Cinta pertama Nadila Putri gadis 23 tahun jatuh kepada Abdullah adik sepupu sang majikan. Namun, tanpa Nadila sangka, pria 25 tahun itu justru mencintai teman Nadila yang bernama Silfia Anwar. Mereka berprofesi sama, yakni menjadi baby sitter dan bekerja dalam satu rumah mengasuh anak kembar.
Cinta segitiga mereka membuat pertemanan menjadi hancur. Nadila memilih pergi merelakan Abdullah agar hidup bahagia bersama Silfia.
Nadila memutuskan untuk pergi jauh ke UEA bekerja sebagai TKW. Tentu ingin melupakan Abdullah. Namun, belum ada satu tahun bekerja, ia mendapat kabar jika sang bapak sakit, kemudian memutuskan untuk pulang.
"Assalamualaikum..." ucap Dila ketika tiba di rumah sederhana, tetapi tidak ada jawaban. Ia mendorong pintu yang sudah mulai tua itu tidak dikunci. Dengan perasaan panik memikirkan bapak, ia tinggalkan koper begitu saja di ruang tamu.
Di depan pintu kamar yang sudah mulai lapuk karena dimakan rayap, ia mengetuk pintu. Sedetik kemudian, muncul Aminah.
"Dila... kamu sudah pulang sayang..." ucap Aminah ibu kandung Dila memeluk putrinya di tengah-tengah pintu kamar.
"Iya Bu.. Ibu sehat?" Dila memandangi tubuh ibunya yang terlihat lebih kurus, hatinya mencelos. Padahal sebelum ia tinggalkan beberapa bulan yang lalu badan ibu segar berisi.
"Ibu tidak apa-apa sayang... tapi Bapak kamu..." bu Aminah tidak sanggup lagi untuk bicara lalu menoleh sang suami yang tak berdaya di tempat tidur.
"Bapak sakit apa Bu?" Dila menatap wajah ibu yang melahirkan itu tampak resah dan berat untuk menjawab. Dila ambil kesimpulan jika penyakit bapaknya sangat serius.
Karena tidak ada jawaban, Dila beralih menatap pak Umar. Dengan langkah cepat, ia mendekati sang bapak yang tidur berselimut, walaupun hawa kamar itu terasa panas.
"Bapak kamu stroke, Nak" ucap bu Aminah yang sudah di sebelah putrinya pun akhirnya mejawab, walaupun terasa berat.
"Astagfirullah..."
Dila berdiri di samping tempat tidur pak Umar menatap wajahnya yang lemah dan pucat. Air matanya tidak bisa dia bendung lagi. Sosok yang selalu melindungi kini berbaring lemah. Dila merasa sedih karena sibuk mencari uang hingga tidak pernah memperhatikan kedua orang tuanya.
Dila pikir selama ini hanya cukup mengirim uang untuk membatu orang tua, biaya sekolah adik perempuannya, lalu masalah akan selesai. Sekarang ia baru sadar, setelah lulus SMA tidak pernah memperhatikan bapak dan ibu. Selama lima tahun, Dila memilih bekerja menjadi baby sitter pindah-pindah tempat. Daripada bekerja di pabrik dan tempat yang lain. Karena ia pikir makan gratis, tidur nyaman, gaji utuh, lalu ia kirimkan ke orang tua. Namun, Dila sekarang menyesal, karena melewatkan momen berkumpul dengan orang tua. Seandainya dulu ia bekerja di pabrik seharusnya masih ada waktu malam hari bersama keluarga.
"Bapak..." lirih Dila, tangisnya pun pecah. Kenangan indah bersama bapak di masa kecil terlintas di benaknya. Bapak yang selalu mencurahkan kasih sayang sesibuk apapun. Tetapi Dila belum bisa membalasnya.
Dila memeluk tubuh pak Umar, menangis di dadanya, hingga beberapa detik kemudian, kepalanya yang tertutup jilbab terasa ada yang mengusap, Dila mengangkat kepala cepat.
