NovelToon NovelToon

MANUSIA ABADI

Masuk Universitas

BAB 1 —

Fajar menyapu langit Kota Jiangcheng dengan warna emas pucat. Sinar mentari pertama menyentuh puncak tertinggi dari perumahan elite di Pegunungan Qinglong — sebuah kawasan yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang dengan identitas paling rahasia di dunia.

Di titik tertinggi kawasan itu, berdiri sebuah vila megah berarsitektur hitam perak, mencolok tapi tetap sunyi. Bangunan yang menatap seluruh kota dari atas awan. Rumah itu milik seseorang yang tidak pernah terlihat keluar. Tidak ada tamu. Tidak ada nama di gerbang. Tapi para penghuni vila di bawahnya tahu satu hal: tempat itu bukan milik manusia biasa.

---

Di dalam vila, seorang pria berdiri diam di balkon lantai dua.

Tinggi 190 cm, berambut hitam legam, dan bermata biru gelap yang tak memantulkan cahaya. Matanya memandang jauh, menembus langit, menatap tempat yang tak bisa dilihat manusia biasa — tempat asalnya, di luar Bimasakti, di antara gugus bintang yang kini telah hancur.

Alex Chu.

Makhluk abadi yang telah hidup di bumi selama ribuan tahun.

Penguasa ekonomi global.

Orang yang bisa menjatuhkan pasar dunia hanya dengan satu bisikan.

Tapi pagi ini...

Dia hanya akan berangkat kuliah.

---

Ia berjalan turun dari ruang meditasi, melewati koridor kaca yang menghadap ke ruang bawah tanah.

Lift khusus terbuka pelan, dan membawa tubuhnya turun ke basement lantai keempat. Deretan lampu menyala otomatis saat kehadirannya terdeteksi. Di sepanjang dinding parkiran bawah tanah itu, ratusan mobil sport dan hypercar berjejer diam seperti pasukan siap tempur.

Bugatti La Voiture Noire. Koenigsegg Jesko. McLaren Speedtail.

Dan di sudut terpencil, sebuah Lamborghini Miura klasik tahun 1971 — satu-satunya peninggalan yang ia rawat sejak era ketika dunia masih mengenal teknologi analog.

Langkahnya berhenti di depan Ferrari SF90 Stradale berwarna hitam pekat. Tidak mencolok, tapi cukup untuk membuat kepala orang-orang menoleh... jika mereka tahu siapa pengemudinya.

Mesin menderu pelan.

---

Beberapa menit kemudian, sebuah supercar meluncur tenang keluar dari gerbang atas kompleks elite Qinglong.

Mobil itu menuruni jalan pegunungan dengan kecepatan stabil. Tidak ada suara. Tidak ada pengawalan. Tidak ada plat nomor khusus.

Di dalamnya, duduk seorang pemuda tampan bermata biru dingin. Tenang. Diam. Tidak memainkan ponsel, tidak mendengarkan musik. Ia hanya menyetir sambil menatap jalanan kota yang mulai ramai.

“Manusia... masih belum banyak berubah.”

Suaranya pelan, nyaris seperti gumaman yang hilang tertelan waktu.

---

Setengah jam kemudian, mobil itu berhenti beberapa blok sebelum kampus utama Universitas Jiangcheng. Alex Chu turun, mengunci mobilnya, dan berjalan kaki melewati trotoar kecil menuju gerbang kampus.

Ia melewati mahasiswa yang baru turun dari bus, dari taksi, dari ojek online... tidak ada yang menoleh. Tidak ada yang menyadari.

Langkah kaki Alex Chu terdengar ringan di antara derap mahasiswa lain yang bergegas menuju gedung kuliah. Ia mengenakan kemeja hitam sederhana, celana panjang abu gelap, dan sepatu kulit polos. Tidak ada merek mencolok. Tidak ada aksesoris mewah. Hanya kesederhanaan mutlak yang menyembunyikan auranya yang luar biasa.

