Hari ini seperti biasa, suasana sekolah dipenuhi dengan suara langkah kaki dan bisik-bisik antar siswa. Di sekolah favorit ini, hari senin adalah hari razia—tas, pakaian, sampai rambut. Semua harus rapi dan sesuai aturan. Tidak ada yang boleh macam-macam.
Emily duduk di bangkunya sambil mengunyah permen karet, satu kaki di atas kursi, satu lagi goyang-goyang santai. Gaya bicara dan gerak-geriknya ceplas-ceplos, kadang bikin guru geleng-geleng kepala. Dia memang terkenal bar-bar, tapi kalau soal peraturan sekolah? Jangan ditanya. Dia selalu berusaha taat. Bukan karena takut dihukum sekolah, tapi karena... dia ngeri kalau sampai keluarganya tahu.
Keluarga besar dari ayahnya adalah tipe orang yang selalu mementingkan nama baik keluarga besarnya. Satu masalah kecil saja bisa jadi perkara besar.
Sret.
"Emily, tasmu Ibu periksa, ya," ucap Bu Deti, guru yang sedang bertugas razia pagi ini.
Emily menurunkan kakinya, tangannya bersedekap di meja. "Silakan, Bu. Aman kok. Paling isinya cuma buku, binder, sama... eh, jajan dua bungkus." Emily tertawa santai.
Bu Deti mulai membongkar isi tas Emily. Satu per satu buku dikeluarkan, lalu tempat pensil, dan...
Dahi Bu Deti berkerut.
"Apa ini?" gumamnya pelan, tangannya mengangkat sebuah dus kecil dan pipih berwarna cokelat dari balik buku paket Matematika.
Emily refleks berdiri. "Hah? Itu apaan, Bu?"
Riska, teman sebangkunya, ikut menunduk ke meja, wajahnya bingung.
Bu Deti tidak langsung menjawab. Ia meneliti dus itu, membaliknya perlahan. Ada tulisan mencolok di bagian atasnya. Seketika ekspresinya berubah. Serius. Tegang.
"Emily, ini tas kamu, kan? Masa kamu nggak tahu ada benda begini?"
Emily melotot. "Ya ini tas saya, Bu! Tapi saya nggak pernah masukin benda aneh kayak gitu. Sumpah, Bu, itu bukan punya saya!"
Deg.
Bu Deti menatap Emily lama. "Yang benar kamu nggak tahu ini isinya apa?"
Emily mulai panik. Meskipun biasanya galak dan sok cuek, dia paling benci kalau harus berurusan sama hal-hal yang bisa mencoreng namanya di sekolah. Apalagi kalau sampai... keluarganya tahu.
"Bu, serius. Saya juga baru lihat itu barusan!" jawabnya dengan suara meninggi. Nadanya ketus, tapi matanya jelas-jelas menunjukkan kekhawatiran.
Bu Deti menutup dus itu pelan. Ia tidak ingin kehebohan terjadi di kelas.
"Ikut Ibu ke kantor sekarang," ucapnya tegas.
Suasana kelas langsung hening.
Emily terpaku. Jantungnya berdetak keras. Ini pertama kalinya dia dipanggil ke kantor karena sesuatu yang dia bahkan tidak tahu apa. Gengsinya sebagai siswi yang dikenal "bar-bar tapi patuh aturan" mulai runtuh.
Langkahnya terasa berat. Setiap mata memandanginya, seolah-olah dia baru saja ketahuan menyelundupkan b0m.
Satu pertanyaan terus berputar di pikirannya:
Siapa yang naruh dus itu di dalam tas gue?!
**
Di ruang BK, suasana tegang membungkus udara. Emily duduk di kursi tamu dengan tangan gemetar, matanya terus menatap dus kecil dan pipih yang kini tergeletak di meja. Sekilas saja dia tadi melihat isinya—alat tes kehamilan dengan hasil garis dua. Matanya tak berkedip, pikirannya kalut. Rasanya ingin pingsan saja detik itu juga.
Tak lama kemudian, pintu ruang BK terbuka. Seorang pria bersetelan rapi masuk dengan langkah panjang. Wajahnya serius, tanpa senyum.
"Pak Rakha, silakan masuk," sambut Bu Deti dengan nada hati-hati.
