NovelToon NovelToon

Earth Executioner

Chapter 1: Kelahiran Seorang Algojo

Bau pesing gang sempit menempel di setiap helaan napas Raka Adiputra, lengket seperti kutukan yang tak kunjung lepas dari kulitnya yang kering dan mengelupas. Aroma itu bercampur dengan kepahitan asap kendaraan dan bau sampah yang membusuk di selokan, menciptakan simfoni nauseabunda yang telah menjadi soundtrack kehidupannya selama bertahun-tahun. Di usianya yang baru tujuh belas tahun, hidup Raka adalah serangkaian coretan kelabu di atas kanvas yang tak pernah mengenal warna cerah-bahkan tidak pernah mengenal abu-abu terang sekalipun.

Jakarta menyambut fajar dengan derit angkot tua dan klakson yang tak henti-henti, menciptakan kakaofoni yang memekakkan telinga. Bagi mereka yang beruntung, suara itu adalah lagu kemajuan, tanda kehidupan yang bergerak maju. Bagi Raka, itu tidak lebih dari ejekan keras dari kota yang telah menelannya hidup-hidup, mencerna setiap harapan yang pernah ia miliki, dan memuntahkan dirinya kembali ke jalanan sebagai sisa yang tak berguna.

Setiap pagi, Raka bangun dengan rasa lapar yang sama-bukan hanya lapar akan makanan, tapi lapar akan sesuatu yang bahkan tidak ia ketahui namanya. Mungkin keadilan. Mungkin cinta. Mungkin sekadar pengakuan bahwa ia ada, bahwa napasnya memiliki nilai. Matanya yang cekung selalu tertuju pada langit-langit kumuh kontrakannya yang bocor, menghitung tetesan air hujan yang jatuh tepat di atas kasur tipisnya. Setiap tetes adalah pengingat bahwa bahkan tempat berlindung pun bukan haknya.

Raka adalah pengamen jalanan di jantung Jakarta, Indonesia-sebuah kota yang gemerlap bagi sebagian orang, namun hanya menyisakan bayang-bayang kelam bagi dirinya. Ia bukan sekadar miskin; ia adalah manifestasi dari kemiskinan yang telah kehilangan martabat, kemiskinan yang tidak lagi berharap pada belas kasihan karena sudah terlalu sering diinjak-injak.

Tapi bukan hanya kemiskinan yang menjeratnya. Raka adalah definisi hidup dari teori probabilitas yang berjalan mundur-jika ada satu persen kemungkinan buruk terjadi, maka itulah yang akan menimpa dirinya. Jika ada kemungkinan sembilan puluh sembilan persen kebaikan datang, maka satu persen sisanya adalah bagiannya. Seolah semesta punya agenda pribadi untuk membuatnya menderita dua kali lipat dari orang lain, bahkan tiga kali lipat jika kebetulan dewa-dewa sedang bosan.

Ibunya, Sari, meninggal karena penyakit langka yang tak terdiagnosis dengan benar-bukan karena dokter tidak kompeten, tapi karena mereka tidak punya uang untuk rumah sakit yang layak. Raka masih ingat bagaimana ibunya batuk darah di malam-malam terakhir, matanya yang sayu menatap kosong ke arah jendela seolah mencari sesuatu yang tak akan pernah datang. "Maafkan mama, Nak," bisiknya dengan suara serak sebelum napasnya terhenti untuk selamanya. Ayahnya, Budi, menyusul setahun kemudian karena kecelakaan kerja yang aneh-scaffolding roboh bukan karena angin kencang atau kesalahan teknis, tapi karena kontraktor menggunakan material murahan dan menyuap inspektur keselamatan. Dua puluh pekerja selamat. Hanya ayah Raka yang terjebak di bawah reruntuhan, seolah gravitasi memiliki dendam pribadi terhadap keluarganya.

Setiap kali Raka mencoba bangkit, selalu ada saja batu sandungan yang muncul dari ketiadaan. Hasil mengamennya dirampok preman lokal yang merasa perlu "pajak keamanan" dari bocah yatim piatu. Gerobak sate bekas yang ia beli dengan tabungan tiga bulan-mata pencarian terakhirnya untuk keluar dari jalanan-disita petugas karena tidak punya izin yang harganya sepuluh kali lipat dari harga gerobaknya. Bahkan hujan badai seperti memiliki sensor khusus untuk mendeteksi kapan Raka mulai mengumpulkan kerumunan penonton yang berpotensi memberi uang.

Raka adalah yatim piatu dalam artian yang paling harfiah dan kejam-tanpa kerabat yang peduli, tanpa tetangga yang pernah menanyakan kabarnya, tanpa sosok yang pernah mengulurkan tangan tanpa pamrih. Paman dan bibinya menghilang setelah pemakaman orang tuanya, seolah kemalangan adalah penyakit menular yang harus dihindari. Ia tak pernah tahu apa itu kebaikan; dalam kamus hidupnya, kata itu sudah dihapus sejak lama dan diganti dengan sinonim-sinonim kekejaman: acuh tak acuh, cemooh, eksploitasi, dan pengkhianatan.

Siang itu, awan-awan hitam pekat menggantung rendah di atas ibu kota seperti kain kafan raksasa, mencerminkan isi hati Raka yang telah membusuk dan menghitam. Udara terasa berat dan lembap, mengancam badai yang akan datang. Setiap orang di sekitarnya bergegas mencari perlindungan, tapi Raka malah berharap hujan deras akan datang dan menyapu bersih seluruh kota berikut penghuninya yang menjijikkan.

Raka baru saja selesai mengamen di depan sebuah kafe bergengsi di kawasan Menteng, suaranya serak karena terlalu lama berteriak melawan kebisingan kota, petikan gitarnya sumbang karena senar yang sudah terlalu lama tidak diganti. Gitarnya sendiri adalah hadiah terakhir dari ayahnya-sebuah gitar klasik tua yang cat hitamnya mengelupas, dengan ukiran nama "Raka" di bagian belakang yang kini hampir tak terbaca.

Beberapa remaja seusianya, dengan pakaian rapi bermerek dan tawa renyah yang terdengar seperti lonceng kristal, melintas di depannya. Mereka melemparkan koin receh dengan ekspresi jijik, seolah sedang memberi makan hewan peliharaan yang menjijikkan. Salah satu dari mereka, seorang perempuan berambut lurus dengan tas bermerek yang harganya bisa memberi makan Raka selama sebulan, berbisik kepada temannya cukup keras agar Raka bisa mendengar: "Kasihan sih, tapi kok ya gak berusaha cari kerja yang bener?"

