Dentuman keras suara musik yang mengentak, seiring dengan gerakan energik dari ratusan pengujung sebuah klub malam memancing semangat di dada Ranti dan teman-temannya. Mereka masuk dengan dada bergemuruh dan energi yang tersuntik oleh semangat dari orang-orang di sekeliling ruangan. Ratusan manusia berjoget, berseru, bernyanyi sambil mengangkat gelas minuman ditangan.
Hotel mega bintang Phoenix sudah terkenal dengan fasilitas lounge dan klub yang tidak ada bandingannya dengan hotel mewah terkenal lainnya di kota Jakarta. Banyak pesaing bisnis yang berusaha menjalin hubungan baik dengan Hotel Phoenix demi dapat mencuri ide dan sistem pelayanan rahasia di perusahaan tersebut, tetapi sang CEO selalu menutup diri. Hal tersebut memancing banyaknya pesaing bisnis yang iri dan tak sedikit pula yang berusaha menjatuhkan, hanya saja usaha seperti itu tak pernah mampu menggoyah Hotel Phoenix yang semakin tahun semakin berdiri tegak dengan segala kemegahannya.
Ranti Mila, masih gadis, berusia genap 24 tahun pada malam ini. Dia adalah salah satu karyawan di hotel tersebut, memegang jabatan yang menjadi salah satu ujung tombak perusahaan, yakni Manajer di bagian food dan beverage. Sebagai hotel mega bintang, tentu makanan menjadi kunci daya tarik utama selain kenyamanan kamar itu sendiri. Ranti bertugas menyeleksi ribuan porsi menu makanan yang akan disajikan pada tamu-tamu kehormatan, dan itu dia lakukan setiap hari. Bersama dengan seorang dokter ahli nutrisi, Tisya, yang merupakan adik dari orang nomor satu di hotel tersebut. Ranti dan Tisya pun menjadi rekan yang tak pernah berpisah barang satu hari saja, bahkan saat cuti, walaupun waktu cuti sangat sulit mereka dapatkan, itu karena sistem ketat yang diatur oleh sang pemimpin.
“Ran, malam ini kan ulang tahunmu, sekali-kali minum lah…” Noah merangkul bahu Ranti yang masih terbalut baju kerja. Laki-laki berusia 30 tahun itu berbicara sambil terus menggoyangkan kepalanya mengikuti alunan musik disko.
Ranti mengerutkan kedua alisnya, bukan soal tawaran minum dari Noah, tetapi suara musik itu sudah mulai mengusik telinganya hingga merasa tak nyaman. Padahal mereka berempat baru saja masuk ke dalam sana beberapa menit yang lalu.
Tak mendapat sahutan dari gadis yang dirangkulnya, Noah memiringkan kepala, melirik Ranti yang tubuhnya hanya setinggi bahu Noah. Dilihat dari jarak sedekat itu, rambut panjang Ranti yang di ikat kuncir kuda membuat leher jenjangnya terekspose sempurna, ditambah kacamata bening yang bertengger dihidung mancungnya, membuatnya terlihat ‘seksi’. Entah itu karena Noah memang sejak lama sudah tertarik padanya, atau memang karena suasana remang-remang di dalam sana yang memancing pikiran liarnya, Noah pun menelan ludahnya susah payah.
“Guys, itu meja kita!”
Ranti, Noah dan Tisya serentak menengok ke kiri, ke arah Rico yang menunjuk salah satu sudut ruangan.
“Gelap banget di situ,” ucap Ranti, karena berkata dengan nada rendah maka teman-temannya pun tak ada yang menyahut. Dia juga tak bisa menolak, sebab Noah sudah menarik tubuh mungilnya menuju lokasi yang sudah dipilih oleh Rico.
Di sudut sana terdapat sofa setengah lingkaran dengan meja panjang di depannya, lalu ada satu buah sofa tunggal di seberangnya. Sofa itu bisa diduduki sekitar empat hingga lima orang, tetapi Noah memilih duduk di sofa tunggal. Rico sendiri belum duduk, sebab masih sibuk berbincang dengan seorang laki-laki yang berpakaian urakan, mirip berandalan menurut Ranti ketika dia memperhatikan. Rico melakukan tos ala mereka dengan laki-laki itu, anehnya harus ada gerakan adu pinggul sebagai penutup. Lagi-lagi Ranti mengerutkan kedua alisnya, biasanya Rico selalu macho dalam kesehariannya, tapi malam itu ada sisi lain yang tampak. Namun, ketika Ranti menengok ke arah Tisya, dia melihat gadis itu malah tertawa gemas menatap Rico dan temannya. Ranti pun memutar bola matanya. Sebagai sahabat, tentu dia sudah tahu bahwa Tisya menyukai Rico sejak lama, tetapi itu adalah sebuah rahasia yang harus dijaga.
