Cahaya pagi menembus sela tirai kamar apartemen, menyentuh wajah lelah Jihan Hadid yang masih tertidur di sofa.
Di sekitarnya, kertas-kertas berisi rundown acara, blueprint dekorasi dan laptop terbuka dengan puluhan tab menyala menjadi saksi lembur semalam yang melelahkan.
Hari ini adalah hari terpenting karena besok akan ada acara terbesar dalam kariernya sebagai Event Organizer akan digelar dimana pertemuan elite para CEO dari berbagai negara.
Jihan membuka matanya dan merasakan kepalanya yang berat.
Ia mendongakkan kepalanya dan melihat jam dinding menunjukkan pukul delapan pagi.
"Ya Tuhan!"
Jihan langsung bangkit dan tiba-tiba gerakannya langsung terhenti oleh rasa nyeri tajam di perut bagian bawah.
"Aduh..." ucap Jihan sambil tangannya refleks memegangi perut.
Sudah dua minggu sejak terakhir kali ia mengalami siklus bulanan dan pagi ini rasanya berbeda.
Perutnya seperti diremas-remas dan rasanya sangat sakit sekali.
Jihan tidak mau jika harus memikirkan perutnya yang sakit.
“Mungkin cuma kecapekan atau salah makan kemarin,” ucap Jihan sambil mencoba menenangkan diri sendiri.
Ia langsung masuk ke kamar mandi sambil sesekali meringis saat merasakan perutnya yang sakit.
Jihan memejamkan matanya sambil membayangkan di hadapannya ada agenda padat sudah menunggu mulai briefing teknis, pengecekan lokasi, konfirmasi vendor, dan gladi bersih.
Setelah selesai mandi Jihan menuju ke lemari dan mengambil balzer krem yang ia padukan dengan celana panjang high waist serta blouse satin putih.
Ia mengikat rambutnya sambil mengambilkan parfum yang langsung ia semprotkan.
Setelah itu ia mengambil roti dan segera masuk ke dalam mobil menuju ke kantornya.
Saat sedang menyetir ia melihat ponselnya yang berdering.
"Hallo Mia, ada apa? Aku masih perjalanan kesana." ucap Jihan.
"Jihan, segera kemari. Ada Tuan Samuel yang sedang menunggu mu." jawab Mia
Jihan meminta Mia untuk menemani Tuan Samuel sebentar sampai ia sampai di kantor.
Perjalanan yang tidak begitu rame membuat Jihan sampai di kantornya.
Jihan memasuki area parkir gedung kantornya dan segera turun dari mobilnya .
Ia berjalan cepat menuju lift sampai suara sepatunya terdengar berketuk riuh di lantai marmer.
Di dalam lift ia kembali merasakan perutnya yang nyeri dan ia menganggukkan minyak kayu putih agar bisa mereka sedikit rasa sakitnya.
Begitu pintu lift terbuka di lantai 12, Jihan melihat Mia yang merupakan sekretaris sekaligus sahabatnya sudah menunggunya dengan wajah tegang.
“Ji, Tuan Samuel sudah menunggumu dari tadi." ucap Mia dengan wajah cemas.
Jihan menganggukkan kepalanya dan berjalan menuju ke ruang kerjanya.
Ia melangkah masuk ke ruang kerjanya yang luas dan minimalis.
Jihan melihat Samuel yangmengenakan jas abu-abu rapi dan ekspresi serius.
Ia adalah Samuel Tan, kepala perwakilan dari panitia internasional penyelenggara acara CEO sedunia.
“Pagi, Jihan,” sapa Samuel tanpa basa-basi.
“Pagi, Tuan Samuel. Maaf saya sedikit terlambat, semalam saya—”
“Kita harus bicara soal jadwal. Ada perubahan besar. Acara dimajukan.”
“Dimajukan? Dimajukan bagaimana?" tanya Jihan panik.
"Ya Jihan, acara tidak jadi besok melainkan nanti malam, pukul delapan sampai subuh. Permintaan langsung dari pihak keamanan internasional dan beberapa CEO besar. Mereka tidak ingin ada kerumunan media terlalu lama. Protokol keamanan baru diberlakukan.”