Namun, siapa pun yang berpapasan dengannya akan merasa aneh—

Seolah tubuh pria itu memancarkan tekanan tak kasat mata.

Dingin. Tenang. Mewah… tapi tak terjangkau.

---

Gedung Fakultas Ekonomi Internasional.

Ruang 402.

Kelas pertama hari ini: “Pengantar Analisis Global.”

Alex Chu masuk ruang kelas yang telah setengah terisi.

Semua mata sempat melirik sekilas, tapi tak ada yang benar-benar memperhatikan — hingga dua detik kemudian, sebagian dari mereka terpaku.

> “Eh… siapa itu?”

“Baru masuk ya? Kok kayak… aktor Hollywood?”

“Tinggi banget… dan matanya biru… asli nggak sih?”

Terdengar bisik-bisik pelan, terutama dari beberapa mahasiswi yang duduk di dekat jendela.

Alex duduk di bangku pojok belakang tanpa mengucapkan sepatah kata.

Ia membuka tablet tipis dari tas kulit kecilnya, lalu mulai membaca dokumen internal ekonomi dunia… meskipun mata kuliah ini hanya membahas hal-hal yang menurutnya “sudah basi sejak lima abad lalu.”

---

Beberapa menit kemudian, langkah sepatu berhak tinggi terdengar mendekat.

DOK DOK DOK…

Su ziyan

DOK DOK DOK…

Seseorang masuk ke kelas.

Semua mata langsung terarah.

Dia…

Su Ziyan.

Mahasiswi paling mencolok di kampus ini.

Putri dari keluarga pengusaha besar, memiliki kecantikan yang bisa membuat ruang kelas senyap. Rambut panjangnya terikat rapi, dan wajahnya dingin seperti salju musim gugur. Banyak pria telah mencoba mendekatinya, dan semuanya ditolak tanpa ampun.

Ia berjalan ke bangku tengah, tapi entah kenapa—

langkahnya melambat sedikit saat melewati Alex.

Pandangan mereka bertemu.

Hanya sekejap. Tapi bagi Alex, waktu seolah berhenti.

> "Darah kuat... aura keluarga kuno..."

"Bocah ini keturunan darah elit lama dari Asia Tengah..."

Alex menatap datar, lalu kembali menunduk. Ia telah melihat semuanya hanya dalam satu detik.

Su Ziyan, di sisi lain, merasakan dadanya aneh.

Dia tak pernah merasa terintimidasi hanya oleh tatapan.

---

Dosen masuk dan kelas dimulai.

Penjelasan tentang “mekanisme pasar bebas” berlangsung seperti biasa. Para mahasiswa mencatat. Su Ziyan duduk tenang, mencatat rapi di buku tulisnya.

Hanya satu orang yang tak mencatat. Tak bicara. Tak bertanya.

Alex Chu hanya duduk dan memejamkan mata.

---

> “Mahasiswa pojok belakang, kamu tahu jawaban dari pertanyaan saya?”

suara dosen tiba-tiba menunjuk ke arah Alex.

Seluruh kelas menoleh.

Alex membuka matanya. Dingin.

Ia melirik ke layar proyektor, melihat grafik yang dibuat salah.

Lalu ia bicara untuk pertama kalinya:

> “Grafik yang Anda tampilkan keliru. Sumbu y dan x terbalik.”

“Selain itu, teori yang Anda sebutkan berasal dari Mazlow Revised Framework, bukan ‘Neo-Liberalistic Capital Model’ seperti yang Anda katakan. Tahun publikasinya 1991, bukan 1984.”

Hening.

Dosen terdiam. Matanya melebar.

> “Kamu… siapa namamu?”

Alex menjawab tanpa emosi.

> “Alex Chu.”

---

Su Ziyan menoleh dengan ekspresi sulit dijelaskan.

Dan di seberang kelas, beberapa mahasiswa mulai membuka ponsel mereka, diam-diam mengetik nama "Alex Chu" di pencarian semua sosial media —

tapi tak satu pun menemukan hasil apapun.

