Kala itu, langit Mekah tampak sendu. Sesuai hati wanita cantik yang kini duduk bersimpuh di pelataran Masjidil Haram.
Ia datang membawa sejuta luka yang menghiasai dinding hatinya. Tubuhnya bergetar, membiarkan air matanya perlahan luruh. Sorot matanya sayu, merasakan kegagalan yang tak kunjung usai dalam hidupnya.
Ia datang dari negri sebrang, bermunajat dihadapan sang pencipta, menghempaskan semua beban yang menyandera jiwanya.
Ialah Jesica Fenderika Doms.
Dibawah bangunan persegi empat, dengan mimbar hitam menyelimuti sisinya. Dibawah langit Mekah, tidak peduli gerimis menusuk abaya hitamnya.
Berstatuskan Janda namun mahkota belum sepenuhnya terjatuh, wanita cantik itu menumpahkan semua sesak, karena kehidupan indah tidak berlaku untuknya.
Siapa yang tak kecewa. Demi cintanya kepada sang mantan suami dulu, ia rela mengikis jarak, menghampiri sang kekasih dengan penuh perjuangan. Bahkan, wanita cantik itu rela berpindah agama, demi mendapat restu dari mantan mertuanya dulu.
Namun, begitu semuanya telah siap. Wanita malang itu terasingkan oleh kekasihnya sendiri. Pernikahan pun telah berlangsung pada saat itu. Namun, semuanya hanya diatas kertas buku negera. Ia masih asli, tidak pernah terjamah sebelumnya.
Jesica Doms. Wanita cantik berusia 28 tahun, Janda dari Batian Draill Atamja. Siapa yang tak kenal dengan pengusaha muda sukses itu. Akan tetapi, Jesica terpaksa mengalah dan merelakan suaminya menikahi orang yang Bastian cintai. Jesica kalah, dan kembali ke Negaranya Singapore.
Dan disinilah, Jesica menenangkan jiwanya setelah beberapa bulan terpuruk. Ia menunaikan ibadah Umrah dengan sahabatnya sesama mualaf.
Waktu sudah menunjukan pukul 6 waktu Mekah setempat. Para jamaah melangsungkan sholat magrib terlebih dahulu di Masjidil Haram.
Srettt!!!
Jesica dan sahabatnya Ester, kini berjalan keluar. Namun mata Jesica tertuju kearah benda yang baru saja terjatuh di pelataran, yakni sebuah Tasbih.
Dengan cepat Jesica memungut tasbih tadi, dan segera mengejar si pemiliknya. "Tunggu, ini tasbih Anda terjatuh!" Jesica menggunakan bahasa inggris, karena hanya bahasa itu yang familiar diucapkan berbagai wilayah negara.
Dua wanita itu berhenti, dan segera menoleh. Rupanya, keduanya sama-sama jamaah Indonesia. Wanita tua yang memakai abaya coklat serta hijab putih, kini tersenyum memperlihatkan gigi palsunya.
"Anda dari Indonesia?" Tanya Jesica kembali.
"Benar, kami dari Indonesia!" sambung wanita dewasa yang kini memegang lengan wanita tua tadi.
Jesica tersenyum. Tanganya terulur untuk mengembalikan tasbih tadi. "Tasbih Anda terjatuh disana. Ini!"
"Terimakasih, Nona!" jawab Wanita dewasa tadi seraya menerima uluran tasbih dari Jesica. Ia menatap wanita tua itu, sekaan mengkode untuk berkata terimakasih juga.
"Terimakasih, Nak! Kamu cantik sekali. Apa kamu calon istrinya cucuku?" kalimat polos itu terlontar dari mulut Wanita tua tadi, seakan tidak terpikir sebelumnya.
Jesica dan Ester sama-sama mengernyit.
"Maafkan Majikan saya! Dia sedikit pikun. Jadi ... Sering kali berkata yang kurang sopan kepada orang lain," timpal wanita dewasa tadi. Dan rupanya, ia adalah pengasuh wanita tua itu.