Jihan mengerjap, berusaha mencerna kata-kata itu.
“Jadi, tidak jadi besok?” Jihan sambil menatap wajah Samuel.
Samuel menggelengkan kepalanya sambil melihat jam tangannya.
"Kamu hanya punya beberapa jam.” ucap Samuel.
Jihan menelan salivanya dengan detak jantungnya seolah melambat.
Ia kembali merasakan perutnya yang sakit sambil mencoba untuk tenang.
“Baik Tuan Samuel, Saya akan persiapkan semuanya,” jawab Jihan.
Samuel menganggukkan kepalanya dan setelah itu ia keluar dari ruang kerja Jihan.
Baru saja Samuel keluar dari ruangannya, Jihan menutup pintu dan bersandar sejenak.
Jihan merintih kesakitan saat Perutnya semakin sakit
“Apa ini usus buntu? Atau lambungku kambuh?” gumamnya panik.
Dengan langkah pelan, ia membuka pintu dan memanggil Mia yang masih sibuk di meja depan.
“Mia,” panggil Jihan dengan suara lirih.
"Iya Ji, ada apa?" tanya Mia
“Aku mau ke rumah sakit dulu sebentar. Perutku sakit banget dan sepertinya semakin parah,” ucap Jihan sambil mencoba tersenyum agar tak terlihat terlalu lemah.
"Aku antar ya, Ji." ucap Mia yang khawatir dengan keadaan Mia.
“Enggak usah, Mia. Aku bisa sendiri dan kamu tolong handle semua sementara aku pergi, ya. Pastikan vendor datang ke hotel sesuai jadwal, dan pastikan rundown malam ini nggak ada yang missed.”
Mia menganggukkan kepalanya dan ia khawatir dengan kondisi sahabatnya.
Ia meminta Jihan untuk rawat inap di rumah sakit.
“Aku cuma perlu diperiksa sebentar, setelah itu aku langsung ke hotel.”
Dengan tubuh yang mulai lemas, Jihan berjalan menuju lift.
Segera Jihan melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit.
Sementara itu di tempat lain dimana Maria yang juga akan bersiap berangkat ke rumah sakit untuk melakukan rencana liciknya.
"Sebentar lagi aku akan menjadi salah satu istri dari seorang CEO dan mafia besar" gumam Maria yang dulu berhasil mencuri spermatozoa milik ketiga CEO sekaligus mafia kejam
Setelah berhasil mencurinya, Maria menaruh di rumah sakit Turkey.
Maria selesai berdandan dan ia berjalan menuju ke arah mobilnya.
"Maaf, Nona Maria. Sepertinya kita tidak bisa beraktivitas sekarang karena saya harus mengganti ban mobil." ucap Fiza yang merubah sopir yang ia sewa
Maria menghela napas panjang dan ia meminta Fiza untuk segera mengerjakannya.
Ia menunggu di kursi yang ada di lobby apartemen.
Disisi lain dimana Jihan telah sampai di rumah sakit.
"Aku ingin periksa, apakah dokter Aylin sudah datang?" tanya Jihan sambil memegangi perutnya
"Maaf Nona Jihan, dokter Aylin hari ini libur sampai Minggu depan." jawab Perawat.
Perawat mengatakan kalau ada Dokter Ramdal sebagai pengganti dokter Aylin
Jihan mengaggukkan kepalanya dan ia menikmati ke ruang tunggu.
Tak berselang lama dokter Ramdal masuk dan membuka buku atas tanpa melihat nama pasien.
Perawat memanggil nama Jihan yang sedang duduk di kursi tunggu.
Jihan bangkit dari duduknya dan segera masuk ke ruang periksa.
Dokter Ramdal meminta Jihan untuk merebahkan tubuhnya dan membawanya kakinya.
Jihan mengernyitkan keningnya saat mendengar perkataan dari dokter Ramdal karena biasanya ia hanya mendapatkan obat dari dokter Aylin.
Jihan yang ingin agar perutnya tidak sakit akhirnya tidak bertanya kepada dokter Ramdal.