Rico memiliki jabatan penting di hotel, yakni pemimpin nomor dua sebagai wakil direktur. Dia dan Noah sangat akrab, mereka sudah menjadi sahabat tiga serangkai semenjak berkuliah, dengan satu personil terakhir yaitu sang CEO yang tak pernah bisa diajak berkumpul bersama, karena laki-laki itu sangat gila kerja dan tak suka keramaian. Tetapi jika sedang dalam suasana rapat, laki-laki itulah yang paling mendominasi.
Sedangkan Noah adalah seorang programmer, dia bertanggung jawab pada seluruh data rekaman pengawasan dan sistem keamanan komputer seluruh karyawan.
Mereka berempat sangat sibuk setiap harinya, posisi masing-masing memiliki tanggung jawab yang besar juga. Untuk bisa berkumpul di saat seperti sekarang, mungkin hanya bisa terjadi sekali dalam satu bulannya atau bahkan tidak.
Akan tetapi, baru kali ini mereka memutuskan untuk mendatangi klub di hotel mereka sendiri. Ternyata di dalam sana cukup liar, hingga Ranti takjub, padahal tamu hotel biasanya datang dengan setelan jas. Namun, di dalam sana semuanya berpakaian bebas dan berjoget tanpa peduli pada jabatan.
Ranti melirik arloji di pergelangan tangan kirinya, sudah pukul dua belas tepat, itu artinya saat itu usianya sudah menjadi 24 tahun. Ada senyum tipis di bibir pink-nya, tersadar bahwa semakin meningkatnya usia maka semakin besar juga tanggung jawab dalam hidupnya.
“Sorry, guys! Nunggu lama, kenalin ini Aoki, dia bartender kita,” ucapan Rico itu mengembalikan fokus Ranti.
Laki-laki bernama Aoki itu melayangkan senyumannya, Ranti hanya menganggukkan kepala singkat tanpa berniat bersalaman. Itu memang sudah menjadi prinsip Ranti, dia hanya akan berinteraksi pada laki-laki yang sudah dia kenal saja.
“Hai, aku dengar dari Rico kalau malam ini ulang tahun kamu, jadi aku sudah siapkan minuman spesial,” Aoki sedikit membungkuk saat berbicara, agar suaranya dapat terdengar jelas oleh Ranti dan kawan-kawannya.
Tak lama kemudian ada dua orang laki-laki yang datang membawa dua nampan besar, satu berisi beberapa buah gelas kaca, dan satu lagi berisi mangkuk aluminium dengan sebuah botol besar yang dibungkus oleh es batu di atasnya.
“Woaa, tequila, Bro!” Noah langsung menyambut botol itu dengan antusias. Dia juga langsung melakukan tos dengan Aoki, kemudian berbisik-bisik sejenak sambil tertawa. Kemudian Aoki pergi.
“Kak Rico, kenapa tequila?” tanya Ranti, lebih pada protes sebenarnya, dia tidak suka jika harus mabuk.
Tisya menoleh, kemudian bertanya pada Ranti, “bukannya kamu sering minum cocktail di sebelah?” pertanyaannya ini diangguki oleh Rico, membuat Tisya mengulum senyumnya.
“Cocktail itu kadar alkoholnya Cuma sekitar 5%, nggak akan bikin aku mabuk,” sahut Ranti.
Di sebelah yang dimaksud oleh Tisya adalah lounge, yang letaknya hanya dibatasi oleh dinding dengan club itu. Lounge berbeda dengan club, perbedaannya terletak pada suasana ruangan yang lebih teratur dan tidak berisik meskipun minuman alkohol juga tersedia, tempat itu digunakan sebagai lokasi pertemuan para orang penting jika menginginkan pertemuan yang tidak terlalu formal. Sebagai Manajer food dan beverage, Ranti sangat sering masuk ke sana untuk mengatur sajian makanan para tamu yang akan melakukan pertemuan. Tak jarang juga dia harus mencicipi cocktail dengan sedikit campuran vodka demi menghargai tamu penting. Namun, cocktail hanya berisi campuran minuman rendah alkohol sehingga tidak lebih seperti minuman manis biasa.