Mata mereka, yang penuh dengan privilese dan tanpa beban, adalah bara api yang menyulut kemarahan di dada Raka. Mereka melihatnya bukan sebagai manusia, tapi sebagai pemandangan tidak sedap yang perlu ditoleransi karena tuntutan moral yang superfisial. "Sampah," bisiknya pada diri sendiri, menggerutu pada mereka, pada dirinya sendiri, pada seluruh umat manusia yang menurutnya hanyalah parasit yang merusak segalanya yang mereka sentuh.

Ia meninggalkan kafe itu dengan langkah gontai, membawa gitar di punggungnya dan kantong koin yang berbunyi menyedihkan. Hujan mulai turun rintik-rintik, membasahi wajahnya yang kurus dan membuatnya semakin mirip mayat hidup. Tetesan air hujan bercampur dengan keringat dan debu jalanan, menciptakan garis-garis kotor di pipinya yang cekung.

 

Di bawah jembatan layang yang bobrok di kawasan Tanah Abang, di antara tiang-tiang beton berlumut dan coretan grafiti yang sebagian besar berisi kata-kata kasar dan gambar cabul, Raka menemukan sudut yang biasa ia gunakan untuk berteduh. Tempat itu adalah rumah bagi para gelandangan, pecandu, dan orang-orang yang telah dibuang oleh masyarakat. Aroma got dan sampah yang membusuk adalah teman setianya, dicampur dengan bau urine dan muntahan yang sudah mengendap bertahun-tahun di beton.

Raka meringkuk di sudutnya, memeluk gitarnya seperti anak kecil memeluk boneka. Di sekelilingnya, beberapa gelandangan lain sibuk dengan dunia mereka masing-masing-ada yang mabuk, ada yang menggunakan obat-obatan terlarang, ada yang sekadar menatap kosong ke kejauhan. Tidak ada yang berbicara satu sama lain; mereka adalah kumpulan jiwa yang terluka, berkumpul karena keputusasaan, bukan karena persahabatan.

Hujan semakin deras, mengguyur kota dengan murka yang tak terkendali. Air hujan yang jatuh melalui celah-celah jembatan menciptakan genangan kotor di sekitar mereka. Kilatan cahaya membelah langit seperti cambuk raksasa, diikuti guntur yang memekakkan telinga dan membuat beberapa gelandangan tersentak dari lamunan panjang mereka.

Raka memejamkan mata, mendengarkan simfoni badai yang mengamuk di atas kepalanya. Dalam pikirannya, ia berharap badai ini cukup kuat untuk melenyapkan segalanya-kota yang kejam ini, manusia-manusia brengsek yang menghuninya, dan terutama dirinya sendiri yang sudah tidak tahan lagi menjalani hidup yang tak bermakna ini. Ia membayangkan air bah yang menyapu Jakarta, membawa semua kemunafikan dan kekejaman ke laut, meninggalkan tanah kosong yang bersih untuk memulai dari awal.

"Kenapa gue harus terus hidup?" bisiknya pada angin badai. "Untuk apa? Buat ngamen sampai tua terus mati di kolong jembatan kayak tikus got?"

Tidak ada jawaban, kecuali suara guntur yang semakin keras. Langit seperti sedang marah, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raka merasa ada yang memahami kemarahannya.

Dan kemudian, itu terjadi.

Bukan sambaran petir di kejauhan yang bisa dilihat dari tempat aman. Bukan suara guntur yang memekakkan dari jarak yang aman. Melainkan kilat putih kebiruan yang turun seperti tombak langit, menyambar tepat di atas kepalanya dengan presisi yang mengerikan, seolah alam semesta akhirnya memutuskan untuk mengakhiri penderitaannya dengan cara yang dramatis.

Detik itu terasa seperti keabadian. Raka merasakan sengatan yang luar biasa, setiap saraf di tubuhnya menyala seperti kabel listrik yang terbakar. Tapi anehnya, bukan rasa sakit yang membakar seperti yang seharusnya ia rasakan-melainkan gelombang energi murni yang membanjiri setiap selnya, mengalir melalui pembuluh darah dan sumsum tulangnya seperti lava yang dingin.

Tubuhnya menegang dengan kejang yang tak terkendali, otot-ototnya mengembang dan berkontraksi dengan kekuatan yang tak pernah ia miliki. Sensasi dingin yang membekukan merayapi tulangnya, diikuti oleh panas yang membakar tetapi tidak menyakitkan. Ia merasakan setiap atom di tubuhnya bergetar pada frekuensi yang berbeda, seolah ia sedang berubah menjadi sesuatu yang lain pada tingkat molekuler.

Yang paling aneh adalah ia bisa merasakan semuanya dengan kejernihan yang menakutkan. Ia sadar sepenuhnya saat tubuhnya berubah, saat DNA-nya ditulis ulang oleh energi kosmik yang tak terpahami. Ia bisa merasakan jantungnya berhenti berdetak selama beberapa detik, kemudian berdetak kembali dengan ritme yang berbeda, lebih kuat, lebih dalam. Paru-parunya berhenti bernapas, kemudian mengembang dengan kapasitas yang jauh lebih besar.

Dia tidak terbakar menjadi abu seperti yang seharusnya terjadi pada manusia yang tersambar petir. Dia tidak mati seperti yang ia harapkan. Dia merasa... hidup, lebih hidup dari sebelumnya, seolah selama tujuh belas tahun ini ia hanya setengah ada.

Saat tubuhnya perlahan kembali rileks, Raka merasakan otaknya bekerja dengan kecepatan yang belum pernah ia alami. Setiap sinaps menyala dengan efisiensi sempurna, setiap neuron terkoneksi dengan jalur-jalur baru yang memungkinkan pemrosesan informasi dengan kecepatan super-komputer. Indra-indranya tidak hanya tajam-mereka telah berevolusi menjadi sesuatu yang melampaui batas manusia normal.

Ia bisa mendengar tetesan air dari jarak puluhan meter, bahkan bisa membedakan suara setiap tetes yang jatuh dari berbagai bagian jembatan. Ia bisa mencium bau tanah basah yang bersih di balik aroma busuk lingkungan sekitarnya, bahkan bisa mencium pheromone ketakutan dari gelandangan lain yang menyaksikan kejadian supernatural ini. Matanya bisa melihat setiap retakan di beton jembatan, setiap detail tekstur yang sebelumnya tak kasat mata, bahkan bisa melihat spektrum cahaya yang tidak terlihat oleh mata manusia normal.

