NovelToon NovelToon

Istri Matre Sewaan Noah

Bab 1. Pertemuan Tak Terduga

"Nggak, Ma! Aku nggak suka sama Gendis! Mama sudah tahu kalau kami hanya berteman sejak kecil!" Jemari Noah mengepal kuat di samping badan.

Ruangan sejuk dengan mesin pendingin ruangan itu, justru seakan membakar hati Noah. Keringat membasahi dahinya. Bukan karena kepanasan, melainkan karena amarah yang menggerogoti hatinya usai permintaan yang diungkapkan oleh sang ibu.

"Jadi, hanya ini alasan Mama memintaku pulang? Aku mau sendirian dulu!"

"Jika kamu tidak mau menikah dengan Gendis, saham yang ditinggalkan papa kepadamu akan aku alihkan kepadanya! SEMUANYA!" tegas Mentari.

"Aku tidak peduli dengan saham itu! Jika memang Mama mau memberikannya kepada Gendis, BERIKAN SAJA!"

Noah beranjak dari kursi kemudian melangkah ke arah pintu. Dia membuka pintu dan membantingnya kasar. Langkahnya cepat menuju mobil.

Lelaki tersebut masuk dan mulai melajukan mobil sport yang sudah lama tak dipakai itu. Jalanan Kota Surabaya mendadak asing. Noah sudah lama tak menginjakkan kaki ke tanah kelahirannya itu, terutama semenjak meninggalnya sang ayah.

Noah memilih untuk menekuni hobi dan pekerjaannya sendiri. Dia membiarkan usaha properti mendiang sang ayah dikelola oleh ibunya. Tak ada ketertarikan khusus dengan bidang ini sehingga membuatnya tak lagi memedulikan saham perusahaan.

"Tapi, semua itu hasil kerja keras papa. Kalau sampai jatuh ke tangan orang lain, sayang banget! Aku tahu betul perjuangan papa selama ini!" ujar Noah.

Lelaki tersebut mengusap wajah kasar karena mendadak berubah pikiran. Namun, ketika pandangannya kembali ke jalanan, tiba-tiba ada seorang wanita yang hendak menyeberang. Sontak Noah menginjak rem.

Tubuh Noah terbanting ke depan. Beruntungnya sabuk pengaman menyelamatkan lelaki tersebut dari bahaya. Kepala Noah hampir membentur roda kemudi.

"Sial!" ujar Noah sambil memukul setir mobilnya.

Lelaki tersebut melepaskan sabuk pengaman dari tubuh. Dia membuka pintu dan berjalan mendekati perempuan yang kini tergeletak di atas aspal. Dia berjongkok dan mulai menyingkap rambut panjang yang menutupi wajah perempuan tersebut.

Awalnya Noah mengerutkan dahi ketika mengamati wajahnya. Beberapa detik kemudian lelaki tersebut terbelalak. Dia mengenal betul siapa wanita cantik yang ada di hadapannya tersebut.

"Ivy?"

Noah mencoba menggoyangkan tubuh Ivy. Namun, perempuan tersebut tidak merespons. Noah memeriksa tubuh Ivy yang hanya memakai gaun pendek ketat di atas lutut dengan riasan mencolok.

Tidak ada darah atau luka gores di sana. Namun, dia kembali teringat dulu ketika sang ibu mengalami kecelakaan. Tidak ada darah dan luka, tetapi ibunya terlambat mendapat pertolongan dan berakhir di pemakaman.

Noah bergegas menggendong tubuh ramping Ivy yang kini lemas. Lelaki tersebut membawanya masuk ke mobil dan melajukannya sekencang mungkin. Sesampainya di klinik terdekat, Ivy pun segera ditangani.

"Bagaimana kondisinya?" tanya Noah ketika seorang perawat IGD keluar dari ruangan.

"Secara kasat mata, semua baik-baik saja, Pak. Tapi, kita perlu melakukan CT scan untuk pemeriksaan lebih lanjut. Di sini tidak ada fasilitas tersebut, jadi harus dilakukan di rumah sakit yang lebih memadai."

"Aku bisa berangkat sendiri." Dari dalam ruangan, Ivy berjalan tertatih sambil memegang kepalanya.

Perawat menoleh ke arah Ivy. Perempuan tersebut berkedip beberapa kali, kemudian lelaki dengan seragam perawat itu berjalan pergi. Ivy mendekati Noah dengan langkah gontai dan limbung.

