Guang Zhou
Seorang pria tampak berjalan tergesa-gesa di koridor apartemen yang lengang. Di atas pundaknya, seorang gadis tengah menjerit dan meronta, namun tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Pria itu membuka pintu apartemennya dengan satu tangan, mendorongnya perlahan sambil tetap menahan gadis itu erat. Tanpa menghiraukan teriakannya, dia melangkah masuk dan segera menutup pintu.
"Aku bilang lepaskan aku!" teriak gadis itu, napasnya terengah dan matanya dipenuhi ketakutan.
Namun pria itu hanya diam. Langkahnya mantap menuju kamar. Dengan satu hentakan, ia membuka pintu dan segera menguncinya dari dalam. Gadis itu mulai menangis, namun pria itu tidak bergeming. Ia menghempaskan tubuh gadis itu ke atas kasur dengan paksa, lalu menindihnya, membatasi ruang geraknya.
Valentine Lee berusaha bangkit, tetapi kedua tangannya ditekan ke sisi ranjang.
"Apa yang kau lakukan?! Untuk apa kau membawaku ke sini? Aku akan menikah lusa! Jangan dekati aku lagi!" bentaknya, suaranya bergetar di antara kemarahan dan ketakutan.
Ruangan kamar yang gelap hanya diterangi cahaya temaram dari lampu jalan yang menembus melalui sela tirai jendela. Bayangan mereka terpantul samar di dinding, menciptakan suasana mencekam.
Pria itu menatapnya tajam. Nafasnya berat, matanya dipenuhi emosi yang sulit ditebak.
"Menikah dengan bocah itu? Valentine Lee, kau lebih memilihnya daripada aku?" katanya pelan, hampir berbisik, namun nadanya dingin. "Aku sungguh penasaran... apa kelebihannya? Dia tidak punya apa pun—tidak cerdas dan bodoh, Hanya keangkuhan dan wajah pas-pasan."
Valentine memalingkan wajahnya. Ia ingin berteriak lagi, tapi suaranya tercekat. "Aku dan dia sudah bersama selama dua tahun... Kenapa kau masih tidak mengerti?" desisnya. "Lepaskan aku!"
Pria itu mendekat, terlalu dekat. Napasnya menyentuh pipi Valentine. "Aku bisa memberimu apa saja—mobil, perhiasan, apartemen mewah di mana pun kau mau..."
"Aku tidak butuh semua itu!" potong Valentine cepat, matanya memancarkan keteguhan. "Kau tahu aku akan menikah dengannya, tapi kau tetap mendekatiku."
Suasana di dalam kamar terasa kian menyesakkan. Diam sejenak, lalu pria itu menyeringai tipis, menyembunyikan amarahnya di balik senyum dingin.
"Baiklah... kau ingin menikah dengannya?" gumamnya. "Kalau begitu... jangan salahkan aku kalau malam ini aku tidak melepaskanmu."
Seketika, ia menunduk dan mencium bibir Valentine dengan paksa. Gadis itu meronta, mencoba memalingkan wajah, tetapi kekuatannya tak sebanding.
"Tidak!" teriak Valentine sambil menggeleng keras, air mata mulai jatuh di pipinya.
Namun pria itu terus menahan tubuhnya, tak peduli dengan teriakannya.
Pria itu melepaskan pakaian Valentine satu per satu.
"Jangan! Kau sudah gila!" bentak Valentine.
Pria itu menekan kedua tangan Valentine dan berkata, "Iya, aku sudah gila. Aku tidak akan membiarkanmu menjadi miliknya. Karena kau hanya akan menjadi milikku."
"Aku bukan milikmu," teriak Valentine.
Pria itu mencium lehernya tanpa henti, sambil melepaskan pakaian gadis itu sehingga tanpa sehelai benang. Ia kemudian melepaskan kemejanya dan terlihat tubuh berotot yang berada di atas gadis itu.
"Jangan! Tolong lepaskan aku!" tangisan Valentine.
Pria itu melepaskan celananya sehingga tanpa sehelai benang.
"Valentine Lee, dengar baik-baik. Kau hanya bisa menjadi milikku," bisik pria itu sambil melakukan penyatuan dengan perlahan.
"Ahh!" jeritan Valentine yang kesakitan. Gadis itu mengeluarkan air matanya merasa hancur kesuciannya yang harus direnggut pria itu.