"Bapak..." Dila membantu sang bapak yang akan bangun. "Maafkan anak Bapak" lanjutnya lagi-lagi menangis ketika mendengar cerita pak Umar jika satu kakinya lumpuh.
"Kamu jangan sedih, Nak, kaki bapak memang lumpuh, tapi tangan ini masih bisa bergerak, badan bapak juga sama."
Begitulah pak Umar yang tidak pernah mengeluh walaupun kakinya lumpuh akibat stroke.
"Bapak sekarang ke dokter ya..." Dila ingin pak Umar cepat sembuh.
"Tuan Ahmad sudah membawa Bapak ke rumah sakit" tutur pak Umar menunjuk obat sekantong plastik yang berada di meja kecil. Tuan Ahmad yang pak Umar maksud adalah majikannya di mana ia bekerja sebagai supir sebelum sakit.
"Untungnya majikan Bapak kamu itu baik sekali, La" bu Aminah menambahkan.
Dila hanya mengangguk, tanpa bicara lalu keluar hendak ambil handphone di dalam tas. Ia akan memesan kursi roda karena pak Umar membutuhkan itu.
Tok tok tok.
Belum sempat memesan kursi roda, Dila meletakkan handphone kembali lalu menemui tamu terlebih dahulu.
"Permisi Nona, saya disuruh Tuan Ahmad mengantar kursi roda untuk Pak Umar" kata pria yang memanggul kardus besar. Di belakang pria itu berdiri seorang bapak kira-kira berusia 55 tahun menatap Dila lekat.
"Oh, silakan masuk" Dila membuka pintu lebar, membiarkan tamunya masuk meletakkan kardus tersebut di lantai.
"Sekarang buka, Bud, lalu antar ke kamar pak Umar" titah pria yang tak lain Tuan Ahmad.
Dila terharu kepada majikan bapak, rupanya bos yang memiliki perkebunan itu baik sekali, pantas saja pak Umar betah bekerja hingga puluhan tahun.
"Kamu siapa?" Tanya tuan Ahmad, selama ini belum pernah melihat Dila.
"Saya anak sulung pak Umar, Tuan..." Dila mencoba untuk tersenyum walaupun hatinya sedih.
Tuan Ahmad mengangguk, lalu izin ke kamar pak Umar, menyusul anak buahnya yang sudah masuk lebih dulu.
Dila membiarkan tamunya menemui pak Umar, lalu menarik koper ke kamar sendiri. Ia memindai kamar yang tidak luas, tapi masih rapi seperti dulu. Walaupun kamarnya bukan terbuat dari dinding tembok yang kokoh, melainkan hanya disekat papan triplek, namun ngangeni. Tatapan matanya beralih ke tempat tidur, rasanya ingin rebahan istirahat sebentar. Perjalanan 10 jam darat, udara, membuatnya lelah. Tetapi memikirkan pak Umar seperti itu mana mungkin bisa enak-enakan tidur. Ia letakkan koper di pinggir lemari, kemudian mengeluarkan pakaian.
Betapa terkejutnya Dila ketika berdiri memegang baju, gelang tangan berwarna hitam jatuh dari lipatan baju tersebut. Bayangkan Abdullah pria yang ia tinggalkan delapan bulan yang lalu melintas di kelopak mata. Sebab, gelang tersebut ia beli bersama Abdullah ketika keluarga Barra mengajak pergi melihat pameran.
"Kira-kira Kak Abdullah sudah menikah dengan Kak Silfi belum ya?" Monolog Dila, memilin gelang di tangan.
"Ah, kenapa aku pikirkan mereka lagi sih" Dila menepis pikiranya sendiri sembari berlalu membawa baju itu ke luar kamar, menuju kamar mandi.
Begitu menoleh ke ruang tamu, bapaknya sudah duduk di kursi roda, sedang berbincang-bincang bersama tuan Ahmad. Dila sedikit tenang, bapaknya bisa duduk dan ngobrol dengan baik.
10 menit kemudian ketika keluar dari kamar mandi, mendengar suara kompor gas dinyalakan. Dila belok ke dapur.