Ivy hampir saja jatuh jika saja Noah tidak menangkap tubuhnya. Lelaki tersebut memapah Ivy dan membantunya duduk di bangku depan IGD. Perempuan memijat pelipisnya.

"Kamu berikan saja aku uang untuk CT scan di rumah sakit. Selebihnya aku bisa urus sisanya."

"Aku senggang, aku akan mengantarmu ke rumah sakit. Semua biaya pengobatan akan kutanggung sebagai bentuk tanggung jawab. Aku ...." Ucapan Noah menggantung di udara karena Ivy memotong.

"Sudah, jangan banyak omong! Berikan saja uangnya!" seru Ivy sambil menatap tajam lelaki di hadapannya itu.

Noah tersentak, lalu tersenyum miring. Dia mengeluarkan ponsel dan mulai mengetikkan sesuatu. Tak lama berselang sebuah notifikasi masuk ke ponsel Ivy.

"Kamu masih menyimpan nomor rekeningku?" Ivy tersenyum miring, kemudian merogoh tasnya.

"Lima juta?" Ivy mengerutkan dahi ketika menatap layar ponselnya.

Perempuan itu mendadak limbung dan mulai memegang kembali kepalanya. Namun, kali ini Noah tidak menangkap tubuh Ivy. Perempuan tersebut kini ambruk di kursi dengan kepala yang membentur tepi kursi.

"Aduh! Kepalaku! Aku bisa kena gegar otak!" seru Ivy sambil memenangi kepalanya.

Noah tidak merespons. Dia hanya menatap tajam Ivy sambil melipat lengan di depan dada. Perempuan tersebut kini berdeham dan kembali menatap Noah.

"Ini jumlah yang sangat sedikit! Tidak sesuai dengan efek buruk dari tabrakanmu yang mungkin akan terjadi di masa depan!" ujar Ivy sambil terus memegang kepalanya yang terasa berdenyut.

"Jadi kamu mau berapa untuk biaya pengobatan?"

Ivy mulai membuka telapak tangannya. Perempuan tersebut mulai melipat jari satu per satu. Tak lama kemudian, senyuman mengembang.

"Aku mau 50 juta sebagai kompensasi!" ujar Ivy sambil menunjukkan telapak tangannya yang terbuka kepada Noah.

"Ini pemerasan! Aku akan melaporkanmu kepada kepolisian!" Noah bersiap untuk menekan angka pada layar ponselnya.

"Aku ada rekaman CCTV sebagai bukti! Di sekitar tempat kejadian banyak CCTV! Kamu juga dengar sendiri dari perawat tadi kalau aku harus melakukan CT scan! Aku nggak memerasmu!" Ivy bangkit dari kursi kemudian menatap tajam Noah.

Noah tersenyum tipis, kemudian terkekeh. Sudut matanya kini basah. Ivy yang tidak mengerti kenapa lelaki tersebut tertawa hanya bisa mengerutkan dahi.

"Aku baru tahu orang dengan cedera kepala pasca kecelakaan masih bisa bicara dengan jelas dan mendapatkan kesadaran secepat ini!"

Mendadak Ivy kembali limbung. Namun, lagi-lagi Noah menghindar agar tak lagi menyentuh tubuh perempuan tersebut. Untungnya kali ini Ivy berhasil mempertahankan keseimbangannya.

"Aku akan memberimu 10 juta lagi. Setelah itu kita selesai sampai di sini. Untuk CT scan dan pengobatan lanjutan, itu lebih dari cukup. Aku rasa kamu tidak sampai separah itu sehingga membutuhkan banyak biaya untuk pengobatan lanjutan." Noah tersenyum miring kemudian kembali merogoh sakunya.

Tak lama notifikasi ponsel Ivy kembali berbunyi. Dia tersenyum lebar ketika melihat deretan angka pada layar ponsel. Noah pun akhirnya berpamitan.

"Hati-hati di jalan, jangan sampai menabrak orang lagi!" teriak Ivy sambil melambaikan tangan.

Ivy tersenyum lebar, lalu berjalan santai. Tak lama kemudian seseorang menarik lengannya. Dia adalah perawat yang tadi merawatnya.

"Ingat, jangan lupa bagianku!" seru Bram ketika menatap wajah Ivy.

Ivy berdecak kesal. Dia merogoh tas dan mengeluarkan ponselnya. Jemari Ivy mulai menari di atas layar.

"Sudah!" ujar Ivy sambil menunjukkan layar ponselnya kepada Bram.