Dokter Ramdal mengambil tiga botol ampul dan menyuntikkannya ke dalam sana.
Jihan merasakan ada cairan dingin yang masuk ke dalam rahimnya.
Setelah selesai dokter Ramdal mengijinkan Jihan keluar dari ruang periksa.
Jihan keluar dan merasakan perutnya yang tidak sakit lagi.
Segera ia melajukan mobilnya menuju ke hotel dimana mana malam nanti acara akan diadakan.
Beberapa menit kemudian Maria sampai ke rumah sakit dan ia langsung masuk ke dalam ruang periksa.
Dokter Ramdal meminta Maria untuk merebahkan tubuhnya di atas brankar.
Kemudian dokter menyuntikkan obat pelancar haid yang Maria kira adalah spermatozoa milik mereka bertiga.
Maria sudah membayangkan bagaimana ia akan hidup enak dan menjadi orang kaya.
Setelah selesai Maria bangkit dari brankar dan keluar ruang periksa.
Ia tersenyum manis sambil mengelus-elus perutnya.
Mobil Jihan berhenti dengan mulus di parkiran basement hotel bintang lima yang akan menjadi lokasi acara malam ini.
Ia menarik nafas dalam-dalam sebelum keluar dari mobil dan mencoba menenangkan pikirannya yang masih kacau.
Perutnya masih terasa tidak nyaman, tapi ia memaksakan diri untuk tetap fokus.
Ini adalah momen puncak dalam kariernya dan ia tak boleh tampak goyah.
Begitu masuk ke lobi hotel, Mia sudah berdiri menunggunya dengan tablet di tangan dan wajah penuh semangat.
“Jihan!” sapa Mia sambil menghampiri.
“Syukurlah kamu lekas datang,Ji. Aku baru saja dapat laporan terakhir dari tim. Semua vendor sudah siap.”
“Bagus. Sekarang kita cek satu per satu. Aku mau pastikan semuanya sempurna.” ucap Jihan.
Mereka pun mulai bergerak dari satu titik ke titik lain di ballroom megah yang sudah disiapkan untuk menyambut para pemimpin bisnis dunia.
Jihan mulai memeriksa seluruh detail dengan teliti mulai panggung utama yang sudah terpasang lengkap, lighting dan sound system dalam kondisi optimal.
Dekorasi dengan nuansa modern klasik, dengan dominasi warna navy dan gold, terlihat elegan dan eksklusif.
Meja tamu VIP yang sudah ditata sesuai nama negara dan perusahaan masing-masing.
Catering dengan Chef yang sudah standby dengan menu eksklusif internasional.
Tim pengamanan dan protokol dari dalam dan luar negeri telah melakukan briefing.
“Semuanya sempurna, Mia. Aku kagum sama pekerjaan kamu" ucap Jihan.
Setelah semua dicek dan divalidasi, Jihan pun melangkah menuju lift dan naik ke kamar yang telah disiapkan untuknya.
Saat ia membuka pintu kamar, tubuhnya baru terasa lelah. Namun, tidak ada waktu untuk beristirahat.
Ia berdiri di depan cermin, membuka koper kecil berisi gaun malam berwarna merah menyala.
Gaun itu sederhana namun elegan, dengan potongan bahu terbuka dan belahan halus di samping kaki simbol kekuatan dan keanggunan.
Setelah berdandan dengan make-up flawless dan rambut disanggul rapi namun santai, Jihan menatap dirinya di cermin.
Untuk sesaat, ia tak lagi melihat wanita yang kelelahan karena kerja keras.
Jihan melihat dirinya yang seorang perempuan kuat, pemimpin, siap menyambut dunia dan para pria berkuasa yang akan hadir malam ini.
Ia teringat kata-kata Samuel sebelum meninggalkan ruangannya pagi tadi.
“Jihan, kamu bukan cuma EO malam ini. Kamu jadi tuan rumah. Kamu yang menyambut para raja bisnis itu. Tunjukkan bahwa kamu setara dengan mereka.”
