NovelToon NovelToon

I Love You Abang

Bab 1

Dea POV.

Hari ini adalah hari pertama ku di rumah Papah baru ku. Yups, Ibuku nikah lagi dan aku di paksa ngikut pindah ke rumah mereka. Sebenarnya aku males, aku pengen tinggal di rumah nenek aja dan jagain beliau yang udah lansia, tapi Ibu sama Pak bagas maksa aku agar ikut mereka.

“Sayang gimana rumahnya, bagus enggak?” tanya Pak Bagas suami barunya Ibu.

“Bagus banget Mas, ih jangan panggil sayang depan anak atuh, malu tahu.” Ibu mencebikkan bibirnya dengan wajah memerah mungkin dia merasa malu karena ada aku disini dan Pak Bagas malah secara terang-terangan manggil sayang ke Ibu, aku hanya bisa nyengir melihat kemesraan sepasang pengantin baru ini.

“Alah gak usah malu-malu sayang, Dea pasti maklumin kok,” kekeh pak Bagas.

Ih sumpah ya, liat orang tua kaya mereka mesra-mesraan pake malu-malu kaya bocil gitu bikin gue empet. Dahlah mending gue liat-liat kamar gue sendiri males banget gue harus jadi obat nyamuk emak gue sendiri.

“Bu, kamar Dea yang mana?” tanyaku lembut.

“Oh ya maaf Papah lupa sayang. Kamar kamu ada di lantai dua, bi tunjukin kamar Non Dea.” perintah Pak Bagas pada asisten rumah tangganya.

“Baik Pak, ayo Non bibi anter.” aku hanya mengangguk sambil menggeret koperku mengikuti langkah Asistennya Pak Bagas.

“Sinih Non biar bibi yang bawa.” pintanya.

“Gak usah bi, Dea bisa bawa sendiri.” tolakku halus.

‘Sumpah nih ya, rumah bapak tiri gue gede banget ke Mansion yang ada di film-film cakep bener, luas dan mewah. Kalau temen-temen gue liat pasti shok berat mereka.’ kekehku dalam hati.

“Ini kamar Non, silahkan istirahat kalau Non perlu apa-apa panggil aja Bibi,” ucapnya sopan, bibi yang entah siapa namanya itu pergi setelah mengantar aku sampai di depan pintu.

“Eh Bi, yang mana ini kamar saya?” aku memanggilnya kembali, aku baru menyadari ternyata ada dua kamar disini yang saling bersebelahan.

“Itu ada gantungan namanya Non di pintu.” aku menoleh kembali ke pintu, dan benar saja disana terdapat namaku yang di ukir di papan tipis.

“Oh ya, makasih ya bi.” aku tersenyum sopan. Setelah bibi itu pergi aku pun langsung masuk kedalam.

Wow! Aku membulatkan mataku saat melihat dekorasi kamarku, cuantik pool idaman banget. Di tengah terdapat ranjang dengan seprai putih dilengkapi kelambu dengan warna senada, di dinding dilengkapi poster-poster boy band korea favoritku tak lupa beberapa album mereka yang sengaja di taruh di rak kecil di atas meja belajar, ada light stik juga. Aku berteriak heboh sambil jingkrak-jingkrak kesenangan. Ini pasti Ibu nih yang kasih tahu Pak Bagas kalau aku ngefans sama BTS.

Benar dekorasi kamar ini khas Army banget, nuansa warna ungu dan putih berpadu menjadi satu kaya aku sama Yoongi cocok banget, itu hanya menurutku wkwk. Tapi sumpah ini cantik banget aku puas dengan usaha Pak Bagas mengambil hatiku.

Tok...Tok...

Suara pintu kamarku diketuk dari luar, sejenak aku menyimpan dulu rasa kagumku pada dekorasi kamarku dan beralih membuka pintu.

Ternyata Pak Bagas dan Ibu yang datang, mereka tersenyum saat melihat wajahku yang sumeringah, “gimana Ya, suka kamarnya?” tanya Ibu sambil tersenyum.