"Good job! Kerja sama yang sangat menyenangkan! Lain kali hati-hati, salah perhitungan sedikit aja nyawamu bisa beneran melayang!" Bram terkekeh sehingga membuat Ivy mengerucutkan bibir.

Tak lama berselang terdengar tepuk tangan dari ujung lorong. Suara langkah kaki mendekat dan perlahan sosok Noah kembali. Ivy serta Bram terbelalak dan menelan ludah kasar.

Bab 2. Pernikahan Kontrak

Mendadak Noah menghentikan langkah. Dia merogoh celana untuk mencari ponsel. Lelaki itu baru teringat kalau dia meletakkan benda pipih tersebut pada bangku tempat dia duduk di depan IGD.

Noah pun kembali ke tempat terakhir dia meletakkan ponsel. Setelah mendapatkan apa yang dia cari, lelaki tersebut balik kanan. Akan tetapi, suara yang sangat dia kenal membuat lelaki tersebut mengurungkan niat untuk segera kembali ke tempat parkir.

Noah memilih untuk mengendap-endap mendekati lorong. Dia mengintip dari balik tembok, awalnya Noah mengerutkan dahi. Menyadari ada sesuatu yang janggal, mendorong Noah untuk merekam apa yang dia dengar dan lihat.

"Oh, bagus!" Noah bertepuk tangan sambil melangkah mendekati Ivy dan pria yang tadi merawatnya usai merekam percakapan keduanya.

"Kalian sepertinya sudah lama melakukan praktek penipuan dan pemerasan rendahan ini." Noah tersenyum miring kemudian mengangkat ponselnya tinggi-tinggi.

"Aku merekam semuanya! Kalian akan hancur dalam hitungan detik jika aku membocorkan video ini ke media."

Sontak Ivy berlari ke arah Noah. Dia berjinjit berusaha merebut ponsel mantan atasannya tersebut. Perempuan itu melonjak berkali-kali.

"Berikan ponselmu!" teriak Ivy frustrasi.

"Nggak akan! Jangan harap!" seru Noah.

Lelaki tersebut memasukkan ponsel ke saku celana dengan cekatan. Ivy tak gentar begitu saja. Dia berusaha kembali merebut ponsel Noah.

Saat tangan Ivy hendak menyelinap masuk ke saku celana Noah, lelaki tersebut langsung mencekal pergelangan tangannya. Ivy mendongak sehingga tatapan keduanya kini bertemu. Rahang Noah tampak mengeras layaknya elang yang tengah berburu mangsa.

"Ikut denganku untuk menyelesaikan semuanya! Kamu harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah kamu perbuat!" ujar Noah.

Ivy menatap lelaki itu nyalang, seakan tak memiliki rasa takut sedikit pun. Perlahan dia menjauhkan diri dari Noah. Ivy melipat lengan di depan dada.

Tanpa Noah duga, Ivy langsung balik kanan. Dia berlari sekencang mungkin keluar dari klinik tersebut. Perempuan tersebut menaiki motor yang sebenarnya sudah diparkir di sana sejak sore.

"Urusan kita impas! Kalau kamu melaporkan aku ke kantor polisi, aku akan melaporkanmu balik! Aku bisa memutar balikkan semuanya! Kamu tahu bagaimana aku bisa melakukan hal itu!" ujar Ivy sambil menjulurkan lidah.

"Dasar wanita sialan!" umpat Noah.

Lelaki tersebut langsung menendang ban mobilnya. Noah berteriak sambil mengusap wajah frustrasi. Malam itu Noah kembali ke apartemennya dengan banyak masalah yang menghantam pikiran.

Masalah Ivy bukanlah hal yang serius. Namun, perkataan ibunya membuat Noah berpikir berulang kali. Andai Mentari adalah ibu kandungnya, Noah tak akan mempermasalahkan soal saham perusahaan.

Hal ini menjadi rumit dan membebani hati serta pikiran karena Mentari adalah ibu sambungnya. Dia tidak rela, jika hasil kerja keras sang ayah dikuasai oleh ibu tirinya tersebut. Sebuah ide gila pun terlintas di benak Noah detik itu juga.

"Halo, bisa carikan aku informasi soal perempuan ini?" ucap Noah melalui sambungan telepon.

"Aku akan mengirimkan detailnya melalui pesan singkat."

Panggilan berakhir. Noah menatap lurus ke depan di mana lampu kota Surabaya berkelip layaknya bintang. Sebuah senyum tipis pun kini menghiasi wajah tampan pria berdarah Jawa tersebut.