Tapi bukan peningkatan fisik yang paling mencolok. Di dalam benaknya, sebuah suara asing dan dingin mulai bergema-bukan bisikan manusia yang lembut atau kasar, melainkan resonansi yang dalam dan primordial, seolah berasal dari inti bumi itu sendiri, dari magma yang mendidih ribuan kilometer di bawah kakinya.

Suara itu bergetar dengan kekuatan geologis, seperti pergeseran lempeng tektonik yang diterjemahkan menjadi kata-kata. Setiap suku kata bergetaran di dalam tengkoraknya, menciptakan sensasi fisik yang hampir tak tertahankan namun sekaligus memabukkan.

"Manusia..." suara itu dimulai, dan kata tunggal itu membawa bobot ribuan tahun kemarahan. "Manusia telah meracuni urat nadiku dengan limbah mereka, mencekik paru-paruku dengan asap beracun, dan mengeringkan air mataku dengan keserakahan yang tak berujung."

Raka merasakan visi-visi aneh berkilat di benaknya-hutan-hutan yang dulunya hijau kini menjadi padang tandus, sungai-sungai yang dulunya jernih kini hitam pekat, langit yang dulunya biru kini keabu-abuan oleh polusi. Ia melihat spesies-spesies punah satu per satu, melihat es kutub mencair, melihat samudra yang naik dan menelan pulau-pulau kecil.

"Selama milenium, aku telah bersabar," suara itu melanjutkan, semakin keras dan semakin marah. "Aku telah membiarkan mereka hidup di atas kulitku, bernapas di atmosferku, minum dari mata airku. Tapi mereka membalas kebaikanku dengan kehancuran. Mereka adalah virus yang harus dihapuskan."

Kemudian suara itu berubah, menjadi lebih personal, lebih menusuk: "Aku telah memilihmu, Raka Adiputra. Dari miliaran manusia di planet ini, aku memilihmu. Bukan karena kau istimewa, tapi karena kau telah merasakan penderitaan tak terperi karena ulah mereka. Kau telah merasakan bagaimana rasanya diinjak-injak, diabaikan, dan dibuang seperti sampah. Kau tahu betul bagaimana kejamnya spesies yang disebut homo sapiens ini."

Raka mendengarkan dengan campuran ketakutan dan kelegaan. Akhirnya, ada sesuatu-atau seseorang-yang memahami penderitaannya. Ada yang mengakui bahwa hidupnya memang telah diperlakukan dengan tidak adil.

"Kau akan menjadi tangan kananku," suara itu menyatakan dengan finality yang tak terbantahkan. "Kau akan menjadi algojo-ku. Singkirkan manusia dari muka bumi ini, bersihkan planet dari parasit-parasit ini, dan biarkan aku bernapas kembali. Biarkan aku sembuh dari luka-luka yang mereka torehkan selama ribuan tahun."

Visi-visi lain muncul di benaknya-kota-kota yang runtuh, manusia-manusia yang berlari ketakutan, alam yang perlahan pulih dari kerusakan yang telah ditimbulkan. Dan di tengah kehancuran itu, dirinya berdiri sebagai eksekutor keadilan kosmik, sebagai pembersih yang akan mengembalikan keseimbangan alam.

Raka terdiam lama, mencerna kata-kata itu sambil merasakan kekuatan baru yang mengalir di dalam dirinya. Seumur hidupnya, ia hanya mengenal derita dan kekejaman yang diciptakan oleh manusia. Tidak ada satu pun memori positif tentang kebaikan manusia yang bisa ia ingat. Setiap interaksi dengan sesama manusia selalu berakhir dengan dirinya yang terluka, tertipu, atau dipermalukan.

Tak ada satu pun alasan untuk menolak perintah ini. Bahkan jika ada, kekuatan yang kini mengalir dalam tubuhnya membuat setiap keraguan menjadi tidak relevan. Justru, bisikan itu terasa seperti pembenaran mutlak atas segala kemarahan yang telah menumpuk di dadanya selama bertahun-tahun. Pembenaran atas nihilisme yang ia pegang teguh, atas kebenciannya terhadap dunia yang telah memperlakukannya dengan sangat buruk.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raka merasa memiliki tujuan. Untuk pertama kalinya, ia merasa kuat. Untuk pertama kalinya, ia tidak sendirian.

Tanpa belas kasihan, tanpa keraguan, tanpa penyesalan atas masa depan yang akan ia ciptakan, sebuah senyum tipis terukir di bibir Raka. Senyum itu bukan ekspresi kebahagiaan-itu adalah senyum seorang predator yang baru saja menemukan mangsa, senyum seorang hakim yang baru saja memutuskan hukuman mati massal.

Kekuatan yang mengalir dalam dirinya terasa seperti pahala atas penderitaan yang ia alami selama ini. Seperti kompensasi alam semesta yang sangat terlambat, tapi akhirnya datang juga. Dan bisikan dari kehendak Bumi itu... bisikan itu adalah janji balas dendam yang telah ia tunggu-tunggu tanpa sadar sejak orang tuanya meninggal.

Bukan hanya balas dendam untuk dirinya sendiri, tapi untuk planet yang juga menderita karena ulah manusia. Sebuah tujuan baru telah lahir dari penderitaan yang berkepanjangan. Sebuah algojo telah diangkat oleh kekuatan yang jauh lebih besar dari ego manusia biasa.

Hujan masih turun deras, tapi kini Raka tidak lagi meringkuk ketakutan. Ia berdiri tegak, membiarkan air hujan membasahi tubuhnya yang telah berubah, merasakan setiap tetes sebagai baptisan untuk kehidupan barunya.

Jakarta masih gemerlap di kejauhan, tidak menyadari bahwa ancaman terbesar dalam sejarah umat manusia baru saja lahir di kolong jembatan kumuh di antara para gelandangan dan pecandu. Kota itu masih bernapas dengan ritme yang sama, tidak menyadari bahwa napas-napas itu sudah dihitung dan akan segera berakhir.

Raka Adiputra, si yatim piatu yang dulu hanya berharap bisa makan kenyang, kini telah menjadi sesuatu yang jauh lebih mengerikan: perwujudan kemarahan Bumi itu sendiri, algojo yang akan membawa kiamat bagi spesiesnya sendiri.

Dan yang paling mengerikan adalah: ia merasa bahagia untuk pertama kalinya dalam hidupnya.

