[Minggu di kafe, pukul 08.00 malam]
"Abila! Kamu ngga liat meja 21 nungguin kopinya dari tadi?!."
"Ah, y-ya maaf!." Seorang gadis berkaca mata mencicit dari balik meja kasir. Dia nampak buru-buru memperbaiki kacamatanya dan bergegas menuju meja pembuatan kopi. Meletakkan cangkir kopi yang masih beruap ke atas nampan dan berbalik berjalan mendekati meja nomor 21.
"Ini kopinya, Pak, Bu." Kata Abila sembari tersenyum ramah.
"Kita udah nungguin dari tadi loh!." Pria itu berseru. "Kenapa kok lama banget! Ck, pelayanan yang buruk!."
Abila menelan salivanya dengan gugup. Pria itu cukup mengintimidasi dan Abila terlalu takut padanya saat ini. Pria itu tampak tidak akan ragu untuk memukulnya.
"Maaf pak, kafenya penuh hari ini." Jawab Abila dengan sopan. "Saya minta maaf--"
"Ya ampun, kok kopinya dingin gini sih?!". Wanita yang duduk di depan pria itu tiba-tiba mengeluh, memotong perkataan Abila.
"Dingin?." Abila bertanya dengan hampa. 'Tapi, kopinya kan baru aja di tuang ke gelas?.' Batin Abila.
"Cepat ganti kopinya!." Bentak pria itu pada Abila.
Abila tersentak kaget, tetapi dia segera menganggukkan kepalanya, mengambil cangkir kopi dan kembali membuat secangkir kopi yang baru.
Sepertinya seluruh penduduk Jakarta ada di dalam kafe ini, bagaimana tidak? Kafe ini benar-benar penuh hari ini dan mungkin itu karena hari ini adalah hari Minggu, letak kafe yang strategis pun membuat tempat itu juga sering menjadi tempat tongkrongan bagi anak-anak sekolah, bersamaan dengan Abila yang sedang membuat kopi, beberapa geng anak-anak sekolah masuk ke dalam kafe tersebut.
Saking ramainya, Abila bahkan tidak mengenali teman-teman sekelasnya, tetapi lagipula mereka juga hampir tidak memperhatikan Abila.
Abila tidak keberatan, dia lebih suka ditemani oleh buku-bukunya.
Matanya yang berwarna coklat bening mengamati sekitarnya dengan hati-hati, dia akan berusia 18 tahun dalam beberapa minggu lagi dan bekerja paruh waktu di kafe untuk mendapatkan uang tambahan.
Kafe itu ramai dengan orang-orang di hari minggu malam ini, Abila menyeka keringatnya. Rambut coklat panjangnya diikat menjadi sanggul berantakan, sementara wajahnya yang biasanya pucat basah oleh keringat. Kulit pucat nya menjadi terlalu merah setiap kali dia jengkel.
Abila meraih nampannya dan kembali ke meja sebelumnya, meja nomor 21.
"Bu, ini kopinya." Katanya dan hendak meletakan salah satu cangkir ke atas meja, tetapi wanita yang duduk itu tiba-tiba mendorong meja dengan kasar.
Tangan Abila terpeleset dan kopi panas secara tidak sengaja ciprat ke telapak tangannya.
"Ah!." Abila mendesis, tetapi pria itu dan wanita itu hanya memperhatikan.
"Liat, apa yang sudah kamu lakukan?!." Bentak pria itu pada Abila.
Beberapa orang pun berbalik dan melihat keributan apa yang baru saja terjadi. Tanpa sepengetahuan Abila, sepasang tatapan mata gelap tertuju padanya, mengawasinya dengan rasa ingin tahu.
"Eh guys! Bukannya itu si kutu buka kelas 12 B?." Kata salah seorang gadis pada teman-temannya.
"Kayaknya cewek itu bodoh!." Temannya, seorang lelaki terkekeh.
Mereka semua sepertinya menikmati penghinaan Abila.
"Dasar tolol banget!." Seorang gadis berambut pirang mengejek. "Gue benar kan, Zerga?." Gadis itu menoleh ke seorang lelaki berambut gelap yang duduk di sebelahnya.
Zerga, lelaki itu dengan malas memperhatikan Abila. Lalu setelah mendengar perkataan gadis disebelahnya, Zerga dengan malas beralih menatap gadis itu, gadis berambut pirang yang sudah berpacaran dengannya selama beberapa minggu terakhir.
"Ayo keluar." Kata Zerga dengan suara dinginnya.
Gadis berambut pirang itu tersenyum kegirangan dan mengikuti Zerga, melewati pintu di belakang tempat duduk mereka.
Sementara itu, Abila yang menyadari semua mata tertuju padanya pun membuat tubuhnya gemetaran, perasaannya gugup.
"Maaf, s-saya..." Abila tergagap.
"Sayang, ayo pergi!." Pria itu mengajak wanita yang duduk didepannya untuk pergi. "Kafe ini benar-benar tidak nyaman."
Wanita itu juga merengut saat menatap Abila dan pergi bersama pacarnya.
Sementara Abila hanya menghela nafas sedih sembari membersihkan meja itu.
"Abila! Pergi dan buang sampahnya!." Seorang pria yang merupakan manager di kafe tersebut berteriak. "Malam ini, kamu istirahat aja. Nanti malah semua pelanggan jadi kabur karena kamu."