"Mau masak apa Bu?" Dila bermaksud membantu.
"Cuma masak air untuk membuat teh" bu Aminah melarang putrinya ke dapur justru menyuruh istirahat.
"Biar aku saja Bu" Dila menyiapkan gelas untuk membuat teh. Balik menyuruh ibunya agar ke luar saja. Membuat teh tentu bukan pekerjaan yang lama, setelah selesai, Dila membawa ke ruang tamu.
"Ternyata anak kamu yang pertama sudah besar, Mar" kata tuan Ahmad terdengar di telinga Dila.
Dila terpaksa menunda perjalanan lalu mendengarkan di belakang lemari tempat televisi.
"Alhamdulillah... Dila sekarang sudah berjalan 24 tahun Tuan" pak Umar tersenyum.
"Bagaimana kalau anakmu dijodohkan dengan anak saya saja, Mar."
Prang!
Nampan yang Dila pegang pun terlepas dari tangan, lalu jatuh ke lantai hingga gelas pecah berantakan. Dila kaget dan syok ketika mendengar tawaran tuan Ahmad yang akan menjodohkan dirinya. Padahal Dila belum pernah melihat seperti apa anak tuan Ahmad.
...~Bersambung~...
"Dila..." Aminah terperangah, menunduk memandangi air teh di lantai yang sudah menyatu dengan pecahan gelas. Aminah beralih menatap putrinya, tentu tahu jika Dila kaget karena mendengar percakapan di ruang tamu.
"Maaf Bu" Dila ke belakang ambil alat untuk bersih-bersih, tidak lama kemudian kembali hendak membersihkan lantai. Namun, diambil alih bu Aminah.
"Biar Ibu saja" ucapnya lalu menyuruh putrinya agar membuat minuman yang baru.
Dila tidak membantah sang ibu, menyeret kakinya ke dapur dengan perasaan tidak menentu. Ia tidak pernah sekalipun bermimpi digigit ular, tapi mengapa tiba-tiba tuan Ahmad membahas tentang perjodohan.
"Pasti anak Tuan Ahmad mempunyai kelainan, hingga tidak ada wanita yang mau. Jika tidak, mana mungkin rela menjodohkan anaknya dengan aku yang hanya anak supir" Dila bermonolog di pinggir kompor hingga beberapa detik kemudian, sampai lupa tujuan ke dapur.
"Dila" bu Aminah sampai menyusul ke dapur, mungkin karena lama, tapi tidak berkata-kata lagi lalu kembali ke depan.
"Maaf Bu" ucap Dila, tapi sudah tidak terdengar oleh Aminah. Dila secepatnya membuat minuman lalu membawanya ke ruang tamu.
"Silakan diminum Tuan" Dila meletakkan gelas teh di depan tuan Ahmad dan juga bapak ibunya.
"Duduk di sini saja Nak, ngobrol- ngobrol" titah tuan Ahmad tulus.
"Terima kasih Tuan" Dila hanya tersenyum sembari membungkuk meninggalkan tempat itu.
"Dila baru saja tiba Tuan, maaf jika putri saya belum bisa bergabung" pak Umar mengatakan jika putrinya belum istirahat. Dan masih didengar oleh Dila yang masih bersembunyi di belakang lemari televisi. Dalam hati gadis itu berharap tuan Ahmad segera pulang. Ia tidak tega memandangi pak Umar yang berkali-kali memegangi pinggang tampak menahan sakit.
Dila kembalikan nampan di dapur sebelum ke kamar, niatnya untuk merebahkan tubuhnya di kasur pun terlaksana. Badan lelah itu sebenarnya ingin istirahat, tapi otak tidak mau kompromi.
Ia masih memikirkan perbincangan bapak dan tuan Ahmad, tentu khawatir jika pak Umar sampai menerima tawaran itu. Di tempat tidur yang sunyi, Dila menatap kosong ke langit-langit kamar. Hingga satu jam kemudian akhirnya memejamkan mata.
