Matanya menatap nanar pada sebuah surat undangan yang dipegangnya di tangan. Tertulis dengan jelas nama seseorang yang tidak asing dan sebuah foto prawedding seorang pria dan wanita yang menambah keyakinannya jika wanita di depannya itu bukan sedang membuat prank, itu bukan surat undangan bohongan.
“Apa maksudnya ini, Clau?” tanya Aditya mempertanyakan apa maksud surat undangan pernikahan yang terpampang foto wanita itu, tetapi bukan dengan dirinya.
Claudia, wanita berparas cantik dan berkulit terang itu mengembuskan napas panjang. Dia menunduk, meletakkan tas tangan bermerek Hermes itu ke dari meja ke pangkuannya.
“Maaf, Dit. Tapi, aku akan menikah dengan pria lain. Pria pilihan orang tuaku,” jelas si wanita dengan suara lirih dan halus, tetapi berhasil membombardir hati Aditya sampai hancur berkeping-keping.
Langit yang terang menjadi buram seketika sebab dia tidak bisa menampung air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Pertemuan siang hari ini benar-benar di luar dugaannya. Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong.
Tangannya terbuka lebar, punggungnya dia hempaskan ke sandaran kursi restauran itu. Ia masih tidak habis pikir.
“Tapi, kenapa, Beib? Kamu tahu aku janji akan nikahin kamu akhir tahun ini, aku lagi usaha menuhin permintaan ayahmu.”
Dia benar-benar dibuat lemas, untuk menuju akhir tahun, itu hanya terhitung beberapa buan lagi, tidak lama dan permintaan mas kawin dengan sebuah hunian mewah di perumahan elit ibu kota, sudah hampir terpenuhi.
Aditya sudah optimis bisa menikahi wanita cantik itu, dan syarat hampir bisa terpenuhi bahkan sebelum akhir tahun sesuai jatuh tempo kesepakatan waktunya. Namun, apa yang terjadi sekarang?
Claudia dan keluarganya yang mengkhianati waktu yang telah disepakati bersama.
Sebenarnya Aditya bisa saja meninggalkan perempuan itu dan dengan mudah mencari perempuan yang lain untuk dinikahi, tetapi Claudia di matanya berbeda, dia spesial.
Claudia bukan hanya cantik secara rupa dan idaman semua pria, tetapi dia wanita modern yang pintar, dan hanya dia wanita yang sudah ia kencani paling lama sejak masa SMA.
Namun, takdir seakan membawa mereka kepada kesenjangan sosial yang tercipta, ternyata Claudia anak orang kaya raya dan Aditya hanya pria biasa yang sedang merintis karirnya.
“Aku tidak bisa menolak permintaan papa, Adit. Papa sudah tidak sabar melihat aku menikah.”
Aditya tersenyum kecut. “Ck. Kamu kan bisa kasih pengertian biar papamu paham, itu gak lama lagi, Clau. Kamu bisa lihat sendiri kan bagaimana perjuanganku selama ini?”
Namun, Claudia tetap menggeleng. “Sudah terlalu lama, Adit, ini hampir tiga tahun.”
“Ya, bagaimana. Kamu mintanya penthouse buat mas kawin, kamu tahu pekerjaanku apa?”
Claudia tetap diam, seperti tidak berniat memberikan toleransi waktu untuk pria itu mewujudkan permintaannya.
Begitu pula surat undangan yang sudah tersebar luas. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain meminta maaf kepada kekasihnya, Aditya.
“Siapa pria yang kamu nikahi ini, Clau?” tanya Aditya. Dia mengira, tidak akan mungkin mereka mengkhianati janji jika pria yang datang tidak lebih baik dari dirinya.
Aditya yakin, pasti pria itu lebih kaya dari dirinya.
“Leon,” jawab Claudia singkat.
“Leon siapa?” tetapi Aditya bukan cuma ingin tahu nama, tetapi siapa orang ini secara latar belakang sudah pasti dia bukan orang biasa lebih di bawah dirinya.