“Tenang, ada Noah disini yang bakal jagain Ranti!” Noah menepuk dadanya sambil tersenyum nakal.
“Nggak lucu,” Ranti pun tertawa.
“Untuk bertambahnya usia teman kita, sahabatku, Ranti! Woaa!” Tisya mengangkat gelas yang sudah dituangi minuman, diikuti oleh Rico dan Noah.
Mau tak mau Ranti juga mengangkat gelasnya, tapi tak berniat meminumnya. Dia hanya tertawa melihat ketiga temannya menghabiskan isi gelas masing-masing.
“Minum! Minum! Minum!”
Tisya, Rico dan Noah mulai menyemangati Ranti agar meminum minumannya. Ranti tersenyum sambil menggeleng kemudian meletakkan gelas itu ke atas meja.
“Huuuuu…”
Mereka menyorakinya, kemudian kembali menambah isi gelas yang telah kosong. Setelah dua kali minum, mereka kembali menyemangati Ranti.
“Kami sudah minum dua, kamu yang ulang tahun kenapa kami yang minum, sih?” ucap Tisya. Ranti melihat wajah Tisya yang memerah, tetapi belum ada tanda-tanda mabuk.
“Aku nggak mau mabuk,” sahut Ranti setengah berteriak.
“Kalau Cuma minum satu gelas mana bisa mabuk, Ranti…” sambung Tisya gemas.
“Tenang, ada Rico si anti mabuk di sini, aku yang antar kamu pulang, janji!” Rico menimpali sambil menepuk dadanya. Rico memang kuat minum dan sangat jarang mabuk, Noah saja kalah dengannya.
Tisya mengangguk mendukung Rico, “kalau dia macam-macam kakakku nggak akan tinggal diam, hahaha!”
Setelah didesak berkali-kali, Ranti merasa tak enak juga, dia juga sudah bukan remaja lagi, selain itu dirinya yakin bahwa jika hanya satu gelas tidak mungkin akan menumbangkannya. Akhirnya tanpa ragu, dia pun meraih gelas miliknya dan meminum isinya hingga tandas tanpa jeda.
“Yeah! Itu baru Ranti!”
Ketiga temannya bersorak senang, mereka tertawa sambil bercerita berbagai hal. Ranti juga semakin bersemangat, bercakap bersama dalam suka cita. Hingga beberapa menit kemudian, kepalanya tiba-tiba berdenyut dan pandangannya menggelap.
“Ran, bangun, nanti kamu telat…”
“Sarapan kamu ada di meja, ya…”
Di telinga Ranti terdengar suara sang ibu yang setiap paginya selalu membangunkan dirinya dengan lembut.
“Iya, Bu, em…”
Suara Ranti sedikit teredam karena dia tertidur dalam posisi tertelungkup, ketika mengucapkan kata terakhirnya tiba-tiba dia tersadar dari tidurnya.
Kedua matanya menyipit, melirik ke arah meja yang seharusnya menjadi tempat dia meletakkan ponselnya. Namun, setelah memperhatikan sejenak, sepertinya ada yang aneh.
“Tunggu, ini…”
Ranti mengangkat kepalanya, melihat ke sekitarnya yang tampak asing, ini bukanlah kamarnya!
“Akh... Sial!”
Ketika dalam posisi duduk, kepalanya kembali berdenyut, persis seperti yang semalam dia rasakan, ketika dia pingsan. Mengingat hal itu sontak saja Ranti membeku, dia mengangkat kedua tangannya, memegang kepalanya dan malah membuat selimut yang sejak tadi membungkus tubuhnya terlepas. Saat itu Ranti menunduk, dan semakin terkejut ketika melihat dadanya terbuka lebar tanpa sehelai benang pun.
“Apa yang terjadi? Kenapa aku telanjang di kamar asing?”
Ranti mulai panik, nyatanya ibunya tak ada di sana, tak ada siapa pun di sana, yang tadi dia dengar hanyalah suara dalam mimpi. Bergegas dia mencoba turun dari atas ranjang asing itu, tetapi sesuatu terasa aneh.