***

Pada ruangan berukuran empat meter persegi, Ivy sedang berdiri sambil menunduk. Dia menatap ujung sepatunya seraya meremas jemari yang mulai berkeringat. Kini di hadapannya ada seorang lelaki bertubuh gemuk dengan kepala botak hanya di bagian depan.

Kacamata menggantung pada pangkal hidung, tetapi sedikit merosot karena tidak tertopang dengan baik. Sorot mata Irwan tajam sambil menatap Ivy dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sesekali dia tersenyum penuh arti.

"Sudah beberapa bulan kamu tidak memenuhi target penjualan unit perumahan!" bentak Irwan sehingga membuat Ivy sedikit tersentak.

Ivy hanya diam, menelan sendirian apa yang sedang dilontarkan oleh atasannya itu. Dia butuh pekerjaan itu, meski tidak memenuhi target, paling tidak dia masih bisa mendapatkan gaji pokok tanpa tambahan dan tunjangan. Namun, kali ini dia juga merasa sangat bersalah karena performa kerjanya yang semakin turun.

"Kita memiliki banyak jenis rumah! Kamu sudah memutuskan di awal kerja untuk mengambil pemasaran unit perumahan premium dan cluster! Itu pilihanmu! Targetnya pun mudah! Hanya menjual 1-2 unit saja per bulan! Kenapa hal semudah ini saja kamu tidak mampu!" Kali ini Irwan menggebrak meja kerjanya.

Tiba-tiba Ivy mengangkat wajahnya, entah mendapatkan keberanian dari mana. Dia menatap tajam Irwan dengan rahang mengeras. Melihat sang bawahan menunjukkan keberanian membuat Irwan tersulut emosi.

"Kamu berani sama saya? Kamu sudah bosan kerja di sini? Kamu sudah nggak butuh duit?"

"Saya baru tiga bulan tidak mendapatkan penjualan sama sekali, Pak. Semua tim marketing juga sedang menurun penjualannya. Sebelum ini, saya sudah menjual lebih dari 25 unit cluster dalam kurun waktu lima bulan. Apakah hal itu tidak bisa dijadikan pertimbangan?" Suara Ivy datar, tetapi penuh ketegasan.

"Dari 25 unit kamu mendapatkan bonus juga, kan? Aku sudah memberimu toleransi selama dua bulan! Akhir bulan ini, minimal jual 1 unit perumahan premium atau cluster! Jika tidak bisa, kamu terpaksa saya pecat!" ujar Irwan.

Lelaki tersebut berjalan ke arah pintu. Saat pintu di hadapannya terbuka, dia terbelalak. Irwan mendadak gagu mendapati orang yang ada di hadapannya sekarang.

"Pak, kapan Anda datang? Silakan masuk!" Suara Irwan mendadak ramah.

Hal itu membuat Ivy memutar bola mata. Ketika dia balik badan dan ikut menatap lelaki yang ada di hadapan Irwan, Ivy terbelalak. Dia langsung mengangkat tangan dan menunjuk wajah Noah menggunakan ujung jari telunjuknya.

"Lah, ngapain kamu ke sini?"

Mendengar pertanyaan Ivy membuat Irwan menoleh ke arah sang bawahan. Dia melotot kepada Ivy dan membuat perempuan tersebut semakin kebingungan. Irwan bergegas mendekati Ivy dan membisikkan sesuatu kepadanya.

"Direktur?" gumam Ivy diikuti anggukan kepala Irwan.

"Mati aku!" Ivy menunduk sambil menggaruk kepalanya.

"Tinggalkan kami berdua. Aku akan menanganinya langsung!" ujar Noah dengan suara rendah, tetapi penuh penekanan.

"Ba-baik, Pak." Irwan bergegas keluar dari ruangan tersebut dan langsung menutup rapat pintu kantornya.

"Aku ingin memberikan kamu sebuah penawaran, mengingat kamu sangat menyukai uang. Syaratnya mudah dan tidak perlu bekerja keras untuk hal ini." Noah mulai bicara ketika pintu kantor kembali tertutup rapat.

Ivy mengangkat wajah, menatap Noah yang kini duduk di atas meja kerja Irwan. Lelaki tersebut meletakkan sebuah map merah muda ke atas meja lalu menepuknya menggunakan telapak tangan.

"Baca dan segera ambil keputusan sekarang juga! Kesempatan tidak akan datang dua kali."