"Siapa nama kamu, Nak?" Wanita tua itu masih menatap Jesica dengan mata berbinar.
"Nama saya, Jesica, Nek! Dan ini teman saya-Ester." Jesica menerima tangan keriput itu, dan mengusapnya dengan lembut.
Hingga, dari arah luar, datanglah seorang pria dewasa, kira-kira berumur 35 tahun. Dar perawakannya, ia memiliki tubuh tinggi, kulit tidak terlalu putih, namun wajahnya sangat tampan sekali. Pria itu menggunakan sarung hitam, dengan atasan koko bewarna putih.
Ia adalah Rasyid Faturahman.
"Oma ... Kenapa masih diam disini, nggak kembali ke hotel?" Rasyid menegur Neneknya, melayangkan tatapan protes.
Bukanya marah, Wanita tua dengan panggilan Oma Selin itu tersenyum kearah cucunya. "Rasyid, sini Nak! Lihatlah ... Kamu dicariin calon istrimu! Bagaimana bisa dia sampai disini?" tatapan kendur itu kembali menatap Jesica. "Nak, tadi kamu naik apa kesini? Kalau bawa mobil jangan suka ngebut!" hardiknya dengan terkekeh.
"Maaf Den, saya sudah melarang Ibu untuk sholat disini. Saya juga kasian sama kakinya, karena sering ngeluh sakit," pungkas sang pengasuh yang bernama Bik Ulfa.
Rasyid mengangguk-angguk, lalu mengambil alih lengan sang Nenek untuk dibawanya keluar. Namun sebelum itu, Oma Selin masih memegang tangan Jesica.
"Ayo, kamu juga harus ikut, Nak! Kalian besok bukanya akan menikah?" bagaikan orang yang bingung, Oma Selin menatap keduanya bergantian.
Rasyid menghela nafas dalam. "Maafkan Nenek saya! Kami permisi," pamitnya tertunduk segan.
Jesica juga melakukan yang sama, tertunduk dan kembali menatap, kala 3 orang tadi sudah beranjak pergi.
Ester tidak hentinya tertawa. Wanita asli Singapore itu sampai menitikan air mata, teringat lucunya wanita tua tadi. "Jes, kau juga akan tua. Tapi jangan sampai kelak kau lupa siapa suamimu!"
"Tapi semua itu tidak dapat terkontrol, Ester! Omamu saja sering lupa menaruh jemurannya dimana," tawa Jesica juga tak kalah pecah.
**
"Ayolah Oma ... Jangan membuatku serba salah seperti ini," Rasyid saat ini dibuat frustasi oleh sang Nenek, perihal wanita tua itu tidak mau makan malam.
Oma Selin memalingkan wajahnya kearah dinding kaca, bersedekap dada dengan wajah cemberutnya. Tidak hanya Rasyid, Bik Ulfa juga sejak tadi sudah membujuk sang Majikan, namun hasilnya nihil.
"Nggak, Oma nggak mau makan kalau nggak sama calon istrimu tadi!" pekik sang Oma.
Rasyid mengusap kasar wajahnya. Bukan hanya kali ini, namun ini salah satu sikap mustahil sang Oma yang kerap membuat penghuni rumah sampai frustasi.
Dua ajudan pria itu juga masuk untuk membujuk sang Majikan. Namun tidak ada satupun yang mampu menggoyahkan pertahanan wanita berusia 80 tahun itu.
Drttt...
Gawai Rasyid berdering. Ternyata sang Ibu yang baru saja menghubungi. Rasyid keluar dari kamar hotel, dan masuk kedalam kamarnya sendiri.
"Hallo Bu, ada apa?"
📞 "Rasyid ... Ibu tidak mau tahu! Setelah kamu pulang dari Mekah, pastikan kamu sudah memiliki calon istri lagi. Keluarga Faturahman tidak dapat mengharapkan keturunan dari istrimu itu. Kamu dengar?!" Tekan Bu Hilma ibunda Rasyid.