Ranti merasakan pegal di area intimnya, membuatnya menundukkan kepala dan dibuat tercengang saat melihat sebuah bercak merah tepat di bawahnya. Tanpa harus bertanya lagi, dia tahu apa yang sudah terjadi pada dirinya, dia pun berteriak dengan wajah yang frustasi.
“Ibu…!”
Ranti mencoba mencari barang-barang miliknya. Masih dalam keadaan marah dan frustasi, dia nyaris muntah karena tekanan emosi di saat melihat pakaiannya berserakan di atas lantai.
“Ini benar-benar gila, nggak bisa dibiarkan!” suaranya bergetar sembari mengenakan seluruh pakaiannya dengan gerakan cepat. Pakaian yang sama seperti yang ia pakai semalam. Sampai dengan id card miliknya pun tergeletak pasrah, Ranti merampasnya dengan sekuat tenaga kemudian mengalungkan ke lehernya.
Kacamatanya sudah tidak ada, dan dia merasa tak punya waktu untuk mencarinya. “Persetan dengan kacamata! Eerrgghh!”
Ranti tidak tahu saat itu dia sedang berada di dalam kamar siapa, kamar itu luas bahkan tiga kali lebih besar dari kamar miliknya. Ya, seluruh eksekutif perusahaan mendapatkan jatah kamar di hotel mewah tersebut, dengan fasilitas kelas 1, Ranti tentu saja mendapatkan kamar serupa. Meski dia jarang menginap di kamar tersebut karena lebih suka tidur di rumah orang tuanya, lebih tepatnya rumah peninggalan mendiang sang ayah. Satu yang dia yakini, bahwa dirinya masih berada di hotel dan kamar itu pastilah milik pimpinan hotel yang tidak terpakai.
Entah kenapa Ranti jadi membayangkan wajah Arion, CEO muda yang menjadi pemimpin mereka di Hotel Phoenix, bagi Ranti yang sudah bekerja selama dua tahun di sana, sosok Arion yang di mata semua orang penuh dengan kesempurnaan itu, tak lain hanyalah sosok angkuh, pelit, dan terkadang Ranti menyebutnya ‘gay’.
Bukan tanpa alasan, itu karena Arion tak pernah terlihat menjalin hubungan dengan wanita, bahkan Tisya adiknya sendiri mengatakan bahwa kakaknya itu sering kali menolak perjodohan yang dilakukan oleh keluarganya.
Saat ini Ranti sudah berhasil keluar dari kamar President Suit tersebut, dengan perasaan gelisah dan jantung yang berdebar-debar, dia melangkah pelan sambil mengapit blazer di kedua tangannya. Ranti berjalan mengendap-endap seperti maling, mengamati sekitarnya takut jika sampai ada yang melihatnya dalam keadaan berantakan seperti itu. Dia sempat menoleh ke arah pintu kamar tadi, mengamati nomor kamarnya yang memang bukan kamar milik Arion.
“Kalau sampai ini kamarnya, bisa mati berdiri aku, lagian Ranti, kok bisa kamu ada di dalam situ?” Ranti bergumam, dia gemas dan kesal sekali. Dia berhenti sejenak, menutup kedua mata dan mencoba mengingat kejadian semalam. Sayang, tak ada satu pun potongan ingatan yang terlintas.
Mendesah panjang, dia pun melanjutkan langkahnya. Semakin jauh dia melangkah semakin dia tahu bahwa saat itu dia sedang berada di puncak gedung, lantai 100. Sebenarnya kamar Arion ada di lantai yang sama, tetapi Ranti pernah beberapa kali ke sana, dan di tempat dia berdiri saat itu tampak berbeda.
“Kenapa aku belum pernah kesini? Seharusnya belokan kanan ini ruang gym punya Tuan Arion, kan?”
Benar saja, ketika Ranti berbelok ke kanan, tampak dinding setengah kaca di sebelah kanannya yang di dalamnya berisi peralatan olahraga kelas atas. Tampaknya ada orang di dalam sana, karena telinga Ranti mendengar suara samar. Semakin dia melangkah semakin jelas suara itu.
“Kamu itu dokter malah pergi mabuk, kalau aku beritahu Mama bisa ditendang kamu ke Amerika sekarang juga.”
“Ya, Kakak jangan bilang, dong! Lagian ya, Tisya sudah se-gede ini juga masih dilarang.”
Ranti menghentikan langkah kakinya. “Kayak suara Tisya,” gumamnya seraya menajamkan pendengarannya.