“Emh suka banget Bu, makasih.” cicitku dengan segan.

“Bukan sama Ibu bilang makasihnya, tapi sama Papah,” kekehnya.

“Err makasih Pah, Dea suka kamarnya. Emh dan itu juga pasti gak murah kan, nanti kalau Dea punya uang Dea akan ganti uang Papah.” cicitku lagi.

Ibu dan Pak Bagas terkekeh mendengar ucapanku yang terdengar konyol. Ya iyalah, mana mungkin mereka bakalan percaya wong aku ini masih sekolah dapat duit darimana coba buat gantiin uang yang di gelontorin Pak Bagas buat beli album-album BTS yang gak murah, belum lagi light stiknya yang harganya jutaan.

“Kamu gak usah ganti-ganti segala Ya, Papah ikhlas ko beliin kamu album BTS, yang penting kamu sekarang sekolah yang bener yang rajin biar bisa masuk universitas yang bagus.” ucap Pak Bagas dengan senyum secerah sinar mentari kalau lagi musim panas.

“Kalau gitu makasih Pah.” ucapku masih segan. Pak Bagas ini udah baik ganteng lagi, Ibu bilang dia adalah cinta pertamanya saat SMA dulu, namun saat mereka lulus mereka berpisah gitu aja, Pak Bagas kuliah diluar negeri sedangkan Ibu kerja jadi buruh pabrik dan gak nerusin sekolah.

“Iya sama-sama. Oh ya Ya, ini yang sebelah adalah kamarnya Devran anak Papah sekarang dia sedang kuliah dan tinggal di asrama, tapi biasanya dia akan pulang kalau hari libur.” aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku, aku penasaran seperti apa wajah Kakak tiriku itu, ganteng apa enggak ya? Kalau ngeliat wajah Pak Bagas sih kayaknya pasti ganteng khas-khas orang Indonesia asli lah.

Aku tersenyum lebar saat berbaring di kasur empukku, mataku benar-benar tak ingin terpejam dan masih betah mengagumi dekorasi kamarku, apa lagi ada Foster raksasa ke tujuh member BTS yang seperti menatapku tanpa berkedip tertempel memenuhi dinding.

“Ini sumpah gue gak bisa merem anjir!” aku berguling kesana kemari seperti cacing kepanasan.

“Tidur Ya, tidur besok sekolah!”

***

Besoknya aku berangkat sekolah, sebenarnya Pak Bagas meminta aku buat pindah sekolah, tapi aku menolak. Alasannya ya aku gak mudah bergaul sama orang baru, dan aku nyaman sama sekolahku yang sekarang. Dan ternyata beliau menghargai keputusanku. Aku berangkat menggunakan angkot menuju sekolah, jaraknya cukup jauh dari rumah baru ke sekolah tapi aku gak masalah sih dan aku seneng-seneng aja. Dan lagi aku ngambil kerja part time di salah satu cafe dekat sekolah, biasanya aku akan kerja sepulang sekolah sampe jam delapan malam, mayan lah buat nambah-nambah uang jajan.

Aku turun dari angkot dan berjalan melewati gerbang sekolah, aku melihat Sita, Maya dan Laura mereka tampak tengah bergosip dengan tas yang masih melekat di punggung mereka, sepertinya mereka juga baru sampai.

“Hai gaes, kalian baru datang?” aku langsung bergabung bersama mereka bertiga.

“Hooh Ya, oh ya elu jadi pindah ke rumah bokap baru lu?” tanya Sita.

“Iya lah, gak jauh ko dari sini jadi gue tetep bisa sekolah disni.” ucapku riang.

“Weh yang punya bokap baru, gimana baik gak orangnya?” Maya ikut nimbrung.

“Baik banget dong, baik banget malah. Kalian tahu gak, gue sampe di beliin semua album BTS!” teriakku heboh.

“Anjir! Yang bener lu?!” Laura membolakan matanya.