"Ya, Pak Eko." Abila bergegas mengelap meja, sebelum akhirnya berjalan mengambil sampah untuk di buang ke tempatnya.
Dalam hatinya, Abila sedikit merasa tenang ia tidak harus berurusan dengan pelanggan malam ini. Ia terlalu malu untuk berbicara dengan orang lai dan setelah kematian kedua orang tuanya, satu-satunya orang yang membuatnya merasa nyaman hanyalah Tante Ida dan putra bernama Rafka Shankara Arsala, yang juga merupakan teman satu kelas dan sahabat Abila.
'Apa mendingan aku cari pekerjaan lainnya ya?.' Batin Abila, merasa sedih.
Gadis itu mengambil kantong sampah dsn berjalan menuju pintu belakang kafe.
Begitu berada di luar, Abila membuang sampah tersebut ke tempatnya dan hendak masuk kembali, tetapi langkah terhenti saat sesuatu berhasil menarik perhatiannya.
Dua orang yang berdiri beberapa meter darinya, tetapi tampaknya terlalu asyik mengobrol sehingga mereka tidak memperhatikan keberadaan Abila. Lebih jelas mereka berdua seperti sedang berdebat.
Abila yang mengamati mereka, langsung dapat mengenali salah satunya dan getaran menjalar di tulang punggungnya.
Zerga Ergino Byantara?
"Dasar babi! Lo bener-bener cowok sialan, Zerga!." Teriak seorang gadis yang berdiri di depan Zerga sembari menunjuk ke arah lelaki itu. "Gimana lo bisa minta putus dari gue? Kita itu pasangan couple goals! Semua orang bahkan iri sama kita dan popularitas kita di sekolah! Kalau kita putus---"
Lelaki yang bernama Zerga itu hanya mengangkat sebelah alisnya yang melengkung sempurna. Mata gelapnya yang dingin dan tidak berperasaan seolah dia tidak peduli dengan kata-kata yang gadis itu katakan. Ciri-ciri tampannya di rusak oleh penghinaan murni terhadap gadis tak berharga di hadapannya.
Sementara gadis yang menolak putus dari Zerga itu merupakan salah satu pemandu sorak dari sma Mahardhika dan namanya adalah Lyoraa Amara Mauren.
'Aku seharusnya ngga ke sini.' Batin Abila begitu menyadari bahwa pasangan yang sedang bertengkar saat itu adalah orang-orang yang ia kenal di sekolahnya.
Abila kemudian memutuskan untuk pergi, dia berbalik untuk membuka pintu belakang, tetapi yang mengejutkan, pintu tersebut justru macet!
"Ya ampun!." Abila mengerang kesal. "Gawat kalau sampe mereka liat aku!." Ia kemudian dengan sungguh-sungguh mencoba membuka pintu tersebut.
Namun, saking tua nya pintu tersebut dan meskipun Abila sudah berusaha membuka pintu itu, ia tetap tidak berhasil.
Zerga bersandar di dinding dan mendengus menatap pacarnya, atau sebut saja gadis yang enggan putus darinya.
"Lyoora, emangnya menurut lo... lo itu berarti banget buat gue?." Tanya Zerga, menyeringai. "Kita udah selesai! Gue udah ngga tertarik lagi sama lo. Ngerti?!."
Zerga~ lelaki tampan yang di kenal sebagai playboy di sekolah, tetapi banyak siswi yang berebut mengejar cintanya!
"Gue ngga mau kehilangan reputasi gue di sekolah, Zerga!." Lyoora memohon. Sembari memohon pada Zerga, Lyoora menangis. Membuat Abila yang mendengar hal itu merasa kasihan.
"Zerga, sejak kita pacaran... semua anak-anak sekolah takut sama kita! Mereka semua iri dan pengen sepopuler kita. Tapi, kalau lo putus sama gue, semuanya pasti hancur! Temen-temen pemandu sorak gue juga pasti kabur karena lo!." Lagi, Lyoora kembali buka suara.
Zerga tertawa kecil. "Itu bukan masalah gue." Jawabnya dengan nada acuh tak acuh.
Tatapan matanya tak sengaja tertuju pada jendela kecil di gedung di belakang Lyoora, meski malam hari, tempat itu di terangi cahaya lampu dan bulan. Zerga melihat seseorang yang ia tahu, seorang kutu buku yang terakhir di lihatnya di dalam kafe tadi, kini sedang berada di dekat pintu belakang kafe.
Gadis itu tidak menyadari bahwa Zerga sedang memperhatikannya.
"Zerga-"
"Gue selingkuh dari lo." Zerga menukas perkataan Lyora dan berbohong dengan lancar. "Gue punya pacar lagi selain lo."
Lyoora tertegun mendengar jawaban Zerga. "Lo punya cewe lain?." Tanyanya terlihat tak percaya. "Siapa? Siapa dia?."
Marah, Lyoora benar-benar marah dan kecewa begitu tau ada gadis lain yang mencuri tempatnya di hati Zerga.
'Ini ngga mungkin terjadi!.' Batin Lyoora.
Zerga menyeringai dan dengan santai berjalan menuju gang belakang kafe.