"Aku ingin tahu apakah bocah itu masih akan menikahimu setelah tahu hubungan kita," ucap pria itu sambil bergerak maju mundur di atas tubuh Valentine.
"Hentikan! Sakit!" teriak Valentine.
Pria itu menggoyangkan pinggulnya tanpa henti dan semakin cepat, gadis itu menangis kesakitan dan diabaikan oleh pria itu yang terbakar oleh hasrat.
"Aahh! Hentikan, tolong hentikan!" tangisan Valentine yang kesakitan.
Tidak lama kemudian pria itu menghentikan gerakannya setelah mencapai puncak kenikmatan dan melanjutkan ciumannya dengan brutal. Gadis itu dipaksa membalas ciumannya. Tangan pria tersebut memainkan dada Valentine.
Pria itu tersenyum puas dan menatap Valentine dari jarak dekat. Wajahnya seperti tak menyisakan rasa bersalah sedikit pun.
"Kau telah menjadi milikku. Selagi aku masih hidup. Aku tidak akan membiarkan dia mendapatkanmu," bisiknya dengan nada rendah dan senyum sinis.
Valentine menarik napas pendek, lalu menoleh dengan sorot mata penuh amarah. Ia mendorong tubuh pria itu ke samping dengan gerakan cepat.
"Lepaskan aku! Ini yang kau inginkan, bukan? Sudah puas? Cepat menyingkir dariku," bentaknya. Ia segera mengenakan pakaiannya dengan tangan gemetar dan napas tidak beraturan.
Sementara itu, pria tampan itu menyulut rokok, duduk santai di tempat tidur, tubuhnya hanya ditutupi selimut.
"Lain kali, jangan muncul lagi di depanku. Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan," kata Valentine dengan nada tajam.
Pria itu mengembuskan asap, lalu tersenyum miring padanya.
"Walaupun dia tahu aku sudah menidurimu, dia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Jangan lupa, di keluarga besar itu, aku yang paling berkuasa," ucapnya santai.
"Kau adalah bajingan," balas Valentine singkat. Ia berjalan ke arah pintu dengan langkah tertatih.
Pria itu mengisap rokok sekali lagi. "Menikah? Coba saja. Aku akan menghancurkan pernikahan kalian," gumamnya dingin.
l
Pria itu kemudian bangkit perlahan dari tempat tidur. Ia mengenakan kembali kemejanya dengan santai, lalu duduk di sisi ranjang sambil menarik selimut. Pandangannya jatuh pada bercak merah samar yang menodai seprai.
Ia diam sesaat, lalu tersenyum kecil.
"Bukankah sudah pacaran selama dua tahun..." gumamnya sambil menyentuh kain itu pelan, "...ternyata masih suci. Dia sungguh pintar menjaga diri. Menarik."
Ia bangkit, membenarkan kerah kemejanya di depan cermin. Sorot matanya tajam, seolah menyimpan kepuasan.
"Aku, Vincent Zhao... tidak akan kalah oleh seorang bocah tidak berguna. Valentine Lee, kau hanya bisa menjadi milikku," ucapnya dengan nada rendah, seperti berbicara kepada bayangannya sendiri.
***
Di sisi lain, jalanan malam terlihat lengang. Sebuah mobil melaju cukup cepat di bawah cahaya lampu jalan yang redup. Di balik kemudi, Valentine duduk dengan wajah tegang. Tangannya mencengkeram setir kuat-kuat, matanya kosong menatap ke depan.
Pikirannya berputar-putar, dihantui rasa jijik, marah, dan patah hati yang menumpuk jadi satu.
"Vincent Zhao Lik Dong..." gumamnya, suaranya serak tertahan, "...kau benar-benar menghancurkan aku."
Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan emosi.
"Aku mencintai Jacky... dan kau sengaja merenggut momen pertamaku. Bagaimana aku bisa berhadapan dengan Jacky lagi?" lirihnya sambil menahan air mata yang mulai memenuhi pelupuk.
Tiba-tiba, ponsel di kursi sebelahnya bergetar.
Valentine melirik cepat dan meraih ponsel itu dengan satu tangan. Layarnya menyala, menampilkan notifikasi pesan masuk. Saat ia membukanya, matanya langsung membelalak.