Pria itu mengangguk singkat. Di belakangnya, seorang wanita anggun dengan wajah cantik tapi cemas menyusul masuk. Bundanya, Indira.
"Ada apa ini?" tanya Indira dengan suara terburu-buru. Matanya langsung tertuju pada Emily yang menunduk dalam diam. "Kenapa anak saya dipanggil ke sini? Apa Emily bikin masalah?" tanyanya.
Bu Deti menarik napas, lalu menunjuk dus kecil di meja. "Kami menemukan ini di dalam tas Emily, Bu."
Indira berjalan cepat, meraih dus itu, lalu membukanya. Saat melihat isinya, wajahnya pucat seketika.
"Apa-apaan ini...?" desisnya nyaris tak terdengar.
Emily langsung berdiri, panik. "Bunda! Aku nggak tahu itu apa! Aku—aku nggak naro itu di tas aku! Sumpah demi Allah!"
Rakha masih berdiri di tempatnya. Matanya tajam menatap dus itu, lalu menatap Emily. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Tapi sikap dinginnya justru membuat udara di ruangan makin menusuk.
"Mas... kamu nggak bilang apa-apa?" Indira menoleh dengan suara bergetar.
Sang suami hanya menggeleng pelan. "Kita selesaikan di rumah," katanya datar. Satu kalimat pendek yang terasa seperti vonis.
Emily tercekat. "Ayah... percaya aku kan?" tanyanya lirih.
Sebelum ada yang menjawab, tiba-tiba pintu diketuk dan dibuka dari luar.
"Permisi... saya mau bicara soal Emily," ucap seorang siswi berambut panjang yang masuk dengan ekspresi percaya diri. Disa. Sepupu Emily. Mereka memang satu sekolah, tapi beda kelas dan... bisa dibilang hubungannya tidak terlalu akrab.
"Aku lihat sendiri, Bu... pagi tadi Emily ke apotek dekat sekolah. Dia beli alat itu. Aku yang lihat langsung."
Deg.
Suasana mendadak panas.
"A—APA?!" Emily membentak kaget. "Lo ngigau apa sih, Dis?!" ia tidak terima dengan tuduhan Disa.
"Aku nggak ngigau. Aku lihat sendiri kamu ngeluarin uang, ngomong ke kasir, terus bawa pulang dus kecil. Itu, kan? Itu tuh dusnya!"
"Bukan itu! Emang gue ke apotek, iya! Tapi bukan buat beli alat kayak gitu! Gue beli plester, karena jari gue luka gara-gara ngeraut pensil!" Emily nyaris berteriak. Matanya memerah. "Kenapa lo ngarang yang aneh-aneh, hah?!"
"Ngaku aja, Em. Kamu malu, ya?"
BRAK!
Emily menampar meja sekuat tenaga. Air matanya mengalir, tapi bukan karena sedih—karena marah.
"Lo pikir gue segila itu, Dis?! Lo tuh sepupu gue, bukan musuh gue! Lo pikir gue main-main sama harga diri keluarga kita?!"
Disa mundur setengah langkah. Bu Deti cepat berdiri dan mencoba melerai.
"Sudah, sudah! Ini bukan tempatnya saling menyalahkan!"
Indira ikut berdiri, memeluk Emily yang tubuhnya mulai gemetar. “Sudah, Nak. Sudah… Bunda percaya sama kamu.”
Tapi Rakha tetap diam. Wajahnya dingin. Sorot matanya sulit ditebak.
“Biar ayah selesaikan di rumah,” ulangnya. Suaranya datar, tapi tegas. Ia menatap Disa sejenak, lalu berbalik keluar dari ruangan.
Emily ingin mengejarnya, tapi kakinya lemas. Yang bisa ia lakukan sekarang hanya menangis dalam pelukan ibunya.
Sekarang, bukan hanya reputasi di sekolah yang terancam—tapi juga kepercayaan ayahnya.
**
Suasana di dalam mobil sepanjang perjalanan pulang terasa beku. Tidak ada satu pun suara yang terdengar. Rakha di kursi kemudi hanya menatap lurus ke depan. Tak ada tanya, tak ada tegur. Tangannya menggenggam setir erat, seperti menahan sesuatu yang ingin meledak.