“Anak pemilik residen Almaura Penthouse.”
Duar.
Jelas, Aditya hanya bisa menyandarkan punggungnya di kursi restauran itu. Ini bukan khayalan, tak mungkin Claudia menolak pernikahan dengan pria–anak pemilik residen penthouse yang dia minta Aditya membelikan salah satu unitnya.
.
.
“Ibu, atas nama hotel ini. Saya maaf, ini staf kami sedang mencoba memperbaiki saluran airnya,” ucapnya selaku manager di tepatnya bekerja yang harus turun tangan atas laporan dari stafnya karena terdapat tamu yang marah-marah atas kendala di kamar sewanya.
“Sedang diperbaiki bagaimana? Mana?! Gak ada progres?! 30 menit saya menunggu!” sergah ibu itu marah-marah sampai urat hijau di leher menegang.
“Ya, sabar, dong. Namanya juga lagi usaha, Bu!” timpalnya dengan nada emosi tanpa sengaja.
Semua mata menatap aneh pada Aditya, sikap seorang manajer hotel yang biasanya ramah dan hospitality yang prima, hari ini terlihat lebih tidak sabar dan bahasa yang digunakan tidak sesopan biasanya saat ada komplain dari tamu hotel yang kurang puas pada pelayanan hotelnya.
Namun, dia segera sadar jika saat ini dirinya sedang bekerja bukan sedang di pasar yang berisi ibu-ibu berisik dan suka menawar sampai marah-marah.
“Maaf, maksud saya, mohon Nyonya bisa tunggu sebentar selagi saluran air diperbaiki. Jika Anda berkenan, saya akan mengganti kamar Anda ke suite president room sebagai bentuk ganti rugi.”
“Benar, ini? Gak ada tambahan biaya sewa? Saya tinggal lama lho di sini, seminggu.”
Aditya mengiyakan dengan senyum terlebarnya. Untuk kesalahannya dalam bersikap barusan, dia merasa harus melakukan ini untuk memperbaiki citra perusahaan.
Mengganti kamar tamu dari kamar biasa menjadi suite president alias kamar dengan fasilitas utama yang selisih harganya sangat berbeda jauh.
“Namun, berlaku sampai kamar ibu ini selesai diperbaiki,” jelas Aditya.
“Okey! Deal!”
Hari ini ia merasa kacau. Ditinggal nikah, lalu bertemu dengan ibu-ibu rumil yang membuat gaduh lobby hotel membuat kondisi hatinya semakin kacau dan berimbas pada kekurang profesionalan dalam bekerja.
Sebelumnya tidak pernah begitu, tetapi kali ini kondisinya sangat tidak memungkinkan dia bisa bersikap baik-bak saja sebab impian menikahi kekasihnya kandas yang seharusnya akan di lakukan pada akhir tahun ini, tapi pernikahan impian itu kini tinggal khayalan belaka.
Ia terlalu patah hati untuk menebar senyum pada tamu hotelnya.
----
"Apa, A? Ditinggal merit?"
Hannah, wanita paruh baya itu terkejut, tetapi lekas tertawa.
Aditya mengangguk lesu di depan mamanya. Itu bukan berita baik, tapi kenapa mamanya terlihat bahagia dan tertawa mendengar itu? Seperti mendapat undian berhadiah mobil dari bank saja.
"Mending sama ini, nih. Anaknya bi Ijah. Neng geulis paporit mamah!" kata Hannah sambil mengambil ponselnya, mengulir seperti mencari sesuatu di smartphone.
Aditya mengernyit, ia berusaha mengingat sosok anak bi Ijah yang sudah lama tidak lagi bertemu.
“Anak bi Ijah yang dulu kurus kering hitam kecil itu, Ma?”
Hannah mengangguk.
Ya, di saat baru saja dia curhat ke ibunya mengapa dirinya murung akhir-akhir ini yang dikarenakan gagal merit. Hannah malah menyuruh putranya untuk berkenalan dengan salah satu anak gadis mantan pembantunya.
