“Aaah… I- iya… terus… terus lakukan seperti ini,” lenguh seorang wanita cantik yang saat ini sedang memadu kasih dengan pria yang sudah membayarnya.
Bachtiar Yunanda 30 tahun, semakin menambah laju kecepatannya dalam memasuki wanita cantik yang saat ini ada dihadapannya. Bahkan sesekali pria bertubuh tegap itu tak segan menarik rambut wanitanya sampai membuat kepala sang wanita mendongak ke atas.
“Aku… hampir sampai.” Wanita itu menggeram—yang lantas langsung dibalikkan oleh Bachtiar dengan sangat lihai menghadap ke arahnya.
Lalu Bachtiar menghempaskan tubuh sang wanita ke peraduan, menyelusupkan miliknya kembali membombardir pertahanan wanitanya.
“Kau benar-benar lezat, Fanya,” ujar Bachtiar sambil terus memasuki Fanya Mahira yang merupakan partnernya dalam bercinta.
Peluh bercucuran. Kedua anak manusia itu terus berpacu dalam lingkar keintiman. Sampai akhirnya pasangan haram itu mereguk nikmat mereka bersama. Bachtiar menjatuhkan diri di atas Fanya. Disambut Fanya dengan melingkarkan kedua kakinya di atas pinggang Bachtiar.
“Kau memang hebat, Bachtiar…,” desau Fanya sembari menggigit kecil permukaan bibir bawahnya. Lalu membentuk senyum sen sual.
Bachtiar menyeringai. “Aku memang hebat. “ Pria itu selalu narsis jika itu terkait dirinya.
Pun Fanya mengakui stamina Bachtiar yang memang tiada duanya. Sangat perkasa. Bahkan saking perkasanya pria itu bisa membuat Fanya berulang kali mereguk nikmat, baru setelah itu fokus pada kepuasannya.
“Bisa diam nggak? Aku mau kau tetap di posisi ini dan jangan bergerak!” dengkus Bachtiar saat Fanya ingin melepaskan pelukannya, menahan sepasang jemari lentik Fanya, menahan pergerakannya yang ingin melepaskan diri dari Bachtiar.
“Kenapa, apa masih mau lagi?” lontar Fanya. Wanita cantik itu mengulum senyumnya, sengaja menggertak, karena tahu Bachtiar pasti tidak akan menanggapi ucapannya.
Terlebih mengingat malam ini merupakan malam pertama pernikahan Bachtiar—yang harusnya pria itu lewati bersama istri barunya.
Ya, beberapa jam lalu… tepatnya pukul sembilan pagi tadi Bachtiar telah resmi menikahi seorang gadis cantik dari keluarga sederhana. Aizatul Natsuka 21 tahun. Bekerja sebagai kasir di sebuah cafe yang cukup cozy di kota mereka.
Fanya sendiri memang tak terlalu mengenal siapa gadis itu. Namun tadi ketika resepsi ia sempat datang ke pernikahan Bachtiar dengan Aiza. Juga Fanya sempat bersalaman memberi selamat. Tapi sekarang bukannya gadis itu yang berada di bawah Bachtiar, melainkan dirinya.
“Hmm… tapi kau harus pulang sekarang,” tutur Fanya mengingatkan. Sementara Bachtiar malah mengerutkan dahi, menunjukkan ketidaksenangan atas ucapan Fanya, yang membuat pria itu tampak geram.
“Kenapa? Apa kau nggak suka aku suruh pulang?” tebak Fanya asal. “Aku ini cuma mau mengingatkan, jika sekarang kau sudah resmi menjadi seorang suami. Bahkan harusnya apa yang kita lakukan tadi merupakan hal yang harusnya kau lakukan bersama istrimu. Apalagi malam ini merupakan malam pertama untuk kalian berdua,” sambungnya kemudian.
Kalimat Fanya membuat raut Bachtiar semakin kusut. Entah sebab apa, Fanya sendiri tak mengerti. Padahal setahu Fanya pria itu begitu mencintai Aiza.