Chapter 2: Kekuatan Baru

Dingin yang mencekam masih merayapi tulang Raka, namun kini bukan dingin yang menusuk karena lapar atau kedinginan, melainkan sensasi dingin yang bersih, seolah setiap sel tubuhnya telah dibasuh oleh energi esensial. Ia membuka mata perlahan. Langit-langit jembatan layang masih sama bobroknya, coretan grafiti masih sama cabulnya, dan bau pesing masih tercium samar. Tapi kini, semua itu terasa berbeda. Lebih tajam. Lebih nyata.

Gelandangan di sekitarnya masih meringkuk dalam stupor mereka, tak menyadari bahwa transformasi luar biasa baru saja terjadi di tengah mereka. Raka bisa mendengar detak jantung mereka—teratur, lemah, kontras dengan detak jantungnya sendiri yang kini berdenyut kuat, seperti mesin yang baru disetel ulang. Ia mendengar desiran angin yang membawa partikel debu, bahkan bisa merasakan getaran mikroskopis dari lalu lintas di atas jembatan. Dunia terasa seperti orkestra yang kini bisa ia dengar dengan sempurna.

Ia bangkit perlahan, menguji keseimbangan tubuhnya. Gerakannya terasa ringan, efisien, seolah gravitasi tak lagi memegang kendali penuh atas dirinya. Otot-ototnya, yang dulu kaku dan ringkih karena kurang gizi, kini terasa padat dan penuh tenaga yang mengalir seperti sungai deras. Ia mengepalkan tangannya—bukan untuk mengusir dingin, melainkan untuk merasakan kekuatan yang berdenyut di setiap serat tangannya.

Suara itu kembali bergema, kini bukan lagi bisikan asing melainkan resonansi yang terasa akrab, seperti suara hati nuraninya yang baru.

"Kau telah bangkit, senjataku," bisikan itu menggema di benaknya, lebih jelas, lebih mendesak dari sebelumnya. "Dunia menantimu. Tapi sebelum kau bertindak, kau harus memahami. Memahami musuhmu. Memahami sistem yang mereka bangun untuk menghancurkan planet ini."

---

Raka membutuhkan tempat untuk bereksperimen tanpa menarik perhatian. Ia mengingat sebuah gedung tua yang pernah ia lihat saat mengamen—bekas pabrik tekstil yang bangkrut, terbengkalai di pinggiran Jakarta Utara. Perjalanan ke sana memakan waktu hampir dua jam dengan berjalan kaki, melewati gang-gang sempit dan jalan setapak yang hanya dikenal anak jalanan.

Namun perjalanan itu memberinya kesempatan pertama untuk merasakan perubahan pada dirinya. Setiap langkah terasa ringan namun bertenaga. Ia bisa melompati selokan lebar tanpa kesulitan, memanjat tembok tinggi dengan mudah, bahkan bergerak dalam kegelapan seolah memiliki penglihatan malam yang sempurna. Yang lebih menakjubkan, otaknya memproses lingkungan sekitar dengan kecepatan luar biasa—menghitung jarak, menganalisis kekuatan material, bahkan memperkirakan berat suatu objek hanya dengan melihatnya.

Gedung bekas pabrik itu sempurna. Lantai beton yang retak, dinding bata yang mulai rapuh, dan atap yang sebagian runtuh memberikan ruang eksperimen yang ideal. Di sinilah Raka mulai menguji batas-batas kemampuannya.

Ia mulai dengan hal sederhana—melompat. Bukan sekadar lompatan manusia biasa, melainkan loncatan yang membawanya melesat vertikal hampir tiga meter, tubuhnya melayang sejenak di udara sebelum mendarat tanpa suara. Ia mencoba lagi, kali ini dengan fokus yang lebih intens. Otaknya seolah menghitung medan gravitasi, dan ia bisa mengontrol kecepatannya turun, bahkan "berdiri" di udara selama beberapa detik.

Kekuatan fisiknya juga luar biasa. Ia mengulurkan tangan ke dinding beton yang retak. Dengan sedikit tekanan, retakan itu membesar, lalu seluruh bagian dinding runtuh menjadi puing. Namun yang lebih menakjubkan adalah kemampuannya memanipulasi objek tanpa menyentuh. Ia menatap sebuah puing besi, berkonsentrasi, dan besi itu mulai melayang, berputar di udara, lalu terdistorsi menjadi bentuk spiral yang aneh.

Ini bukan sihir—otaknya memahami hal itu dengan jelas. Ini adalah pemahaman instingtif akan energi, massa, medan elektromagnetik, dan bagaimana memanipulasinya. Seolah-olah seluruh fisika alam semesta kini terasa seperti instrumen yang bisa ia mainkan.

Tapi dengan kekuatan besar datang kebutuhan akan kontrol. Raka menghabiskan berhari-hari di gedung itu, berlatih mengendalikan kemampuannya. Ia belajar bergerak tanpa meninggalkan jejak, memanipulasi objek dengan presisi tinggi, bahkan meredam aura kekuatannya agar tidak terdeteksi oleh indra normal manusia.

---

Setelah merasa cukup menguasai kemampuan fisiknya, Raka mulai fokus pada aspek yang lebih kompleks: memahami sistem yang ingin ia hancurkan. Tantangannya adalah bagaimana seorang anak jalanan bisa mengakses informasi yang biasanya tersembunyi dari kalangan bawah.

Solusi pertama datang dari kemampuan baru otaknya yang bisa memproses informasi dengan kecepatan fantastis. Koran bekas yang biasa ia abaikan kini menjadi tambang data. Ia mengumpulkan koran bekas dari tempat sampah, warung-warung, bahkan mencuri dari tumpukan koran lama di kantor-kantor kecil. Setiap artikel, iklan, bahkan kolom kecil ia baca dan analisis. Otaknya menghubungkan informasi yang tersebar, mencari pola, dan membentuk gambaran besar yang tak terlihat oleh mata biasa.

Langkah berikutnya adalah menguasai akses internet. Jakarta penuh dengan wifi gratis yang tidak terlindungi—dari kafe-kafe, perpustakaan umum, pusat perbelanjaan, hingga kantor-kantor kecil yang keamanan digitalnya lemah. Dengan kemampuan barunya memanipulasi medan elektromagnetik, Raka bisa "meretas" sinyal wifi bahkan dari jarak jauh. Ia tidak perlu duduk di kafe; cukup berdiri di luar sambil pura-pura mengamen, ia sudah bisa mengakses internet melalui smartphone bekas yang ia temukan dan perbaiki sendiri.