"Bu ... Bagaimana bisa aku dapat menikahi wanita lain? Apa Ibu tidak memikirkan perasaan Andini, ha?" tolak Rasyid menahan geram.
📞 "Ibu tidak mau tahu, Rasyid! Sesuai kesepatan keluarga sebelumnya. Bahwa pernikahanmu dengan Andini sudah memasuki tahun ke 6. Mau menunggu berapa tahun lagi? Ibu hanya ingin cucu laki-laki sebagai penerus keluarga Faturahman, Rasyid!" tekan kembali Bu Hilma.
Rasyid semakin merasa frustasi. Ditanah suci itu bukanya ia mendapat ketenangan, malah justru tekanan dari mana-mana. Membujuk sang Nenek belum berhasil, ini ia dihadapkan dengan permintaan sang Ibu yang sangat mustahil.
2 hari berlalu,
Dan sekarang bertepatan dengan Hari Raya Haji, setelah Jesica dan Ester selesai melaksanakan sholat Idul Adha, mereka bedua langsung kembali ke hotel untuk melakukan sarapan bersama.
Suasana pagi itu terasa meriah. Orang-orang berbagai belahan dunia juga ikut merayakan Lebaran Haji bersama.
Jesica dan Ester sudah duduk, dan dihadapkan dengan beberapa menu olahan daging qurban. Dengan ucapan Bismillah, mereka mulai memasukan makanannya kedalam mulut.
Akan tetapi, dari meja sebrangnya, terdapat sebuah keluarga yang agak berisik dengan beberapa lontaran kalimat bujukan.
"Nggak! Oma nggak mau makan! Kamu makan aja sendiri!" Oma Selin masih bersikukuh pada pendiriannya. Sudah sejak 2 hari, pola makan Oma Selin berantakan.
Bik Ulfa yang mulai frustasi. Kini mengambil ponselnya, dan tampak mengotak atik gawai tersebut. Begitu panggilan terhubung, Bik Ulfa bangkit sedikit agak menyingkir. Tidak jauh, hanya berjarak semeter saja.
📞 "Hallo, ada apa Ulfa?"
"Maaf mengganggu waktunya, Bu Hilma. Ini ... Sudah 2 hari ini, Oma Selin selalu menolak untuk dibujuk makan. Waktu makannya berantakan, karena Oma tidak mau makan apapun!" cemas Bik Ulfa.
📞 "Bagaimana bisa seperti itu? Apa penyebabnya?" Bu Hilma agak mengernyit. Meskipun sang mertua selalau bersikap absurd seperti itu, dengan begitu ia tetap antusias dengan kesehatan sang mertua.
"Oma Selin bertemu dengan wanita disini. Dia sangka, wanita cantik itu adalah calon istrinya, Den Rasyid! Ini saja ... Oma hanya mau makan, jika wanita itu yang menyuapinya. Bagaimana ini, Bu?" Bik Ulfa merasa sangat pusing.
Di Indonesia, Bu Hilma mendadak mendapat Ide yang sangat cemerlang. Ia kini tersenyum penuh ambisi, dan langsung mejawab,📞 "Ulfa ... Saya punya pekerjaan buat kamu! Dengan pikunya Ibu, kamu dapat gunakan untuk mendukung pernikahan Rasyid dengan wanita itu."
"Apa ... Bagaimana bisa, Bu? Mas Rasyid sudah memiliki istri? Dan lagi, kasian juga wanita itu jika terbohongi," Bik Ulfa memikirkan nasib keduanya, karena ia juga sama-sama wanita.
📞 "Jangan pernah membantah ucapanku, Ulfa! Lakukan saja pekerjaamu, atau saya putus beasiswa pada putrimu, dan memecat kamu saat ini juga!" Ancam Bu Hilma.
Bik Ulfa seketika menjadi cemas. Putrinya baru mengemban pendidikan kuliah 5 bulan ini, dan ia tidak ingin membunuh mimpi-mimpi sang putri begitu saja.