Sementara itu, Abila mengumpat kesal karena pintu yang tak kunjung bisa terbuka. Namun, perasaan kesalnya itu berubah gugup saat mendengar langkah kaki mendekat. Ia menoleh, matanya tertuju pada sosok tinggi Zerga yang mendekat. Abila mencari cara untuk melarikan diri, tetapi kakinya benar-benar membeku di tempat.
Lyoora kebingungan saat memperhatikan Zerga berjalan mendekati gadis berpenampilan polos, yang keberadaannya saja tidak ia perhatikan tadi.
"Siapa nama lo?." Suara lelaki itu yang dalam bergema di telinga seorang gadis yang menatapnya dengan penuh minat.
"A-abila!." Jawabnya tergagap
"Apa cewek itu ngeliatin kita?." Lelaki itu melirik ke arah gadis lain yang tengah memperhatikan mereka dengan mengepalkan tangannya.
Abila yang mengerti maksud lelaki tampan yang berdiri di hadapannya itu langsung mengangguk pelan. "I-iya."
"Good!."
Tanpa berkata apa pun lagi, lelaki itu menukik ke bawah untuk langsung mencium bibir Abila
Jantung Abila seakan berhenti berdetak sesaat saat Zerga baru saja mencium bibirnya. Kedua matanya membelalak kaget, tetapi tubuhnya tidak bereaksi. Lelaki itu menempelkan bibirnya ke bibir Abila dan aroma musky yang kuat menenggelamkan semua pikiran sehat Abila.
Sama dengan Abila, Zerga sendiri juga terkejut dengan kelebihan Abila. Bibir gadis itu terasa lembut, membuatnya ingin memperdalam ciumannya. Zerga sedikit mengernyitkan dahinya ketika lidahnya menyentuh bibir bawah gadis itu dan ia bisa merasakan gemetarnya.
Zerga sedikit membuka matanya untuk melihat gadis yang baru saja ia cium. Bola matanya yang coklat cerah di tutupi oleh kacamata yang berbingkai tebal. Aroma vanilla yang manis dan bibir gadis itu terasa seperti madu. Wajahnya yang seakan membentuk hati, terlihat ketakutan.
"Dasar brengsek!." Teriakan Lyoora mematahkan momen romantis mereka.
Abila lantas menundukkan kepalanya, tidak yakin harus bereaksi seperti apa terhadap sesuatu yang baru saja terjadi.
Sementara Lyoora sangat marah pada Zerga. "Zerga! Lo mutusin gue demi dia?." Tanya nya dengan berteriak sembari menunjuk ke arah Abila yang polos.
Perasaan Abila semakin terasa canggung.
Tetapi Zerga terlihat acuh tak acuh.
"Ya, gua mutusin lo demi dia." Jawab Zerga sembari memeluk bahu Abila, cengkeramannya terlalu erat sehingga Abila tidak bisa melepaskan diri. "Lo punya masalah?."
"Lo... lo si kutu buku dari kelas 12B, kan?." Tanya Lyoora
Abila hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.
"Dasar pel4cur!."
"Pergi dari sini, Lyoora!." Kata Zerga dengan nada dinginnya. "Gue ngga tertarik sama omong kosong lo."
Lyoora menghentak-hentakkan kakinya karena kesal sebelum akhirnya pergi, diam-diam dia bersumpah akan membalas dendam pada Abila, si kutu buku.
Setelah Lyoora pergi, Zerga dengan cuek mendorong Abila menjauh darinya. Dari dekat, Zerga terlihat semakin mengintimidasi.
Namun, Abila harus mengakui bahwa bahkan di tengah kerumunan, Zerga akan terlihat lebih menonjol. Rambut hitamnya yang berantakan, justru hanya menambah pesona tampannya.
Hanya saja bermain basket berjam-jam di bawah sinar matahari, membuat kulitnya sedikit kecokelatan, namun Zerga masih cukup tampan. Dengan postur badannya yang menjulang tinggi, Zerga menjadi salah satu cowok terpopuler di sma Mahardhika. Dia hanya beberapa bulan lebih tua dari Abila dan mereka bahkan berbagi beberapa kelas bersama.
Zerga dan Abila, mereka belum pernah berbicara dengan satu sama lain, tetapi entah mengapa Abila justru merasa takut pada Zerga.
Lelaki itu memiliki aura dingin yang mampu mengintimidasi semua orang di sekitarnya. Meskipun popularitasnya, Zerga di kenal sebagai cowok berhati dingin. Dia dan teman-teman gengnya terkenal suka meremehkan orang lain dan bahkan menindas banyak anak-anak sekolah hingga banyak yang putus sekolah.
Ayah Zerga-- Antonio Byantara adalah seorang donatur di sma Mahardhika, sehingga membuat Zerga bebas melakukan segalanya.
"Dengerin gue, kutu buku!." Zerga memanggil Abila dengan nada dinginnya. "Kalau sampe mulut lo ember kemana-kemana dan bilang ke orang-orang kalau gue baru aja cium lo, gue akan bikin hidup lo sengsara di sekolah! Ngerti?." Ancamnya dengan serius.
Abila yang menunduk, sedikit mengangguk kan kepalanya. Tetapi mulutnya terdengar seperti bergumam.
"Heh! Ngomong tu yang jelas!." Kata Zerga. "Ngomong apa lu tadi?."