"Kakaaak..." Seru seorang gadis yang masih mengenakan seragam putih abu-abu nyelonong masuk. Gadis berjilbab itu berlari ingin cepat menyambut sang kakak. Suara teriakan dan langkah kakinya yang beradu dengan lantai terdengar berisik, hingga Dila bangun lalu duduk dengan cepat.
"Suara kamu dipelankan sedikit apa Najwa, ya Allah..." Dila memandangi adiknya dengan mata kecil. Kepalanya mendadak pusing kerena kaget.
"Kak Dila kok nggak senang melihat aku pulang sih..." Najwa cemberut, ia pikir kakaknya tidak kangen kepadanya. Sebab Dila tampak datar tidak berseru riang menyambut kedatangannya, padahal sudah delapan bulan tidak bertemu.
"Bukan begitu Najwa" Dila tentu kangen sekali dengan adiknya, tapi karena ngantuk hingga tampak cuek.
"Aku seneng, Kakak sudah pulang" Najwa naik ke tempat tidur lalu memeluk kakaknya.
"Kamu nggak pakai deodoran, ya" Dila memencet hidungnya.
"Masa sih Kak?" Najwa mengendus pangkal lengan, menanggapi dengan serius. Padahal tidak demikian, Dila hanya ingin bergurau.
"Lupakan tentang ketiak, bapak sakit sudah lama?" Tanya Dila serius.
"Sudah seminggu, Kak" Najwa mengatakan jika sebenarnya pak Umar tidak boleh memberi tahu Dila, tapi Najwa nekat karena panik dan bingung.
"Yang kamu lakukan sudah benar, Dek" Dila menanyakan banyak sekali tentang kesehatan pak Umar dan ibu Aminah.
"Sudah beberapa bulan ini Bapak memang sering sakit-sakitan, Kak" Najwa menceritakan tentang sakit pak Umar yang sudah lama, tapi tidak beliu rasakan. Pak Umar tetap saja bekerja hingga sakitnya semakin parah.
Kakak adik itu bercerita banyak hal, hingga kantuk yang Dila rasa pun telah hilang.
"Dek, kamu pernah melihat anaknya Tuan Ahmad?" Dila ingin mendengar cerita Najwa, seperti apa putra Ahmad. Ia penasaran saja, jangan-jangan yang ia pikirkan tentang kelainan itu benar. Bukan apa-apa, hanya tidak percaya saja jika pemilik perkebunan yang kaya raya itu mempunyai niat untuk menjodohkan putranya jika bukan karena ada sesuatu.
"Pernah Kak, kenapa gitu?" Najwa mengerutkan kening, tumben sekali kakaknya ingin tahu tentang putra tuan Ahmad, padahal biasanya selalu cuek jika Najwa membahas tentang laki-laki.
"Jawab dulu, Najwa" desak Dila.
"Wuih... kalau kakak serius mau tahu, orangnya tampan sekali" Najwa senyum-senyum, ia ingat pertemuanya dengan putra tuan Ahmad ketika ikut pak Umar ke perkebunan ketika libur sekolah tiga bulan yang lalu.
"Ada apa sih Kak? Nah-nah, jangan-jangan ada sesuatu" Najwa cengengesan menggoda Dila.
"Nggak apa-apa, Dek. Lebih baik kamu ganti pakaian, gih" Dila memberi saran, ia juga mengatakan ingin istirahat sebentar.
Najwa pun meninggalkan kamar, membiarkan kakaknya istirahat.
Angin sore berhembus pelan, membawa aroma bunga melati dari taman kecil belakang rumah. Namun, tak satupun keindahan itu mampu menghapus awan kelabu yang menggantung di hati Dila, kala sang bapak menyampaikan sesuatu yang tidak ingin Dila dengar.
Flashback On.
Baru tadi siang mendengar suara ibu yang penuh kelembutan, tapi sekarang memanggilnya dengan ketegasan. "Bapak kamu menunggu di ruang keluarga."
