat-lekat, membuat alis Demian berkerut tiada henti. “Kayaknya.. gue ada pertanyaan lain deh buat lu, tapi.. janji ya lu jangan tersinggung."

"Apa?"

"Lu normal apa... pelangi pelangi?”

Demian memicingkan mata. “Apa maksud kamu?”

“Ya... lo suka cewek kan?”

Demian terdiam sebentar. “YA IYA LAH!”

“Alhamdulillah,” gumam Alsid, lalu bersandar lega. “Gue kira lu sejenis boty, soalnya... muka elu kayak muka boty.”

Demian mengerutkan dahi. “Anak anj*ng emang!! Mana ada muka boty, muka gue kayak gini dari dulu dan gue laki tulen, lebih macho dari elu malah!! Boty boty, oon lu!!”

"Ya jangan marah lah, gue kan cuma nanya. Soalnya muka elu tu untuk sekelas laki-laki, masuk kategori cantik. Mukanya lebih ngarah ke cewek gitu, feminim. Lu punya mata keemasan, rambut keemasan, kulit kayak habis dilulur tiap hari. Itu bukan tampilan cowok biasa, men. Itu tampilan malaikat turun dari langit habis syuting iklan shampoo kucing. Lagian bisa-bisanya pengamen punya kulit putih, apa lu ngamen jadi manusia silver??"

Demian memelotot. “Kamu... seriusan deh, nggak ada pertanyaan yang lebih penting?”

“Eh, penting loh. Kita tidur sekamar. Gue harus tahu potensi ancaman biologis.”

“Aku bukan predator,” jawab Demian ketus. “Tapi kamu, kelakuannya udah masuk daftar hitam di surga.”

Alsid terkekeh. “Eh, gue masih suci loh. Belum pernah pacaran, apalagi—”

“Stop. Jangan lanjut.”

“Fine,” kata Alsid, mengangkat tangan. “Semua pertanyaan gue ini penting, emang pertanyaan yang penting menurut lu itu yang kayak gimana?"

Demian menatapnya lama. “Kamu tinggal di sini sendiri? Orang tuamu emangnya kemana? Kok gak bareng mereka? Kalau umur tujuh belas itu harusnya kan bareng orang tua lebih enak. Lu malah lebih milih idup sendiri dan jadi orang c*bul buat beli boneka."

Wajah Alsid mendadak berubah. Tawanya memudar. Ia menunduk sebentar sebelum menjawab.

“Sebenarnya.. Gue kabur juga, sih. Dari rumah. Bokap gue pengusaha besar. Perusahaan di mana-mana. Dia mau gue jadi fotokopi dirinya. Tapi gue... nggak mau.”

Demian mendengarkan dengan seksama.

“Gue bilang mau jadi content creator, stylist, apapun yang bukan itu. Dia bilang gue aib. Terus... ya, gue diusir. Biasa, drama keluarga orang kaya. Isinya duit, tapi kosong. Gak ada kasih sayang di dalamnya, cuma sampah aja. Mending gue hidup sebatang kara.”

Perkataan itu sedikit menghantam perasaan Demian. Ia yang sebatang kara karena keadaan, sementara Alsid malah menjadikan sebatang kara sebagai pilihannya. “Sekarang?” tanya Demian pelan.

“Sekarang gue hidup dari sisa tabungan. Ngontrak kamar kos elit. Kadang jual barang bekas buat nambahin uang. Lumayan, barang gue ori semua.”

Demian ikut termenung. “Aku lari juga dari rumah."

"Gue juga tuh, hahahah ternyata kita sama ya. Seorang pelari."

"Sekarang jadi dua orang pelari."

Malam terasa lebih ringan setelah tawa itu. Dua anak remaja yang berasal dari dunia berbeda—satu dari jalanan, satu dari rumah mewah—duduk di kamar kos sederhana, berbagi kisah yang tak pernah mereka bagi pada siapa pun sebelumnya.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidup mereka yang porak-poranda, mereka merasa: mungkin, dunia tidak seburuk itu kalau ada teman untuk tertawa. Dan ternyata, mereka bisa tertawa bersama, berbagi kisah meskipun tak saling mengenal sebelumnya.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!