Indira duduk di sebelahnya, sesekali melirik Emily di jok belakang yang hanya menunduk sambil menggenggam rok seragamnya erat-erat. Matanya masih sembab. Dia ingin bicara. Menjelaskan. Tapi dia tahu—Ayahnya bukan tipe orang yang mau mendengar ketika amarahnya belum padam.
Setibanya di rumah, Rakha langsung membuka pintu tanpa berkata sepatah kata pun. Emily dan Indira mengikuti pelan di belakangnya. Baru setelah pintu tertutup, suara yang selama ini ditahan pun pecah.
“Sekarang jelaskan. Sebenarnya apa yang terjadi?” suara Rakha terdengar dalam dan tajam.
Bersambung
Emily duduk di sofa ruang tamu, seperti terdakwa di ruang sidang. "Aku nggak tahu dus itu dari mana. Sumpah, Yah. Aku nggak pernah beli alat itu, apalagi pakai. Aku bahkan nggak tahu itu bisa ada di dalam tas aku."
Rakha menghela napas, tapi matanya tetap menusuk.
"Jangan sumpah dulu. Disa bilang kamu ke apotek."
"Iya, aku ke apotek! Tapi bukan buat beli alat itu. Jari aku luka, aku beli plester! Mau bukti? Ini, luka di jempolku!" Emily mengangkat tangannya yang memang masih tertutup perban kecil. Riska yang membantu membungkus lukanya di UKS. Emily memang random, jari aja bisa masuk ke rautan pensil.
Indira melangkah mendekat, menggenggam bahu Emily.
"Mas, Emily dari kecil nggak pernah bohong sama kita. Masa kamu percaya sepenuhnya sama Disa? Anak itu bahkan bukan saksi yang jelas, cuma bilang ‘melihat’ dari luar."
Rakha menatap istrinya sebentar, lalu kembali menatap Emily. “Tapi benda itu ditemukan di tas kamu. Dan itu cukup untuk merusak reputasi kamu... dan keluarga kita.”
Emily terisak. “Aku tahu. Aku tahu betapa pentingnya nama baik keluarga ini. Makanya aku nggak akan pernah main-main soal beginian, Yah…”
Rakha memijat pelipisnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa goyah sebagai ayah. Antara percaya, marah, kecewa, dan bingung bercampur menjadi satu.
“Jadi kamu nuduh Disa bohong?” tanya Rakha.
“Disa bohong atau nggak, aku nggak tahu. Tapi yang jelas, aku nggak naro dus itu di tas aku. Entah siapa yang masukin. Mungkin di kelas... mungkin waktu aku tinggal tas aku di meja…” suara Emily melemah.
Indira duduk di sofa. “Ada kemungkinan kamu dijebak, Emily. Kamu itu bar-bar, iya. Tapi urusan aturan sekolah kamu selalu disiplin. Bunda tahu kamu terlalu takut buat bikin malu keluarga besar.”
Rakha masih diam. Namun tatapannya mulai berubah. Ada keraguan di sana.
Lalu bel rumah berbunyi.
Ding-dong.
Salah satu pembantu rumah membuka pintu. Ternyata Disa berdiri di ambang, dengan wajah datar dan ponsel di tangannya.
“Aku cuma mau kasih bukti,” katanya sambil masuk tanpa permisi. Ia memutar layar ponsel, memperlihatkan rekaman video CCTV dari luar apotek. Terlihat jelas Emily berdiri di depan kasir dan menerima sebuah kantong kecil.
“Tuh, lihat sendiri. Jelas banget dia beli dus itu.”
Emily mendekat, melihat layar. Lalu... matanya membelalak.
"YA AMPUN! Itu bukan aku yang ambil dus itu! Kasirnya salah ngasih! Aku nggak periksa isinya karena buru-buru masuk sekolah!"
Rakha langsung berdiri. “Kamu masih nyimpan struknya?”
Emily buru-buru mengambil dompet kecilnya, mengaduk-aduk isi dalamnya—dan benar. Struk kecil dari apotek masih tersimpan. Ia menyerahkannya langsung ke ayahnya.
Rakha membacanya pelan.
Plester luka ukuran kecil – 1 pcs
Total: Rp 5.000
Rakha menatap Emily. Lalu menatap Disa.