.

.

Jam berlalu sampai di ujung kelas,

Begitu dosen menutup laptopnya dan berkata,

> “Kita cukupkan sampai di sini,”

suasana kelas langsung hidup.

Sebagian besar mahasiswa bergegas keluar. Beberapa langsung mengangkat ponsel untuk update story atau mencari tempat nongkrong.

Di barisan depan, Su Ziyan berdiri anggun, mengenakan blouse putih sederhana dan rok panjang berwarna abu lembut. Posturnya tegap, langkahnya tenang — aura es yang menyelimuti seluruh kehadirannya membuat siapa pun otomatis memberi jalan.

Seorang mahasiswa pria yang tampak rapi dan percaya diri mendekatinya. Namanya Zhang Wei, anak orang kaya dan termasuk populer di kampus — tapi tetap saja, di hadapan Su Ziyan, dia hanya satu dari puluhan pengejar yang tak dianggap.

> “Ziyan, kamu sibuk sekarang?” tanyanya, tersenyum sok ramah.

“Aku tahu tempat kopi baru di luar kampus. Gaya Eropa, kamu pasti suka. Mau bareng aku ke sana?”

Su Ziyan menatapnya sejenak — tatapan datar tanpa emosi. Lalu menjawab pelan tapi dingin:

> “Tidak.”

Satu kata. Tanpa basa-basi.

Zhang Wei terpaku sesaat, tersenyum kaku untuk menyembunyikan rasa malu, lalu mengangguk seolah tak terjadi apa-apa.

> “Ah... baiklah. Mungkin lain kali.”

Tapi hatinya tahu — tidak akan pernah ada lain kali.

Beberapa menit kemudian, kelas benar-benar kosong. Tidak ada suara. Hening.

Di kursi paling pojok dekat jendela, Alex Chu masih duduk.

Dia baru saja membuka matanya.

Tatapannya mengarah ke luar jendela — ke langit biru dan barisan awan tipis yang bergerak lambat. Tak ada ekspresi di wajahnya. Hanya ketenangan yang dalam, seperti danau yang tak pernah terusik badai.

Perlahan, ia berdiri.

Tinggi tubuhnya menjulang, nyaris menyentuh ambang atas pintu ruangan. Jaket hitam yang ia kenakan seolah menyatu dengan posturnya yang tegap dan rapi. Ia melangkah keluar dari kelas... sendirian.

Tanpa suara. Tanpa tatapan dari siapa pun.

Dan memang begitulah ia menginginkannya.

BOS DI BALIK LAYAR

Pagi itu, langit di atas gedung pencakar langit milik Skyreach Group tampak kelabu, seolah ikut mencerminkan suasana dalam perusahaan yang tengah bergolak karena krisis internal.

Di depan lobi utama, sebuah Bugatti edisi terbatas berhenti dengan tenang. Warna hitam metaliknya berkilau di bawah cahaya pagi, membuat banyak pegawai dan satpam yang sedang berjaga tak bisa menahan diri untuk menoleh.

Itu bukan Bugatti biasa.

Itu adalah model khusus satu-satunya di dunia, dengan plat nomor pribadi dan desain custom yang hanya dimiliki satu orang.

Karena mibil ini sangat langka bahkan security depan membiarkannya masuk karena berfikir itu mobil eksekutif senior

Pintu terbuka.

Seorang pria muda melangkah keluar.

Alex Chu.

Tinggi semampai, 190 cm, berpakaian rapi kasual elegan. Sorot mata birunya begitu tajam dan dingin. Tidak ada satu pun emosi terpancar dari wajahnya, hanya ketenangan mutlak yang membuat orang tertekan tanpa tahu alasannya.

Ia melangkah perlahan menuju lobi, disambut bisik-bisik karyawan yang tak mengenalnya.

.