"I-itu ciuman pertama ku." Jawab Abila lirih.
Dalam benaknya, ia membayangkan ciuman pertamanya bersama dengan seseorang yang di cintainya. Abila menginginkan ciuman pertamanya sebagai sesuatu yang istimewa dan romantis. Lelaki yang akan menciumnya akan menjadi lelaki yang sangat di cintainya.
Tetapi sekarang, ciuman pertamanya telah di remehkan oleh anak nakal yang terkenal di sekolahnya. Setiap kali Abila memikirkan kembali momen ini, dia hanya akan merasa malu dan terhina.
"Kalau gitu, lu harusnya seneng lah." Zerga memiringkan kepalanya, berpikir bahwa apa yang baru saja di lakukannya bukan perkara yang harus di permasalahkan. "Ciuman pertama lo di ambil sama cowo sepopuler gue." Katanya lagi dengan santainya sembari menaikkan sebelah alisnya ke atas, sementara sudut bibirnya menyeringi.
Abila menarik napasnya dalam-dalam, ingin rasanya ia memukul kepala Zerga saat itu juga karena telah berani mengambil ciuman pertama yang seharusnya untuk orang istimewanya, tetapi tangannya gemetar.
Zerga menatapnya dengan raut wajah jijik. "Jangan pernah kasih tau siapa pun soal ini, kalau ngga... gua ngga akan biarin lu lolos." Ancamnya lagi. "Gua ngga kayak lu, gua punya reputasi yang harus di lindungi."
Zerga membenci orang yang lemah. Bahkan dia memperlakukan orang-orang lemah di sekitarnya dengan hina dan tidak memiliki rasa apa pun selain rasa jijik terhadap orang-orang lemah itu.
Setelah memberikan ancaman pada Abila, Zerga langsung pergi begitu saja, meninggalkan gadis cupu itu sendirian.
Untuk beberapa saat, Abila mencoba menyadarkan pikirannya sendiri. Air mata yang membendung di matanya seakan terasa perih, saat membayangkan adegan ketika mereka tadi berciuman, adegan itu seakan tidak mau hilang dari pikirannya.
Abila berdiri di sana, menangis sendirian.
Ddrrtt..
Terdengar dering ponsel yang mengganggu Abila dari pikirannya.
Abila segera menyeka air matanya dan mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya, saat memeriksa layar ponsel, tertera nama kontak Rafka yang telah menelponnya.
"Bil, lo ada di mana?." Suara berat Rafka terdengar dari seberang sana. "Gue ada di sini, di kafe tempat lo kerja. Ayo pulang!."
"Oh... iya, bentar. Aku ke sana." Jawab Abila dan segera menutup panggilan tersebut. Abila lantas kembali mencoba membuka pintu belakang dan beruntungnya di percobaannya yang kali ini, pintu itu mau terbuka.
Setelah masuk ke area dapur, Abila menyempatkan diri untuk mencuci wajahnya dan menyekanya dengan tisu hingga kering.
Berjalan menuju lokernya, Abila perlahan-lahan mengganti seragam kerjanya dengan kaos bolong dan celana jinsnya sembari mencoba menghapus kenangan akan ciuman itu.
"Rafka ngga boleh tau soal ini." Gumam Abila bermonolog. "Dia pasti marah dan besok bikin keributan di sekolah, aku ngga mau kalau sampe di panggil BK gara-gara masalah ini."
**
Sementara itu di area depan kafe, terlihat tiga orang gadis yang tengah memuji ketampanan seorang lelaki.
"Itu cowo siapa sih? Keren banget tau... gayanya.." Bisik salah satu gadis pada temannya. Dia menunjuk ke arah seorang lelaki pemilik rambut pirang stroberi yang sedang duduk di kursi sembari membaca komik. Wajahnya yang bulat dan menggemaskan, membuat para gadis kesem-sem padanya, apalagi melihat tersenyum saat membaca komik di tangannya itu.
Kakinya yang panjang dan lurus sesuai dengan celana basket yang di kenakannya. Meskipun lelaki itu mengenakan hoodie di atas jerseynya, ototo-ototnya menonjol dan terlihat.
"Lu gila ya? Masa lu ngga kenal dia sih? Dia itu Rafka Shankara Arsala!." Balas teman gadis itu sembari berbisik juga. "Dia satu sama kita, tau..."
"Kok gue ngga pernah liat dia, ya?."
"Ck, itu karena dia selalu berkeliaran di perpus!."
"Bener kata Icha, dan yang gong nya lagi... dia itu jago banget main basket dan pernah main bareng basket Black Eagle, tapi dia ngga mau gabung tim basket sekolah."
"Lah? Kok gitu?."
"Suutt! Karena ada saingannya."
"Seriusan? Kok gue kudet banget ya."
"Ck, itu loh si Zerga! Zerga Ergino Byantara."
"Hah!." Kedua gadis yang baru saja mendengar hal tersebut lantas terlihat terkejut dan segera menutup mulut mereka.
Sementara itu, Rafka yang bisa mendengar obrolan para gadis itu memilih diam dan mengabaikan mereka. Dia memilih menutup komiknya dan kembali membuka ponselnya, guna mengirim pesan pada Abila yang tak kunjung keluar.
"Rafka!."