"Baik, Bu Hilma! Anda dapat mempercayai saya!" putus Bik Ulfa. Setelah itu ia memutus sambungan telfonnya, dan beranjak kembali menuju tempatnya tadi.
Kedua matanya membola, kala sang Majikan sudah tidak ada di tempatnya. Padahal ia tidak meninggalkan sang Majikan terlalu jauh. Namun, karena fokusnya menelfon tadi ... Sehingga Bik Ulfa kini merasa cemas, dengan mata mengedar.
"Kenapa Oma nggak mau makan?" Jesica kini menyuapi Oma Selin, yang tadi menghampiri ketempat duduknya.
Dengan penuh semangat dan wajah cerahnya, Oma Selin menjawab, "Oma tidak mau makan, sebelum bertemu kamu lagi, Nak! Jangan ngilang-ngilang mulu ... Nanti Rasyid sulit mencarimu!"
Ester menyembunyikan tawanya dengan tangan menutup mulut. Seorang Nenek yang pikun, meskipun usianya semakin senja, namun sikapnya melebihi balita 3 tahun.
"Oma ... Tapi saya bukan calon istri cucu Anda!" balas Jesica yang begitu sabar menyuapi.
Oma Selin menatap heran. "Bagaimana bisa? Apa kalian baru putus cinta?"
Hingga, tiba-tiba ....
"Ya Allah, Oma! Saya cariin kemana-mana, ternyata disini." Gemas Bik Ulfa. Ia lalu menatap Jesica dan Ester. "Loh, Non Jesica ... Non Ester? Maaf ya, kalau Oma Selin akhir-akhir ini mengganggu kalian," lirihnya.
"Nggak Papa, Bik Ulfa. Kami tidak keberatan. Oma Selin tidak pernah menyusahkan kami. Malahan yang ada, kehadirannya sebagai pelipur hati kami!" Jesica tersenyum hangat.
"Oma ... Ayo kita kembali! Oma sudah selesai sarapannya 'kan?" Bik Ulfa dengan penuh kesabaran mengusap lengan Majikannya.
"Nggak! Oma masih mau disini sama Jesica. Kamu saja yang kembali ke kamar, Ulfa!" balas telak Oma Selin.
Bik Ulfa terpaksa menjatuhkan diri ditempat duduk sebelah Oma Selin. Sambil menepuk jidat pelan, ia merasa sudah kehabisan akal menghadapi sikap Majikannya.
*
*
*
Keesokan harinya, setelah melakukan Ibadah dan doa bersama, Rasyid masih enggan untuk bangkit, dan meninggalkan pelataran Masjidil Haram. Ia tertunduk, merasa kalut dengan pikiranya sendiri.
Apa yang harus ia lakukan sekarang. Diam cukup lama, hingga Rasyid menyudahi dzikirnya dengan bangkit. Ia kembali menuju Hotel, untuk melihat keadaan sang Nenek.
"Apa yang terjadi dengan Oma saya?" Rasyid tersentak, kala mendapati seorang Dokter baru saja keluar dari kamar Omanya.
"Anda cucunya?" tebak sang Dokter.
"Benar."
"Sesag nafasnya kambuh, karena asam lambung yang naik! Tolong jaga pola makan Nenek Anda, karena kondisinya sangat lemah. Saya sarankan, untuk beberapa hari, berdiam saja di hotel, dan jangan terlalu banyak gerak! Saya permisi."
Begitu sang Dokter melenggang, Rasyid segera masuk dengan wajah cemasnya.
"Oma ... Rasyid sudah bilang, jangan suka menolak untuk makan! Lihatlah, tubuh Oma lemah seperti ini," kalimat itu bukan makian, melainkan rasa khawatir yang terlalu dalam.
"Oma akan lebih semangat hidup, jika kamu menikahi calon istrimu itu, Rasyid!" sergah Oma Selin menatap jengah.