Di layar, tampak foto seorang pria—Jacky—berbaring telanjang di ranjang, memeluk seorang wanita dari belakang. Senyuman puas tergambar jelas di wajah mereka.
Pesan singkat menyertai gambar itu:
"Valentine, calon suamimu sedang bersamaku saat ini."
Tangan Valentine bergetar. Napasnya memburu.
"Alexander... Jacky... kau berselingkuh dariku..." ucapnya lirih. "Ternyata kau kembali bersama mantanmu."
Suaranya tercekat, dada sesak oleh rasa dikhianati. Matanya masih terpaku pada layar saat suara klakson keras tiba-tiba terdengar dari arah kiri.
Valentine tersentak. Matanya menoleh reflek ke samping, dan tanpa sadar tangannya memutar setir ke kanan terlalu cepat.
"Ah—!"
Mobil keluar jalur dan menghantam tiang pinggir jalan dengan keras.
Brak!
Bunyi benturan menggema di tengah keheningan malam. Kaca depan retak. Kap mobil penyok parah. Di dalam, Valentine terkulai di balik kemudi. Kepalanya bersandar ke jendela, darah mengalir dari pelipis.
Lampu hazard menyala berkedip-kedip, menerangi wajahnya yang kini tak sadarkan diri.
Hotel.
Cahaya remang dari lampu gantung menyinari ruangan dengan suasana hangat yang palsu. Seorang pria berdiri di depan cermin kamar hotel, membetulkan kerah kemejanya. Wajahnya tampak tenang, bahkan terlalu tenang untuk seorang pria yang akan menikah dua hari lagi.
Itu adalah Jacky — calon suami Valentine.
Dari balik selimut, seorang wanita bersandar di sandaran tempat tidur, tanpa mengenakan pakaian. Suaranya terdengar manja namun menyiratkan kegelisahan.
"Kenapa tidak bermalam di sini saja? Dua hari lagi pernikahanmu. Setelah itu... kita tidak akan bisa selalu bersama," ucap Alexander, matanya tak lepas menatap punggung Jacky.
Jacky hanya tersenyum, mengambil jam tangannya dari meja dan melilitkannya ke pergelangan tangan.
"Aku ada janji dengan dia. Kalau aku tidak pergi menemuinya, dia pasti curiga," jawabnya santai. Ia menoleh, melemparkan senyum yang biasa ia pakai untuk membujuk.
"Tenang saja. Setelah aku menikahi dia, kita tetap akan bersama. Kau adalah tujuan utamaku."
Alexander tersenyum kecil, tapi matanya tetap mengawasi gerak-gerik Jacky.
"Aku hanya takut kau melupakanku..." katanya pelan.
Jacky menghampirinya, duduk di tepi ranjang dan menyentuh dagunya.
"Jangan lupa, kau adalah cinta pertamaku." Ia menatap mata Alexander lekat. "Pernikahan ini cuma untuk menyenangkan nenekku. Seluruh keluargaku mendukung. aku juga hanya bisa patuh. Kalau bukan karena papaku berhutang budi ke ayah Valentine, mana mungkin aku disuruh menikahi dia."
Tiba-tiba, nada dering memecah keheningan. Jacky berdiri, meraih ponselnya dari meja dan menggeser layar untuk menerima panggilan.
"Halo?"
Suara perempuan dari seberang terdengar formal.
"Apakah Anda anggota keluarga Nona Valentine Lee? Nona Lee saat ini sedang berada di rumah sakit. Dia mengalami kecelakaan cukup parah."
Jacky terdiam sesaat, lalu matanya menyipit. Ia menoleh sekilas ke arah Alexander.
"Kecelakaan?" tanyanya datar. Kemudian, seulas senyum muncul di wajahnya. "Apakah... dia akan mati?"
Nada suaranya terdengar ringan, seperti menanyakan hal sepele.
"Dokter sedang berusaha menyelamatkannya," jawab wanita itu, terdengar sedikit terkejut dengan reaksi Jacky.
Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, Jacky memutus panggilan itu. Ia memasukkan ponselnya ke saku, lalu menarik napas pelan.
---
Beberapa saat kemudian...
Koridor rumah sakit terisi aroma obat dan suara langkah kaki yang berulang. Di depan ruang perawatan intensif, Jacky berdiri bersama keluarga Valentine: ibunya, Sandra, kakak laki-lakinya, Arnold, dan sang kakak ipar.
