Di pagi yang cerah di sebuah rumah mewah di Jakarta Barat, Shanum bergerak cekatan di dapur modernnya. Aroma roti panggang dan kopi menyelimuti ruangan, berpadu harmonis dengan kicauan burung dari taman belakang. Ia meletakkan sekeranjang roti gandum dan sepiring telur orak-arik di meja makan marmer, lalu tersenyum puas melihat hasil karyanya.
"Wira, sarapan sudah siap!" serunya lembut, suaranya dipenuhi kehangatan.
Tak lama, Wira muncul dari kamar, rapi dalam setelan kerjanya. Rambutnya tersisir apik, dan senyumnya merekah saat melihat Shanum. "Wah, istriku memang paling the best," pujinya seraya mencium kening Shanum. "Wanginya sudah sampai ke kamar."
Shanum tertawa kecil. "Bisa saja kamu. Cepat, nanti keburu dingin."
Mereka duduk berhadapan, menikmati sarapan pagi itu. Di sela-sela obrolan ringan tentang rencana hari itu, terdengar langkah kaki kecil menuruni tangga. Mariska, putri semata wayang mereka yang berusia enam tahun, muncul dengan seragam sekolahnya yang rapi, rambut dikepang dua.
"Pagi, Mama, Papa!" sapa Mariska ceria, matanya berbinar.
"Pagi, sayang," jawab Wira dan Shanum bersamaan.
Shanum segera menyiapkan sepiring sereal kesukaan Mariska. "Sudah siap ke sekolah, Riska?" tanyanya sambil menyuapkan sesendok sereal.
Mariska mengangguk semangat. "Sudah! Hari ini ada pelajaran menggambar. Riska mau gambar rumah kita yang besar ini!"
Wira tersenyum bangga. "Anak Papa memang pintar. Belajar yang rajin, ya."
Suasana pagi itu dipenuhi kehangatan dan keakraban. Mereka membahas rencana sore hari, di mana Wira berjanji akan mengajak Mariska ke toko buku sepulang kerja. Shanum mendengarkan dengan senyum, sesekali menambahkan komentar. Tidak ada ponsel atau gangguan lain, hanya fokus pada momen kebersamaan keluarga.
Setelah sarapan selesai, Wira membantu Mariska memakai ranselnya. Shanum mengambil kotak bekal yang sudah ia siapkan khusus untuk Mariska, berisi sandwich dan buah-buahan segar.
"Jangan lupa bekalnya dimakan habis ya, sayang," pesan Shanum, membelai rambut Mariska.
"Siap, Mama!" jawab Mariska, memberikan pelukan erat.
Wira berpamitan dengan ciuman lembut di bibir Shanum. "Aku berangkat ya. Hati-hati di rumah."
"Kamu juga, hati-hati di jalan," balas Shanum.
Setelah Wira dan Mariska berangkat, Shanum berdiri di ambang pintu, melambaikan tangan hingga mobil mereka tak terlihat lagi. Ia kembali masuk ke dalam rumah, senyum masih terukir di bibirnya. Pagi yang damai ini menjadi awal yang indah untuk hari mereka, mencerminkan harmoni dan kebahagiaan yang selalu mereka pupuk dalam keluarga kecil ini.
****
Pagi beranjak siang di rumah mewah itu. Shanum baru saja membereskan meja makan ketika bel pintu berbunyi. Ia mengira itu kurir paket, namun saat pintu terbuka, senyumnya memudar. Di hadapannya berdiri Niar, mertuanya, dengan tatapan tajam yang selalu membuat Shanum bergidik. Niar mengenakan setelan desainer yang rapi, namun ekspresi wajahnya jauh dari kata ramah.
"Oh, Mama," sapa Shanum berusaha tenang, meskipun jantungnya sudah berdegup kencang. "Ada apa pagi-pagi begini?"
Niar melenggang masuk tanpa menunggu dipersilakan, hidungnya terangkat seolah mencium bau tak sedap. Matanya menyapu seisi ruangan dengan tatapan meremehkan. "Pagi? Ini sudah hampir jam sembilan. Kau ini memang pemalas, ya? Di rumah sebesar ini cuma santai-santai."
Shanum menahan napas. "Saya baru saja selesai merapikan dapur, Ma."