Hal itu Fanya simpulkan saat mendengar Bachtiar yang menceritakan tentang hubungannya dengan Aiza. Dari cara Bachtiar mendeskripsikan hubungan mereka, menggambarkan personal Aiza, Fanya bisa menangkap jika Bachtiar sangat menyayangi Aiza.
Tapi sekarang… Fanya malah melihat kebalikan dari sikap Bachtiar dulu. Bahkan, malam ini yang harusnya ia habiskan dengan Aiza karena status mereka yang baru saja resmi menjadi suami istri, malah berakhir dalam pelukannya.
Setelah resepsi pernikahan selesai, Bachtiar datang mencari Fanya ke apartemennya. Melakukan transaksi dengan Fanya seperti biasanya, untuk menyalurkan has*rat biologisnya.
“Bisa nggak, nggak usah ngungkit tentang itu?” desis Bachtiar dengan nada serta raut wajah datar. Fanya memicing, membalas sorot mata Bachtiar tanpa emosi. “Kenapa? Bukankah setahuku kau sangat mencintai Aiza?”
Pria itu bergeming, menatap Fanya dengan sorot mata memicing. Namun, sesaat menaikkan satu alisnya, kemudian berbisik di telinga Fanya. “Bukankah barusan kau tanya apa aku mau lagi? Sekarang aku jawab ‘ya’, bahkan aku ingin kau melayaniku sampai pagi!”
Sleebb!
Tanpa aba-aba, dengan sekali hentakan Bachtiar kembali menusukkan pusakanya ke dalam milik Fanya. Wanita cantik itu meringis kecil, tapi tidak menolak. Kemudian mulai beradaptasi dengan milik Bachtiar yang sudah kembali maju mundur di dalam dirinya.
“Uuuhhh,” desauan itu kembali keluar dari mulut Fanya, menikmati setiap sentuhan yang Bachtiar lakukan. Meski sebenar dalam hati ia sendiri merasa janggal dengan sikap Bachtiar malam ini yang menurutnya tak biasa?
***
Aiza tampak gelisah. Ia terlihat tak tenang dalam tidurnya. Berulang kali gadis muda itu melirik ke arah ponselnya, dengan harapan ada satu pesan masuk dari suaminya—Bachtiar.
“Kenapa dari tadi, Bang Bachtiar, nggak ngasih kabar?” Aiza mengernyit gelisah. “Sebenarnya ia pergi kemana? Kenapa udah jam segini belum juga pulang?” gadis cantik itu bahkan menggigiti kecil ujung kukunya. Kebiasaan sedari kecil saat ia sedang dilanda keresahan.
Tadi, tepatnya pukul sepuluh malam. Ketika resepsi usai digelar Bachtiar memang sempat membawa Aiza pulang ke kediamannya. Namun, setelah itu Bachtiar malah pergi tanpa sepatah katapun meninggalkan Aiza di dalam kamarnya.
Aiza memang tidak sempat bertanya. Ia pikir Bachtiar mungkin hanya keluar sebentar. Tapi sampai selarut ini suaminya itu belum juga kembali.
Kemana ia?
Sebenarnya Aiza ingin bertanya pada sang ibu mertua—Kamariah, namun ia enggan. Tidak ingin di cap sebagai istri tak berpengertian, padahal baru resmi menikah.
Terlebih selama ini Kamariah pun selalu menunjukkan secara terang-terangan, jika ia tidak menyukai Aiza.
Semua itu karena status Aiza yang merupakan seorang kasir. Padahal jika ditilik dari posisi Bachtiar sekarang yang merupakan seorang direktur di sebuah perusahaan ternama yang ada di kota mereka tinggal, Kamariah yakin jika Bachtiar bisa mendapatkan seorang pendamping yang lebih dari Aiza.
Waktu menunjukkan pukul 03:013 Wib. Aiza yang sempat terlelap, kini kembali terjaga dari tidurnya. Kesejukan menyergap. Tak hanya sebab gerimis di luar, mesin AC yang terus menyala juga ikut andil pada kedinginan yang saat ini Aiza rasakan.