Lelaki itu mendongak untuk melihat Abila. Dia memaksakan bibirnya untuk tersenyum, menyembunyikan kegelisahan yang sebenarnya sedang ia rasakan saat itu.
"Lama banget sih!." Rafka beranjak dari tempat duduk nya dan berjalan mendekati Abila. "Lo kelihatannya agak kurang baik, ada apa?." Rafka mengernyitkan dahinya, mencoba mengamati raut wajah Abila
"Hm.." Abila bergumam, menggaruk kepalanya. "Ngga ada apa-apa sih."
Tetapi, tatapan mata Rafka yang teliti tertuju pada luka lecet di pergelangan tangan Abila.
"Tangan lo kenapa? Kena air panas lagi?." Tanya Rafka.
"Ya... tadi ada pelanggan marah-marah dan aku ngga sengaja kena tumpahan kopi, tapi ini ngga apa-apa kok."
Sebelah tangan Rafka memasukkan ponselnya ke dalam saku, sementara tangannya yang lain mengusap puncak kepala Abila. "Gue udah bilang berapa kali sama lo? Lo harus bisa membela diri! Bunda pasti bakal panik banget kalo tau ini."
"Makanya... kamu jangan kasih tau bunda." Pinta Abila sembari memperlihatkan raut wajah memelasnya.
Rafka menghela napasnya.
"Lo tau, gue ngga akan bisa nolak permintaan lo kalau gue liat lo seimut ini!." Rafka tersenyum. "Tapi ada syaratnya... supaya mulut gue ngomong ke bunda."
Abila mengernyitkan dahinya. "Tumben banget kamu ngajuin syarat." Katanya sembari membenarkan posisi tas ranselnya.
"Kita ke apotek dulu sebelum pulang."
Abila tersemyum dan kemudian mengangguk kan kepalanya. "Oke."
Abila senang karena Rafka tidak menanyakan pertanyaan apa pun lagi padanya. Gadis itu berjalan mengikuti Rafka keluar dari kafe, tanpa menyadari beberapa tatapan tajam yang mengarah padanya saat berjalan bersama dengan Rafka.
Rafka dan Abila, mereka sudah berteman baiksejak kecil. Ibu mereka adalah teman sekolah dan tidak dapat dipisahkan. Bahkan ketika anak-anak mereka lahir, mereka juga menjadi ibu untuk anak mereka satu sama lain. Jadi, ketika orang tua Abila meninggal karena sebuah kecelakaan, Ida segera menawarkan diri untuk mengasuh Abila dan membesarkannya bersama Rafka.
Ibu Abila tidak memiliki keluarga, sementara keluarga dari ayahnya tidak pernah merestui hubungan diantara mereka, hingga berakhir tidak menganggap ayah Abila sebagai keluarga mereka lagi. Kelahiran Abila saja, keluarga ayahnya sama sekali tidak mau tau.
Rafka Shankara Arsala juga merupakan salah satu cowo terpopuler di sma Mahardhika. Berbeda dengan Zerga yang sangat menikmati kepopulerannya, Rafka sama sekali tidak perduli dengan hal itu. Dia hanya sering bergaul dengan Abila atau bermain basket bersama teman-temannya di taman dekat rumah mereka.
Rafka bisa saja dengan mudah bergabung dengan tim basket sekolah, tetapi ada satu masalah yang membuatnya selalu menolak tawaran tersebut.
*
Abila dan Rafka berjalan memasuki apotek yang letaknya tak jauh dari rumah mereka.
Seorang apoteker menyambut kedatangan mereka dengan hangat.
"Mbak, bisa liat luka di tangan dia?." Tanya Rafka pada apoteker tersebut.
"Oh, bisa, mas." Jawab apoteker. "Di apotik ini kebetulan juga ada perawat. Jadi, pacarnya mas masuk ke dalam aja, nanti biar di cek sama perawat yang ada di dalam."
"Temen, mbak." Kata Abila mengoreksi dengan sopan. "Kami berdua cuman temen."
"Oh, maaf. Masuknya sebelah sini ya, mbak."
Abila mengangguk dan berjalan mengikuti apoteker tersebut untuk masuk ke dalam salah satu ruangan, tanpa Abila sadari bahwa raut wajah Rafka langsung berubah datar setelah mendengar perkataannya tadi.
"Cuma temen..." Guman Rafka pada dirinya sendiri sembari menganggukkan kepalanya, ia berbalik dan duduk di salah satu kursi tunggu yang ada di belakangnya.
Sambil menunggu Abila keluar, Rafka mengeluarkan ponselnya dan membuka salah satu aplikasi media sosial. Tetapi tak lama kemudian seseorang masuk ke dalam apotek itu. Rafka meliriknya sekilas dan terdiam.
"Lu!." Katanya singkat, saat menatap seseorang yang baru saja masuk ke dalam apotek. Orang itu tidak lain Adalah Zerga.
Rafka melayangkan tatapan tajamnya ke arah Zerga.
Seakan seperti kucing jantan yang bertemu dengan musuhnya, raut wajah Zerga juga menunjukkan ekspresi permusuhan.
"Gua lagi males liat wajah lo, Rafka si pengecut!." Gerutu Zerga dan berjalan melewati Rafka begitu saja untuk mengambil obat di salah satu etalase.
"Gue denger tim lo kalah dalam pertandingan melawan Black Eagle minggu lalu." Rafka dengan sengaja menyindir.