"Dapur?" Niar mendengus. "Memangnya seberapa lama merapikan dapur? Wanita miskin sepertimu memang hanya tahu bermalas-malasan setelah berhasil menjerat anak saya." Suaranya terdengar mencemooh, penuh nada penghinaan. "Tidak tahu diri."
Perkataan Niar menusuk hati Shanum. Ini bukan kali pertama. Sejak awal pernikahan, Niar tak pernah absen melontarkan kalimat-kalimat pedas, selalu mengungkit latar belakang Shanum yang sederhana.
"Ma, tolong jangan bicara seperti itu," pinta Shanum lirih, mencoba menjaga kesabarannya.
"Kenapa? Tersinggung?" Niar menyeringai sinis. "Memangnya salah kalau saya bicara apa adanya? Bukankah memang begitu kenyataannya? Anak saya, Wira, yang bekerja keras membanting tulang, sementara kau hanya menghabiskan uangnya."
Shanum mengepalkan tangannya. "Wira tahu saya tidak seperti itu, Ma. Saya mengurus rumah ini, mengurus Mariska..."
"Mariska?" Niar memotong, wajahnya seketika berubah masam. "Cucu perempuan. Saya sudah bilang berkali-kali pada Wira, harusnya dia mencari istri yang bisa memberiku cucu laki-laki! Bukan anak perempuan yang nanti hanya akan merepotkan dan jadi tanggungan orang lain!"
Mata Shanum berkaca-kaca mendengar putrinya dihina. Mariska adalah segalanya baginya, dan Niar selalu memperlakukannya dingin, bahkan tak jarang mengabaikannya sama sekali hanya karena ia perempuan.
"Ma, Mariska itu cucu Mama sendiri," ucap Shanum, suaranya bergetar.
"Cucu?" Niar tertawa hambar. "Sejak kapan saya punya cucu perempuan? Saya hanya ingin cucu laki-laki, penerus keluarga! Kau ini memang tidak berguna. Bahkan untuk memberi keturunan yang layak saja tidak bisa." Niar berbalik, menatap Shanum dengan tatapan merendahkan dari ujung kepala hingga kaki. "Seharusnya Wira tidak pernah menikah dengan wanita tak berkelas sepertimu."
Niar kemudian melangkah menuju ruang tamu, seolah Shanum hanyalah patung tak bernyawa. Shanum hanya bisa menelan kepedihan, berharap Wira segera pulang agar beban di hatinya sedikit terangkat.
****
Puas melampiaskan amarahnya pada Shanum, Niar tak buang waktu. Dengan langkah mantap dan senyum puas yang tersungging di bibirnya, ia melajukan mobil mewahnya menuju sebuah kafe bergengsi di kawasan elit Jakarta Selatan. Di sana, Aura Sumargo sudah menunggunya. Aura adalah representasi menantu idaman Niar: cantik, cerdas, dari keluarga terpandang, dan yang terpenting, bergelar lulusan Harvard University.
Ketika Niar tiba, Aura bangkit dari kursinya, menyambut dengan senyum ramah dan pelukan singkat. Aura tampil elegan dalam balutan blouse sutra dan rok pensil, rambutnya tertata rapi, menunjukkan aura profesionalisme dan kematangan.
"Tante Niar, apa kabar?" sapa Aura dengan suara lembut, nada bicaranya menunjukkan pendidikan tinggi.
"Baik, Aura, baik sekali," jawab Niar, menarik kursi. "Kamu sendiri bagaimana? Sibuk, ya?"
Aura tersenyum tipis. "Lumayan, Tan. Baru saja selesai meeting dengan klien dari luar negeri."
Niar mengangguk penuh kekaguman. "Lihat, kan? Begini ini baru wanita. Berprestasi, punya karier cemerlang. Tidak seperti..." Niar sengaja menggantungkan kalimatnya, pandangannya merujuk pada Shanum tanpa menyebut nama. "Wanita yang hanya tahu berdiam diri di rumah dan menghabiskan uang."
Aura menatap Niar dengan pengertian. Ia sudah tahu bagaimana perasaan Niar terhadap Shanum. "Saya turut prihatin dengan situasi Tante Niar."