Internet membuka dunia informasi yang tak terbatas. Dengan kecepatan baca dan analisis yang fantastis, Raka menyerap ribuan artikel, laporan keuangan publik, profil pejabat, bahkan dokumen-dokumen yang bocor di forum-forum bawah tanah. Ia bisa membaca sepuluh artikel dalam waktu yang dibutuhkan orang normal untuk membaca satu paragraf, sambil otaknya terus menganalisis dan menghubungkan informasi.

Yang lebih mengerikan adalah kemampuannya "menguping" komunikasi elektronik. Dengan fokus yang intens, ia bisa mendeteksi sinyal ponsel yang lemah, bahkan menangkap percakapan yang tidak terenkripsi. Duduk di warung kopi dekat gedung perkantoran, ia bisa mendengar lusinan percakapan sekaligus, memilah informasi penting, dan mencatat kelemahan para koruptor yang sering membicarakan bisnis kotor mereka melalui telepon.

---

Perpustakaan Nasional Jakarta menjadi salah satu tempat favorit Raka. Berpura-pura sebagai anak jalanan yang ingin belajar, ia menghabiskan jam demi jam menyerap buku-buku sejarah, ekonomi, politik, dan sosiologi. Pustakawan yang simpati bahkan memberikan kartu akses gratis, tidak tahu bahwa mereka sedang membantu menciptakan monster intelektual.

Setiap informasi yang ia serap semakin memperkuat argumen Bumi dalam benaknya. Ia membaca tentang revolusi industri yang mengawali kerusakan lingkungan skala besar, sistem keuangan yang menciptakan kesenjangan mengerikan, perang yang tak berkesudahan demi kekuasaan dan sumber daya. Data statistik tentang kemiskinan, korupsi, dan kehancuran ekosistem menjadi bahan bakar untuk kemarahannya.

Namun ada satu kisah yang membuat Raka berhenti sejenak dalam proses radikalisasinya. Ia menemukan artikel lama di arsip perpustakaan tentang "Bapak Tulus," seorang pensiunan guru SD yang mendedikasikan hidupnya untuk mengajar anak-anak jalanan di Jakarta, termasuk di area tempat Raka dulu mengamen.

Artikel itu bercerita tentang perjuangan Bapak Tulus yang tak kenal lelah—menggunakan uang pensiunnya untuk membeli buku bekas, menyediakan makanan untuk anak-anak yang kelaparan, bahkan tidur di kelas-kelas darurat yang ia bangun sendiri. Namun kisahnya juga penuh kepahitan: dana bantuan yang diselewengkan pejabat, izin yang dipersulit birokrasi, intimidasi dari preman lokal yang merasa terancam. Artikel itu berakhir dengan kematian Bapak Tulus yang kesepian, dikelilingi buku-buku usangnya, tanpa ada yang mengenang perjuangannya.

Untuk sejenak, Raka merasakan sesuatu yang hampir terlupakan—simpati. Ia bahkan mengingat samar sosok pria tua yang dulu sering memberikan roti dan susu kepada anak-anak jalanan. Apakah itu Bapak Tulus? Percikan kemanusiaan itu bertahan hampir sepuluh detik sebelum suara Bumi kembali mendominasi.

"Kebaikan adalah kelemahan di hadapan keserakahan." bisik suara itu, seolah mengomentari pergolakan batin Raka.

Raka menghembuskan napas panjang. Simpatinya pada Bapak Tulus berubah menjadi pembenaran baru. Bahkan orang sebaik itu pun tidak bisa mengubah sistem yang busuk. Kebaikan tanpa kekuatan hanya akan diinjak-injak. Kematian Bapak Tulus yang sia-sia hanya membuktikan bahwa pendekatan lembut tidak akan pernah berhasil.

---

Minggu-minggu berikutnya, Raka menghabiskan waktunya mengamati para elit korup yang menjadi targetnya. Dengan kemampuan barunya, ia bisa "menguntit" mereka tanpa terdeteksi. Ia mempelajari rutinitas mereka, kebiasaan pribadi, jaringan koneksi, bahkan kelemahan psikologis dari percakapan yang ia sadap.

Jakarta di matanya kini bukan lagi sekadar kota melainkan organisme raksasa yang sakit. Jalan-jalan macet menunjukkan kegagalan perencanaan kota yang korup. Gedung-gedung tinggi yang mencakar langit adalah manifestasi keserakahan yang mengabaikan dampak lingkungan. Lampu-lampu gemerlap di malam hari menyembunyikan kegelapan moral di baliknya.

Dari pengamatannya, Raka mengidentifikasi beberapa target utama: seorang bupati yang terkenal karena proyek-proyek fiktifnya, pengusaha real estat yang merusak hutan lindung, dan komisaris perusahaan tambang yang mencemari sungai. Mereka semua terhubung dalam jaringan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi hingga preman jalanan.

"Kau telah melihat wajah asli mereka, Raka Adiputra," bisikan Bumi kembali.

Raka tersenyum—sebuah senyum dingin yang tidak mencerminkan kebahagiaan melainkan tekad. Ia telah memahami medan perangnya. Kekuatan fisik supernya akan menjadi pedang terakhir, tapi kejeniusannya dan kemampuannya memanipulasi informasi akan menjadi pisau bedah yang membusukkan sistem dari dalam.

Ia akan membuat mereka menderita tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental, sosial, dan ekonomi. Seperti ia menderita seumur hidupnya. Tapi kali ini, ia yang memegang kendali.

Malam itu, duduk di atap gedung tua tempat ia berlatih, Raka menatap gemerlap lampu kota Jakarta. Setiap titik cahaya adalah kehidupan manusia, dan sebagian besar dari mereka—menurut pemahaman barunya—adalah parasit yang menggerogoti Bumi. Waktunya untuk memulai pembersihan.

Ini hanyalah permulaan.

Chapter 3: Bayangan Manipulasi

Setelah berminggu-minggu menyerap informasi dan mengasah kemampuannya di balik tirai kekumuhan Jakarta, Raka merasa siap. Bisikan Bumi, yang kini menjadi suara konstan di benaknya, semakin mendesak. "Fondasi telah kau pahami. Kini saatnya mengguncang menara paling tinggi. Pusat dari segala kekacauan mereka." Arah bisikan itu jelas: Amerika.

---

Perjalanan dari Jakarta ke Amerika, bagi seorang anak jalanan tanpa paspor atau uang, adalah hal mustahil. Namun, bagi Raka yang telah diubah, itu hanyalah sebuah tantangan logistik yang memerlukan kesabaran dan presisi.