Aditya membayangkan, sesosok anak pembantu yang sering dia lihat dulu sewaktu dirinya masih sekolah SMA dan anak itu masih bermain boneka.
Anak yatim yang selalu dibawa bi Ijah bekerja di rumahnya selama bertahun-tahun lamanya.
Aditya pikir, dia sedikit menyesal telah menceritakan kisah putus cintanya jika ujungnya akan ditanggapi dengan lelucon perjodohan seakan-akan patah hatinya sekadar putus cinta bocah remaja saja.
“Bentar, mama cari fotonya. Kamu cocoknya sama anak bi Ijah,” ujar Hannah tidak hentinya membujuk sang putra untuk mengenal perempuan anak mantan pembantunya.
“Mah, serius deh.”
Aditya memutar setir mobil memasukki halaman rumahnya, hari ini Hannah meminta diantar ke mall untuk berbelanja kebutuhan rumah, sekaligus ada maksud lain untuk mengobrol dengan putranya yang semingguan ini cemberut saja gunanya.
Namun, bagi Aditya. Hannah membuatnya tambah kesal. Alih-laih sang ibu bersimpati dengan kondisinya yang sedang patah hati karena diputus cinta oleh sang pujaan hati, Hannah malah menyuruhnya cepat-cepat move on dan mengenalkan sesosok perempuan dari ponselnya.
“Ini, lihat.” perintah Hannah saat Aditya tiba di dapur meletakkan tas-tas belanjaan sang ibu.
Sebuah foto hasil jepretan kamera jadul yang menunjukkan potret efek sephia, seorang gadis remaja yang masih berkuncir kuda. Tentu dia bukan tipenya.
Ia menolak, tetapi Hannah memaksanya untuk melihatnya sekali lagi.
“Lihat dulu sebentar, coba. Pikir-pikir dulu, A.”
Dengan terpaksa, Aditya mengambil ponsel itu dan memandangi foto gadis yang bukan seleranya.
Di dalam hati berbisik, “Sama saja seperti dulu, anak hitam dan kurus kering. Tapi, lumayan senyumnya manis.”
Hannah yang melihat sang putra menatap foto itu lama tanpa berkedip, lantas berkata: “Ya, kan. Benar apa mama bilang?”
“Apa?” Aditya bertanya-tanya, apanya yang mama benar?
“Cantik, kan? Gak kalah sama si Claud,” ujar Hannah.
Aditya memutar bola matanya, jengah. “Jauh atuh, Mah,” timpalnya.
Beda jauhhhh, bagai langit dan bumi.
Gadis desa yang penampilannya sangat .... ah, tidak terbayangkan jika diajak kondangan pun rasanya kurang pas dibandingkan dengan sosok Claudia yang cantik jelita.
Selama belasan tahun menjalin kasih dengan Claudia, Aditya tidak pernah melirik wanita lain karena belum ada seorang perempuan pun yang berhasil mengusir sosok sempurna itu di hatinya.
“Sekarang mah sudah dewasa atuh, A. Baru lulus kuliah, pintar dia,” ujar Hannah terdengar sangat mempromosikan seorang gadis di telinga Aditya.
Aditya tetap berpikir-pikir, jangan sampai dia mengiyakan dengan segera. Laki-laki itu tidak ingin mendapatkan yang tidak lebih baik daripada mantannya, dia tidak mau dikatakan turun selera hanya karena diputus cinta.
Semacam balas dendam. Lebih baik lama menjomblo daripada terburu-buru mencari sosok pengganti, tapi menyesal di kemudian hari.
Aditya menggeleng, memberikan kembali ponsel Hannah dengan lesu. Dia tidak tertarik sama sekali dengan sosok gadis di foto itu. Penampilan, yang pertama adalah penampilan. Bagi Aditya, gadis itu terllau polos dan ya, satu kata. Norak!
“Gak, ah, Ma. Mending Adit cari perempuan di sini saja,” ujarnya.