Aiza kembali memeriksa ponsel. Ia berharap sang suami sudah membalas pesannya. Akan tetapi pengharapan itu lenyap saat maniknya mengerling pada layar, yang tidak menampilkan notifikasi apapun di sana.
“Bang Bachtiar… sebenarnya kamu ke mana sih? Kenapa udah jam segini belum juga pulang?” keluh Aiza.
Selain khawatir tentang keberadaan sang suami, Aiza juga berkeinginan melakukan ibadah subuh pertamanya setelah menjadi seorang istri dengan Bachtiar. Tapi sampai sekarang Bachtiar tak kunjung menampakan batang hidungnya.
“Huh....” Aiza mengempeskan nafas panjang. Meski kedinginan karena volume AC yang terbilang rendah. Gadis itu tetap berusaha bangkit dari peraduan. Aiza menyingkap selimut, ia tak boleh bermalas-malasan. Gegas menuju kamar mandi, lalu kembali menghampiri nakas.
Senyum Aiza terkembang saat kini ia memandangi salah satu mahar yang Bachtiar berikan. Seperangkat alat salat, yang akan Aiza gunakan. Lalu setelahnya Aiza berdoa kepada sang khalik agar diberi kemudahan dalam menjalani ibadah terpanjangnya, dalam menjadi istri yang baik serta taat terhadap Bachtiar.
Byuuurrr!!!
Guyuran air bercampur pasir membasahi seluruh tubuh Aiza. Tentu saja gadis itu tersentak, terjaga dari tidur lenanya, usai tadi kembali tertidur setelah menyelesaikan ibadah subuh.
Seluruh tubuh Aiza basah. Bahkan mukena serta sajadah yang merupakan maskawinnya juga ikut kotor karena air bekas pel yang barusan diguyur oleh sang mertua. Aiza ingin protes. Namun, bentakan yang keluar dari mulut Kamariah membuat suara Aiza tercekat di tenggorokan.
“Dasar menantu pemalas! Jam segini masih malas-malasan?! Kau pikir ini rumahmu jadi bisa se-enaknya. Cepat, pergi sana siapkan sarapan! Aku mau lihat sejago apa kau dalam mengolah bahan makanan, sehingga pantas kau sajikan kepada putraku!” Manik Kamariah menyorot tajam. Tatapannya terlihat begitu buas, juga sinis.
Tapi Aiza tak lantas berdiri. Ia masih terpekur terhadap sikap kasar sang mertua. Kenapa begini? Bukankah… kemarin-kemarin sang ibu mertua sudah berjanji pada suaminya jika akan memperlakukan Aiza dengan baik?
“Ya Tuhan… Kenapa masih berdiri di sini? Kau ini tuli ya?! Cepat, sana lakukan pekerjaanmu. Buatkan aku dan Nurma sarapan, sekarang juga!” pekik Kamariah dengan sorot mata kian membelalak.
Aiza mengangguk. Ia buru-buru berlalu untuk mengerjakan apa yang sang ibu mertua suruh. Akan tetapi saat melewati Kamariah, tubuhnya malah terdorong ke belakang.
Bruukkk!
“Aaaakkhhh…,” ringis Aiza sambil memegangi belakang pinggangnya yang sakit.
“Kenapa, sakit?” Kamariah mencibir. “Itu akibatnya karena kau terlalu lelet jadi perempuan! Sekarang, cepat bangun! Kalau enggak, maka aku akan kembali mendorongmu sampai wajahmu yang membentur lantai!” imbuhnya kemudian dengan tatapan nyalang, yang membuat Aiza ketakutan.
Bersambung.
“Apa-apaan ini?! Makanan sampah! Berani-beraninya kau menyajikan kami makanan seperti ini, sementara kau tahu betul bahwa kami nggak suka makanan pedas! Kau ini benar-benar nggak punya otak, ya?! Nggak tahu buat makanan, nggak tahu mengurus rumah! Hanya tahu membuat masalah!”