“Hooh Ya, jangan boong lu, sikutlu gue sumpahin borok nanti kalau lu nge frank kita.” Ucap Maya dengan nada sinis.

“Dih gue gak boong ya, gue berani sumpah demi Bayu.” ucapku sungguh-sungguh, Maya langsung menggeplak kepalaku karena bersumpah atas nama pacarnya.

“Sialan lu, kalau sampe si Bayu mati karena sumpah lu ya, gue geprek lu!” Maya misuh-misuh mendengar aku bersumpah atas nama pacarnya.

Aku tergelak mendapat ancaman dari sahabatku itu, ini kami gak berantem beneran ya cuma becanda ko, “suer takewer-kewer gaes gue gak boong, malah kamar gue juga di dekorasi tema BTS sumpah gue seneng banget!”

“Ko si Dea beruntung banget sih, sumpah gue ngiri ya.” Laura menggigit ibu jarinya.

“Kalau lu mau kaya si Dea suruh emak lu kawin lagi aja Ra,” ceplos Maya dengan wajah selengeannya.

“Apa lu bilang? Emak gue masih ada bapak gue anjir, elu ngasih saran yang ngotak dikit napa May.” kesal Laura.

“Tau tuh si Maya otaknya emang rada-rada dia.” sinsiku. Maya ini kalau masalah otak emang rada kurang se on dia, kadang sengklek kadang bijak aneh emang.

Setelah pertengkaran kecil yang malah mngeratkan pertemanan kami, kami pun berjalan bersama menuju kelas yang terletak di lantai dua.

“Ya, liat noh si Davi liatin elu terus,” kekeh Sita yang emang duduk sebangku denganku.

“Liatin gue kenapa? Emangnya muka gue cemong atau gimana?” ucapku polos.

“Cemong apaan kagak, dia suka tahu sama elu.” bisik Sita.

“Alah mana mungkin, jangan ngadi-ngadi deh lu Sit, dia kan ganteng anak orang kaya lagi mana mungkin suka sama cewek biasa kaya gue, impossible tahu.” Aku melirik Davi yang berada di deretan bangku ke dua jajaran sebelah. Ternyata benar kata Sita dia sedang melihat kearahku, saat aku melihat ke arahnya dia langsung membuang muka gitu aja.

“Dih apaan sih, tadi ngeliatin giliran gue bales malah dia melengos.”

“Dia malu kali Ya, ke notice sama elu,” kekeh Sita.

Aku mengangkat bahuku tak peduli. Untuk sekarang aku tidak ingin memikirkan soal pacaran, aku ingin fokus sekolah aku ingin mengejar mimpiku sekolah sampai ke perguruan tinggi hidup bahagia menjadi orang sukses.

Sekolah bubar sekitar pukul dua siang, aku dan Sita langsung pergi ke cafe untuk kerja part time, sedang Laura dan Maya pulang ke rumah masing-masing. Keadaan ekonomi Maya dan Laura cukup baik, Ayah mereka masing-masing kerja kantoran jadi mereka tidak perlu cemas dengan uang jajan dan sekolah, berbeda dengan aku dan Sita, kami harus ikut banting tulang hanya demi tetap bisa sekolah dan bisa hidup nyaman. Memang Ibuku tidak pernah mengharuskan aku bekerja membantunya mencari rupiah, tapi sebagai anak remaja yang punya banyak keinginan aku tak ingin terlalu merepotkan orang tuaku hanya untuk mewujudkan permintaan remehku. Seperti ingin nongkrong di cafe atau sekedar hangout sama temen-temen, jujur aku gak sanggup minta sepeser pun uang pada Ibu selain untuk kebutuhan sekolah.

Aku mulai sibuk mengantarkan pesanan pelanggan pada setiap meja yang terisi, aku dan Sita sama-sama bekerja keras untuk sekolah kami. Sita punya seorang adik laki-laki yang masih duduk di bangku sekolah dasar, Ayahnya sudah meninggal sedang Ibunya hanya seorang buruh cuci, Ibunya sangat senang saat tahu Sita bekerja di cafe setidaknya dia akan punya penghasilan untuk kebutuhan pribadinya. Sedang aku kalau sampai Ibu tahu aku kerja part time mungkin aku akan di kurung di rumah. Bukannya aku tak boleh bekerja tapi Ibu ingin aku fokus pada sekolahku.