Wajah-wajah tegang menyambut detik yang terasa lambat. Semua mata tertuju pada pintu ruangan yang belum juga terbuka.
"Kenapa lama sekali? Ini sudah dua jam berlalu..." gumam Sandra
Tak lama kemudian, pintu terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah lelah namun tenang.
Sandra langsung maju selangkah. "Dokter, bagaimana dengan putriku?" tanyanya cepat.
Dokter menatap mereka satu per satu sebelum menjawab.
"Pasien mengalami gegar otak dan koma. Belum bisa dipastikan kapan akan sadar. Yang jelas, pasien sudah melewati masa kritis."
Sandra terdiam. Wajahnya seketika pucat. Kakaknya, Arnold, menghela napas panjang dan menatap sang dokter dengan kening berkerut.
"Apa... koma?" gumamnya. Lalu ia menambahkan, "Bukankah itu berarti dia harus dirawat lebih lama? Kami mana ada uang untuk biayanya."
Dokter mengangguk sopan. "Pasien belum bisa dipulangkan. Kondisinya masih koma dan perlu pemantauan intensif dari rumah sakit."
Di sisi lain, Jacky hanya berdiri diam. Ekspresinya nyaris tak berubah.
"Sialan..." gumam batinnya dingin. "Sudah tidak mati, malah menyusahkan."
Sandra menoleh ke Jacky. Tatapannya penuh harap. "Jacky, Valentine adalah calon istrimu. Kau harus bantu biaya pengobatannya."
Arnold ikut menimpali, setengah mendesak, setengah menenangkan, "Jangan khawatir. Setelah dia sadar, dia pasti akan kembalikan semua uang itu padamu."
Jacky tersenyum tipis. Ia menatap mereka bergantian, lalu menjawab dengan nada tenang dan sikap manis yang sudah biasa ia pakai.
"Tenang saja. Aku calon suaminya. Aku yang akan tanggung semua biayanya."
"Valentine Lee, lebih baik kau tidak pernah sadar dari koma," batin Jacky.
Kamar pasien.
Lampu putih menyinari ruangan yang steril. Suara alat monitor detak jantung berdetak lambat dan teratur. Di atas ranjang, Valentine terbaring lemah, selang infus terpasang di tangan, dan alat bantu pernapasan menutupi wajahnya. Tubuhnya nyaris tak bergerak—sunyi, seolah lenyap dari dunia.
Sandra, ibunya, berdiri di sisi ranjang dengan tangan bersedekap. Wajahnya terlihat lelah dan frustrasi. Matanya memandangi tubuh anak gadisnya tanpa berkata apa-apa untuk beberapa saat.
Akhirnya ia bergumam dengan suara rendah tapi tajam, "Kenapa dia begitu lalai... apa yang dia pikirkan? Tidak bisakah dia membuat kita tenang walau sekali saja..."
Di belakangnya, Arnold, kakak lelaki Valentine, hanya mengangkat bahu.
"Ma, dia sedang koma. Sekarang siapa yang akan merawatnya di sini? Aku tidak bisa. Aku harus kerja, aku ada tanggungan."
Katty, istrinya, berdiri di sebelahnya sambil menggenggam tas kecil. Ia menyambung cepat tanpa rasa bersalah.
"Aku juga tidak bisa. Rumah butuh diurus. Anak-anak siapa yang urus kalau aku jaga dia di sini?"
Jacky, yang berdiri di dekat pintu, menyandarkan tubuhnya ke dinding. Ia menyimak percakapan itu dengan wajah datar, lalu melontarkan pertanyaan dengan nada datar.
"Kalian ini keluarganya... kenapa malah saling tolak merawatnya? Masa aku yang harus menjaganya? Tidak masuk akal, kan?"
Ketiganya menoleh bersamaan ke arahnya.
"Kau itu calon suaminya!" jawab mereka serentak, dengan nada setengah memaksa.
Jacky mendengus pelan, melipat tangan di depan dada.
"Tapi kami belum menikah. Lagi pula... lihat kondisinya sekarang. Siapa juga yang mau menikahinya?" katanya pelan, tetapi cukup untuk membuat suasana jadi dingin.