Beberapa staf kantor saling berbisik, mengangumi ketampanan alex chu meski hanya memakai pakaian sederhana, tapi aura itu nyata.

beberapa staf wanita langsung berfikir "wah mungkin dia seperti keluar dari lukisan"

>"oh tidak dia sangat tanpan, diapa dia anak pemegang saham kah?".

bisik" terdengar

Seorang resepsionis wanita berdiri cepat dengan sedikit canggung, tapi tetap menjaga sopan santun.

> “Selamat pagi, Tuan… Ada yang bisa saya bantu? Resepsionis itu bertanya tanpa berkedip mengagumi sosok alex chu

Alex menoleh sejenak, menatap wanita itu tanpa mengatakan apapun.

Suasana mendadak terasa aneh.

Tepat saat itu, pintu lift eksekutif terbuka. Seorang pria paruh baya berjas hitam keluar dengan langkah cepat.

Gao Wen, orang kepercayaan utama Alex, kepala eksekutif senior yang dikenal berpengaruh di Skyreach Group.

> “Tuan Alex, mohon maaf saya terlambat menyambut Anda.”

Gao Wen langsung berdiri di sisi Alex dan menatap resepsionis itu.

> “Dia tidak perlu membuat janji. Ini adalah pemilik perusahaan ini.”

Resepsionis itu membeku, wajahnya langsung berubah. Para staf kantor yang masih di lobi pun terkejut

>"oh ya ampun dia bos perusahaan ini, dia masih sangat muda, dan masih sangat tampan, dunia sungguh tidak adil"

Namun Alex tak mengucapkan apapun. Ia hanya mengangguk ringan dan langsung masuk ke lift eksekutif bersama Gao Wen.

---

Lantai 88 — Ruang Rapat Utama

Ruang besar itu sudah dipenuhi oleh para eksekutif senior Skyreach Group. Mereka menunggu dengan cemas—mendengar bahwa ‘pengendali pusat’ akan hadir untuk menyelesaikan krisis, namun mereka tak tahu siapa yang dimaksud.

Saat pintu terbuka, semua kepala menoleh.

Langkah kaki pria muda dan suara sepatunya yang tenang bergema di ruangan.

Namun begitu melihat sosok Alex… ekspresi para eksekutif berubah.

Beberapa dari mereka saling berpandangan, bingung.

Ada yang mulai tersenyum sinis, mengira ini hanya asisten atau penerus simbolik.

> “Itu dia? Bocah ini?” bisik salah satu direktur senior dengan alis mengernyit.

“Apa kantor pusat sedang bercanda?”

Gao Wen berdiri ke samping, suaranya tenang namun penuh tekanan.

> “Bapak-bapak sekalian.

Perkenalkan, ini adalah Tuan Alex Chu—pemilik sah Skyreach Group.

Orang di balik semua jaringan perusahaan kita selama ini.”

Ruangan langsung hening.

Sebagian tertawa kecil, mengira itu hanya basa-basi. Tapi raut wajah Gao Wen terlalu serius untuk dianggap bercanda.

Beberapa detik kemudian, layar besar di dinding menyala otomatis.

Menampilkan struktur legal, dokumen hak kepemilikan, tanda tangan digital, serta bukti verifikasi internasional.

Semua mengarah ke satu nama: Alex Chu.

Para eksekutif mulai berdiri perlahan, satu per satu. Ada yang menunduk, ada yang masih tercengang.

> “Tak mungkin… dia masih terlihat seperti mahasiswa,” bisik salah satu eksekutif muda.

> “Aku sudah dua puluh tahun di sini… tak pernah mendengar nama itu sebelumnya…”

Alex duduk di ujung meja panjang ruang rapat. Ia membuka dokumen di tangannya dengan tenang, lalu berbicara untuk pertama kalinya:

> “Mulai rapat. Aku ingin tahu siapa yang membuat perusahaan ini terlihat seperti dikelola anak TK.”

Nadanya datar. Tapi tekanan dalam kata-katanya cukup untuk membuat beberapa direktur terdiam dan menahan napas.

Di hadapan pria muda itu, usia dan jabatan mereka tak berarti apa-apa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!