“Kenapa kamu nggak cek dulu isi dus itu sebelum nuduh Emily?” tanyanya datar.
Disa mulai gelagapan. “Aku... aku cuma ingin kasih tahu apa yang aku lihat... Aku pikir—”
“Kamu pikir kamu bantu,” potong Indira dingin. “Padahal kamu hampir menghancurkan sepupu kamu sendiri.”
Disa menunduk. Rakha akhirnya bersuara, nadanya tegas namun tidak meledak.
“Mulai hari ini, kita akan cari tahu siapa sebenarnya yang masukkan dus itu ke tas Emily. Dan kamu, Disa, mulai sekarang, berhenti sok jadi detektif. Urus urusan kamu sendiri.”
Disa diam. Lalu pergi tanpa bicara.
Emily akhirnya terduduk. Beban yang menyesakkan dadanya mulai terangkat, meski belum sepenuhnya hilang. Rakha mendekat, menepuk pundaknya perlahan.
"Ayah minta maaf. Ayah terlalu cepat menilai."
Emily menangis pelan. "Aku cuma pengin Ayah percaya sama aku…"
Rakha tidak menjawab. Tapi pelukan singkatnya sudah cukup sebagai jawaban.
***
Rakha menghela napasnya berat, sepertinya hari ini memang harus ia lalui tanpa ketenangan. Baru saja dia sampai di kantor, Danish Aditya,sang ayah memintanya untuk ke rumah sore nanti setelah pulang dari kantor.
"Kenapa secepat itu beritanya sampai ke papa?" gumamnya. Ia mencurigai seseorang tapi dia tidak punya cukup bukti.
Sore hari tiba, dengan langkah gontai ia keluar dari mobil dan memasuki halaman rumah masa kecilnya yang sedikit suram.
Beberapa anggota keluarga telah berkumpul di ruang tengah, duduk membentuk lingkaran tak resmi—seolah sedang menghadiri sidang tertutup.
Di tengah ruangan duduk Danish, sang papa, pria sepuh yang disegani bukan hanya karena usianya, tapi karena ketegasannya memegang kehormatan keluarga. Pandangannya tajam menelusuri setiap wajah yang hadir.
“Rakha,” ucap Danish pelan, tapi terdengar jelas. “Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi dengan Emily.”
Rakha menarik napas, ia menatap ke depan. “Sudah saya periksa semua, Pa. Dus kecil itu bukan milik Emily. Struk dari apotek membuktikan bahwa dia hanya membeli plester luka. Dan soal tuduhan Disa, ternyata hanya berdasarkan dugaan. Tidak ada bukti kuat.”
Langit seakan runtuh.
Tiba-tiba, Andri—adik bungsu Rakha sekaligus ayah dari Disa—menepuk meja dengan suara keras.
“Jadi kamu bilang anakku bohong? Disa itu nggak akan ngomong kalau dia nggak lihat sendiri!”
Rakha menoleh, tajam. “Dia mungkin lihat, tapi yang dia simpulkan salah. Dan itu yang hampir menghancurkan Emily.”
Rakha juga tidak mengerti kenapa semua orang yang ada di dalam ruangan ini seperti sudah hafal kejadiannya.
Disa, yang duduk di sisi ibunya, menatap Rakha dengan wajah murung. “Aku nggak bohong, Om. Aku lihat Emily bawa dus itu. Aku cuma—”
“Kamu hanya ‘lihat’ dari luar, Dis,” potong Rakha, suaranya dingin tapi tenang. “Kamu tidak pernah tahu isi kantongnya, kamu tidak tahu isi struknya, dan kamu tidak tanya langsung ke Emily.” Rakha tidak terima. "Bukankah kamu juga sudah lihat struknya di rumah siang tadi?"
Ibunya Disa, Nita, ikut bersuara, nadanya tajam.
“Kak Rakha terlalu membela anak sendiri. Jangan tutup mata. Aku dan Disa pernah lihat Emily main sama laki-laki, sore-sore, di luar sekolah.”
Seketika semua kepala menoleh pada Emily.
Emily terbelalak. “Itu... bukan cuma aku dan satu cowok, Tante! Aku nggak main berdua! Di situ ada Riska, ada Rama, bahkan ada Kak Dimas! Kita lagi ngerjain tugas kelompok, sambil nongkrong di kafe depan taman!”