Bab 2

Aku sampai sekitar pukul 8 malam, seluruh tubuhku rasanya ngilu, ingin sekali aku segera berbaring dan pergi ke alam mimpi, namun Ibu memintaku untuk makan malam bersama.

Selepas makan malam aku kembali ke kamar dan langsung terlelap.

Hari-hariku, aku jalani seperti itu setiap harinya. Sekolah, kerja dan makan malam bersama dengan Ibu dan Papah baruku. Pak Bagas itu orang yang baik dan aku cukup nyaman dengan beliau, aku juga sudah tidak terlalu segan untuk mengajaknya bercanda.

“Ya, akhir Minggu ini Papah ada dinas keluar kota, Papah mau sekalian bawa Ibu kamu jalan-jalan, kamu gak keberatankan?” tanya Pak Bagas disela-sela acara makan kami.

Aku menatap kearahnya, “Nggaklah Pah, bawa aja biar gak ada yang berisik.” ceplosku sambil mengunyah makanan.

“Oh jadi kamu nganggap Ibu itu berisik?” Ibu menatap sinis kearahku.

“Hooh berisik, bawel lagi.” Kekehku, Pak Bagas ikut tertawa mendengar candaanku.

“Mas ko kamu malah ikutan ketawa sih,” rajuk Ibuku.

“Maaf Mah, habis apa yang Dea bilang gak salah sih.” Aku ikut tertawa melihat Ayah tiriku itu mencandai Ibu.

“Kalian nih ya, awas aja.” kesal Ibuku sambil mencebikkan bibirnya.

“Dea, gimana ini? Bisa-bisa Papah gak dapat jatah dari Ibu?” bisik Pak Bagas, aku membulatkan mataku mendengar perkataan Pak Bagas.

“Papah apaan sih, Dea itu masih kecil, ngapa ngomong gitu ke Dea!” Ibu mencubit perut Pak Bagas hingga dia mengaduh sambil meminta ampun pada Ibu, aku hanya terkekeh melihat kelakuan mereka.

Sungguh aku sangat bahagia melihat Ibuku yang sekarang, dia tampak bahagia dengan kehidupan barunya. Pak Bagas juga sangat mencintai Ibu, berbeda dengan Ayah kandungku yang tak segan main tangan saat bertengkar dengan Ibu. Aku masih ingat saat aku kira-kira berusia lima tahun, Ayah dan Ibuku bertengkar hebat, entah apa yang mereka ributkan namun saat itu yang paling membuat aku terkejut adalah, Ayah menampar Ibu hingga Ibu menangis, aku ingin berlari menghampiri Ayah dan mengatakan jangan pukul Ibu, tapi aku terlalu takut, alhasil aku hanya diam mengintip dari celah pintu. Pertengkaran mereka sampai saat ini masih terpatri di ingatanku, namun kini aku bersyukur karena Ibu memutuskan berpisah dengan Ayahku yang memang sudah punya wanita lain dalam hidupnya. Mungkin sekarang anak-anaknya juga sudah besar, tapi sekali lagi aku tegaskan, aku sudah tidak peduli lagi.

“Maafin Papah Ya, Papah salah,” cicit Pak Bagas tampak tertekan.

“Gak papa Pah, lagian Dea juga udah ngerti kale.” ucapku.

“Tuh Yang, Dea udah ngerti.” ceplos Pak Bagas.

“Apa sih, jangan panggil yang yang, di depan Anak, malu tahu Pah, sadar umur.” kesal Ibuku.