"Prihatin bagaimana? Saya justru bersyukur kau ada, Aura," kata Niar, meraih tangan Aura dan menggenggamnya erat. "Kamu tahu, Wira itu butuh pendamping yang sepadan. Yang bisa diajak diskusi, yang bisa menemaninya di acara-acara penting, bukan cuma wanita dari keluarga biasa yang pendidikannya saja tidak tuntas." Nada bicaranya penuh penekanan, seolah menggarisbawahi betapa inferiornya Shanum di matanya. "Wira itu pantas mendapatkan yang terbaik. Tidak sebanding dengan Shanum yang bahkan tak lulus kuliah."
Aura hanya tersenyum tipis, tidak mengiyakan atau membantah. Ia tahu betul ambisi Niar untuk menjodohkannya dengan Wira. Keluarga Sumargo dan Wiguna memang sudah lama menjalin relasi bisnis, dan gagasan pernikahan antara Wira dan Aura sudah menjadi impian Niar sejak lama.
"Saya selalu mendoakan yang terbaik untuk Wira, Tan," ujar Aura diplomatis.
"Doa saja tidak cukup, Aura," Niar berbisik, mendekatkan tubuhnya. "Kau harus lebih mendekat pada Wira. Dia itu mudah sekali termakan rayuan wanita polos. Kamu harus tunjukkan padanya bahwa kamu adalah pilihan yang tepat. Pilihan yang bisa mengangkat derajat keluarga."
Niar kemudian melanjutkan ceritanya, menguraikan segala kelebihan Aura dan kekurangan Shanum, seolah meyakinkan dirinya sendiri bahwa rencananya akan berhasil. Aura mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk, namun dalam benaknya, ia menyimpan pikirannya sendiri tentang bagaimana ia akan menjalani permainan ini.
"Pokoknya, saya sangat berharap Wira bisa melihat ini. Melihat betapa berbedanya kalian berdua. Kamu adalah masa depan Wira, Aura. Bukan dia." Niar mengakhiri kalimatnya dengan nada penuh keyakinan.
Sore harinya, Wira pulang ke rumah. Baru saja ia melangkah masuk, suasana hambar langsung menyergapnya. Biasanya, Shanum akan menyambutnya dengan senyum ceria, namun sore ini, keheninganlah yang menjawab salamnya. Ia menemukan Shanum duduk di sofa ruang keluarga, membelakanginya, bahunya sedikit bergetar. Sebuah buku tergeletak di pangkuannya, namun matanya tidak fokus pada halaman.
"Sayang, aku pulang," sapa Wira lembut, mendekati Shanum. Ia menyentuh bahu istrinya, merasakan ketegangan yang jelas.
Shanum tersentak, lalu menoleh. Matanya sembap, dan bekas air mata tampak jelas di pipinya. Senyum tipis yang ia coba paksakan terlihat getir. "Oh, Mas. Sudah pulang?"
Wira berlutut di hadapan Shanum, menangkup wajah istrinya dengan kedua tangannya. Hatinya mencelos melihat kesedihan di mata wanita yang sangat dicintainya. "Ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanyanya cemas. "Apakah ada sesuatu yang terjadi?"
Shanum menggeleng pelan, menghindari tatapan mata Wira. "Tidak ada apa-apa, Mas. Aku hanya... hanya sedikit lelah." Suaranya terdengar serak.
Wira tahu Shanum tidak jujur. Ia mengenal istrinya dengan baik, setiap perubahan kecil dalam ekspresi Shanum tidak luput dari perhatiannya. Dan kesedihan ini, ia sangat yakin, bukan disebabkan oleh kelelahan biasa. Pikirannya langsung melayang pada satu sosok.
"Jangan bohong padaku, Shanum," ucap Wira tegas namun lembut. "Aku tahu ada yang mengganggumu. Apakah Mama datang kemari?"
Shanum terdiam, pandangannya beralih ke jendela, menatap kosong ke arah taman. Keheningan Shanum adalah jawaban yang paling jelas bagi Wira. Ia menarik napas dalam-dalam, kemarahan mulai merayapi hatinya. Setiap kali Niar datang, selalu ada jejak kesedihan yang ditinggalkan pada Shanum.
"Apa yang Mama katakan kali ini?" desak Wira, suaranya kini lebih berat. Ia tahu betul bagaimana lidah ibunya bisa setajam belati, terutama jika menyangkut Shanum. "Apakah dia... apakah dia menghinamu lagi?"