“Eh, nanti Mama kenalin dia ke kamu. Awas nanti kalau kamu tergila-gila sama dia, sujud kamu di kaki mama.” Tuding Hannah menyodorkan pisau kepada putranya.
Aditya diam.
Dalam hati, Aditya bertaruh. “Ya, deh. Challenge diterima, kalau sampai mama berhasil, gue bakal sujud di kakinya, cium kanan kiri.”
Akhir pekan.
Sakit, terdengar menyakitkan di telinga Hannah saat dia mendengar cerita anak tunggalnya yang ditinggal kawin gara-gara si perempuan menemukan sosok ria yang lebih kaya.
Ia mengerti putranya sedang menjalin hubungan dimana dia yang kekasihnya seperti istilah kata, “perintis tidak sepadan dengan pewaris”
Hanna menyudahi aktivitas mencuci piringnya. Ia menjadi tahu apa yang menjadi penyebab kemurungan putranya yang tak berkesudahan.
Padahal Hannah tahu dengan siapa seharunya putranya bersanding, tetapi ia pun tahu jika putranya sangat mencintai perempuan itu hingga beberapa kali nasihat yang pernah dia berikan tidak pernah sekalipun digubrisnya.
“Namanya Nadia, yang anaknya bi Ijah itu yang mama kenalin ke kamu kemarin. Ingat?”
Hari Minggu pagi, Hannah sudah kembali membahas anak peremuan mantan pembatunya. Aditya menyangga dagu sembari mengaduk kopi hitamnya dengan malas di atas meja makan.
Hannah mengajak putranya keluar untuk refresh pikiran yang pening setelah seminggu ini banyak kejadian yang membuatnya lelah badan dan pikiran.
Di dalam mobil, Hannah menunjukkan foto-foto seorang perempuan kepada Aditya yang sedang fokus menyetir, setiap mobil berhenti di bawah lampu merah, Hannah akan menunjukkan satu foto perempuan yang sama dengan pose yang berbeda.
Membosankan kata Aditya dalam hatinya.
“Anak itu terus, Ma? Gak ada yang lain? Adit gak minat sama dia, masih kecil begitu, beda usia jauh.”
Hannah tersenyum sambil mengangguk, ternyata putranya memperhatikan walaupunn sejak tadi kelihatannya tak acuh.
Aditya masih ingat betul, dulu saat dia SMA, anak itu masih kecil dan masih bermain boneka. Tidak masuk akal jika mamanya menjodohkan dia dengan gadis kecil itu. Ia juga ingat jika gadis kecil itu dulunya kecil, kurus, hitam, dan selalu berkuncir dua dengan menggunakan karet gelang bungkus nasi dan di tangannya selalu membawa boneka usang mirip boneka susan.
Dia mengendikkan bahunya saat mengingatnya.
“Kenapa, bergendik begitu?”
“Hah? Enggak. Dia masih kecil, Ma. Adit cari yang sudah matang, deh. Jangan yang masih labil, repot nanti.”
“Ya, kalau sekarang sudah dewasa, Dit.”
“Serah mama, deh. Ini sekarang kita mau kemana, ini?”
“Antar mama ke rumah bi Ijah.”
Semua pokok pembahasan seakan tertuju pada bi Ijah dan anaknya bi Ijah.
“Oke, fine. Adit antar. Mau apa ke rumah bi Ijah?”
“Mau ngelamar Nadia buat kamu.”
Cit...... Roda mobil berhenti seketika di tepian jalan itu. Aditya mengerem mendadak mobilnya.
“What?! Apa, Ma?”
“Ini, sudah mama siapkan,” ucap Hannah bikin Aditya melongo, pasalnya wanita yang telah melahirkannya itu sudah membawakan sekotak cincin untuk simbolis rencana ngelamar.
Astaghfirullahaladzim. Bibirnya terus berucap istighfar ketika Hannah tiba-tiba merencanakan lamaran tanpa persetujuannya.