“Iya iya, maaf.” lagi-lagi Pak Bagas membuat aku kagum, dia tak segan mengatakan puluhan kata maaf pada Ibu yang sejak dulu tak pernah aku dengar dari mulut Ayah kandungku sendiri, saat ada masalah selalu Ibu yang minta maaf aku sampai kesal sendiri saat Ibu selalu mengalah pada ego Ayahku yang tinggi.

“Gak papa kali Bu, itu tandanya Papah sangat mencintai Ibu dan Dea senang mendengarnya. Semoga jodohnya Dea nanti baik kaya Papah Bagas.” aku tersenyum lebar sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutku.

“Aduh Papah ko jadi terharu ya, Mah boleh peluk?”

“Idih nggak.” ucap Ibuku Judes.

“Ya, kamu jangan kaya Mamah kamu ya, nanti jodoh kamu kabur lagi kalau jutek kaya gitu.” bisik Pak Bagas, namun aku yakin Ibu mendengarnya.

“Iya Pah, Dea pasti bakalan jadi istri Soleha,” ucapku sambil tersenyum.

“Jadi Mamah bukan istri yang baik nih?” hadeh mulai lagi deh, aku memilih mengakhiri makan malamku dan kembali ke kamar, aku dengar perdebatan remeh mereka masih berlanjut bahkan saat aku telah menutup pintu kamar. Tapi aku senang, aku tahu begitulah cara mereka mengekspresikan rasa cinta mereka.

Keesokan harinya, aku pergi sekolah seperti biasa, aku juga pamer foto selfiku di kamarku yang bernuansa BTS pada teman-temanku, mereka mengiri dong pastinya, hehe dan aku cukup puas dengan itu, akhirnya selama hidupku aku bisa juga pamer sama mereka.

“Ya, ajakin dong kita main ke rumah Lu, sumpah kita penasaran sama rumah bokap baru lu.” rengek Laura.

“Gak bisa gaes, gua harus ijin dulu sama Ibu sama Papah, nanti kalau mereka ngasih ijin baru gue ajak kalian, oke.”

“Oke sip!” mereka menjawab serempak.

Aku pulang sekitar pukul 8 malam seperti biasa, Ibuku sudah tidak heran karena aku sudah terbiasa begitu, aku selalu beralasan ngambil les atau kerja kelompok bareng Sita dan yang lain, dan Ibu percaya- percaya aja sama dustaanku tapi kalau berbohong demi kebaikan gak akan jadi dosa kali ya.

Ibu dan Pak Bagas ada acara, mereka makan malam di luar kata Bi Sumi, alhasil aku cuma makan sendirian, sebenarnya aku minta di temenin sama Bi Sumi tapi dia juga menolak dengan alasan tidak sopan jika makan bersama majikan, padahal nih ya di rumah ini Bi Sumi sama sekali tidak di perlakukan seperti asisten rumah tangga, dia justru sudah di anggap seperti keluarga sendiri.

Setelah selesai makan malam aku kembali ke kamarku, aku belajar sebentar lalu tidur. Sekitar pukul 23:30 aku terbangun karena merasa haus, aku turun ke bawah untuk mengambil air. Rumah ini tampak gelap, hanya beberapa lampu yang ada di sudut ruangan yang dinyalakan, aku berjalan dengan malas menuju dapur, mataku membola saat melihat seorang Pria tengah mengacak-acak isi kulkas dan yang lebih mengejutkan lagi dia hanya mengenakan celana boxer warna merah jambu dengan gambar macan tepat di bagian pantatnya.

Arrghhh....!!

“Ah, ada hantu kolor pink!” teriakku sambil berlari menuju kamar Ibu dan Pak Bagas.

Dor...Dor...Dor...

Aku menggedor pintu kamar mereka dengan kasar, persetan dengan kesopanan yang penting aku selamat dari dedemit itu.

Ceklek...

Pintu pun terbuka, menampilkan wajah kusut Pak Bagas dan wajah gugup Ibuku, “A–ada apa sih Ya? Kamu malam-malam gini tereak-tereak.” keluh Ibuku dengan kening berkeringat.