Rasyid semakin mendekat, dan kini duduk di tepi ranjang itu. "Calon istri siapa, Oma?"
"Jesica! Dia calon istrimu, Rasyid! Kamu barus secepatnya menikahi Jesica!" pekik Oma Selin.
Rasyid mendesah lirih. Sorot matanya penuh keputusasaan disana. "Bagaimana bisa? Rasyid tidak dapat melakukan itu?" tolaknya dengan lembut.
"Apa kau ingin melihat wanita tua ini terkubur terlebih dulu, baru kau mau menikahi Jesica?" Oma Selin mengambil tanganya, seraya memalingkan wajah cepat.
"Oma, jangan berbicara seperti itu! Rasyid akan melakukan semua kemauan Oma, asal tidak menikahi wanita asing itu!" Rasyid kembali menggapai tangan sang Oma, dengan sorot mata hampir menyerah.
Oma Selin masih tetap diam. Ia enggan menjawab kalimat cucunya. Namun sekalinya berkata, kalimatnya bagaikan belati tajam yang menyayat hati cucunya.
"Buang saja semua obat itu! Biar Oma mati sekalipun. Lagian, Oma tidak memiliki siapapun yang mau mengerti perasaan Oma! Biarkan Oma menyusul Eyang kakung saja!" teriaknya.
Pyar!!!
Tangan Oma Selin melempar botol obat tadi, hingga pecah dan berceceran kemana-mana.
Bik Ulfa shock. Ia menatap Rasyid, dengan wajah khawatirnya. "Den, bagaimana ini?"
Rasyid bangkit. Kembali mestabilkan emosinya. "Oke, baik Oma! Rasyid akan menikahi wanita itu, jika dia juga mau menerima pinangan dari Rasyid!" putusnya.
Kedua mata Oma Selin berbinar. "Kamu serius? Sekarang, ayo kita temui Jesica sekarang!" Oma Selin dengan semangatnya, ingin berusaha bangkit dari tidurnya.
Rasyid mencegahnya. "Oma tenang dulu ya, yang penting Oma sehat dulu. Nanti biar Rasyid menemui wanita itu dulu!"
***
Malam harinya, Rasyid memberanikan diri untuk menemui Jesica. Tidak ingin berbasa basi, ia mengungkapkan apa yang mengganjal dalam hatinya saat ini. Semua yang ia lakukan, semata-mata demi kesehatan Omanya, bukan tuntutan sang Ibu.
"Saya tidak ingin pacaran, Jesica. Jika kamu mau menerima ta'arufan saya, maka di tempat suci ini saya akan menikahimu!" seru Rasyid yang saat ini berhadapan dengan Jesica, begitu selesai makan malam bersama.
Jesica tersentak. Ia tidak menyangka ada pria yang tak pernah ia harapkan sebelumnya, kini malah datang mengajaknya menikah.
Dan lagi, di tanah suci Mekah.
"Beri saya waktu untuk meminta restu terhadap orang tua saya! Tapi perlu Anda ingat, saya adalah Janda." jawab Jesica.
"Saya tidak mempedulikan statusmu, Jesica!" Rasyid dengan wajah seriusnya.
Meski semua agak mengganjal dan terlalu cepat, Jesica akhirnya mau menerima pinangan Rasyid Faturahman, begitu Oma Selin yang selalu membujuknya dengan kalimat-kalimat sakral itu.
Ester juga mendukung pernikahan sahabatnya itu. Meskipun terbilang cepat, namun ia yakin, jika Jesica akan mendapat kebahagiaan setelah ini.
Dan setelah mendapat restu dari orang tuanya, dan saling bertukar kabar melalui via telfon maupun panggilan video, antara kedua belah pihak orang tua, kini sama-sama menyaksikan pernikahan sederhana di pelataran Masjidil Haram.
"Saya terima nikah dan dan kawinya Jesica Faderil Doms binti Bapak Doms Farenity, dengan seperangkat alat sholat, dan satu set perhiasan dibayar tunai!" Rasyid menghela nafas dalam, dan kini menatap Jesica untuk dibacakan doa.