***
Jam menunjukkan pukul delapan malam dan Jihan berdiri di ujung ballroom, memantau satu per satu detail untuk terakhir kalinya.
Musik jazz lembut mengalun, pencahayaan ruangan menghangatkan suasana, dan staf profesional bergerak dengan teratur.
Dari kejauhan, ia bisa melihat para tamu penting mulai berdatangan dengan gaya masing-masing dimana pria-pria dengan kekuasaan dan aura yang menuntut perhatian sejak mereka melangkah masuk.
Yang pertama memasuki ballroom adalah Adrian Demir, CEO muda dari Turki.
Mengenakan jas hitam slim fit dengan kemeja putih tanpa dasi, langkahnya tegas dan tatapannya tajam.
Saat lengan jasnya sedikit tersingkap, terlihat tato di lengan kanannya sebuah simbol misterius yang tak banyak orang tahu artinya.
Wajahnya tak menunjukkan emosi, tapi semua orang tahu jika pria ini bukan hanya pebisnis, tapi juga pemilik kekuasaan di balik layar.
Selanjutnya muncul David Armand, CEO asal Prancis dengan senyum dingin dan penuh rahasia.
Tato mencolok di lehernya terlihat jelas meski ia mengenakan setelan berwarna charcoal.
David dikenal sebagai pria manipulatif dengan kecerdasan luar biasa, sekaligus pemimpin di salah satu jaringan bawah tanah paling eksklusif di Eropa.
Tak lama kemudian, muncul Yusuf Al-Rafi, pengusaha minyak dari Timur Tengah yang juga memiliki bisnis tersembunyi dalam dunia perdagangan gelap.
Penampilannya tenang dan penuh wibawa, jas navy berkilau membalut tubuh tingginya, sementara tato di lengan kirinya sesekali terlihat saat ia bersalaman dengan tamu lain lambang keluarga yang hanya dikenali oleh kalangan mafia.
Jihan berdiri di posisi strategis, menyambut tamu dengan senyum profesional.
Namun saat matanya bertemu dengan mata ketiga pria itu dan hatinya bergetar aneh.
"Kenapa perasaanku tidak enak seperti ini," gumam Jihan.
Jihan mengalihkan pandangannya dan ia melihat Samuel yang akan memulai acara.
"Semoga acaranya lancar, Ji." ucap Mia.
Jihan menganggukkan kepalanya dan ia mengambil air minum.
Semakin malam, suasana ballroom berubah menjadi lautan kemewahan dan kejayaan.
Musik berubah lebih enerjik, lampu kristal berkilauan di langit-langit seperti bintang yang tumpah ke bumi dan gelas-gelas kristal penuh anggur mengalir dari satu tangan ke tangan lainnya.
Malam itu adalah perayaan kekuasaan dan Jihan berdiri di pusatnya.
Ia berdiri di samping panggung, memandangi hasil kerjanya dengan perasaan bangga.
Semua yang ia rancang berjalan sempurna mulai dari dekorasi mewah hingga alur acara yang mengalun tanpa cela.
Ini bukan hanya pesta untuk para penguasa, ini adalah mahakarya seorang Jihan Hadid.
Dengan gaun merah yang menyala anggun di bawah cahaya lampu gantung, Jihan menarik perhatian banyak mata malam itu.
Tatapan kagum dan penasaran datang dari para CEO dan tokoh penting dunia bisnis.
Mereka berbicara tentang strategi dan saham, tapi mata mereka tak bisa lepas dari pesona wanita di tengah pesta.
Samuel mendekat dengan senyum ramah dan tangan yang terulur.
“Sepertinya kamu pantas menikmati hasil kerja kerasmu malam ini dan maukah berdansa dengan tuan rumah kehormatan kita?”
Jihan tersenyum, sedikit terkejut namun tak menolak.
“Tentu. Tapi jangan salahkan aku kalau kakimi ke injak." ucap Jihan.
Tawa ringan mengiringi mereka menuju lantai dansa.
Musik jazz berganti menjadi irama ballroom lembut.
Samuel memimpin langkah dan Jihan mengikuti dengan anggun.