Ivy maju selangkah. Jemari lentiknya mulai meraih map tersebut. Dia pun membukanya dan mulai mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam sana.

Bab 3. Harga Sebuah Pernikahan

Ivy membaca lembar demi lembar dengan teliti. Sesekali pupil matanya melebar ketika melihat beberap angka tertera di sana. Perempuan tersebut bahkan menelan ludah beberapa kali.

Noah mulai tersenyum karena yakin bahwa Ivy akan menerima penawarannya. Namun, senyuman lelaki tersebut mendadak sirna ketika Ivy melemparkan map ke atas meja kerja Irwan.

"Pernikahan kontrak? Kamu gila? Memangnya kamu pikir aku perempuan apaan!" protes Ivy.

“Ini cuma permainan. Nggak perlu cinta. Kamu hanya perlu tanda tangan dan diam.” Noah berusaha meyakinkan Ivy.

Dari sekian banyak wanita, hanya Ivy yang terpikir dalam benak Noah. Perempuan itu hanya memikirkan uang dalam hidupnya. Tak peduli pekerjaan apa pun, Ivy akan mengambilnya asal menghasilkan banyak uang. Jadi, Noah yakin untuk ke depannya tidak akan ada cinta yabg terbentuk di antara mereka.

“Ck, bukan itu maksudku!” Ivy tersenyum miring seraya mengibaskan telapak tangan di depan wajahnya.

“Kamu pikir aku sudi menikahi pria seperti kamu tanpa bayaran?” Ivy menaikkan sebelah alis sambil melipat lengan di depan dada.

Noah mengerutkan dahi sambil menatap Ivy penuh tanya. Ivy kembali berdecak. Dia melangkah mendekati Noah, kemudian merangkul leher lelaki tersebut.

“Begini, kita bisa bicarakan semuanya. Aku merasa kontrak pernikahan ini kurang menguntungkan bagiku. Setelah selesai kontrak, otomatis aku akan menjadi janda. Kamu tahu, 'kan, stigma masyarakat negeri tercinta ini tentang status janda?” Ivy tersenyum lebar sambil terus menatap Noah.

Tatapan keduanya bertemu. Ivy berusaha memancing Noah agar mengerti arah ucapannya. Namun, memang isi kepala keduanya tidak sama.

“Kamu nggak ngerti? Masih kurang jelas?” Mendadak Ivy mengangkat lengannya dari leher Noah.

“Begini, ketika menjadi seorang janda, aku akan sangat dirugikan. Sulit mencari jodoh, dicap negatif sama istri-istri di luar sana karena takut suaminya direbut. Pada akhirnya akan dianggap murahan dan mendapatkan perlakuan negatif dari pria yang memandang rendah wanita berstatus janda!”

“Sudahlah, jangan berbelit-belit! Apa yang kamu inginkan?” Noah yang tidak sabar akhirnya menembak Ivy dengan pertanyaan tersebut.

“Aku akan menuliskan detailnya melalui email. Atau nomor ponselmu masih sama seperti dulu?” tanya Ivy.

Noah masih bergeming, tak menjawab. Ivy mengembuskan napas kasar. Dia melangkah maju, kemudian menarik kerah kemeja Noah.

Jarak keduanya kini hanya setipis udara. Ivy tersenyum genit dan mendekatkan bibirnya pada bibir Noah. Jakun Noah naik turun tanpa sadar, sehingga membuat Ivy terkekeh.

“Aku pulang dulu. Jangan lupa cek selalu email-mu ....” Ivy kini mendekatkan bibirnya pada telinga Noah.

“Calon suamiku!” Ivy melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah kemeja Noah.

Perempuan tersebut langsung melenggang keluar dari ruangan manajer pemasaran. Sementara itu, Noah masih terpaku di atas meja. Sampai akhirnya pintu tertutup rapat.

“Dia benar-benar wanita gila yang nggak tahu malu!” ujar Noah sambil menggeleng dan mengibaskan telapak tangan di depan wajah.

Satu jam belum genap, sebuah surel masuk ke ponsel Noah. Dia mengerutkan dahi, kemudian tersenyum tipis ketika mengetahui siapa yang mengirim pesan tersebut. Lelaki itu langsung membuka surel dan membaca isinya dengan teliti.

“Wahhh, dia benar-benar wanita GILA!” ujar Noah seraya melempar ponsel ke atas meja.

Kini Noah merinding di sekujur badan. Dia mulai menyesal karena telah menawarkan pernikahan kontrak kepada Ivy. Perempuan tersebut benar-benar berbisa.