Sementara Jesica, ia dengan penampilan sederhananya, menerima uluran tangan sang suami, dengan kecupan yang melekat pada kening miliknya dari sang suami.
"Selamat buat kalian berdua!" Ester terharu, dan langsung memeluk tubuh sahabatnya.
Oma Selin memeluk kedua cucunya yang baru saja sah menjadi sepasang suami istri itu. Meskipun pernikahan yang Jesica terima secara siri, hal itu tidak membuatnya pesimis, karena Rasyid berjanji akan mendaftarkan pernikahannya ke KUA begitu mereka kembali ketanah air. Dan lagi, Jesica juga harus mengurus surat pindahnya terlebih dahulu.
Setelah hampir 2 minggu lebih melakukan Umrah, kini Jesica beserta rombonganya harus kembali pulang. Rasyid tidak ikut pulang dengan sang Nenek, mengingat ia harus singgah ke Singapore terlebih dahulu untuk bertemu kedua mertuanya. Dan juga, Jesica harus mengurus surat-surat pindahnya juga.
*
*
*
"Mah, Pah ... Jesica akan kembali ke Surabaya. Doakan, semoga rumah tangga Jesica harmonis, dan segera diberi keturunan." Jesica saat ini sudah siap, dengan satu koper disampingnya.
Nyonya Vera memeluk erta, sebelum melepaskan putrinya kembali. "Doa Mamah akan selalu mengalir dalam nadimu, Sayang!"
Tuan Doms juga memeluk putrinya. Ia meninggalkan kecupan sangat dipucuk kepala Jesica. Setelah itu Tuan Doms menatap menantunya-Rasyid.
"Papah titip Jesica, Rasyid! Jangan pernah sakiti dia. Kembalikan saja kepada kami, jika kamu sudah tidak mencintainya!" Kedua mata Taun Doms memanas, merasa trauma putrinya mendapat kegagalan kembali.
"Papah dan Mamah yang tenang! Saya akan berusaha memberikan yang terbaik buat Jesica! Kalau begitu, kami permisi dulu." Rasyid sudah memegang handle kopernya.
Ester juga ada disana ia sejak tadi memeluk Jesica, dengan kedua mata yang sudah berembun. "Pergilah! Jangan lupa buatkan aku keponakan," gerutunya sambil mengusap air mata.
'Penerbangan Singapore Airlines dengan nomor penerbangan SQ964, tujuan kota Surabaya, sebentar lagi akan Take Off. Harap bagi para penumpan diharapkan bersiap-siap!'
Mendengar itu, Rasyid langsung berpamitan, mengajak istrinya untuk masuk kedalam bandara.
Setelah menempuh penerbangan 2jam lebih 20 menit, akhirnya pesawat landing di Bandara Juanda-Surabaya.
Mobil jemputan keluarga Faturahman sudah tiba. Bu Hilma kini merekahkan senyumnya, menyambut menantu keduanya-Jesica.
"Selamat datang di Indonesia, Jesica." Bu Hilma memeluk singkat menantunya, memberikan sikap sehangat mungkin.
"Terimakasih, Mah!" jawab Jesica segan.
Melihat itu, Rasyid langsung melenggang masuk kedalam mobil. Entah mengapa, begitu ia tiba di Surabaya, perasaanya mendadak tidak enak. Rasa menyesalan menyeruat memenuhi ruang hatinya saat ini. Apa yang akan ia katakan pada Andini, begitu wanita cantik itu tahu kenyataan yang menyakitkan.
Selama perjalanan menuju rumah, ada yang membuat Jesica tidak tenang memikirkan nasib pernikahannya. Sejak pertemuan itu, Rasyid tidak pernah menunjukan kartu identitasnya, ataupun visa yang Rasyid bawa.
Dan hal itu membuat rasa penasaran Jesica semakin melambung tinggi.