“I–itu Bu, a–ada hantu kolor pink di dapur, serem banget, mana gak pake baju lagi.” aku bergidik ngeri saat menjelaskan apa yang aku saksikan tadi.

“Hah masa sih, bukannya kalau hantu itu kolor ijo ya?” tanya Pak Bagas antara percaya tak percaya.

“Ta–tapi itu beneran hantu Pah, dan kolornya bener-bener warna pink.” kesalku, aku sebal karena Ibu dan Pak Bagas seolah tidak percaya dengan apa yang aku katakan.

“Hem, mungkin hantunya udah bosen kali Pah sama warna kolor yang Ijo.” kekeh Ibu.

“Iya mungkin juga tuh hantu fansnya Black Pink.” ceplosku, yang malah membuat Ibu dan Pak Bagas tergelak, namun karena rasa penasaran yang menggelitik hati mereka pada akhirnya mereka mau ikut aku ke dapur.

Diluar dugaan di dapur tampak kosong, hantu yang aku saksikan telah pergi entah kemana. “Mana Ya, hantu kolor Pink–nya gak ada tuh?” Pak Bagas mengulum senyum.

“Dea yakin ko Pah, Bu, tadi hantunya ada dia lagi ngacak- ngacak isi kulkas!” aku tetap kekeh, aku yakin dengan apa yang aku lihat tadi sudah pasti hantu. Wajahnya sih gak keliatan karena posisinya lagi memunggung.

“Masa sih tuh hantu gabut amat sampe ngacak-ngacak isi kulkas, kamu salah liat kali. Dah ah tidur lagi gih, besok kan kamu sekolah.” aku menghela napas berat kemudian mengangguk patuh, setelah mengaliri tenggorokanku dengan air aku pun kembali ke kamar.

Aku menatap kosong langit-langit kamar, aku yakin apa yang aku lihat tadi itu nyata bukan ilusi dan hantu kolor Pink itu memang ada disana, hingga tanpa sadar aku pun terlelap kembali.

Suara ketukan pintu diiringi suara khas Ibuku mengalun memenuhi gendang telingaku, kesal, mau marah tapi gak berani, “Ya, buruan bangun!”

“Bentar lagi lah Bu, masih ngantuk.” protesku malas, aku malah kembali menarik selimut hingga menutupi kepala, kejadian semalam membuatku sulit untuk tertidur lagi, takut kalau hantu itu datang dan langsung menyergap ke kamarku.

Bab 3

Ibu memaksa menyibak selimut yang menutupi seluruh tubuhku dan memaksa aku bangun.

“Bu, bentar lagi ya, please.” rengekku manja, aku benar-benar malas untuk bangun mataku rasanya berat dan ingin kembali tertutup saat aku berusaha membukanya.

“Gak ada, buruan bangun! Hari ini kita harus sarapan bareng, wajib.” tegas Ibu tak terbantahkan.

“Dih udah kaya solat lima waktu aja Bu, pake wajib-wajib segala.” protesku.

“Kamu tahu, Kakakmu udah pulang.” ucap Ibu penuh semangat.

Aku melongok, sejak kapan aku punya Kakak? “Kakak siapa Bu, aku kan anak tunggal? Kecuali kalau Ibu mau bikin anak lagi namanya jadi adek bukan Kakak.” ceplosku.

“Dea!” raung Ibu penuh amarah, membuat mataku yang semula malas terbuka langsung melebar seketika, kalau Ibuku yang cantik dan baik berubah jadi garang aku auto ketar ketir, ekspresinya persis seperti Mama Zila istrinya Papa Zola di film kartun Boboiboy.

“Iya iya Bu, gak usah tereak-tereak sakit kuping Dea.” aku misuh-misuh sambil pergi ke kamar mandi.

Aku menatap wajah kusutku di dalam pantulan cermin sambil menggosok gigi, entahlah aku suka menatap wajahku di cermin, tapi justru tidak suka kalau melihat wajah di foto, gak pede, berasa jelek aja gitu gak pernah estetik juga kalau di foto.