Ini terlalu mendadak dan tidak ada acara taaruf atau semacamnya yang membuatnya yakin akan menjadikan anak bi Ijah sebagai istri.
“Beri Adit waktu buat mikir, Ma. Baru juga putus---”
“Hust! Sudah, jangan kelamaan mikir. Niat baik harus disegerakan. Mama bersyukur kamu tidak jadi sama Claud itu. Jadi, mama bisa jadikan Nadia menantu secepatnya,” ucap Hannah benar-benar tidak ada kompromi untuk Aditya berpikir sejenak.
“Bagaimana kalau Adit gak suka? Maksudnya, masa iya langsung ngelamar begitu? Kenal saja belum?”
“Percaya sama mama. Kamu pasti suka, mama jamin, seratus persen!” ucap Hannah mantap sambil mengepalkan tangan.
Plak.
Hannah memukul lengan putranya, gemas. Dia tidak sabar ingin cepat sampai kek tempat tujuan.
“Yuk, cepat jalan!” perintah Hannah sambil senyam-senyum tak mau tahu anaknya mau apa tidak.
Aditya menghela napas pasrah. Berharap dia tidak mendapati sosok Nadia yang jauh di luar ekspetasinya atau lebih buruk daripada sosok gadis yang Hannah tunjukkan di foto itu.
Minimal sama seperti yang di foto tadi, tidak cantik tapi punya senyuman manis.
“Nah, kan, benar!” ucap hati Aditya begitu melihat sosok wanita yag bernama Nadia itu.
Jauh-jauh dia datang demi menuruti permintaan sang ibu dari Bandung sampai ke Semarang hanya untuk menemui anak perempuan bi Ijah yang Hannah bilang gadis itu geulis pisan.
Namun, bagi Aditya itu sebuah kesialan.
Bukan tidak geulis di mata Aditya, tetapi dia punya tipe wanitanya sendiri. Perempuan yang ini gendut, 3 kali lipat dari berat badannya, dengan rambut yang terurai panjang lurus seperti baru di-smoothing sebatas bahunya.
Dia terus berdiri di sampingnya, merangkul lengan sejak Aditya datang dan sejak pertama kali mereka berkenalan.
“A' Adi--it...” rengeknya mendesah manja. Aditya meringis geli.
“I ... iya, iya.” Aditya geli sendiri dengan perempuan yang melendot padanya. Ia berusaha melepaskan, tetapi tenaga perempuan itu powerful, jika boleh berkata Aditya pikir perempuan ini mirip seperti sosok Yeti si makhluk salju yang berbadan besar itu.
“Nad, sini. Jangan begitu sama A Adit,” ujar bi Ijah.
"Abis A Aditnya ganteng banget, Bu. Nad kan suka," timpal perempuan itu yang melepaskan rangkulan di lengan Aditya gara-gara ibunya menariknya untuk berdiri di sebelahnya.
Aditya menghela napas lega. Akhirnya dapat terlepas dari jeratan si Yeti.
Sampai dia duduk, dan menarik lengan kemejanya yang naik akibat terlalu lama dirangkul.
“Bu Hannah, sampai jauh-jauh ke sini. Terima kasih sudah berkenan datang, Bu. Mari-mari, silakan duduk.” Bahkan hubungan mantan majikan dan pembantu itu sudah erat, bukan seperti hubungan mantan majikan dan asistennya. Mereka lebih mirip sepasang bestie.
“Lah, sekali-kali gak papa. Bi Ijah apa kabarnya sudah sehat? Lama gak ketemu.” Hannah menyapa pasalnya sudah sekitar 6 bulan ini Ijah sudah tidak kerja lagi padanya setelah berpuluh tahun mengabdi karena kondisi kesehatan bi Ijah yang tidak memungkinkan lagi untuk bekerja sehingga ia berhenti menjadi asisten rumah tangga di kediaman bu Hannah.