Dila mengangguk mengikuti bu Aminah, tampak dari ruang tamu sang bapak sudah menunggu di ruang keluarga. Walaupun kakinya lumpuh, wajah pak Umar masih mengandung ketegasan.
"Duduk Nak" titah pak Umar di atas kursi roda, tatapan matanya seperti ingin menyampaikan sesuatu yang penting.
Dila pun duduk di sebelah sang ibu berhadapan dengan pak Umar. Ia pegang tangan sang bapak, mencium punggungnya lembut.
Pak Umar tersenyum kecil, namun tulus. "Bapak dan Ibu ingin kamu bertemu dengan calon suami kamu, Nak. Tuan Ahmad sudah sepakat ingin menjodohkan kamu dengan putranya."
Dila terpaku. Calon suami? Bahkan namanya pun belum pernah ia dengar. Jelas hatinya menolak, tapi lidahnya kelu. Ia terlalu terkejut untuk protes, menatap sang bapak yang saat ini sudah tidak berdaya, terlalu sedih untuk menangis saat ini.
Dila menunduk, air matanya mulai jatuh satu persatu. Bukan benci kepada orang tuanya, tapi kecewa, kenapa masa depannya harus ditentukan oleh orang lain?
Dila mencengkeram kalung kecil di lehernya pemberian sang ibu waktu kecil. Mencoba mencari rasa tenang di antara gelombang ketidakpastian masa depanya. Ia kini merasa asing, walaupun di hadapan kedua orang tuanya sendiri. Dila merasa sepi untuk yang kedua kali dalam hidupnya. Yang pertama, ketika cintanya dengan Abdullah bertepuk sebelah tangan. Lalu sekarang, tiba-tiba saja kedua orang tuanya ingin menjodohkan dengan pria yang belum ia kenal. Mereka tidak berteriak, tidak memaksa kasar, tapi kata-kata sang bapak seperti batu yang menghantam dadanya.
Flashback Off.
"Kak Dila, Bapak Kak" Najwa menggoyang pundak Dila yang termenung di taman kecil.
"Bapak kenapa?" Dila berlari lebih dulu ke kamar pak Umar, diikuti Najwa.
"Dila... tolong dengar kata-kata bapak Nak, bapak tahu cinta pertama kamu adalah aku bapakmu, tapi bapak merasa sebentar lagi akan pergi meninggalkan kalian. Dan sekaranglah, saatnya kamu harus mempunyai suami yang bisa melindungimu, ibu, dan juga adik kamu."
"Bapaaakkk... hiks hiks hiks, jangan bicara begitu..." Dila menangis tersedu-sedu.
...~Bersambung~...
Di ruang rawat inap, Dila hanya bisa berharap sang bapak diangkat penyakitnya dan pulih seperti sedia kala. Tidak bisa melihat penderitaan pak Umar, Dila segera melarikan bapaknya ke rumah sakit besar, dan ternyata sakitnya semakin parah.
"Pak Umar mengalami masalah di ginjalnya Dek, dan ternyata ginjal Pak Umar hanya satu," dokter Taufik memberi penjelasan.
"Apa?" Dila melirik bu Aminah dan juga Najwa yang hanya bisa menangis. Setelah dokter keluar ruangan, Dila mendekati bu Aminah.
"Sekarang jelaskan Bu. Bapak pernah donor ginjal ke siapa?" Dila mencecar pertanyaan, ia merasa tidak dianggap. Mengapa bapaknya donor ginjal ia sama sekali tidak ada yang memberi tahu.
Bu Aminah menunduk sedih, butir-butir air matanya berjatuhan di keramik putih.
"Dila..." ucap pak Umar lirih, nyaris tak terdengar.
Dila meninggalkan bu Aminah, segera mendekat menyentuhkan keningnya ke tangan pak Umar. "Ini aku, Pak" Dila minta pak Umar mengatakan apa yang diinginkan.
"Bapak tidak kuat lagi, Nak."
Dila menggeleng cepat, air matanya tumpah tanpa bisa dicegah. "Jangan bicara begitu Pak, Bapak pasti sembuh."