“Kau pikir kami ini orang-orang yang bisa dikasih makan sembarangan, iya?! Kau ini seperti pembantu yang nggak guna, hanya membuang-buang uang dan waktu kami saja! Pergi ambil sendokmu yang kotor itu dan jangan membuat kami melihat wajahmu lagi, atau kau akan menghadapi konsekuensi yang sangat berat karena sudah berani menyajikan makanan seperti ini!” pekik Kamariah menyentakkan kedua alat makannya di atas piring nasinya dengan keras.
Kalimat itu membuat Aiza merasa ketakutan. Ia tak menyangka jika sang ibu mertua akan sebegitu marah dengannya. Sementara Nurma adik iparnya malah tersenyum sinis menatap Aiza yang saat ini sedang dimaki oleh ibunya.
Aiza menunduk. Kedua maniknya sudah berlinang air mata, mengalir deras seperti hujan yang tidak terhenti. Aiza merasa terluka, hatinya bagai dicabik-cabik oleh kalimat kasar Kamariah. Ini kali pertama ia dimarahi dengan begitu kasar, dan itu dilakukan oleh seseorang yang sangat ia hormati layaknya ibunya sendiri.
‘Kenapa seperti ini ya Tuhan? Kenapa mereka memperlakukanku sekasar ini? Padahal tadi jelas-jelas mereka sendiri yang minta agar aku membuatkan makanan pedas. Tapi sekarang malah menyalahkanku karena sudah menyajikan makanan itu.’ batin Aiza.
Aiza memegangi dadanya. Ia mencoba menenangkan diri serta jantungnya yang berdegup kencang karena dimarahi oleh sang ibu mertua. Mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatan dalam diri, dalam menghadapi permasalahan antara ia dan ibu mertua. Tapi, sebelum ia bisa mengambil napas dalam-dalam, Kamariah malah semakin hilang akal!
Dengan gerakan kasar juga brutal Kamariah membuang seluruh masakan Aiza ke lantai! Piring-piring berterbangan, makanan berserakan, dan suara pecahan kaca memekakkan telinga—yang mana hal tersebut membuat Aiza semakin terpukul.
Kamariah berdiri di tengah-tengah kekacauan yang ia buat. Wajahnya merah padam. Dengan sorot mata menyala wanita tua itu lantas berteriak, “Kau pikir ini makanan, hah?! Ini sampah! Ini racun! Kami bisa mati jika makan makanan ini!”
Mendengar teriakan tersebut, tubuh Aiza gemetar. Ia benar-benar ketakutan. Sementara Nurma mendekati ibunya, memegang lengan Kamariah dengan lembut.
Melihat tindakan ibunya yang sudah kelewat batas. Nurma kemudian mendekati ibunya. Ia memegang lengan Kamariah dengan lembut. “Ibu, tolonglah, jangan terlalu marah. Kak Aiza, pasti nggak sengaja kan?” Nurma berkata dengan suara lembut dan manis. Namun, dengan nada yang mengandung hinaan terhadap Aiza.
“Lagi pula ini hari pertama, Kak Aiza, sebagai menantu di rumah ini. Ia masih perlu banyak belajar menyesuaikan masakan serta rasa lidahnya denga kita. Setelah ini aku yakin, Kak Aiza, akan belajar dari kesalahan,” tutur Nurma lagi yang masih memandang Aiza dengan tatapan yang sarat akan kebencian.
Nurma kemudian berbisik pada Kamariah, “Bu, kita nggak boleh terlalu keras sama, Aiza. Bagaimanapun sekarang ia telah sah menjadi istri, Bang Bachtiar, kita harus hati-hati. Jangan sampai anak kampung itu mengadu.” Kalimat itu Nurma utarakan dengan sangat pelan nan lembut, agar tak terdengar oleh Aiza.
Kamariah mengangguk. Ia menurut. Bagaimanapun apa yang barusan disampaikan oleh Nurma adalah benar. Aiza adalah menantunya, istri dari putra kebanggaannya. Ia tak boleh membuat putra sulungnya itu sampai membencinya, dikarenakan sikapnya yang terlalu kasar terhadap Aiza.