“Bukan berarti kamu bisa duduk seenaknya di luar sama laki-laki, Emily,” sergah Nita lagi, suaranya seperti menyiram bensin ke api.
“Aku nggak ngelakuin hal yang salah! Cuma karena aku duduk bareng cowok, bukan berarti aku—” suara Emily gemetar, wajahnya memerah antara marah dan terhina.
“Jangan naik suara, kamu itu bicara sama orang tua!” bentak Andri.
Rakha berdiri, matanya tajam, membentengi Emily dengan tubuhnya.
“Cukup!” katanya lantang. “Ini bukan forum untuk menghakimi anak saya berdasarkan asumsi. Kalau Papa ingin tahu siapa Emily sebenarnya, tanya langsung. Tapi jangan nodai nama anak saya hanya karena dia nongkrong di tempat umum bersama teman-temannya!”
Danish menatap semua orang. Lama. Lalu menatap Emily yang menunduk dengan tubuh gemetar.
“Kamu sering keluar sore-sore, Emily?”
Emily menelan ludah, tapi menjawab dengan jujur. “Iya, Opa. Tapi aku nggak pernah pergi sendiri. Selalu bareng teman-teman. Kami belajar, kadang makan, kadang ngobrol. Tapi aku tahu batas. Aku nggak pernah melakukan yang memalukan keluarga ini.”
Suasana kembali hening.
Indira merapatkan duduknya kepada Emily, memegang tangannya.
“Pa... tolong jangan hukum Emily hanya karena dia aktif bersosialisasi. Di masa sekarang, kita nggak bisa pakai kacamata sempit untuk menilai semua dari luar.” Indira merasa terhina dengan Ucapan Nita.
Sejak masuk ke keluarga besar, Nita memang sering aktif di keluarga. Lebih tepatnya mereka sering tinggal di rumah Danish dengan alasan untuk menemani Danish di masa tuanya.
Danish menatap Emily sekali lagi. “Kalau satu hari nanti ketahuan kamu bohong... kamu tahu sendiri apa yang akan terjadi.”
Emily mengangguk mantap. “Aku tahu, Opa.”
Setelah beberapa detik yang terasa seperti sejam, Danish akhirnya berkata,
“Baik. Masalah ini ditutup. Tapi pengawasan tetap jalan. Dan... Andri, Nita... jaga anak kalian juga. Jangan mudah melempar tuduhan sebelum semua jelas.”
Nita tersinggung, tapi tak menjawab. Disa hanya menunduk, entah malu atau kesal karena tidak mendapat pembelaan.
Sore itu, semua orang akhirnya pulang dengan pikiran masing-masing.
Tapi satu hal yang tak bisa dibantah: Emily telah berdiri tegak menghadapi badai.
Dan mungkin, badai berikutnya belum selesai.
***
Hari-hari setelah kejadian di rumah Danish, sekolah tak lagi terasa sama bagi Emily. Pandangan teman-teman berubah—beberapa hanya berani menatap dari jauh, beberapa lagi bisik-bisik sambil tertawa pelan setiap kali ia lewat.
Gosip telah menyebar.
Dan seperti biasa, gosip tak pernah adil.
Di kelas semua temannya sudah tahu, mereka menjadi menjauh. Bahkan Riska, teman sebangkunya yang dulu paling setia, mulai waspada. Bukan karena percaya gosip, tapi karena takut terseret.
Dan saat itu juga, di waktu yang sama, di sebuah kafe kecil tak jauh dari kampus, seseorang baru saja membuka ponselnya dan membaca pesan panjang dari temannya.
“Lo tahu pacar lo bawa test pack ke sekolah? Berita ini rame banget di Twitter anak-anak SMA Favorit depan kampus.”
Deg
Bersambung
"Yang benar saja?"
Rafael, mahasiswa tingkat akhir jurusan hukum, membeku. Tangannya masih memegang cangkir kopi yang kini dingin. Dahinya berkerut, napasnya berat.
Ia menatap layar lama, mencoba mencerna. Tapi dadanya seperti dipukul keras.
Emily? Alat tes kehamilan?