"Kadang yang terbaik bukan soal sembuh sayang, tapi soal siap. Siap untuk pergi, karena itu tujuan hidup. Maafkan Bapak jika seandainya tidak bisa menjadi wali nikah kalian. Tidak bisa lagi melihat cucu dari anak kamu dan adikmu."
Tangan lemah pak Umar mengusap kepala Dila yang menangis di dadanya.
Dila menggigit bibirnya, lalu berucap tegas. "Baiklah, Dila akan menikah dengan pria pilihan Bapak, tapi aku mohon, Bapak yang semangat, harus kuat melawan penyakit, semoga cepat sembuh. Bapak harus menyaksikan pernikahan aku dan Najwa. Bapak pasti bisa menggendong cucu dari kami."
Dila menatap pak Umar, wajah bapak tiba-tiba sumringah, bibirnya tersenyum kecil, dan sedikit lebih cerah.
Dila mendongak, dalam hatinya berdoa. "Ya Allah... jika memang pernikahan aku dengan pria pilihan Bapak bisa membawa kebaikan bagi semua, aku ikhlas." Batinnya tidak ada nilai tawar.
*************
Di rumah yang berbeda, keluarga kecil sedang makan malam bersama. Hidangan mewah tersedia di meja makan, lantaran menyambut kedatangan anak satu-satunya yang jarang sekali pulang ke rumah.
"Kamu ini keterlaluan, Dul" sang mama ngomel-ngomel. Jarak Jakarta, Bogor tidaklah jauh, tapi anaknya jarang sekali pulang.
"Maaf Ma, namanya juga kerja, kita tidak boleh seenaknya" jawabnya santai sembari menyendok nasi memasukkan ke dalam mulut.
Hening di meja makan, selain denting sendok. Mama tidak lagi memperpanjang masalah, tidak mau merusak selera makan putra semata wayangnya.
"Bagaimana kabar Barra sekeluarga?" Tanya mama ketika makan sudah selesai.
"Baik, Ma" pria yang tak lain adalah Abdullah itu, meletakkan gelas setelah isinya ia teguk hingga tinggal seperempat.
"Mulai besok dan seterusnya, kamu tidak boleh kembali bekerja dengan Barra" ujar tuan Ahmad menunjukkan ketegasan.
Abdullah kaget lalu menoleh sang papa. "Sudah aku katakan Pa, aku tidak mau kalau harus meneruskan perkebunan" Abdullah tidak kalah tegas, perkebunan bukan bidangnya, maka anak 26 tahun itu memilih bekerja bersama Barra kakak sepupunya.
Anshor Abdullah Ahmad, itulah nama lengkap Abdullah, ia sebenarnya bukan karyawan biasa, jika selama ini memilih bekerja sebagai asisten Barra, karena ia merasa cocok di bidang itu. Semasa kuliah, Abdullah ambil jurusan Teknik Industri.
"Anak Papa kan kamu Dul, lalu siapa lagi yang akan meneruskan perkebunan?" Ahmad memijit pelipis, jika sudah membahas masalah ini, ujung-ujungnya kesal.
Rupanya Abdullah bukan anak penurut seperti yang orang sekeliling bayangkan. Jika sudah mempunyai keinginan, anak itu tidak mau mendengar saran orang lain.
"Sekarang nurut Papa kamu Dul, kamu tidak kasihan orang tua kamu yang sudah semakin tua?" Ghina sang mama berkata lembut.
Abdullah hanya diam, menjawab pun tetap salah di depan kedua orang tuanya. Mungkin sudah saatnya ia harus mengalah, menggantikan posisi Ahmad mengurus perkebunan. "Baik Pah, Ma, aku mau mencoba" Abdullah pada akhirnya pasrah.
"Bagus Dul, tapi Papa masih ada satu permintaan lagi."
"Apa lagi Papa?" Abdullah memotong.
"Kamu sudah dewasa, Dul, dan sudah waktunya menikah," Ahmad memberi tahu jodoh yang cocok untuknya.