Tapi… Kamariah sendiri masih heran kenapa tadi malam Bachtiar sampai tidak pulang. Meninggalkan Aiza, yang merupakan pengantinnya? Padahal jika ditilik ke belakang Kamariah tahu betul betapa Bachtiar sangat menginginkan Aiza. Namun tadi malam bukannya menghabiskan malam pengantinnya bersama Aiza, Bachtiar malah meninggalkannya?
Sebenarnya apa yang terjadi? Tentang pekerjaan rasanya tidak mungkin, karena sebelumnya Bachtiar pernah mengatakan jika perusahaan telah memberinya cuti selama 10 hari. Lalu, jika bukan karena urusan pekerjaan kenapa Bachtiar sampai tidak pulang?
Kamariah berpikir, mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan Aiza? Misal ada pertengkaran di antara mereka? Jika benar maka syukurlah, Kamariah bahkan berharap hubungan pernikahan antara Bachtiar juga Aiza bisa berakhir secepatnya.
‘Semoga memang terjadi sesuatu yang mengguncang hubungan mereka. Dengan begitu aku bisa segera mengusir anak kampung ini dari rumahku!’ batin Kamariah.
Bersambung.
Aiza mengumpulkan pecahan gelas juga piring hasil perbuatan sang ibu mertua yang mengamuk. Usai membersihkan semuanya, Aiza kemudian mencuci bekas peralatan memasak yang tadi ia tinggalkan pada sink karena buru-buru ingin menyajikan masakannya.
Setelah semua peralatan dapur bersih, Aiza kemudian beralih memegang gagang pel. Tak lupa ia juga mengambil timba yang sudah ia isi air bercampur cairan pembersih lantai, lalu mulai mengepel setiap sudut ruangan.
Pekerjaan yang harusnya dilakukan oleh asisten rumah tangga yang memang Kamariah pekerjakan di rumahnya. Namun, karena hari ini merupakan hari pertama Aiza menjadi menantu di rumah itu, maka Kamariah mewajibkan Aiza yang melakukan seluruh pekerjaan rumah.
Itung-itung sebagai pelatihan untuk membentuk skill gadis itu agar tidak menjadi istri pemalas. Supaya cepat tanggap dalam menjalani tugas barunya dalam menjadi istri Bachtiar.
Keputusan Kamariah hari ini yang mewajibkan Aiza melakukan semua aktifitas rumah tangga membuat para pembantu yang bekerja di rumah itu menjadi bingung. Biasanya mulai pagi mereka sudah aktif berbenah, mengerjakan tugas masing-masing. Namun, hari ini malah disuruh menonton Aiza yang melakukan pekerjaan mereka.
Cucuran keringat mengalir dari dahi hingga pelipis Aiza. Gadis itu menyekanya. Membuat para pekerja di rumah tersebut merasa iba, tak tega melihat kelelahan Aiza.
Beberapa di antara mereka ingin membantu. Namun, larangan keras Kamariah membuat mereka urung melakukannya. Tidak bisa berbuat banyak, mengingat konsekuensi jika melanggar, pekerjaan mereka yang menjadi taruhan.
“Ma, Aku lapar,” keluh Aiza. Pasalnya sedari pagi ia belum makan apapun. “Aku izin istirahat sebentar ya. Setelahnya baru aku lanjutkan lagi ngepel ke ruangan lain,” sambungnya kemudian.
Lalu Aiza hendak beranjak meletakkan alat pel di tangannya menuju belakang tangga dengan tubuh gemetar. Tapi Kamariah malah membentak, menyuruh Aiza untuk tetap menyelesaikan pekerjaannya. “Dasar menantu pemalas! Baru kerja segitu saja sudah mengeluh. Ini masih jam satu, udah main makan aja. Tuntaskan dulu pekerjaanmu, baru setelah itu kau boleh makan!”
Pekikan Kamariah membuat langkah Aiza terhenti. Ia yang berniat untuk beristirahat sejenak guna mengisi perutnya kembali berbalik melanjutkan pekerjaannya. Meski gemetar karena merasa sangat lapar, Aiza tetap sabar melakukan pekerjaannya. Menuju ruangan lain, melanjutkan mengepel di sana.