"Lu ngga perlu khawatir sama tim gua!." Balas Zerga dengan nada yang tak kalah sarkas.
"Pelatih lo minta gue gabung lagi." Sudut bibir Rafka menyeringai. "Kali ini kalau di pikir-pikir... mungkin gue mau nerima tawaran pelatih lo."
"Serius?." Sebelah alis Zerga terangkat. "Lu pengen gabung ke tim gua?." Tanya nya lagi. "Oke. gua rasa. lu ngga akan keberatan kalau gua bocorin rahasia kecil kita, kan?." Zerga perlahan melangkah maju dan mendekat ke samping telinga Rafka. "Bayangin apa dampaknya ke nyokap lo." Bisik Zerga. "Ketika dunia tahu rahasia kecilnya yang kotor."
Jari-jari Rafka mengepal kuat dan dia hendak melayangkan tinjuan ke wajah Zerga, tetapi seseorang terdengar memanggil namanya.
"Rafka!."
Rafka dan Zerga berbalik dan mendapati gadis mungil berdiri di luar salah satu ruangan, terlihat bingung saat memandang ke arah mereka berdua. Abila, dia takut karena kedua lelaki itu terlihat sedang dalam keadaan marah. Dan, dia tau betul bahwa Rafka tidak akan mampu menahan emosinya. Abila tidak mau, Rafka sampai mencelakai dirinya sendiri.
Persaingan mereka terkenal di seluruh sekolah. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana Zerga dan Rafka bisa menjadi rival, tetapi hal itu sudah terjadi sepanjang ingatan Abila.
Yang Abila ingat hanyalah saat mereka berada di taman, Zerga pernah melakukan lelucon yang hampir menimbulkan keributan di sekitar sekolah. Zerga telah meninggalkan petasan bau di salah satu ventilator dan ketika meledak, kekacauan pun terjadi.
Sayangnya, Zerga justru menyalahkan Rafka dan bahkan menyembunyikan beberapa petasan di dalam tas Rafka untuk memperkuat tuduhannya, bahwa Rafka yang memang bersalah.
Setelah itu, para guru menskors Rafka selama sebulan dan mencatatnya sebagai siswa ternakal. Sejak saat itu, keduanya memendam persaingan sengit yang masih berlangsung sampai sekarang.
Kedua mata tajam Zerga menyipit saat melihat gadis cupu yang sebelumnya ia temui di kafe.
Saat tatapan mereka bertemu, Abila gemetar ketakutan. Zerga seakan memberikan tatapan peringatan, mengancamnya untuk tetap diam tentang apa yang terjadi di antara mereka.
Lagi pula Abila tidak membocorkannya. Gadis itu masih takut pada Zerga dan langsung memalingkan wajahnya untuk berbicara dengan Rafka.
"Rafka, ayo pulang!." Seru Abila. Dia berjalan mendekati Rafka dan menarik lengan baju lelaki itu, diam-diam berharap agar Rafka mau mendengarkannya.
Rafka kembali melayangkan tatapan tajam nya ke arah Zerga, tetapi mengingat keadaan Abila yang baru saja terluka karena terkena air panas, membuatnya melupakan amarahnya terhadap Zerga dan tidak mempermasalahkannya untuk saat ini.
"Jangan berani-berani gabung ke tim gua!." Kata Zerga memperingatkan. "Gua ngga main-main, Rafka!."
Rafka hendak membalas, tetapi Abila mempererat cengkeramannya sembari menggelengkan kepalanya, seakan memberikan kode agar Rafka tidak menanggapi omong kosong Zerga. "Please, ayo pulang!." Kata Abila kemudian, lantas menarik tangan Rafka.
Rafka tidak punya pilihan lain selain ikut pergi bersama Abila. "Dia itu bener-bener kurang ajar!." Rafka menggeram kesal begitu mereka berdua keluar dari apotek tersebut. "Kenapa lo nyegah gue tadi?."
"Karena bunda pasti ngga mau kamu terluka, Rafka!." Jawab Abila mengingatkannya.
Tetapi Rafka terlihat benar-benar sedang kesal. Dia menendang batu karena marah.
"Kamu ngga boleh marah, kamu harus tenang." Abila kembali buka suara, bermaksud menenangkan Rafka.
"Gimana gue bisa tenang kalau dia yang selalu mulai duluan? Dia selalu nyari gara-gara sama gue!." Tanya Rafka dengan nada tingginya. "Gue cuma... gue cuma berharap dia pergi!."
Abila mengulurkan tangannya untuk menepuk kepala sahabatnya itu. "Jangan biarin dia ganggu pikiran kamu." Katanya. "Dia itu brengsek!."
"Lo tau, lo harus bener-bener memperbaiki kata-kata umpatan lo yang jelek itu." Rafka terkekeh geli, meskipun dia sedang marah. "Lo masih terlalu kaku dan polos."
"Rasanya aneh aja kalo aku jadi seliar kamu." Gumam Abila
"Tapi itu yang gue suka dari lo, Abila." Kata Rafka mulai mangaku. "Lo itu beda dari gadis yang lain. Lo naif dan polos." Tangan Rafka terangkat dan menoel pipi Abila.