“Kamu tahu artinya integritas, kualitas, dan harga diri? Coba jawab sekali lagi, aku bisa cabut gelar doktermu itu!”
Di luar ruangan itu, Ranti membulatkan kedua matanya, dia hafal suara itu. “Pasti Tuan Arion lagi marahin Tisya karena semalam.” Ketika Ranti menengok ke arah kaca, tiba-tiba kepala Arion bergerak ke arahnya membuat Ranti terkejut dan sontak duduk untuk bersembunyi.
Tatapan tajam itu, alis hitam tebal dan tegas serta raut wajah dinginnya.
Hening sejenak, Ranti menggigit bibir bawahnya sambil berdo’a, “Semoga nggak ada yang lihat aku…” Kemudian, sambil merangkak Ranti melarikan diri dari sana.
---
Beberapa saat kemudian, Ranti sudah berada di dalam kamarnya. Dia baru selesai mandi dan kini menatap pantulan dirinya di depan cermin. Wajahnya tampak lesu dan frustasi, mendapati kenyataan bahwa dirinya telah ternoda dan parahnya dia tidak tahu siapa laki-laki yang dengan tega merenggutnya.
“Dasar brengsek! Kenapa aku nggak ingat sama sekali? Noah kah? Atau Rico?” Ranti mendesah panjang kemudian meraup wajah dengan kedua tangannya.
“Ibu, maafkan anakmu ini…”
“Oh Tuhan, gimana kalau aku tiba-tiba hamil? Ibu pasti kecewa.”
Berbagai macam pikiran buruk dan rasa bersalah memenuhi isi kepalanya. Dalam pikiran Ranti kalau bukan Noah dan Rico lalu siapa lagi?
“Aku harus tanya ke Tisya, apa yang terjadi habis aku pingsan tadi malam? Kalau memang salah satu dari Kak Noah sama Kak Rico pelakunya, awas saja!”
Ranti mengepal erat kedua tinju kecilnya, selama berteman dengan dua lelaki itu tak pernah sekalipun mereka berbuat kurang ajar pada dirinya. Dua tahun bekerja bersama mereka, dua lelaki itu selalu profesional, jika bercanda pun pada porsinya. Noah memang terkesan genit pada semua karyawan wanita di hotel, tetapi tidak padanya.
Tiba-tiba Ranti ingat pada kejadian di mana Noah berbisik dengan Aoki di klub semalam, membuat kedua mata Ranti bergerak-gerak.
“Apa ini memang sudah direncanakan Kak Noah?”
Kemudian dia menggeleng cepat. “Jangan nuduh dulu tanpa bukti, kalau aku tiba-tiba tanya soal ini dan dia bukan pelakunya, bisa-bisa aibku terbongkar.”
Ranti melirik ke arah jam dinding, saat itu sudah pukul setengah 10 pagi, di mana jam kerjanya dimulai pada pukul 10 pagi dan selesai pada pukul 8 malam.
Ranti adalah pekerja yang sangat on time, tidak pernah satu kali pun terlambat sehingga daftar absennya selalu sempurna. Selain itu dia juga adalah seorang gadis pekerja keras, totalitas dan serba bisa.
“Masih ada waktu setengah jam lagi, gimana kalau aku ke ruang security, buat ngecek rekaman cctv di klub semalam. Ayolah, Ran, lakukan diam-diam dan nggak akan ada orang yang tahu.”
Setelah yakin dengan rencananya, Ranti bergegas meninggalkan kamarnya. Tujuannya adalah ke lantai bawah, satu tingkat di bawahnya. Di lantai 90 merupakan area pusat pengawasan hotel secara menyeluruh, lokasi yang menjadi kekuasaan Noah.
Baru saja keluar dari pintu lift, pemandangan dari orang-orang yang sibuk lalu lalang menyambut Ranti. Hal tersebut sudah lumrah terjadi di lantai tersebut, karena setiap monitor yang mengawasi lantai 1 hingga puncak gedung tidak boleh sedikit pun lepas dari pantauan. Begitu pula jika terjadi sistem eror, maka dalam hitungan menit saja semua harus bisa dikendalikan.
Ranti menelan ludahnya, mengatur napas berulang kali, lalu fokus menuju ke ruangan asisten Noah, yang letaknya berada di sebelah ruangan Noah sendiri. Ranti lebih memilih untuk menemui Andi, agar bisa lebih mudah mencari alasan ketimbang berhadapan dengan Noah.