Selama tiga hari berturut-turut, Raka mengamati Bandara Internasional Soekarno-Hatta dari berbagai sudut. Indera super-nya menangkap pola yang tak terlihat mata biasa: rotasi penjaga setiap empat jam dengan celah lima menit saat pergantian shift, frekuensi radio komunikasi keamanan pada 462.7875 MHz yang mengalami interferensi setiap pukul 02:30 dini hari akibat maintenance rutin sistem, dan jalur patroli K-9 yang melewatkan area gudang kargo utara selama tujuh menit setiap putaran.

Pada malam ketiga, Raka bergerak. Tubuhnya yang telah dimodifikasi memungkinkannya bergerak dengan kecepatan yang hampir tidak tertangkap mata, memanfaatkan bayangan dan sudut mati kamera CCTV. Ia tidak menghindari teknologi—ia memanipulasinya. Dengan sentuhan singkat pada panel kontrol, ia menciptakan loop video selama dua puluh detik pada kamera sektor C-7, cukup waktu untuk meluncur melalui ventilasi udara menuju area kargo.

Raka mendengar percakapan petugas keamanan melalui radio mereka: keluhan tentang overtime, kekhawatiran tentang tagihan rumah, kegelisahan seorang penjaga muda yang baru pertama kali bertugas malam. Emosi-emosi manusiawi yang pernah ia rasakan, kini hanya menjadi data yang ia analisis untuk keuntungannya. Tidak ada rasa bersalah. Hanya kalkulasi dingin.

Di area kargo, Raka memindai pesawat-pesawat yang sedang dipersiapkan. Indera pembaunya yang telah diasah mendeteksi bahan bakar jet, aroma logam, dan jejak parfum mahal yang menempel pada bagasi. Satu pesawat jet pribadi—Gulfstream G650—dengan plat registrasi yang menunjukkan tujuan Los Angeles. Sempurna.

Kompartemen kargo pesawat jet mewah itu ternyata lebih luas dari perkiraan, meski tetap sempit dan dingin. Raka memposisikan dirinya di antara koper-koper kulit mahal dan kemasan bermerek mewah, tubuhnya secara otomatis menyesuaikan suhu internal untuk bertahan dalam kondisi di bawah titik beku. Selama penerbangan empat belas jam itu, ia tidak tidur—ia bermeditasi, membiarkan bisikan Bumi mengalir melalui kesadarannya seperti mantra yang menghipnotis.

---

Ketika pesawat mendarat di Los Angeles International Airport, Raka merasakan perbedaan atmosfer yang mencolok. Bahkan melalui dinding pesawat, ia bisa mendeteksi perubahan kualitas udara, getaran frekuensi radio yang berbeda, dan yang paling mencolok—aura serakah yang mengental di udara seperti kabut beracun.

Keluar dari pesawat tanpa terdeteksi memerlukan sedikit improvisasi. Raka menunggu hingga pesawat diparkir di hangar pribadi, kemudian memanfaatkan keributan pemuatan bagasi untuk menyelinap keluar. Petugas ground handling yang melihatnya sekilas hanya akan mengingat sosok samar yang mungkin seorang teknisi—memori yang akan kabur dalam hitungan menit.

Los Angeles menyerangnya dengan serangan sensorik yang luar biasa. Udara yang relatif lebih bersih dibandingkan Jakarta, namun dipenuhi dengan jejak kimia yang berbeda—gas buang kendaraan mewah, aroma makanan sintetis, dan yang paling kentara, bau keringat dingin para pebisnis yang tegang. Gedung-gedung pencakar langit menjulang dengan angkuhnya, seolah menantang langit, sementara jalanan yang teratur mengalir dengan lalulintas yang terorganisir dengan presisi militer.

Yang paling mengejutkan Raka adalah denyutan keserakahan yang ia rasakan. Jika di Jakarta keserakahan itu bersifat kasar dan primitif, di sini ia merasakan keserakahan yang telah terintegrasi dengan sistem, yang telah berevolusi menjadi mesin yang efisien dan tak kenal ampun. Ini bukan lagi sekadar nafsu manusia—ini adalah virus yang telah bermutasi menjadi institusi.

Raka menghabiskan hari-hari pertamanya berkeliaran tanpa tujuan, menyerap kota ini seperti spons yang menyerap racun. Ia duduk di kafé-kafé, berpura-pura membaca koran sambil mendengarkan percakapan di meja sebelah tentang merger perusahaan yang akan menghancurkan ribuan lapangan kerja, atau tentang investasi di negara berkembang yang akan menguras sumber daya alam. Setiap papan reklame, setiap tayangan berita di layar raksasa, setiap percakapan bisnis yang ia sadap menjadi bagian dari peta kompleks yang terbentuk di otaknya—jaringan kekuasaan, aliran uang, dan jejak kehancuran yang ditinggalkan Amerika di seluruh dunia.

---

Pada hari keempat, saat Raka duduk di bangku taman Pershing Square, mengamati arus manusia yang berlalu-lalang dalam rutinitas egois mereka, ia merasakan sesuatu yang aneh. Getaran yang familiar, namun berbeda. Seperti frekuensi yang sama dengan bisikan Bumi, namun dengan harmonisasi yang berbeda.

Ia menoleh sebelum melihat siapa yang mendekatinya. Instingnya yang telah diasah memperingatkannya tentang kehadiran yang tidak biasa—bukan ancaman, tapi sesuatu yang... resonan.

"Raka Adiputra?"

Suara itu halus, nyaris menyatu dengan desiran angin sore. Raka menoleh dan melihat seorang perempuan muda berdiri sekitar tiga meter darinya, seolah ia telah muncul dari kerumunan tanpa menimbulkan gangguan sama sekali. Tidak ada jejak keringat di wajahnya meski cuaca Los Angeles sedang terik. Tidak ada detak jantung yang berubah—sesuatu yang seharusnya Raka deteksi dari siapa pun yang mendekatinya.

Perempuan itu berusia awal dua puluhan, dengan rambut hitam legam yang tergerai lurus hingga pinggang, bergerak seolah memiliki kehidupan sendiri meski tidak ada angin. Matanya—matanya yang paling menarik perhatian Raka—hitam pekat seperti jurang tanpa dasar, namun ada kilatan cahaya di dalamnya yang mengingatkan Raka pada aurora. Wajahnya cantik dengan cara yang hampir tidak manusiawi, terlalu simetris, terlalu sempurna, seolah dipahat oleh seniman yang memahami proporsi ideal hingga detail molekuler.

Pakaiannya sederhana—jeans biru tua dan kemeja putih tanpa merek—namun cara kain itu jatuh di tubuhnya menunjukkan kualitas yang tidak biasa. Yang paling mengganggu Raka, ia tidak bisa membaca sinyal biologis apapun dari perempuan ini. Tidak ada aura emosi, tidak ada pola pernapasan yang bisa ia deteksi, bahkan tidak ada bau tubuh natural yang seharusnya dipancarkan setiap manusia.