Sementara Abila memberinya senyuman kecil, tidak menyadari tatapan dan maksud dari perkataan Rafka.
"Sebenarnya.... Zerga ngomong apa sih? Kok kamu sampe marah banget tadi?." Abila menunduk memperhatikan trotoar yang mereka lewati.
Rahang tegas Rafka terkatup rapat, namun dia tetap buka suara. "Biasa... dia terlalu songong." Jawabnya. "Tapi lo tenang aja, ini bukan masalah besar."
Abila ingin bertanya lebih banyak, tetapi raut wajah Rafka terlihat bahwa dia sedang tidak ingin membicarakan Zerga.
Sementara itu di belakang mereka, seseorang ternyata sedang memperhatikan interaksi mereka berdua.
Zerga, lelaki itu mengamati gadis mungil yang berjalan bersama dengan saingan terbesarnya. Kebencian terhadap Rafka sangat dalam dan siapa pun yang berada di dekat Rafka akan menghadapi kemarahannnya.
"Abila Beyza Auliandra." Gumam Zerga. Perlahan dia berbalik dan berjalan menuju mobilnya.
Di dalam kepalanya, Zerga tengah sibuk memikirkan cara menjauhkan Rafka dari timnya.
"Abila, sayang... kenapa bunda perhatiin dari tadi kamu cuma bengong aja?." Tanya Ida, saat wanita paruh baya itu sedang menyiapkan sarapan sembari memperhatikan Abila. "Kamu baik-baik aja kan, nak?."
"Eh, Abila baik-baik aja kok, bunda." Jawab Abila, berbohong. Gadis itu tidak bisa tidur semalam, karena entah mengapa momen saat Zerga menciumnya masih terngiang-ngiang di kepalanya. Abila merasa bingung apakah ia harus bercerita pada Rafka dan Ida atau tidak mengenai hal itu. Tetapi, setelah mengingat ketika Rafka hampir berkelahi dengan Zerga karena hal sepele, membuat Abila akhirnya memutuskan untuk merahasiakannya, daripada membuat dua lelaki itu bertengkar.
Tetapi Abila kesal karena ia tidak bisa melupakan momen tersebut. Abila merasa malu pada dirinya sendiri karena tidak mampu menolak Zerga saat lelaki itu menciumnya. Tangannya gemetar setiap kali Abila memikirkannya dan jantungnya berdetak terlalu cepat. Abila menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya di balik rambut panjangnya saat dia tengah memakan sereal buatan Ida.
"Rafka, apa kamu yang udah bikin Abila kesal?." Ida menoleh dan bertanya pada putra semata wayangnya.
"Apa? Ya enggalah, bunda! Abila diem aja karena tangannya masih sakit." Jawab Rafka.
Ida menghela napasnya sembari menyesap teh hangatnya. Meski usianya sudah 30an tahun, dia terlihat jauh lebih muda dari usianya. Wanita paruh baya itu memiliki wajah yang mirip dengan putranya, memiliki rambut pirang dan kepribadian yang menawan. Hampir tidak ada kerutan di wajahnya dan senyumnya selalu terlihat berseri-seri. Ida menjaga dirinya dengan cukup baik, bahkan banyak wanita yang tinggal di sekitar rumahnya merasa cemburu karena awet mudanya, setiap kali Ida berjalan melewati mereka. Tetapi Ida tidak perduli akan hal itu.
Baginya yang terpenting hanyalah keluarganya.
Ida memiliki usaha sebuah toko yang menjual alat musik dan yang juga menyediakan tempat karoke di daerah tersebut, satu-satunya di daerah mereka. Sangat mandiri dan protektif, Ida membesarkan putranya sendirian dan kemudian di tambah mengasuh Abila.
Rafka tidak tahu siapa ayahnya dan Ida juga tidak pernah membicarakannya pada siapa pun. Satu-satunya hal yang orang-orang tahu Ida adalah seorang ibu yang tidak menikah dan Ida sendiri bangga akan hal itu.
"Abila, apa hari ini kamu kerja?." Tanya Ida.
"Ngga, bunda. Hari ini, aku cuma ngajar les di depan gedung tk harapan."Jawab Abila.
"Bagus, kalau gitu. Apa Bunda boleh minta tolong? Tolong anterin parsel ke rumah pak Anton, kan kamu nanti ngelewatin." Pinta Ida. "Pak Anton kemarin bilang mau beli gitar buat Fadli, tapi ngga ada satu pun dari mereka yang bisa dateng ke toko karena ada pekerjaan. Jadi mereka minta gitarnya di kirim ke rumah mereka."
"Oke deh, bunda." Abila tersenyum. "Nanti setelah pulang sekolah, Abila pasti nganterin gitar itu ke rumah pak Anton."
"Terima kasih, sayang. Hari ini bunda mungkin pulangnya agak telat karena ada band yang bermain di di ruang musik dan tempat itu akan penuh." Kata Ida.
"Apa bunda perlu bantuan?." Tanya Rafka. "Nanti pulang sekolah, aku bisa mampir ke tempat bunda."
"Ngga, kamu kan ada janji latihan basket sama temen-temen kamu." Jawab Ida. "Bunda bisa kok atur semuanya."
Abila dan Rafka diam-diam saling berbagi pandang, keduanya merasa khawatir karena Ida akhir-akhir ini terlihat seperti kelelahan, mereka berniat akan membelikan sesuatu untuk Ida agar rasa lelah wanita itu sedikit terhilangkan.