Tak lama kemudian, kedua kaki mungilnya sampai juga di pintu yang dituju. Ranti mengangkat satu tangannya kemudian mengetuknya, sambil berdoa dalam hati agar tidak ada Noah di dalam sana.
Suara kenop pintu diputar pun terdengar, seiring juga dengan suara tegukan ludah dari Ranti. Jika sampai ada Noah di dalam sana, Ranti benar-benar belum siap untuk menjelaskan alasan dirinya datang ke sana.
Daun pintu pun terbuka, menampilkan wajah matang Andi yang langsung tersenyum pada Ranti.
“Mbak Ranti? Kok tumben datang kemari? Ada apa, Mbak?” tanya Andi ramah, meskipun mereka jarang bertemu tetapi di setiap rapat penting di akhir bulan dia dan Ranti berkesempatan bertemu, sehingga Andi cukup mengenal Ranti.
Gugup, itu yang Ranti rasakan saat ini, kedua telapak tangannya pun sampai berkeringat. “Euh, Pak Andi apa kabarnya?” tanyanya basa-basi.
Andi, pria matang berusia 40 tahun itu sedikit mengernyit tapi tidak berpikir macam-macam, dia lantas menjawab santai, “Baik, Mbak. Mbak Ranti sampai datang kesini memangnya ada yang bisa aku bantu?”
“Oh, aku mau cek cctv di lounge tadi malam, Pak Andi. Bisa?” Ranti berucap dalam satu tarikan napas.
Dia terpaksa mencari alasan menggunakan lounge sebab posisinya bersebelahan dengan klub, dia juga yakin bahwa Andi tidak akan keberatan karena pria itu tahu bahwa lounge termasuk area kerja Ranti juga.
Benar saja, tanpa ragu Andi menganggukkan kepala. “Boleh, Mbak. Mau cek yang jam berapa? Biar aku bantu cari,” ucapnya setelah mempersilakan Ranti masuk.
“Ah, nggak usah, Pak Andi, aku bisa sendiri kok.” Ranti menjawab cepat kemudian menggigit bibir bawah bagian dalamnya. Dia sungguh merasa gugup sekali, seperti sedang ketahuan mencuri.
“Kalau dia sampai lihat aku malah ngecek kamera klub, bisa kacau semuanya…” batin Ranti.
Syukurnya, Andi cukup percaya, setelah mengarahkan Ranti pada layar khusus yang mengawasi area lounge, pria itu pun memilih untuk keluar, dia mengatakan ingin membuat kopi. Dia juga menawari Ranti dan gadis itu hanya bisa mengangguk cepat agar Andi cepat pergi dan urusannya juga bisa segera tuntas.
Hitungan detik bagaikan jam, Ranti mulai sibuk mengetikkan sepuluh jarinya di atas keyboard. Mengatur hari, tanggal dan waktu yang dia cari hingga pelipisnya berkeringat.
Namun sesuatu yang aneh terjadi, kening Ranti berkerut dalam. “Kenapa nggak ada rekamannya?”
Sekali lagi dia mencoba, mengulangi ketikannya dan lagi-lagi layar tidak menampilkan apa pun.
“Sial!”
Ranti berdiri sambil menggigiti ujung kuku jarinya. “Nggak, nggak mungkin Kak Noah yang hapus, kalau dia hapus itu artinya…”
“Apa yang aku hapus?”
Ranti berjingkat kaget dan langsung memutar tubuh ke belakang, di sana lelaki yang dia hindari pagi itu telah berdiri dengan senyuman yang entah kenapa kali ini Ranti tidak suka melihatnya.
Gugup, bingung dan malu jika sampai harus menjelaskan, tiba-tiba pesan singkat dari asisten Ranti menyelamatkannya di tengah kebingungan dalam mencari alasan di depan Noah. Nina, menanyakan keberadaannya karena namanya belum muncul didaftar absensi pagi itu. Ranti pun melangkah secepat kilat meninggalkan lantai 90 untuk melakukan absensi di lantai dasar.
“Sial, tinggal 5 menit lagi!” Ranti mendesis geram ketika masuk ke dalam lift, pagi ini dia merasa menjadi gadis yang sangat sial. Ah, tapi dia sudah bukan gadis lagi. Memikirkan hal itu, kepala Ranti langsung pening dan berputar-putar.