Tidak ingin membuatnya berpikir lebih, Jesica mengenyahkan semuanya. Ia rasa, masih ada kecanggungan antara dirinya dan Rasyid, jadi menurut Jesica itu suatu hal yang ... wajar.
*
*
Sementara di lain tempat, sopir yang yang mengantarkan Oma Selin dan Bik Ulfa, kini kembali lagi di kediaman pribadi Rasyid dan Andini.
Kepulangan Oma Selin dan Rasyid hanya berselisih 2 hari saja, karena Jesica hanya singgah sehari semalam di Singapore.
Mendengar deru mobil yang baru berhenti digaransi rumahnya, Andini dengan cepat keluar. Wanita berambut lurus itu memicing, saat mendapati sang sopir keluar sendiri.
"Loh, Pak Imam kok sendirian? Mas Rasyid mana?" Andini menatap curiga, perihal ia mendapat kabar jika Oma Selin sudah kembali.
"Em, anu Non. Itu ... Mas Rasyid baru saja pulang, tadi diminta Bu Hilma singgah sebentar." Pak Imam agak cemas ketika mengungkapkan kalimatnya.
Andini bergegas masuk untuk mencari gawainya. Dirumah besar itu, hidupnya terasa hampa tanpa adanya pecah tawa dari seorang anak. Andini dipersunting Rasyid, kala usianya menginjak 22 tahun. Dan hingga kini, ia sudah menginjak kepala 3, namun tetap saja ia tak kunjung mengandung.
"Mas Rasyid ngapain sih, kok nggak angkat telfonku?!" Andini menimang kembali ponselnya, karena panggilannya tak kunjung terhubung.
Namun tak berselang lama, ponselnya kembali bergetar. Satu notif pesan baru saja masuk, dan Rasyid lah yanh mengirimkannya
'Andini ... Sepertinya malam ini aku menginap dirumah Ibu! Oma agak sedikit rewel, memintaku singgah semalam lagi.'
Membaca pesan itu, membuat darah Andini mendidih seketika. 2 minggu lebih ditinggalkan Umrah, tapi ketika pulang, Rasyid masih tetap berlama-lama dirumah orang tuanya.
"Oma selalu seperti itu!" desah Andini menahan kesal. Setelah itu ia melenggang menuju kamarnya.
Sementara dikediaman Faturahman,
Dan tepatnya setelah selesai acara makan malam bersama, Jesica kini sedang duduk diruang tengah, bercengkrama dengan sang Nenek-Oma Selin.
Demi apa, wanita tua itu sama sekali tidak ingat, jika cucunya~Rasyid, sudah menikah.
Yang dipikiranya saat ini, seolah flashback, disaat Rasyid baru pertama kali memperkenalkan calon istrinya kepada sang Nenek. Bahkan, terkadang Oma Selin juga lupa siapa namanya sendiri.
"Jesica ... Rumah ini bagus ya?" Oma Selin menatap keseluruh bangunan megah itu, dengan sorot mata kagum.
"Iya, Oma bagus baget!" Jesica agak menagan tawa, jika bercengkrama dengan wanita tua itu.
"Tapi Oma tidak tahu, ini rumah siapa, Nak?" Oma Selin seakan lupa dengan rumahnya sendiri.
Tiba-tiba Bik Ulfa datang. "Oma, Oma sudah waktunya minum obat yuk! Nanti setelah itu saya pijitin."
Oma selin mengerjab, menoleh kearah Bik Ulfa seakan tidak mengenali pengasuhnya itu. "Kamu siapa? Kamu pengasuh baru ya?" tanyanya polos.
Jesica terkekeh lirih. Tertunduk menyembunyikan senyumnya.
Tap! Tap!
Semua orang menoleh, begitu derap langkah kaki itu berhenti disebrang. Bu Hilma menatap kearah Jesica dengan penampilan cetarnya. Parubaya berusia 58 tahun itu, kini memakai dress mewah selutut, dengan riasan tebal. Rambutnya yang dipangkas seleher semakin menambah raut kejam tersendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!