Shanum tetap membisu, namun air mata kembali mengalir di pipinya. Wira bangkit, duduk di samping Shanum, lalu merangkulnya erat. Ia mengusap punggung Shanum perlahan, berusaha menenangkan istrinya.
"Aku minta maaf, Shanum," bisik Wira. "Aku tahu ini pasti ulah Mama. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi agar Mama bisa menerimamu."
Shanum bersandar di bahu Wira, membiarkan air matanya membasahi kemeja suaminya. Meskipun Shanum tidak mengucapkan sepatah kata pun tentang apa yang terjadi, Wira tahu persis apa yang telah diucapkan ibunya. Luka itu, ia merasakannya, tak hanya pada Shanum, tapi juga sedikit mengikis kebahagiaan rumah tangganya. Wira mengepalkan tangannya. Ia harus melakukan sesuatu.
****
Di kediaman keluarga Wiguna yang megah, suasana sore itu terasa tegang. Niar duduk di sofa ruang keluarga, masih dengan setelan elegannya, namun ekspresinya masam. Ia tak henti-hentinya berceloteh pada suaminya, Helmi, yang duduk tenang membaca koran, sesekali melirik istrinya dengan jengah.
"Aku tidak habis pikir, Helmi," Niar memulai lagi, suaranya meninggi. "Wira itu bisa-bisanya terperdaya oleh wanita seperti Shanum. Dia itu tidak selevel dengan kita! Wanita miskin, tidak punya pendidikan tinggi, hanya tahu menghabiskan uang anak kita!"
Helmi menurunkan korannya, menghela napas panjang. "Niar, cukup. Kamu ini keterlaluan. Shanum itu menantu kita, dan dia istri Wira."
"Menantu apa? Dia itu aib bagi keluarga kita!" Niar mendengus. "Aku sudah bilang berkali-kali pada Wira, carilah wanita yang sepadan, yang bisa mengangkat nama keluarga. Bukan wanita yang bahkan tak lulus kuliah!" Niar menekankan setiap kata, seolah ingin setiap celaan itu tertanam kuat. "Lihat saja Aura Sumargo. Cantik, cerdas, lulusan Harvard! Keluarga mereka juga setara dengan kita. Kenapa Wira tidak memilih Aura saja?"
"Niar, perjodohan itu bukan zamannya lagi," kata Helmi mencoba menenangkan. "Wira mencintai Shanum. Dan Shanum itu wanita baik-baik. Dia mengurus rumah, mengurus Mariska. Apa lagi yang kurang?"
"Baik-baik?" Niar tertawa sinis. "Wanita baik-baik tidak akan menjerat anak orang kaya! Dia itu hanya mengincar harta kita, Helmi! Dan soal Mariska, aku sudah bilang, aku ingin cucu laki-laki! Penerus nama keluarga Wiguna, bukan cucu perempuan yang nanti hanya akan jadi tanggungan orang lain!"
Mendengar perdebatan orang tuanya, Sheila, adik Wira, muncul dari tangga. Sheila adalah wanita karier yang mengikuti jejak ibunya, cenderung sinis dan memandang tinggi status sosial. Ia berhenti di ambang pintu ruang keluarga, menyilangkan tangannya.
"Mama benar, Papa," ucap Sheila dingin, mendukung Niar. "Apa yang Mama katakan itu memang kenyataan. Shanum itu tidak ada apa-apanya dibanding kita. Dia cuma beruntung bisa menikah dengan Mas Wira."
Helmi menatap putrinya dengan tak percaya. "Sheila! Jangan ikut-ikutan. Kamu ini adik ipar Shanum."
"Justru karena itu, Pa," balas Sheila, menatap ayahnya dengan sorot mata tajam. "Aku melihatnya dengan jelas. Shanum itu tidak punya ambisi. Dia hanya nyaman berada di zona nyamannya, di bawah bayang-bayang Mas Wira. Lihatlah teman-temanku, mereka semua wanita sukses, punya karier, berpendidikan tinggi. Shanum? Dia bahkan tidak sebanding dengan mereka."
"Dia hanya tahu bagaimana menghabiskan uang Wira," sambung Niar, merasa mendapat dukungan. "Tidak ada kontribusi nyata bagi keluarga ini selain menjadi beban."