Gadis mana yang bisa merasa biasa saja ketika mendapati dirinya sudah tidak suci lagi dalam situasi ambigu seperti itu. Dalam bayangannya, tentu Ranti menginginkan momen lepasnya selaput dara itu dalam sebuah pernikahan yang indah bersama dengan sang pangeran pujaan jiwanya. Meski dia sendiri belum mendapatkan bayangan pangeran mana yang mau menikahinya.
Napas Ranti terengah seiring dengan suara hentakan cepat dari tumit sepatu pantofelnya. Hanya kurang dua menit lagi, akhirnya dia berhasil menempelkan sidik jari pada mesin absensi.
“Mbak Ranti tumben lama, biasanya juga nama Mbak ada di deretan atas yang paling rajin absen,” tegur Nina, salah satu asisten Ranti dalam divisi food dan beverage. Selain Nina, Ranti juga memiliki dua orang anggota team lagi, yakni Prilly dan Maya. Dari mereka berempat hanya Nina yang sudah menikah, usianya sama dengan Ranti, dia menikah karena terlanjur hamil duluan.
Ranti sedikit kikuk, biasanya dia selalu absen 15 menit lebih awal. Dia ingin memberi penjelasan, tetapi setelah berpikir lagi tentang sifat Nina yang gemar kepo itu, Ranti pun menutup mulutnya, alhasil pagi itu dia jadi sedikit pendiam.
Ranti memilih untuk melangkah duluan menuju lift, diikuti oleh ketiga team-nya di belakang. Ternyata tak jauh dari sana, ada Rico dan Tisya, mereka berdua juga menuju arah yang sama dengan Ranti. Ketika melihat Ranti, keduanya menyambut dengan senyuman. Namun, hanya senyuman biasa, karena sebagai petinggi perusahaan mereka terbiasa dengan aturan ketat yang mengharuskan menjaga sikap di depan bawahannya.
Ketiganya mulai berjalan beriringan, setiap langkah mereka selalu menjadi pemandangan indah dan kagum bagi karyawan lainnya. Selain paras mereka yang cantik dan tampan, posisi mereka yang terhormat pun telah diakui selalu berhasil menjaga kestabilan dari kesuksesan Hotel Phoenix.
Berita di dunia maya tak habisnya mengulik keberhasilan hotel tersebut sebagai hotel internasional yang paling banyak dipesan oleh pendatang dari luar negeri. Baik para wisatawan maupun para pebisnis tersohor hingga aktor mancanegara.
Wajar saja jika mereka semua harus bekerja ekstra demi menjaga nama baik tersebut agar tetap meroket, sehingga tak boleh ada waktu untuk bersenda gurau di dalam perusahaan.
Tiba di depan pintu lift khusus petinggi perusahaan, sekretaris Rico dan team Ranti segera memisahkan diri ke lift sebelahnya. Saat Ranti, Tisya dan Rico telah berada di dalam lift, tiba-tiba muncul seorang wanita berparas cantik dan berkulit eksotis memaksa masuk ketika pintu lift khusus tersebut nyaris tertutup.
“Anya! Kamu pasti terlambat, kan?” Rico langsung menegur asisten CEO tersebut.
Anya, wanita single berusia 29 tahun itu lantas mendelik, tak berniat menjawab. Anya adalah asisten Arion, posisi yang sangat tidak memungkinkan bagi dirinya untuk bersantai. Daripada pernah terlambat, Anya selalu tiba di hotel tepat pada pukul 7 pagi mengalahkan mereka semua, dan dia sudah harus berkeliaran dari lantai 1 ke lantai 99 demi memastikan laporan sesuai dengan yang dia terima untuk kemudian akan dia laporkan pada sang bos. Itulah kenapa Anya selalu terlihat lebih sibuk dibandingkan CEO mereka.
Setelah diam sejenak, Anya kemudian tersenyum lebar tetapi senyumnya terlihat sedikit menyeringai. “Ah, Ranti, selamat ulang tahun ya!” ujarnya lalu memeluk Ranti yang mungil.
“Makasih, Kak,” jawab Ranti yang pagi ini terlihat tidak semangat seperti biasanya.
“Gimana? Seru kan pesta kalian tanpa aku semalam? Di saat aku harus lembur dan menemui klien sampai jam 2 pagi. Padahal aku nungguin ada yang anterin satu gelas tequila,” sindir Anya.