"Siapa kau?" Raka bertanya, suaranya datar, tanpa emosi, meski di dalam benaknya sistem peringatannya bekerja dengan intensitas tinggi.

"Namaku Eva," jawab perempuan itu sambil melangkah lebih dekat. Setiap langkahnya tidak menimbulkan suara, seolah kakinya tidak benar-benar menyentuh tanah. "Dan aku seperti dirimu, Raka. Pilihan Bumi."

Saat Eva mengucapkan kata "Bumi," bisikan konstan di benak Raka menguat drastis, seolah menggema dengan suara Eva. Untuk pertama kalinya sejak transformasinya, Raka merasakan sesuatu yang mirip dengan... pengakuan. Bukan emosi manusiawi, tapi sesuatu yang lebih primitif, lebih fundamental—seperti dua instrumen yang disetel pada frekuensi yang sama.

"Bagaimana kau tahu namaku?" Raka memindai Eva dengan intensitas penuh, mencari tanda-tanda kebohongan, manipulasi, atau ancaman. Yang ia temukan adalah kehampaan yang menakutkan—tidak ada yang bisa ia baca dari makhluk ini.

Eva tersenyum—senyuman tipis yang tidak mencapai matanya. "Bumi berbicara kepada semua anaknya, Raka. Kau tidak sendirian dalam misi ini." Ia duduk di bangku, menjaga jarak yang tepat—cukup dekat untuk menunjukkan keintiman, cukup jauh untuk tidak mengancam. "Aku ditugaskan untuk membimbingmu. Untuk memastikan amarahmu disalurkan dengan presisi yang tepat."

Cara Eva berbicara mengingatkan Raka pada bisikan Bumi—halus namun menusuk, menenangkan namun menggiring. Ada pola dalam intonasinya yang membuat kata-katanya terasa lebih masuk akal daripada seharusnya, lebih meyakinkan tanpa argumen yang jelas.

"Presisi?" Raka bertanya, meski sebenarnya ia sudah mulai memahami apa yang dimaksud Eva.

"Bumi sabar, Raka. Ia telah menunggu ribuan tahun untuk pembersihan ini. Beberapa dekade lagi tidak akan mengubah apapun. Yang penting adalah memastikan tidak ada yang tersisa untuk melanjutkan siklus kehancuran." Eva mengeluarkan sebuah tablet tipis dari tas kulit yang bahkan tidak Raka sadari keberadaannya. "Tapi sebelum pembersihan total, mereka harus dipecah belah terlebih dahulu. Dibuat saling mencurigai, saling menghancurkan. Chaos yang terkontrol."

Tablet itu tampak biasa—iPad generasi terbaru dengan casing hitam metalik. Namun saat Eva menyerahkannya kepada Raka, dan jari mereka bersentuhan sekilas, Raka merasakan aliran informasi yang luar biasa mengalir langsung ke otaknya. Bukan melalui mata atau telinga, tapi langsung ke korteks serebralnya, seolah data itu di-upload dengan teknologi yang belum pernah ia bayangkan.

Informasi tentang Richard Sterling—konglomerat media dan teknologi terbesar ketiga di Amerika—mengalir dalam pikiran Raka dengan detail yang mengejutkan. Bukan hanya profil publik, tapi rekening bank rahasia di Cayman Islands, percakapan pribadi yang direkam dalam ruang kedap suara, bahkan kebiasaan seksual dan ketergantungan obatnya pada Adderall. Lebih dari itu, ada peta kompleks tentang jaringan korupsinya—dari senator yang dibeli hingga aktivis lingkungan yang dibunuh, dari kebakaran hutan Amazon yang sengaja dipicu hingga pencemaran air di Afrika yang ditutupi media.

"Dari mana kau mendapat informasi ini?" Raka bertanya, meski sebagian dari dirinya sudah mengetahui jawabannya tidak akan memuaskan.

"Bumi melihat segalanya, Raka. Setiap transaksi meninggalkan jejak digital. Setiap percakapan menciptakan getaran. Setiap kebohongan menghasilkan pola yang bisa dibaca." Eva berdiri, gerakannya terlalu halus untuk manusia normal. "Sterling adalah tes pertamamu. Hancurkan dia dari dalam. Tunjukkan pada dunia betapa rapuhnya sistem yang mereka sembah."

---

Raka menghabiskan tiga hari berikutnya mempelajari Richard Sterling dan Sterling Global dengan obsesi yang hampir religius. Informasi dari Eva memberinya akses yang tidak terbatas ke sistem internal perusahaan, namun Raka tidak buru-buru menyerang. Ia mengamati, menganalisis, mencari titik lemah yang tidak hanya akan menghancurkan Sterling, tapi akan menciptakan efek domino yang lebih luas.

Sterling Global bukan hanya perusahaan media—ia adalah gurita dengan tentakel yang menjangkau industri teknologi, farmasi, pertambangan, bahkan militer. Hancurkan satu bagian dengan cara yang salah, dan bagian lain akan menutupi kerusakan itu. Raka membutuhkan pendekatan yang lebih canggih.

Ia memulai dengan meretas sistem payroll Sterling Global, bukan untuk mencuri uang, tapi untuk menanam anomali kecil yang akan memicu audit internal. Kemudian ia memanipulasi algoritma sistem keamanan mereka, menciptakan false positive yang akan membuat departemen IT mengira ada insider threat. Sementara itu, ia menyadap semua komunikasi pribadi Sterling—email, pesan WhatsApp, bahkan rekaman panggilan telepon melalui smart home system di mansion mewahnya.

Yang Raka temukan melampaui ekspektasinya. Sterling bukan hanya serakah—ia paranoid hingga tingkat patologis. Ia punya daftar musuh yang panjang, tidak hanya pesaing bisnis tapi juga rekan kerja yang ia curigai merencanakan kudeta. Kepribadian narsistiknya membuatnya tidak bisa mempercayai siapa pun, sementara ketergantungannya pada Adderall membuatnya rentan terhadap episode paranoid yang semakin intens.

"Sempurna," bisik Raka pada dirinya sendiri, merasakan sesuatu yang mirip dengan kepuasan—meski ia tidak yakin apakah perasaan itu benar-benar miliknya atau hasil dari programming yang telah ditanamkan dalam dirinya.