Gerakan mereka selaras, angin dari putaran pelan menyentuh wajahnya dan membuat beberapa helai rambut terlepas dari sanggul.
Saat mereka berdansa, beberapa CEO tak bisa menahan diri untuk memperhatikannya termasuk Adrian, David, dan Yusuf.
Ketiganya di tempat yang berbeda di ballroom sambil menatap Jihan.
Tatapan yang tak sekadar kagum seperti ada keanehan dan daya tarik tak kasat mata yang belum mereka pahami.
Setelah tarian berakhir, Samuel memberikan anggukan hormat kecil.
“Kamu sangat mempesona sekali malam ini, Jihan.”
“Malam ini tentang mereka. Aku hanya penyelenggaranya.” ucap Jihan sambil tertawa kecil.
Seseorang dari pelayan mendekat, membawa nampan berisi minuman.
Gelas kristal berisi champagne disodorkan padanya.
Jihan mengambilnya dan mengangkat gelas kecil itu tinggi.
“Untuk malam yang sempurna.” ucap Jihan.
Jihan kembali fokus ke acara sampai waktu menunjukkan pukul 01.30 dini hari.
Musik perlahan mengecil, lampu ballroom sedikit diredupkan, menandai bahwa malam telah memasuki penutupan.
Para tamu mulai duduk kembali di tempat masing-masing dan suasana meriah perlahan berubah menjadi khidmat dan hangat.
Dari atas panggung utama, Samuel melangkah maju dengan mikrofon di tangan.
Jas hitamnya tetap rapi, meski wajahnya sudah menunjukkan sedikit kelelahan setelah berjam-jam berdiri di tengah kemegahan acara.
Ia menatap ke arah para CEO dengan senyum puas
“Ladies and gentlemen,” ucapnya dengan suara tenang namun penuh wibawa.
“Malam ini bukan hanya sekadar pesta atau forum bisnis biasa. Malam ini adalah tonggak pertemuan penting dari para pemimpin dunia, pengambil keputusan, dan penggerak kekuatan global.”
“Saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah mendukung acara ini. Para sponsor, tim keamanan, vendor-vendor hebat yang bekerja tanpa henti dan tentu saja, seseorang yang layak mendapatkan penghargaan khusus malam ini.”
Ia berhenti sejenak, lalu mengarahkan pandangannya ke arah Jihan, yang berdiri di sisi ballroom bersama Mia.
“Wanita luar biasa yang menjadi otak dari semua keindahan dan kesempurnaan yang Anda lihat malam ini. Seorang profesional sejati, pemimpin tangguh di balik layar, dan tanpa diragukan lagi, seorang wanita yang pantas dihormati.”
Samuel mengangkat tangannya, menunjuk langsung ke Jihan.
“Please give a warm applause to Miss Jihan Hadid, our brilliant Event Organizer.”
Tepuk tangan pun bergemuruh, beberapa CEO bahkan berdiri memberi penghormatan.
Jihan tersenyum, menahan haru, lalu sedikit membungkuk memberi salam.
Gaun merahnya berkilauan di bawah cahaya lampu gantung, membuatnya tampak seperti ratu pesta.
"Jihan, ini gila. Semua mata tertuju ke kamu, Ji”
Jihan hanya tersenyum, sedikit tergetar oleh kehangatan penghargaan itu.
Tapi jauh di lubuk hatinya, ada rasa aneh yang bergetar seperti firasat akan sesuatu yang besar dan tak bisa dikendalikan.
Acara akhirnya telah selesai dimana para tamu sudah meninggalkan ballroom satu persatu.
Beberapa staf masih sibuk membereskan properti, mengecek ulang peralatan dan memastikan tidak ada yang tertinggal disana.
Lampu ruangan kini tak lagi semegah sebelumnya yang sekarang hanya menyisakan cahaya yang menenangkan.
Jihan berdiri di tengah balkon yang mulai kosong sambil menghela nafas panjang.
Rasa puas dan lelah bercampur jadi satu dalam hati Jihan.
Mia menghampiri Jihan dan memintanya untuk pulang terlebih dahulu.