Sehari sebelum rencana pesta di klub tadi malam, Anya tiba-tiba mengatakan akan datang terlambat sebab ada tamu penting dan Arion sedang berhalangan sehingga dialah yang menggantikan.
Ranti dan Tisya saling melirik. “Maaf, Kak, tapi kata Kak Anya kan mau nyusul?” tanya Tisya.
“Huh, menyebalkan, padahal aku yang pesan tequila itu ke Aoki. Aku udah niat banget pengin mabok tadi malam, eh malah Ranti yang mabok,” jawab Anya sebal. Anya adalah yang paling blak-blakan dari mereka semua.
Ranti terkejut, dia mengira kalau Rico atau Noahlah yang telah menyiapkan minuman itu, ternyata malah Anya. Membuat Ranti mengerutkan kedua alisnya.
Tak lama kemudian suara denting pintu lift terdengar, Anya menyenggol lengan Ranti dan berkelakar, “Ran, kamu kok jadi pendiam pagi ini? Masih hangover ya! Hahaha!”
Ranti semakin dibuat bingung, bagaimana Anya bisa tahu kalau dia mabuk semalam? Apa mungkin Anya juga tahu kalau dia dibawa ke kamar itu? Tiba-tiba Rico juga ikut tertawa ditambah Tisya juga, saking bingungnya Ranti sampai mematung menatap mereka satu persatu. Jika saja Tisya tidak menariknya keluar, mungkin mereka berdua jadi ikut naik juga ke lantai atas tempat ruang kerja Anya dan Rico.
“Kamu kenapa, Ran? Bengong aja,” tanya Tisya, setelah mereka keluar.
Isi kepala Ranti memang sedang tidak sinkron saat itu, di saat dia sedang diam-diam ingin mencari tahu siapa orang yang telah menidurinya, teman-temannya malah seperti mengetahui sesuatu dan membuatnya curiga.
Tak ada waktu lagi, Ranti harus menanyakan detail kejadian semalam pada Tisya.
Dia pun menarik lengan Tisya hingga tubuh mereka saling berdempetan. Sejenak, Ranti menyempatkan diri untuk mengawasi sekitar, setelah merasa situasi sepi barulah dia bertanya, “Tisya, ceritakan soal tadi malam. Semua rinciannya! Jangan ada satu pun yang terlewat!”
Nada bicara Ranti terdengar tajam, lebih seperti seorang detektif yang menginterogasi.
“Soal apa? Kamu mabuk? Aku kurang yakin, sih. Soalnya kamu lebih kayak pingsan, Ran,” sahut Tisya seraya terkekeh.
“Maksudmu? Terus, aku dibawa sama siapa abis itu?” tanya Ranti lagi tanpa basa-basi.
Tisya mengangkat kedua bahunya. “Waktu kamu pingsan, aku sempat kaget, terus aku langsung periksa nadimu, baik-baik aja, kayaknya kamu kecapekan. Waktu itu ada Pak Amir datang jemput aku, biasalah utusan Kak Arion, jadi aku terpaksa pulang duluan. Tapi aku nggak mau diantar pulang, jadi aku nginap di sini, pas pagi-pagi aku kena semprot sama Kak Arion, menyebalkan!”
Mendengar keluh kesah Tisya, Ranti menghela napas panjang, sedikit kesal, kenapa Tisya malah menceritakan perihal dirinya sendiri?
Alhasil Ranti gemas dan bertanya lagi, “Tisya, aku nanya soal aku, setelah itu aku gimana?” dia tidak mungkin bertanya kenapa dirinya terbangun dikamar asing.
Lagi-lagi Tisya mengendik. “Mana aku tahu, paling kalau bukan Kak Rico ya Kak Noah yang anter kamu ke kamar. Lagian kenapa kamu penasaran? Mereka nggak mungkin aneh-aneh, aku bakal laporin ke Kak Arion.”
Setelah berkata seperti itu, tiba-tiba Tisya menatap Ranti dengan waspada. “Kak Rico nggak ngapa-ngapain kamu, kan?” tanyanya curiga.
“Eh, nggak!” Dengan cepat Ranti menggelengkan kepalanya. Meskipun dia sendiri tidak tahu bagaimana kebenarannya, tapi dia tidak berbohong. Hanya saja dia merasa kecewa karena tidak mendapatkan informasi apa pun dari Tisya.
Dengan begini, Ranti terpaksa harus berpikir keras lagi. Mencari tahu tapi tidak ingin ada orang yang tahu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!