Abila meraih tasnya dan berangkat ke sekolah bersama Rafka.
Sekolah hanya berjarak singkat ketika mereka menaiki bus. Siswa-siswi terlihat sudah banyak yang berangkat, beberapa dari mereka asyik mengobrol sembari berjalan menuju kelas mereka masing-masing. Ini adalah hari pertama Abila, Rafka dan yang lainnya sebagai senior. Dan Abila sangat bersemangat untuk mengetahui lebih banyak tentang kelasnya yang baru. Rafk berjalan di samping Abila, mengobrol dengannya tentang jadwal kelas mereka. Tetapi beberapa gadis justru memberikan tatapan genit mereka pada Rafka yang sayangnya, dia hampir tidak menyadari hal itu.
"Kita punya jadwal kelas kimia bareng." Kata Abila. "Cuma itu aja."
"Dan aku punya waktu kosong di jam 12 siang." Jawab Rafka. "Kalau kamu gimana?."
"Jadwal pelajaran kita sama, tapi di jam yang berbeda, Rafka Shankara Arsala." Kata Abila mengingatkan.
"Yahh... ngga seru dong!." Seru lelaki itu.
Jawaban Abila sedikit membuat Rafka kecewa, karena itu artinya mereka tidak bisa berada di kelas yang sama dan hal itu akan terasa sangat membosankan baginya.
"Ya udah kalau gitu gue ke kelas dulu ya." Pamit Rafka. "Bye, Abila." Rafka berlari menuju kelas pertamanya.
Sementara Abila melambaikan tangannya dan berbalik untuk berjalan menuju lokernya. Yang mengejutkannya, ternyata ada kerumunan orang yang berkumpul di sekitar lokernya. Mereka sepertinya sedang saling berbisik dan menunjuk ke arahnya.
"Dia bener-bener cewe murahan!." Salah satu siswi terkikik saat memperhatikan Abila.
"Lo bener, dia pasti udah bikin Lyoraa marah besar."
Abila menjadi bingung dan dia mencoba menerobos kerumunan itu agar bisa sampai ke lokernya.
"Permisi." Kata Abila kepada siswi-siswi itu dan akhirnya dia bisa berdiri di depan lokernya. Tetapi dia terkejut saat mendapati bahwa lokernya telah di rusak!
Cat berwarna hijau mengotori buku-buku miliknya yang di simpan rapi di dalam loker tersebut, dan di tambah sebuah kata "Pel4cur!" yang di semprotkan di seluruh pintu lokernya.
Abila tercengan melihat pemandangan itu. Tetapi orang-orang di sekitarnya hanya sibuk mengejeknya dengan berbisik.
"Eh, dia itu bukannya yang selalu jalan bareng sama Rafka, ya?."
"Gue denger sih dia bikin Lyoraa marah karena dia udah berani godain Zerga!."
"Hah, dua cowo keren itu sekaligus? Gila!."
Jantung Abila berdebar kencang dan dia tiba-tiba merasa seakan tercekik. Dengan bergegas, Abila berjalan pergi, dia terlalu malu untuk menghadapi mereka. Abila tidak tahu kemana dirinya harus pergi, tetapi ia terus berjalan menuju tangga darurat dan berlari naik ke atas hingga mencapai rooftop.
Begitu sampai di rooftop, Abila menutup pintu belakangnya dan berjalan ke pinggir pagar sembari menangis tersedu-sedu.
Sepanjang hidupnya, Abila berusaha untuk tetap menundukkan kepala dan bekerja dengan tenang sehingga orang-orang akan meninggalkannya sendirian. Ia tidak ingin diintimidasi oleh orang lain atau bersikap terlalu ramah hingga di manfaatkan oleh orang lain. Fokusnya hanyalah mendapatkan nilai yang bagus dan menjalani kehidupan yang relatif damai.
Setelah orang tuanya meninggal dalam kecelakaan, Abila mengurung dirinya dalam kesendirian, dimana hanya beberapa orang saja yang di izinkan hadir dalam hidup dan sekitarnya.
Tetapi sekarang, ia tiba-tiba menjadi pusat perhatian dan ia tidak bisa berhenti merasa panik. Lyoraa telah mengira bahwa dirinya yang sudah mencuri perhatian Zerga darinya, padahal kenyataannya Zerga tiba-tiba menciumnnya.
Abila terisak sendirian, stres karena ciuman itu dan menindas terlalu banyak untuk ia pahami.
"Lu itu ngga punya kerjaan lain selain nangis ya?."
Abila terkejut ketika tiba-tiba mendengar suara berat Zerga dan berbalik, melihat sekelilinya. Lelaki itu terlihat tengah berbaring diantara kursi yang di jejer.
"A-aku..." Abila tergagap, gugup di bawah tatapan dingin Zerga yang mengarah padanya.
"Kasihan banget." Kata Zerga sebelum akhirnya bangkit.
Rambut halusnya hampir bersinar di bawah terik matahari. Baju seragam yang Zerga kenakan tidak di masukkan dan dasinya juga sedikit di longgar kan, tetapi meski dengan pakaian yang berantakan seperti itu, Zerga tetap terlihat begitu tampan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!