Helmi hanya bisa menggelengkan kepala, merasa kalah suara. Suasana di rumah itu dipenuhi nada-nada sumbang, merusak harmoni yang seharusnya ada. Niar dan Sheila terus melontarkan kritik pedas, semakin menguatkan stigma bahwa Shanum adalah beban, bukan anggota keluarga yang dicintai.
****
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ketenangan rumah mewah di Jakarta Barat kembali terusik. Belum juga Shanum selesai menyiapkan sarapan, suara bel pintu yang ditekan berkali-kali dengan tidak sabar sudah memekakkan telinga. Shanum tahu siapa pelakunya. Dengan jantung berdebar, ia membuka pintu dan mendapati Niar berdiri di ambang pintu, matanya memancarkan kemarahan yang membara.
Niar tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia melenggang masuk dengan wajah merah padam, langsung menuju ruang tamu. Tanpa peringatan, tangannya meraih vas bunga kristal yang terletak di meja konsol dan melemparkannya ke lantai. Suara pecahan kaca yang nyaring memecah kesunyian, membuat Shanum tersentak kaget. Belum puas, Niar mengambil gelas air minum di meja kopi dan melemparkannya juga, menambah kekacauan di lantai marmer.
"Mama, apa-apaan ini?" seru Shanum, terkejut dan ketakutan.
Niar berbalik, tatapan matanya menusuk tajam. "Aku sudah muak denganmu, Shanum! Muak!" teriaknya, suaranya melengking. "Kau harus bercerai dengan Wira! Sekarang juga!"
Shanum terperangah. "Apa maksud Mama? Aku tidak akan bercerai!"
Mendengar penolakan itu, Niar semakin murka. Wajahnya memerah padam, urat-urat di lehernya menonjol. "Berani sekali kau menolakku, wanita tidak tahu diri! Kau pikir kau siapa? Kau tidak pantas untuk anakku!" Tanpa berpikir panjang, Niar melangkah maju dengan cepat, mendorong Shanum dengan kuat hingga wanita itu terhuyung dan jatuh tersungkur ke lantai.
Rasa sakit menjalar di punggung Shanum, namun belum sempat ia bangkit, Niar sudah bergerak lebih brutal. Tangannya yang dipenuhi amarah menarik rambut Shanum dengan kasar, membuat kepala Shanum mendongak dan rasa perih menjalari kulit kepalanya.
"Lepaskan aku, Ma! Sakit!" riak Shanum, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Niar yang kuat.
Namun Niar tak peduli. Ia terus menarik rambut Shanum, sementara mulutnya tak henti-hentinya melontarkan kata-kata hinaan. "Dasar wanita jalang! Penggoda! Kau pikir kau bisa merebut Wira dariku? Kau itu tidak lebih dari sampah! Wanita miskin yang hanya mengincar harta! Tidak tahu malu!" Setiap kata terasa seperti tamparan keras di wajah Shanum. "Seharusnya kau tidak pernah lahir! Kau hanya pembawa sial!"
Suara pecahan kaca dan teriakan Niar yang melengking sampai ke lantai atas, tempat Wira baru saja keluar dari kamarnya setelah mandi. Jantungnya mencelos mendengar kekacauan itu. Tanpa berpikir panjang, ia bergegas menuruni tangga, firasat buruk menyelimutinya.
Saat tiba di ruang tamu, pemandangan di depannya membuat darah Wira mendidih. Lantai berserakan pecahan kaca dari vas dan gelas yang hancur. Dan yang paling menyakitkan, ia melihat Shanum meringkuk di lantai, rambutnya ditarik dengan brutal oleh Niar, sementara wajahnya dipenuhi air mata dan ketakutan.
"Mama! Apa yang Mama lakukan?!" raung Wira, suaranya menggelegar memenuhi ruangan, penuh amarah yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya. Ia melangkah cepat, tangannya langsung memegang lengan Niar, berusaha melepaskan cengkeraman sang ibu dari rambut Shanum.
Niar tersentak kaget dengan kehadiran Wira yang tiba-tiba. Cengkeramannya mengendur sesaat, memberi kesempatan bagi Shanum untuk merangkak menjauh, terisak-isak.