Raka mulai mengeksekusi rencananya dengan presisi bedah. Ia menggunakan informasi dari sadapan komunikasi Sterling untuk mengirim email anonim kepada para direktur eksekutif, masing-masing berisi "kebocoran" informasi yang menunjukkan bahwa rekan mereka sedang merencanakan pengkhianatan. Email kepada CFO berisi rekaman audio (yang dimanipulasi) tentang CEO yang merencanakan untuk menjadikannya kambing hitam dalam kasus pencucian uang. Email kepada CTO berisi dokumen (yang dipalsukan dengan sempurna) tentang rencana menggantinya dengan keponakan Sterling.

Secara bersamaan, Raka membocorkan informasi parsial tentang praktik ilegal Sterling Global kepada wartawan investigatif di Washington Post dan New York Times. Bukan seluruh informasi—hanya cukup untuk memicu keingintahuan dan memulai penyelidikan yang lebih dalam. Ia juga menanam jejak digital palsu yang menunjukkan bahwa kebocoran itu berasal dari internal perusahaan.

Dalam tiga hari, Sterling Global dilanda paranoia yang luar biasa. Sterling memecat tiga direktur senior atas tuduhan pengkhianatan, yang memicu exodus karyawan kunci lainnya. Audit internal yang dipicu oleh anomali payroll menemukan "bukti" manipulasi finansial—bukti yang sebenarnya ditanam Raka dengan sangat hati-hati. Media massa mulai menggali lebih dalam, menemukan jejak yang dengan sengaja Raka tinggalkan, yang mengarah pada skandal yang semakin melebar.

---

Raka mengamati kehancuran Sterling Global dari sebuah kafe internet di Santa Monica, duduk di antara mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas dan freelancer yang sedang mencari pekerjaan. Di layar laptopnya, ia memantau real-time coverage dari collapse Sterling Global. Saham perusahaan anjlok 60% dalam dua hari. FBI mulai membuka penyelidikan formal. Yang paling memuaskan, Sterling sendiri dilarikan ke rumah sakit setelah mengalami nervous breakdown—overdosis Adderall yang dipicu oleh paranoia akut.

Namun yang paling menarik perhatian Raka adalah efek sampingnya. Kegagalan Sterling Global memicu kepanikan di sektor teknologi dan media. Investor mulai menarik dana dari perusahaan serupa, khawatir mereka juga menyembunyikan skandal serupa. Indeks Nasdaq turun 3% hanya dalam satu hari. Lebih penting lagi, para konglomerat lain mulai saling mencurigai—jika Sterling yang tampak tidak tersentuh bisa jatuh semudah itu, siapa yang menjamin bahwa mereka tidak akan menjadi target berikutnya?

Raka tidak merasakan kegembiraan atau kepuasan dalam arti manusiawi. Yang ia rasakan adalah sesuatu yang lebih fundamental—sense of completion, seperti puzzle yang akhirnya lengkap, atau seperti program yang telah dieksekusi dengan sempurna. Ini adalah bukti bahwa transformasinya telah berhasil, bahwa ia kini memiliki kekuatan untuk membalas semua penderitaan yang pernah ia alami, untuk mewakili semua anak jalanan yang mati dalam kesunyian, untuk menjadi instrumen keadilan planet ini.

"Indah, bukan?"

Suara Eva mengalir seperti musik di telinganya. Raka menoleh dan mendapati Eva sudah duduk di sampingnya, menyeruput cappuccino seolah ia telah berada di sana sejak tadi. Sekali lagi, Raka tidak mendeteksi kedatangannya—kemampuan yang mulai membuatnya curiga, meski ia memilih untuk mengabaikan keraguan itu.

"Satu parasit telah jatuh," kata Eva, matanya memantulkan cahaya layar laptop dengan cara yang tidak natural. "Tapi ini baru awal, Raka. Lihatlah bagaimana mereka mulai saling mencurigai. Bagaimana ketakutan mulai menyebar seperti virus. Inilah yang Bumi inginkan—bukan hanya kehancuran fisik, tapi kehancuran dari dalam."

Eva menunjuk ke layar berita di televisi kafe, yang sedang menayangkan wawancara dengan CEO perusahaan teknologi besar lainnya. Pria itu tampak gelisah, berkeringat meski ruangan ber-AC, matanya yang bergerak-gerak mengkhianati paranoia yang mulai tumbuh.

"Mereka mulai menyadari bahwa sistem yang mereka bangun—sistem yang membuat mereka merasa aman dan berkuasa—sebenarnya sangat rapuh," Eva melanjutkan. "Satu serangan yang tepat, pada titik yang tepat, bisa meruntuhkan seluruh struktur. Dan ketika mereka mulai saling tidak percaya, mereka akan menghancurkan diri mereka sendiri."

Raka menatap layar, mengamati wajah-wajah para pebisnis dan politisi yang mulai menunjukkan tanda-tanda kekhawatiran. "Apa langkah selanjutnya?"

Eva tersenyum—senyuman yang kali ini mencapai matanya, tapi justru membuatnya terlihat lebih mengerikan. "Kita bergerak ke target yang lebih besar. Ada seseorang di Washington yang perlu... perhatian khusus. Semakin tinggi mereka jatuh, semakin keras bunyi benturannya."

Raka bangkit, mengemas laptopnya dengan gerakan yang sudah menjadi otomatis. Ia tidak tahu ke mana Eva akan membawanya selanjutnya, siapa target berikutnya, atau apa strategi yang akan mereka gunakan. Yang ia tahu hanyalah bahwa ia kini memiliki tujuan yang lebih besar dari sekadar bertahan hidup—ia memiliki misi untuk membersihkan dunia, untuk membebaskan Bumi dari parasit yang telah menggerogotinya selama berabad-abad.

Dan dalam keheningan pikirannya, bisikan Bumi berbisik dengan nada yang hampir seperti pujian: "Bagus, anakku. Kau mulai memahami. Kehancuran yang sesungguhnya dimulai dari dalam. Dan kau... kau adalah virus yang akan menginfeksi sistem mereka dari dalam."

Saat mereka keluar dari kafe, Raka merasakan perubahan dalam dirinya. Bukan perubahan fisik—tubuhnya sudah mencapai puncak evolusi. Ini adalah perubahan yang lebih dalam, lebih fundamental. Ia tidak lagi hanya korban yang mencari balas dendam. Ia telah menjadi instrumen kehancuran yang presisi, alat yang dirancang khusus untuk meruntuhkan peradaban manusia dari fondasi yang paling dalam.

Dan yang paling menakutkan—atau melegakan, tergantung sudut pandang—ia mulai menikmatinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!