‘Nggak apa-apa, Aiza, tinggal dua ruangan lagi. Setelah ini kau bisa langsung istirahat juga makan.’ Aiza berusaha menyemangati diri di tengah kesedihan juga rasa lapar yang melanda.
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga siang. Setiap sudut rumah itu sudah selesai Aiza bersihkan. Ketika Aiza hendak membawa alat pel menuju kamar mandi belakang, Aiza mendengar seseorang memanggilnya dari belakang.
“Aiza!”
Aiza berpaling. Terlihat Nurma sedang berjalan menghampirinya. Gadis yang usianya dua tahun lebih tua di atas Aiza itu terlihat membawa sebuah lap bersih di tangannya.
“Boleh aku minta tolong?” Suara Nurma terdengar sangat ramah juga lembut. Aiza mengangguk. “Iya, Nur, mau aku tolongin apa?” Posisi Aiza masih memegangi alat pel di tangannya—yang mana hal tersebut membuat keadaan keduanya sangat kontras bagaikan majikan dengan pembantu.
“Ini... sepatuku terdapat sedikit lumpur. Bisakah kau membantuku membersihkannya?” ucap Nurma dengan penuh permohonan.
Aiza mengernyit. Ia memandang pada sepatu yang dipakai Nurma. Memang benar terdapat sedikit lumpur kering di ujung sepatunya. Tapi, bukankah Nurma bisa membersihkannya sendiri?
“Maaf, Aiza, aku sama sekali nggak bermaksud merendahkanmu. Ini semua karena aku memiliki riwayat alergi terhadap tanah kering. Biasanya Kak Bachtiar yang membantuku membersihkannya. Sementara para asisten rumah tangga hanya bisa merusak sepatuku setiap aku mintai tolong kepada mereka,” tutur Nurma memasang ekspresi penuh penyesalan.
Aiza menghela napas pelan. Ia sama sekali tidak tahu jika Nurma memiliki riwayat alergi terhadap tanah kering. Pantas saja, ia selalu melihat Bachtiar sangat memanjakan adik semata wayangnya. Mungkinkah itu karena Nurma yang alergi terhadap tanah kering, sehingga Bachtiar berjuang keras untuk memberikan kehidupan layak kepada adiknya?
Melihat penampilan Nurma yang sepertinya ingin pergi. Aiza menyetujui untuk membantu Nurma membersihkan sepatunya. Ia meminta lap yang ada di tangan Nurma. Namun, sebelum itu ia hendak meletakkan alat pelnya terlebih dahulu ke lantai.
“Sini, biar aku bantu pegangi alat pelnya. Kau langsung bersihkan sepatuku saja,” ucap Nurma lembut, yang langsung disetujui oleh Aiza.
Aiza tidak keberatan. Apalagi kata Nurma, Bachtiar juga sering melakukannya. Itung-itung sebagai abdinya pada sang suami, yang saat ini sedang tidak ada di rumah.
Saat Aiza selesai membersihkan sepatu Nurma, tiba-tiba saja tubuhnya terguyur oleh air pel yang ada di tangan Nurma. Sang adik ipar gegas menarik diri dari Aiza sembari melempar alat pel ke lantai dengan reaksi penuh keterkejutan.
Byuuurr!
Klaangg!!
“Astaga… maaf Aiza, aku sama sekali nggak bermaksud.” Wajah Nurma terlihat panik juga nada suaranya dipenuhi perasaan bersalah.
Derap langkah terdengar dari sepasang sepatu pantofel yang sedang mendekat. Aiza yang meyakini itu suaminya lantas mendongak, lalu melihat sosok Bachtiar yang baru saja masuk ke dalam rumah.
Aiza gegas bangkit. Lalu menimpali perkataan Nurma. “Ia, Nur, nggak apa-apa.” Kemudian ia segera menghampiri Bachtiar yang baru saja masuk, menyambut kepulangannya.
“Bang Bachtiar…”
“Jangan sentuh! Bersihkan dulu tubuh kotormu itu baru kau datang menghampiriku!” tegas Bachtiar sembari menepis tangan Aiza yang hendak menyalaminya dengan eskpresi penuh kebencian.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!