Ivy mengajukan persyaratan yang sebenarnya tidak sulit bagi Noah. Dia hanya menginginkan uang dan fasilitas mewah selama menikah. Namun, yang membuatnya merinding adalah nominal besar untuk perjanjian kontrak di awal.

“Satu miliar? Gendeng!” seru Noah.

Noah langsung menekan layar ponselnya. Dia memasukkan nomor Ivy yang tertera pada akhir surel. Lelaki tersebut menunggu panggilannya diangkat.

Tak membutuhkan waktu lama. Ivy langsung menerima panggilan itu di nada tunggu pertama. Noah memejamkan mata sambil menarik napas dalam.

“Satu miliar? Kamu nggak salah?”

Terdengar suara Ivy terkekeh dari ujung sambungan. Noah menjauhkan ponselnya dari telinga. Dia menatap tajam layar ponsel dengan foto profil Ivy sebelum akhirnya kembali menempelkannya pada daun telinga.

“Itu murah! Biasanya harga keperawanan seorang gadis itu lebih dari satu miliar!” ujar Ivy.

“Lah, kita cuma nikah kontrak! Nggak akan ada sentuhan fisik yang intim. Paling hanya bergandengan tangan dan berpelukan ringan sesekali di depan umum! Bagaimana aku bisa mengambil keperawananmu?” bentak Noah.

“Mau nggak? Ya, siapa tahu di tengah jalan kamu khilaf! Aku rugi dong sebagai seorang perempuan!”

“Lagian, nggak ada jaminan kamu masih perawan atau nggak! Dahlah, turunin sedikit! Lagi pula kamu akan mendapatkan semua kemewahan jika menikah denganku selama satu tahun!” ujar Noah.

“Wah, benar-benar jiwa pebisnismu ikut dalam negosiasi ini. Kalau nggak mau, ya udah, sih! Aku nggak maksa!” Ivy hendak mengakhiri sambungan telepon ketika Noah berteriak.

“Kalau begitu, temui aku besok pagi di kantor!” seru Noah.

“Oke, deal!” Kali ini Ivy tersenyum lebar penuh kemenangan.

Keesokan harinya mereka bertemu. Ivy menyerahkan semua berkas untuk mendaftarkan pernikahan. Noah juga menyiapkan keperluan untuk membuat foto pernikahan.

Semua proses itu selesai hanya dalam waktu satu bulan. Tak ada pesta dan tamu undangan. Semuanya dilakukan secara singkat dan dengan hanya mengambil beberapa potret foto pernikahan sebagai pemanis perjanjian keduanya.

Begitu resmi menjadi suami istri, Ivy diminta pindah ke sebuah klaster mewah oleh Noah. Perempuan tersebut terbelalak ketika melihat kediaman mewah di hadapannya. Saat pintu terbuka, Noah melangkah keluar dengan sorot mata tajam dan dingin.

“Masuk!” Noah langsung balik kanan meninggalkan Ivy yang masih bengong di teras rumah.

“Ck, benar-benar nggak punya perasaan! Bantuin bawa koper, kek!” gerutu Ivy.

Perempuan tersebut mengentakkan kaki, kemudian menarik koper dan mengikuti Noah. Setiap detail rumah dan perabotan membuat Ivy terkagum-kagum. Langkahnya berhenti saat mendapati potret dirinya dan Noah dipasang di ruang tamu.

“Wah, aku tampak cantik dan berkelas! Sepertinya aku memang ditakdirkan sebagai orang kaya!” ujar Ivy.

Noah mengernyitkan dahi, lalu tersenyum miring ketika mendengar ucapan Ivy. Lelaki tersebut langsung duduk di sofa. Dia menepuk sisi kosong di sebelahnya.

Ivy yang tanggap langsung melepaskan jemarinya dari koper. Dia bergegas duduk di samping Noah. Di atas meja kini sudah ada map berisikan perjanjian kontrak yang masih belum ditandatangani.

“Sesuai janji, kamu tidak mau tanda tangan sebelum menerima uang, dan aku pun sama karena kita belum resmi menikah. Jadi, ini adalah waktu yang tepat untuk memulai perjanjian.”

Ivy tersenyum simpul, membuka map, dan langsung membubuhkan tanda tangan di atas kertas tanpa membaca detail kontrak. Noah tersenyum miring. Dia mengikuti apa yang dilakukan oleh Ivy.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!