"Wira! Jangan ikut campur!" teriak Niar, mencoba menarik tangannya dari genggaman Wira. Matanya menyala-nyala karena amarah dan rasa malu karena aksinya tertangkap basah. "Wanita ini pantas mendapatkannya! Dia tidak mau mendengarkan!"
Wira mengabaikan Niar. Ia segera berlutut di samping Shanum, meraih tubuh istrinya dan mendekapnya erat. "Sayang, kamu tidak apa-apa?" tanyanya lembut, suaranya bergetar menahan emosi. Ia membelai kepala Shanum, mencoba menenangkan wanita itu yang masih terisak.
"Pergi kau dari sini, Shanum!" Niar kembali bersuara, kali ini lebih menggelegar, mencoba merebut perhatian Wira kembali. "Aku bilang kau harus bercerai dengan Wira! Wira harus menceraikanmu! Kau tidak pantas untuk anakku! Dia pantas mendapatkan yang lebih baik, bukan wanita tak berguna sepertimu!"
Wira mendongak, menatap ibunya dengan sorot mata tajam yang belum pernah Niar lihat sebelumnya. Ada kekecewaan mendalam di sana. "Cukup, Ma! Cukup!" bentaknya, berdiri di depan Shanum, melindunginya seakan Shanum adalah harta paling berharga yang harus ia jaga. "Aku tidak akan pernah menceraikan Shanum! Dia istriku, Mama!"
"Dia tidak selevel dengan kita, Wira!" Niar tak gentar, justru semakin keras. "Dia tidak punya apa-apa! Dia hanya akan menjadi beban dalam hidupmu!"
"Dia adalah istriku, Mama!" Wira mengulangi, suaranya tegas dan penuh penekanan. "Dia adalah ibu dari anakku! Jangan pernah lagi Mama menyentuhnya atau menghinanya seperti ini! Aku tidak akan membiarkannya!"
****
Keesokan harinya, setelah insiden yang menggegerkan itu, Wira pergi ke kantor dengan perasaan campur aduk. Ia sudah memastikan Shanum aman dan berjanji akan mencari cara untuk mengatasi sikap ibunya. Namun, Wira tak pernah menyangka bahwa kemarahan Niar akan membawanya ke tindakan yang jauh lebih brutal.
Begitu mobil Wira melaju keluar dari gerbang, Niar, yang ternyata sudah mengintai dari kejauhan, segera mengambil ponselnya. Wajahnya menunjukkan tekad bulat, tanpa sedikit pun keraguan.
"Lakukan sekarang!" perintah Niar dengan suara rendah namun tajam ke sambungan telepon. "Wanita itu harus segera disingkirkan dari hidup anakku. Pastikan dia menghilang dan tidak akan pernah kembali."
Di dalam rumah, Shanum masih berusaha menenangkan diri dari insiden kemarin. Ia mencoba membersihkan sisa-sisa pecahan kaca di ruang tamu, setiap suara gesekan membuatnya teringat kembali pada amarah Niar. Tiba-tiba, bel pintu berbunyi. Shanum ragu untuk membuka, namun suara ketukan yang keras dan berulang membuatnya memutuskan untuk melihat.
Saat pintu terbuka, Shanum dihadapkan pada dua pria bertubuh besar yang mengenakan pakaian serba hitam. Ekspresi mereka datar dan mengancam. Shanum refleks mundur, ketakutan langsung mencengkeramnya.
"Maaf, mencari siapa ya?" tanya Shanum, suaranya sedikit bergetar.
Salah satu pria itu melangkah maju, sorot matanya dingin. "Anda Shanum, istri Bapak Wira?"
Sebelum Shanum sempat menjawab, pria lain bergerak cepat. Ia membekap mulut Shanum dengan kain berbau menyengat. Seketika, pandangan Shanum mulai kabur, tubuhnya lemas. Ia sempat mencoba meronta, namun tenaga kedua pria itu terlalu kuat. Dalam hitungan detik, Shanum merasa kesadarannya memudar, dan kegelapan menelannya.
Shanum dibawa paksa keluar dari rumahnya sendiri, digendong tanpa perlawanan, dan dimasukkan ke dalam sebuah van hitam yang sudah menunggu di depan gerbang. Pintu van langsung ditutup rapat, dan kendaraan itu melaju kencang, meninggalkan rumah mewah itu dalam kesunyian.