"Tapi ini belum selesai," ucap Jihan.
"Ji, kamu pulang duluan saja. Biar aku dan teman-teman yang menyelesaikannya." ucap Mia.
Mereka menganggukkan kepalanya dan Mia mengambilkan jaket untuk menutupi tubuh Jihan.
Di basement parkiran hotel, keheningan menyambutnya.
Hanya suara langkah kakinya dan sesekali suara mesin mobil yang terdengar jauh di ujung.
Namun ketika Jihan sampai di deretan tempat parkir mobilnya.
Ia melihat langsung dimana tiga sosok pria berdiri tak jauh dari mobil Jihan
Mereka berdiri diam tanpa berkata sepatah kata pun.
Posisinya membentuk setengah lingkaran, seakan tanpa sadar menghalangi arah jalannya.
Ketiganya masih mengenakan jas pesta, wajah mereka kini tampak lebih serius dan tenang.
Hati Jihan sempat berdegup tak karuan dan ada sesuatu di mata ketiganya bukan sekadar kagum, tapi seolah ada rasa ingin tahu.
Jihan mengangguk ke arah mereka dan setelah itu ia masuk ke dalam mobilnya.
Mereka bertiga saling pandang dan langsung masuk ke dalam mobil milik Adrian.
Jihan mematung beberapa detik, lalu kembali bergerak.
Ia membuka pintu mobilnya, duduk, dan menatap ke depan.
Mobilnya melaju melewati lampu-lampu jalanan Istanbul yang mulai sepi.
Jalanan yang basah karena hujan gerimis sebelumnya, membuat cahaya lampu memantul indah di permukaan aspal.
Namun mata Jihan nyaris tak memperhatikan semua itu kesadarannya setengah melayang karena lelah.
Sesampainya di apartemen, ia langsung membuka pintu tanpa menyalakan lampu sepenuhnya.
Cukup cahaya dari lampu tidur yang temaram untuk membimbing langkahnya menuju kamar.
Ia melepas high heels-nya, meletakkan tas, lalu tanpa sempat mengganti pakaian, merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Kasurnya yang empuk menyambut seperti pelukan hangat.
Jihan langsung tertidur pulas, tanpa menyentuh ponsel dan membersihkan make-up nya.
Di lantai tertinggi sebuah apartemen mewah yang menghadap ke Selat Bosphorus, malam telah jauh tenggelam.
Namun, cahaya kota Istanbul masih bersinar, memantul dari dinding kaca besar yang membingkai ruangan bak lukisan hidup.
Di dalamnya, aroma cerutu mahal dan whisky tua menggantung di udara.
Sofa kulit, perapian modern, dan pencahayaan hangat menciptakan suasana elegan yang kontras dengan dinginnya dunia tempat ketiga pria itu berasal.
David bersandar santai di sofa, tangan kirinya memegang cerutu, sementara tangan kanan memainkan korek api perak.
"Jihan," katanya pelan, seolah mengucapkan nama yang baru saja membekas dalam pikirannya,
"Wanita yang sangat cantik. Tatapannya tajam, tapi ada kelembutan... yang membuat siapa pun ingin mengenalnya lebih dekat."
Yusuf, duduk di seberang dengan lengan disilangkan, mengangguk setuju.
"Dia punya aura yang beda. Elegan tanpa dibuat-buat. Setiap gerakannya tenang, tapi menguasai ruangan. Kau lihat sendiri bagaimana semua CEO mengalihkan perhatian ke arahnya meski hanya beberapa detik."
David melirik ke arah pria yang duduk paling tenang di dekat jendela: Adrian.
Dengan gelas kristal di tangan dan tatapan mengarah keluar jendela, Adrian terlihat seperti patung hidup—dingin, tegap, dan tak mudah dibaca.
"Kau tidak berkomentar apa-apa, Adrian. Apa kau tidak tertarik pada Jihan?"
Adrian mengangkat sedikit alisnya, lalu menoleh perlahan.
"Dia memang menarik," ucapnya, datar. "Tapi aku tidak begitu menyukainya."