Dia tahu betul, mereka sudah jarang bertemu. Semester ini berat bagi mereka berdua—Emily akan menghadapi ujian akhir sekolah, sementara Rafael tengah berjibaku dengan skripsi yang seperti tak kunjung rampung.
Mereka sepakat untuk menjaga jarak dulu. Bukan karena bosan, tapi karena ingin saling mendukung dalam kesibukan masing-masing. Dan Rafael juga tahu keseharian Emily yang sering nongkrong. Dulu, dia juga ikut nongkrong bersama Dimas, pacar Riska. Dimas sendiri sudah lulus dan sekarang bekerja tapi dia tetap ikut nongkrong kalau sudah pulang kerja.
Namun kabar ini… membuat segalanya terasa goyah.
Tanpa pikir panjang, Rafael menekan tombol panggilan.
“Emily.”
Suara di seberang terdengar pelan dan lelah. “Halo, Kak…”
“Ini soal gosip yang lagi nyebar. Kamu baik-baik aja?”
Emily menahan napas. Ia duduk di tangga belakang sekolah, menyendiri dari dunia yang seolah menyalahkan tanpa tanya.
“Kakak percaya mereka?” tanyanya pelan.
“Aku nggak mau percaya siapa-siapa sampai denger langsung dari kamu.”
Emily tersenyum pahit. “Aku difitnah, Kak. Ada yang masukin dus itu ke tas aku. Tapi orang-orang keburu nyebarin cerita yang beda.”
“Kenapa kamu nggak cerita dari awal?” Suara Rafael terdengar sedikit tegang saat tangannya ada yang menggenggam.
“Aku takut ganggu fokus kakak. Kakak lagi skripsi, aku juga sebentar lagi ujian. Aku pikir semuanya akan reda sendiri setelah dijelasin. Tapi ternyata enggak...”
Hening beberapa detik.
Rafael menghembuskan napas berat. “Sayang, kamu tahu kalau aku percaya sama kamu, kan?”
“Aku tahu. Tapi tetap aja... semua ini nyakitin. Sekarang bahkan Riska mulai jauhin aku. Padahal dia sahabat aku dari awal kelas sepuluh…”
“Dengerin aku,” Rafael melanjutkan. “Aku akan luangkan waktu minggu ini. Kita ketemu, kita obrolin. Aku nggak peduli berapa halaman skripsi yang harus aku kejar. Kamu lebih penting.”
Air mata Emily jatuh tanpa suara. Ini pertama kalinya sejak semua keributan itu ia merasa benar-benar dipihak oleh seseorang yang bukan ibunya.
“Terima kasih, Kak…”
“Dan satu lagi, Dek.”
“Iya?”
“Kamu boleh bar-bar, boleh galak ke dunia, boleh suka nongkrong. Tapi aku tahu siapa kamu. Dan kamu bukan tipe yang main-main sama harga diri.”
Emily menangis makin keras, pelan tapi menyayat. Kata-kata Rafael terasa seperti pelukan hangat di tengah salju gosip yang membekukan segalanya.
Tapi, dibalik setiap kata-kata manis yang Rafael ucapkan, ada dua tangan yang menyatu, saling menggenggam bahkan kecupan terdengar samar oleh Emily.
***
Hari-hari berlalu semakin sunyi untuk Emily. Pesan-pesan yang ia kirim ke Rafael hanya dibaca, tanpa balasan. Panggilan tak diangkat. Bahkan status WhatsApp Rafael yang dulu dipenuhi motivasi skripsi dan kutipan-kutipan cinta, kini hanya foto langit kosong.
Rafael seperti menjauhinya.
Tidak secara frontal, tapi terasa. Dan Emily bisa merasakannya di setiap keheningan yang semakin panjang, setiap janji bertemu yang terus diundur, dan setiap kata "nanti" yang makin tak bermakna.
Yang Emily tidak tahu, Rafael menyembunyikan sesuatu.
Sebuah pesan dari temannya di kampus…
Sebuah foto.
Yang memperlihatkan Emily berdiri di depan sebuah hotel.
Bukan foto baru. Tapi cukup membuat Rafael diam membeku malam itu. Ia tak langsung menuduh. Tapi ia juga tak bertanya.
Ia hanya menyimpannya… bersama dengan keraguannya.