Aditya pun memandangi sosok bi Ijah yang dia kenal baik sebagai pengasuh sekaligus asisten Hannah bahkan sejak dirinya kecil, dia pun ingat dulu penah digendongnya semasa kecil.
Wanita itu terlihat semakin sehat dan bugar daripada kali terakhir dia lihat sosoknya yang kurus kering dan sering sakit-sakitan.
“Sehat, Bu. Alhamdulillah. Ya, ada anak-anak yang ngurus saya di rumah. Nadia juga sudah pulang, dia pandai merawat saya dan pekerjaan rumah saya semakin terbantu,” ujar bi Ijah seraya mengusap punggung perempuan yang duduk di sisinya.
Sontak mata Aditya menatap perempuan yang duduk di samping bi Ijah, menudukkan kepala mada perempan itu yang sejak tadi menatapnya tanpa henti sambil senyum-senyum sendiri.
“Iya, A Adit? Kenapa natap saya terus?” kata perempuan itu berlenggok centil seperti ulat keket yang Adit pikir dia sosok Nadia yang ada di foto ponsel Hannah.
“Eh, ya. Bu Hannah dan A' Adit ada keperluan apa mampir ke mari, jauh-jauh tanpa ngasih kabar, kan saya belum siap-siap, duh, Ibu. Maaf,” Bi Ijah pun tidak enak hati karena belum menyiapkan jamuan apapun untuk menyambut kedatangan mereka.
“Dek, sana kamu bilang...” kata Bi Ijah memerintahkan anak perempuan di sampingnya, tetapi lekas ditahan oleh Hannah.
“Hush, gak usah repot-repot. Kami datang ke sini bermaksud untuk melam—“
“Mah,” cegah Aditya seraya menggeleng-gelengkan kepala. Dia menggenggam tangan ibunya untuk tidak melanjutkan kalimatnya.
Dia sudah tidak bisa membayangkan lebih jauh lagi pada hubungan yang akan terjalin antara dia dan sosok Nadia, dia benar-benar tidak tahan untuk duduk berlama-lama di sini.
Isyarat Aditya yang mengajak ibunya pulang, tetapi tidak digubrisnya.
Hannah menyingkirkan tangan putranya yang menggenggamnya. “Ini, Bi. Aditya, dia mau ...”
“Mah! ... no,” kata Aditya menggeleng pada ibunya.
“Dia mau ketemu Nadia. Katanya ingin kenalan lagi, soalnya sudah begitu rindu,” ucap Hannah membuat Aditya melotot tidak percaya. Laki-laki itu langsung menutup wajahnya.
Dia kembali membayangkan wajah perempuan di depannya dengan pusing, dia yang selalu tersenyum padanya sembari menggulung rambutnya yang menjuntai ke dada.
Bi ijah yang nampak kebingunan, tetapi lekas paham. “Oh, ya. Nadia ada di dalam. Nad, tolong panggilkan Mbakmu, Nadia.” Perintah bi Ijah.
Alis Aditya berkerut-kerut, kalau yang bi ijah katakan jika Nadia ada di dalam, lalu sosok ini siapa? Nadianya ada dua? Tidak masuk di akal. Ujarnya bertanya-tanya dalam hati, dia geleng-geleng kepala sendiri. Aditya memijat kepalanya yang pening.
Nadia mana yang hendak mama kenalkan padaku?
Perempuan itu kembali setelah melaksanakan perintah ibunya. “Bu, itu Mbak Nadianya."
Seseorang menyusul di belakangnya, tetapi tidak begitu Aditya perhatian yang sudah terlajur lelah dengan kejadian hari ini. Dia memijat kedua pelipisnya. Capek di perjalanan, tambah dibuat capek juga setelah sampai.
"Ibu. Iya, Bu? Ada apa panggil Nadia, Bu?”
Suara halus itu, Aditya mengangkat kepalanya setelah suara mendayu-dayu seorang perempuan mengalihkan fokusnya, dia yang keluar dari balik tirai membuatnya mendelik tidak berkedip.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!