"Kenapa? Terlalu sempurna?" tanya Yusuf.
Adrian meneguk minuman di tangannya, lalu meletakkan gelasnya di atas meja kaca. Sorot matanya berubah tajam.
"Justru karena dia terlalu sempurna."
"Wanita seperti dia tak seharusnya berada dekat dengan dunia kita."
David tertawa kecil sambil meniupkan asap cerutunya ke udara.
"Atau mungkin… kamu hanya takut. Karena dia bukan tipe yang mudah ditaklukkan."
"Aku hanya berhati-hati, karena kalau kita menyeretnya masuk… dia tidak akan pernah bisa keluar."
Hening kembali menyelimuti ruangan, hanya diiringi bunyi lembut dari musik jazz yang mengalun pelan di latar belakang.
Sementara ketiga pria berbahaya itu telah masuk ke kamar mereka masing-masing, di sebuah apartemen tersembunyi di pinggiran Istanbul.
Maria duduk di dekat jendela, memandangi langit malam yang kelam.
Di sisinya, Leonardo, kakak kandung sekaligus partner dalam kejahatan, tengah memutar-mutar gelas anggur merah.
"Tiga bulan lagi," bisik Maria, senyum licik menghiasi wajahnya yang anggun namun penuh tipu daya.
"Dalam tiga bulan aku pasti hamil. Dan setelah itu kita akan taklukkan mereka bertiga—Adrian."
Leonardo mengangguk pelan, meski sorot matanya tetap tajam dan penuh keraguan.
"Kau yakin semuanya berjalan sesuai rencana? Klinik, suntikan, jadwal ovulasi semua tepat?"
Maria tertawa kecil, lalu membalik tubuhnya, berjalan perlahan ke arah Leonardo.
"Aku sudah merencanakannya selama berbulan-bulan. Mereka pikir mereka penguasa dunia bawah tanah, tapi mereka akan kalah oleh seorang wanita."
"Adrian si angkuh, David si manipulatif, dan Yusuf si pendiam yang berbahaya. Mereka semua akan terjebak. Karena begitu bayi ini lahir, aku akan punya alasan kuat untuk menuntut bagian dari kekuasaan mereka."
"Kamu tidak akan hanya menuntut mereka tetapi kamu akan menaklukkan. Dan kalau salah satu dari mereka membangkang—"
"Maka kita buka semuanya. Rekaman, bukti, jejak digital. Dunia akan tahu siapa mereka sebenarnya," potong Maria dengan tajam.
Mereka berdua tertawa terbahak-bahak dan membayangkan bagaimana ketiga pria akan berlutut dihadapan mereka.
Setelah bersulang, Maria meneguk sedikit anggurnya lalu meletakkannya di atas meja kaca.
Musik klasik lembut mengalun dari speaker tua di sudut ruangan, mengisi udara dengan nuansa elegan yang sedikit mengancam.
Dengan senyum yang angkuh, Maria bangkit dari duduknya.
Ia mengenakan gaun satin berwarna burgundy yang membalut tubuhnya dengan sempurna.
Langkahnya ringan saat ia menghampiri Leonardo yang sedang menikmati rokoknya.
"Ayo, kak. Kita berdansa untuk merayakan awal kemenangan," ucap Maria, suaranya manis tapi penuh siasat.
"Sudah lama kita tidak berdansa. Terakhir... waktu kita menjebak pengacara mafia di Sofia, bukan?"
"Kali ini lebih besar dan ini bukan sekadar uang tetapi tentang kekuasaan."
Leonardo akhirnya menurunkan rokoknya dan menaruhnya di asbak kristal.
Dengan satu gerakan ringan, ia meraih tangan adiknya dan menariknya ke tengah ruangan.
Mereka mulai berdansa pelan dengan langkah kaki mereka seirama, elegan seperti pasangan bangsawan.
Tapi di balik gerakan itu, tersembunyi niat busuk dan rencana kotor yang mereka bangun dengan penuh perhitungan.
"Tiga mafia. Tiga warisan. Tiga alasan untuk tunduk padaku." ucap Maria
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!