***
Sementara itu, di rumah keluarga Emily, situasi mulai memanas—tanpa sepengetahuan Rakha.
Indira, bersama kakaknya dan dua sepupu perempuan, diam-diam mulai mengumpulkan bukti untuk membersihkan nama Emily. Mereka menyewa seseorang yang bisa melacak rekaman CCTV dari lokasi-lokasi sekitar sekolah dan apotek. Bahkan, mereka berhasil mendapatkan potongan video pendek dari hari kejadian—terlihat ada seseorang lain yang memasukkan sesuatu ke dalam tas Emily saat ia pergi ke toilet.
Belum cukup di situ, mereka juga mengumpulkan potongan foto-foto Emily bersama teman-temannya di tempat yang sebelumnya dituduhkan sebagai ‘pertemuan dengan laki-laki’. Di semua foto itu, jelas terlihat Emily tidak berdua, melainkan dalam keramaian tugas kelompok.
Namun, saat semuanya hampir lengkap… badai datang lebih dulu dari yang mereka duga.
Di rumah besar Danish Aditya…
Pertemuan keluarga kembali digelar. Rakha, kali ini datang membawa foto hasil USG Emily. Rakha tidak ingin melihat anaknya semakin terpuruk menghadapi ujian hidupnya. Ia membawa Emily ke rumah sakit unyuk melakukan USG. Di sana sangat jelas bahwa Emily tidak hamil dan keadaan rahim juga terlihat bersih.
Namun, Andri membuka pembicaraan dengan nada tinggi. “Pa, aku rasa sudah cukup. Kak Rakha hanya mengada-ngada, dia menyembunyikan kebenaran. Bisa saja itu foto orang lain,"
Nita menambahkan dengan suara tajam, “Anak perempuan yang baik tidak akan punya urusan dengan alat tes kehamilan. Apalagi kebiasaan Emily main sampai malam. Nongkrong gak jelas di pinggir jalan bersama laki-laki..."
Rakha menatap mereka dengan rahang mengeras. Ia melemparkan map berkas pemeriksaan Emily ke depan Andri dan Nita. "Jangan seenaknya menuduh anak saya tanpa tahu kebenaran penuh!”
Tapi Danish memukul meja.
“CUKUP!”
Semua langsung terdiam.
Wajah Danish merah, urat di lehernya menegang.
“Aku sudah tua! Aku tidak butuh drama-drama modern ini! Kalian pikir nama baik keluarga bisa bertahan kalau berita begini terus menyebar?!”
“Pa, Apa dengan bukti ini tidak cukup,” ucap Indira pelan.
“BUKTI APA?!” bentak Danish.
Lalu ia menatap Rakha dengan mata tajam. “Kamu pikir papa bodoh, Rakha? Kamu pikir papa nggak tahu kalau nama Emily sekarang jadi bahan tertawaan satu komunitas alumni? Aku malu, Rakha! MALU! Disa dan keluarganya sudah bilang sejak awal kalau Emily mulai liar. Dan sekarang, semua bukti mendukung mereka!”
Rakha berdiri, menahan gejolak di dadanya. Tapi sebelum ia bisa bicara, Andri berdiri.
“Kami cuma jujur, Pa. Kalau keluarga Rakha merasa tersinggung, ya silakan. Tapi jangan larang kami menyelamatkan nama keluarga besar.”
Kata-kata itu seperti sengaja ditancapkan ke dada Rakha.
“Jadi kalian lebih percaya pada omongan dan potongan bukti yang belum jelas sumbernya daripada darah daging sendiri?”
Danish tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah.
Diamnya adalah keputusan.
***
Sementara di tempat lain, Emily duduk di kamarnya. Ia tidak tahu bahwa sebagian keluarganya sedang berjuang membuktikan kebenaran. Yang ia tahu, semua orang menjauh—Rafael, sahabatnya, dan kini bahkan Opa-nya sendiri.
Ponselnya bergetar. Satu pesan masuk.
Dari nomor tak dikenal.
“Masih mau tahu siapa yang nyelipin dus itu ke tas kamu? Datang ke parkiran lama sekarang. Jangan ajak siapa-siapa.”
Emily menatap layar itu dengan tangan gemetar.
Matanya tajam.
Ini saatnya. Entah kebenaran… atau jebakan lain.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!