Suasana kamar mendadak sunyi. Hanya suara mesin medis yang terdengar.
Arnold melangkah maju, nadanya mulai meninggi.
"Kau ini benar-benar tidak punya hati, Jacky! Adikku sudah dua tahun pacaran denganmu. Sekarang dia koma, malah kau mau lepas tangan begitu saja?".
"Dan kalian? Kalian juga sama saja Selama ini, niat kalian cuma satu—uang. Karena keluarga kami kaya. Jadi kalian mengira kalian bisa ambil keuntungan dariku."
Jacky kemudian beranjak dari kamar itu.
"Dia tidak sudi merawat Valentine, tidak mungkin kita yang melakukannya," gerutu Arnold sambil menggeser kursi dan duduk dengan malas.
"Asalkan Valentine membayar kita setelah sadar, maka aku akan merawatnya dengan baik," ucap Katty.
"Dia cuma karyawan biasa. Gaji bulanan pas-pasan. Berapa banyak yang dia bisa bayar? Lebih baik kita abaikan saja," gumamnya
Di koridor rumah sakit yang dingin, Jacky berhenti sejenak, menatap langit-langit, lalu menghembuskan napas.
"Keluarga miskin dan serakah..." bisiknya. "Lebih baik gadis itu tidak bangun sama sekali."
Ponselnya bergetar di saku. Ia mengangkat tanpa banyak ekspresi.
"Halo, Ma?"
Suara seorang wanita yang lembut tapi berwibawa terdengar dari seberang.
"Pamanmu akan pulang malam ini. Kita makan bersama. Jangan terlambat."
"Iya, aku tahu, Ma," jawab Jacky singkat, lalu menutup panggilan. Ia memandang kosong ke depan.
"Malam ini juga aku harus beri tahu Mama dan Nenek... pernikahan ini harus dibatalkan." Suaranya lirih tapi mantap.
---
Mansion keluarga besar Zhao.
Langit senja mulai meredup ketika Jacky tiba di rumah keluarga besarnya—sebuah mansion bergaya klasik yang berdiri kokoh di tengah area elit kota. Pelayan membukakan pintu, dan aroma teh hangat menyambutnya.
Di ruang utama, ibunya Anita sedang duduk di sofa, ditemani neneknya, Samantha, wanita tua yang masih terlihat anggun dan tajam matanya meski usianya sudah lanjut.
"Jacky, pamanmu pulang malam ini untuk urusan penting," ujar Anita sambil meneguk tehnya pelan. "Kau harus tunjukkan sisi terbaikmu. Jangan sampai membuat pamanmu kecewa."
Jacky duduk dengan tenang. Senyum tipis terbit di bibirnya, tapi matanya kosong.
"Ma, Paman selalu dingin. Aku tidak yakin bisa membuat dia luluh."
Anita tertawa kecil. "Dia memang dingin, tapi bukan karena dia kejam. Itu caranya melindungi keluarga. Sejak masih muda dia sudah memegang kendali bisnis. Waktu kakekmu meninggal, dia langsung jadi kepala keluarga. Sampai sekarang, semua urusan keluarga ini di tangannya."
Ia menatap Jacky dalam-dalam. "Kau harus belajar darinya, Jacky. Biar bisa meringankan bebannya. Keluarga kita butuh penerus yang kuat dan cerdas."
Samantha, sang nenek, ikut bersuara. Meski lembut, ucapannya membawa wibawa.
"Jacky, setelah kau menikah, kau harus lebih dewasa. Jangan kecewakan Valentine. Dia gadis yang baik dan tulus."
Jacky mengangguk pelan. "Nenek, aku tahu."
Tapi dalam hati, pikirannya berkata lain.
"Maaf, Nek, aku tidak akan menikahinya."
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu utama.
Pelan tapi pasti, mantap dan penuh tekanan.
Seorang pria melangkah masuk ke dalam ruang tamu itu.
Tubuhnya tegap, dibalut setelan hitam yang rapi dan berkelas. Rambutnya tersisir rapi ke belakang, dan wajah tampannya tampak dingin—nyaris tak berperasaan.
Tatapannya tajam. Sikapnya kaku tapi mengintimidasi.
Vincent Zhao.
Paman dari Jacky.
Dan… pria yang telah merenggut kesucian Valentine Lee
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!