Aku keluar setelah selesai mandi, diluar dugaan Ibu masih ada disana dan luar biasanya kamarku sudah rapi, hehe makasih Ibu, kekehku dalam hati.

“Kenapa Ibu masih disini?” tanyaku bingung saat melihat wajah Ibuku tampak galau.

“Anaknya Papah ada di rumah Ya, ini pertama kalinya Ibu ketemu dia, aduh Ibu jadi gugup nih. Gimana kalau dia gak suka sama Ibu? Terus Ibu harus lakuin apa biar kesan dia ke Ibu jadi bagus?” Ibu terlihat resah dan gugup, beberapa kali dia menghela napas kasar.

“Dea mana tahu Bu, kalau menurut Dea sih Ibu perlakukan aja dia seperti perlakuan Ibu ke Dea.” usulku.

“Dih mana bisa Ya, beda tahu. Kamu kan anak kandung Ibu dan udah Ibu urus dari orok kalau anaknya Papah kan kita baru kenal Ya, Ibu takut kalau dia gak suka sama Ibu.” lirih Ibu, raut kecemasan tampak kentara di wajahnya.

Aku menghela nafas berat, kemudian menyentuh lembut tangan Ibuku, “Ibu gak usah membuat dia terkesan secara berlebihan, cukup Ibu jadi diri Ibu sendiri, sayangi dia seperti Ibu sayang sama Dea. Seperti Pak Bagas sayang sama Dea, seperti itu juga Ibu harus sayang sama anak Pak Bagas.” ucapku lembut.

Ibu tersenyum lembut, “Ya ampun anak Ibu ko dewasa banget, makasih sayang perasaan Ibu jadi tenang sekarang.” Ibu menyeka ujung matanya yanga nampak berair.

“Ibu sekarang udah siap ketemu Abang kamu.” kekeh Ibu.

“Ko cuma Abang Dea sih, anak cowok Ibu juga dong.” protesku, aku memang cukup antusias akan mendapatkan saudara laki-laki aku berharap hubungan kami akan seperti saudara pada umumnya walau kami hanya sebatas saudara tiri.

“Hooh Ya, dari dulu kan kamu suka ngiri sama Maya sama Laura katanya enak ya kalau punya Abang ada yang jagain.” kekeh Ibu.

“Kata Maya enak gak enak sih Bu, Abangnya si Maya resek katanya. Tapi mudah-mudahan Abangnya Dea baek orangnya.”

Aku dan Ibu keluar kamar setelah aku memakai seragam putih abu-abuku, bertepatan dengan itu penghuni sebelah kamarku pun keluar.

MasyaAllah cakep bener, raung batinku, bagaimana tidak, laki-laki itu putih bersih tinggi, mirip opa-opa korea. Dia melirik kearahku yang menatapnya dengan pandangan cengo.

“Ya, itu Devran, anaknya Papah Bagas.” bisik Ibu di telingaku.

‘What? Gue punya Abang seganteng ini, mimpi apa gue semalam, astoge!’ jeritku dalam hati.

“Ha–hai, a–aku Dea.” ucapku gugup dengan bibir bergetar. Namun Devran hanya diam, bahkan dia tak menyahuti kata-kataku, kemudian dia pun pergi.

‘Ko ati gue rada-rada nyesek ya gak di sambut dengan baik sama Abang ganteng,’ lirihku dalam hati.

“Bu itu beneran Devran anaknya Papah?” tanyaku dengan pandangan tak percaya, masa Ia sih orang tuanya asli Indo tapi anaknya mirip korea, impossible banget kan.

“Iya Nak itu anaknya Papah Bagas, mukanya emang kaya orang Korea soalnya Ibunya blasteran Korea indo katanya.” ucap Ibuku.

Woah, hatiku bersorak riang, gak nyangka ternyata bisa ketemu opa-opa lokal yang gantengnya maksimal.

“Udah ayo turun.”