Di dalam van, Shanum terbangun dengan kepala pusing. Matanya mengerjap, berusaha mengenali sekeliling. Ia terikat di kursi belakang, tangannya terikat ke belakang dan mulutnya dibekap kain. Van terus melaju, jalanan yang dilalui terasa asing. Pemandangan di luar jendela menunjukkan perkebunan dan area pedesaan yang luas, jauh dari hiruk pikuk Jakarta.
Rasa panik melandanya. Ia mencoba berteriak, namun hanya suara teredam yang keluar. Air mata mengalir membasahi pipinya. Ia menyadari sepenuhnya apa yang sedang terjadi. Ia telah diculik, dan ia tahu siapa dalangnya. Niar benar-benar melakukannya. Shanum hanya bisa berdoa agar Wira segera menyadari kehilangannya dan mencarinya, sebelum semuanya terlambat. Ia dibawa semakin jauh dari Jakarta, ke tempat yang tidak ia kenal, ke dalam ketidakpastian yang mengerikan.
****
Van hitam itu akhirnya berhenti dengan hentakan kasar, membuat kepala Shanum membentur dinding kendaraan. Pintu belakang terbuka, dan udara panas pedesaan langsung menerpa wajahnya. Kedua pria bertubuh besar itu tanpa basa-basi menarik paksa Shanum keluar dari van, tidak peduli dengan ringisan kesakitan yang keluar dari bibirnya yang masih dibekap.
Shanum sempat terhuyung, pandangannya masih kabur. Perlahan, ia bisa melihat sekeliling. Ia berada di tengah hamparan ladang jagung yang luas, di bawah terik matahari yang menyengat. Di depannya berdiri sebuah gubuk tua yang reyot, berdinding kayu lapuk dan beratap seng berkarat. Suasana di sana sangat sepi, jauh dari peradaban, hanya ada suara angin yang berdesir melalui daun jagung.
Dan di ambang pintu gubuk itu, berdiri Niar. Wanita paruh baya itu mengenakan kacamata hitam, namun senyum menyeringai yang terpeta di wajahnya sudah cukup menunjukkan kepuasan dan kejahatan. Ia tampak menikmati pemandangan Shanum yang tak berdaya.
"Akhirnya sampai juga, Nyonya Shanum," sapa Niar, suaranya terdengar dingin dan mengejek. "Selamat datang di 'tempat peristirahatan' barumu."
Kedua pria itu menyeret Shanum mendekati Niar. Begitu Shanum cukup dekat, Niar dengan gerakan cepat menarik paksa rambut Shanum, membuat kepala Shanum mendongak dan rasa sakit menjalari kulit kepalanya. Cengkeraman Niar begitu kuat, memaksa Shanum menatap langsung ke matanya yang kini terlihat penuh dendam. Bekap kain di mulut Shanum sudah dilepaskan.
"Ini kesempatan terakhirmu, Shanum," desis Niar, wajahnya mendekat ke telinga Shanum. Napasnya terasa panas. "Kau harus bercerai dengan putraku. Sekarang juga. Tidak ada pilihan lain."
Shanum memejamkan mata menahan perih. "Aku tidak akan pernah menceraikan Wira, Ma," ucapnya lirih, mencoba melawan rasa takut yang membanjirinya.
Senyuman Niar menghilang, digantikan oleh raut kemarahan yang mengerikan. Cengkeraman di rambut Shanum semakin kuat. "Berani sekali kau menolakku?! Setelah semua yang sudah kau perbuat pada anakku?!" Niar mengguncang kepala Shanum dengan kasar. "Kau itu tidak tahu diri! Wanita rendahan sepertimu tidak pantas mendampingi Wira! Dia pantas mendapatkan yang lebih baik, seperti Aura!"
Niar menatap Shanum dengan jijik. "Dengar baik-baik, Shanum. Kalau kau tidak setuju bercerai, kau tidak akan pernah melihat Wira atau anakmu lagi. Kau akan tinggal di sini, sendirian, sampai kau membusuk!" Ancaman itu terasa nyata, dingin dan menusuk. "Ini adalah akhir dari permainanmu, wanita miskin tak tahu diri!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!