"Masalah jodoh, aku sudah punya pilihan sendiri Pah" jujur Abdullah, dalam hal ini ia tidak mau orang tuanya ikut campur.
"Dul, dengar penjelasan Papa dulu, sayang..." Ghina menyela, ia usap pundak putranya lembut.
"Mama, Papa... Aku mau mengurus perkebunan bukan berarti menerima juga ketika dijodohkan," Abdullah menceritakan jika saat ini sudah memiliki kekasih yang dicintai, dan tidak mau menyakiti hatinya. Ia berbicara dengan hati berdebar-debar, berharap kedua orang tuanya bisa memahami perasaannya.
"Dul, kamu kan tahu, Nak. Papa bertahan hidup sampai saat ini, karena satu ginjal yang berada ditubuh Papa milik pak Umar. Sekarang ini, Umar sedang tidak berdaya di rumah sakit. Apa kamu tega?" Mata Ahmad memerah, mengingat Umar yang sudah rela berkorban demi dirinya.
"Jadi, maksud Papa, aku disuruh menikahi anak Pak Umar yang masih bocah itu?" Abdullah lebih kaget. Ia pernah bertemu dengan Najwa, anak yang masih SMA.
"Bukan Najwa, Dul, tapi kakaknya."
Ahmad memberi pengertian kepada Abdullah, selama ini ia belum bisa membalas kebaikan Umar, hanya Abdullah yang bisa membantunya.
"Aku tidak bisa memutuskan sekarang Pa" Abdullah pun beranjak dari kursi, kakinya melangkah menuju kamar. Dia buka jendela untuk melonggarkan dadanya yang terasa sesak. Namun, tidak ada yang bisa ia pandangi di luar sana, selain kegelapan. Ia lipat kedua tangan, lalu numpang di jendela kamar. Abdullah tidak tahu bagaimana lagi caranya menolak perjodohan ini tanpa menyakiti hati kedua orang tuanya. Jika tahu akan begini, lebih baik tidak pulang, jika pada akhirnya mendengar permintaan orang tuanya yang membuatnya terjebak dalam kebingungan. Entah harus menuruti permintaan sang papa, atau nekat menikahi Silfia? Dilema, itu yang dirasakan Abdullah.
"Abdullah..." suara lembut masuk ke kamar. Namun, tidak ada jawaban dari Abdullah. Pria itu menutup jendela sebelum melangkah ke tempat tidur di mana Ghina sudah duduk menunggunya.
"Abdullah, Pak Umar dan Papa kamu itu tidak ada bedanya, Nak. Karena ginjal pak Umar ada di tubuh Papa kamu. Sekarang ini ia kritis di rumah sakit. Mama tahu, anak Mama bukan pria kejam yang hanya memikirkan kesenangan sendiri, sementara ada orang lain yang harus kita bantu. Masa, kamu tega..." Ghina menggantungkan harapan kepada putranya.
"Membantu atau membalas budi Pak Umar, bukan berarti aku harus menikahi anaknya kan, Ma? Masih banyak cara yang lain kok, diobati saja supaya sembuh kan, beres," bantah Abdullah, ia cengkeram rambutnya lalu berteriak kencang.
"Abdul... kamu tidak boleh bicara begitu Nak, jika Pak Umar mau ginjalnya kita beli, sudah Papa bayar sejak dulu," Ghina menjelaskan penuh kelembutan, menggantungkan harapan kepada putranya, tapi Abdullah menunduk diam. "Ya sudah, sebaiknya kamu pikirkan dulu, tapi Mama mohon, sekarang kita menjenguk Pak Umar di rumah sakit." Ghina harus bersabar membujuk putranya, ia sedikit lega ketika putranya setuju diajak menjenguk pak Umar.
Diantar Budi supir Ahmad, Abdullah mengikuti kedua orang tuanya ke rumah sakit, entah bagaimana keputusannya nanti, yang penting ia menjenguk demi kemanusiaan.
...~Bersambung~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!