Aku mengekori Ibu di belakangnya menuju ruang makan. Di meja makan sudah tampak Pak Bagas sedang membaca koran pagi, entah apa yang dia cari disana disaat era gempuran berita yang banyak dirilis secara online beliau masih saja mempertahankan kebiasaan lamanya. Dan tak jauh dari posisi duduknya tampak Devran duduk, laki-laki itu tampak mencolok dengan wajah yang kadar ketampanannya diluar prediksi BMKG, ko bisa Pak Bagas punya anak seganteng itu ya aneh bin ajaib.

“Kalian ko lama banget Papah udah kelaparan nih.”

“Hehe maaf Pah, Dea mandinya lama tadi Mamah nungguin dia sambil rapiin kamarnya,” dusta Ibuku.

“Lah ko nyalahin Dea sih Bu,” bisikku.

“Hehe jangan marah dong sayang, nanti Mamah tambahin deh uang jajan kamu.” balas Ibu.

“Oke, janji ya, kalau enggak Dea kasih tahu Papah soal yang tadi.”

“Iya iya.”

“Kenapa sih kalian malah bisik-bisik,” Pak Bagas melempar tatapan curiga.

“Bukan apa-apa kok Pah,” dalih Ibu sambil mendudukkan diri di kursi, dan aku pun melakukan hal yang sama.

“Oh ya, kalian udah kenalan?” tanya Pak Bagas, aku dan Ibu hanya diam pun dengan Devran.

“Ini Devran anak saya, Ran itu Dea mulai sekarang dia adik kamu tolong jaga dia dengan baik,” aku mendengar Devran mendengus kasar, ini salah kupingku atau emang Devran mendengus tadi.

“Dan ini Istri baru Papah Anita, juga Ibu baru kamu.”

Brak...!!

Devran menyimpan garpu dan sendok dalam genggamannya ke meja dengan kasar, kini tampak sudah raut tak suka di wajahnya, Ibu tampak mengeratkan cengkramannya di rok sepan yang ia kenakan, Ibu pasti merasa tidak senang saat ini.

“Jadi Papah nyuruh Ran pulang hanya karena ini?” lagi-lagi dia mendengus kasar, tangannya ia lipat di dada pandangannya Ia buang kearah lain.

“Bukannya itu sudah seharusnya, mulai sekarang kamu akan tinggal di rumah ini, asrama tidak baik untuk kamu, lagi pula jarak dari sini ke kampus gak jauh-jauh amat, Papah juga udah beliin kamu sepeda motor.”

“Papah kenapa sih selalu maksa-maksa Ran? Ran capek Pah, Ran udah gede gak mau hidup di atur-atur kaya gini, dan lagi aku gak peduli Papah mau nikah sama siapa juga, karena bagiku Ibuku hanya satu gak akan pernah ada yang lain.” tegas Ran.

Aku melirik wajah Ibuku yang tertunduk, Ibu pasti merasa sakit hati dengan kata-kata Ran barusan, aku tahu tak semua anak akan menerima pernikahan kedua dari orangtuanya secara terbuka seperti aku.

“Ran jaga sikapmu!” ucap Pak Bagas penuh penekanan.

“Sebenarnya kita ini mau sarapan atau debat sih, kalau mau debat Ran males Pah mending sarapan diluar.” ucapnya dengan nada kesal.

“Yang ngajak debat itu kamu, bukan Papah!” bentak Pak Bagas tak suka.

“Terus Ran harusnya bilang gini ya, ya ampun selamat ya Pah, semoga Papah dan Ibu tiri menjadi pasangan suami istri yang sakinah mawadah warahmah.” ucapnya dengan nada mengejek. Rahang Pak Bagas tampak mengeras matanya mendelik menatap Devran.

“Mas udah, Ran bener mending kita sarapan dulu.” lirih Ibu sambil menyentuh lembut punggung tangan Pak Bagas untuk menenangkan amarahnya.

Pak Bagas mendengus kasar, dia hanya bisa menelan kembali amarahnya dengan wajah merah padam. Kemudian kami sarapan dalam diam penuh kecanggungan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!