Sinar matahari sore menembus jendela Regional Hospital, menciptakan bayangan panjang yang menari di dinding ruang operasi yang steril. Di dalam ruangan yang dipenuhi peralatan medis canggih, Claire Jenkins terbaring di atas meja pemeriksaan. Tubuhnya bergetar, bukan karena dingin, melainkan karena rasa takut yang menjalar di seluruh sarafnya.
“Angkat kaki Anda dan rileks,” kata Dr. Hansen dengan nada datar, nada yang sudah ia gunakan ribuan kali. Suaranya menggema di ruangan penuh instrumen medis.
Claire menurut, walau setiap otot dalam tubuhnya menolak. Ketika alat medis yang dingin menyentuh kulitnya, ia menggigil dan memejamkan mata erat-erat. Rasa malu membuat pipinya memerah.
“Apa yang Anda takutkan? Ini bukan pertama kalinya,” lanjut Dr. Hansen, masih dengan nada datar, seolah Claire hanyalah objek medis, bukan manusia dengan perasaan. “Prosedur ini seharusnya tidak menyakitkan. Tenang saja.”
Meskipun dokter berusaha menenangkan, Claire tetap gemetar. Ia menggertakkan gigi, menahan nyeri saat jarum suntik menembus kulitnya. Tangannya mencengkeram kain steril di bawah tubuhnya hingga buku-buku jarinya memutih.
Memang, ini bukan pertama kalinya Claire berada di ruangan ini. Embrio yang sebelumnya ditanamkan dalam rahimnya telah gugur secara alami, memaksanya menjalani lagi prosedur inseminasi buatan yang menyakitkan.
Cerita yang ia alami terdengar seperti dongeng tragis: seorang pria kaya mengambil sel telur dari tunangannya yang mengalami kecelakaan dan dinyatakan mati otak. Untuk memenuhi keinginan terakhir sang tunangan, pria itu menjalankan program fertilisasi in vitro.
Namun, karena terlalu lama dirawat di rumah sakit dan terus menerima obat-obatan, kondisi sel telur sang tunangan memburuk. Embrio yang terbentuk tidak bertahan lama, hanya hidup kurang dari setengah bulan setelah ditanamkan dalam rahim Claire.
Yang membuat Claire bingung, pria itu tetap bersikeras melanjutkan upayanya. Ia bahkan menggandakan bayaran dari 1 juta euro menjadi 2 juta euro. jumlah yang sangat besar bagi keluarga Claire yang sedang terlilit utang.
“Sebentar lagi selesai, tetap rileks,” suara Dr. Hansen memotong lamunan Claire. “Setelah ini, Anda harus berbaring selama tiga jam. Jangan bergerak sebelum waktunya.”
Claire mengangguk patuh, suaranya hanya bergumam "hmm" yang hampir tidak terdengar. Ia berbaring kaku di meja operasi, tidak berani bergerak sedikit pun, seolah gerakan sekecil apa pun bisa menggagalkan prosedur yang telah dijalaninya dengan susah payah.
***
“Claire, bagaimana? Apakah berhasil?”
Tiga jam terasa seperti tiga tahun. Ketika akhirnya keluar dari ruang operasi, Claire masih merasakan kakinya kebas. Ibu tirinya, Lydia Thornton, langsung menyambutnya dengan wajah penuh harap.
Claire mengerutkan dahi. Matanya masih berat karena efek obat penenang. “Entahlah. Hasilnya baru keluar seminggu lagi.”
“Seminggu lagi?” Lydia menghela napas, lalu menatap Claire dengan tatapan sulit ditebak. “Baiklah. Selama seminggu ini kau harus tinggal di rumah. Aku akan merawatmu, dan kau tidak boleh pergi ke mana-mana.”
Claire mengangguk lelah. “Baik. Aku mengerti.”
***
Seminggu kemudian, di ruang tamu rumah keluarga Jenkins, percakapan penting yang menentukan nasib Claire terjadi.
“Ini 1 juta euro.” Seorang pria berjas mahal meletakkan cek di atas meja. “Sisa 1 juta akan diberikan setelah anak ini lahir. Tapi ingat, jika ada masalah dengan anak ini, seluruh keluarga Anda akan menanggung konsekuensinya.”
Lydia mengangguk-angguk dengan wajah berbinar. “Jangan khawatir! Kurang dari sepuluh bulan lagi, Claire akan melahirkan bayi yang sehat untuk atasan Anda.”
Dari celah pintu ruang pemeriksaan, Claire melihat wajah bahagia Lydia yang mengangguk-angguk seperti boneka. Dalam hatinya, ia merasa seolah sedang menyaksikan ibu tirinya menjual dirinya seperti barang dagangan.
“Atasan saya tidak mempermasalahkan jenis kelamin bayi, yang penting sehat,” lanjut pria itu.
“Tentu saja! Pasti sehat!” Lydia hampir berteriak kegirangan.
Setelah pria itu pergi, Lydia menatap cek di tangannya dengan mata berbinar. Claire menarik napas dalam dan menutup mata perlahan, merasakan hatinya hancur.
“Kau dengar apa yang kukatakan tadi?” Lydia masuk ke ruang pemeriksaan setelah memastikan pria itu telah pergi. “Anak itu harus sehat, 100% sehat. Kalau tidak, kita semua akan celaka.”
Claire menunduk sambil merapikan pakaiannya. “Ibu.”
“Ada apa?” suara Lydia sempat meninggi, tapi saat mengingat Claire adalah “sumber uang” mereka, ia segera tersenyum. “Claire sayang, apa pun itu, katakan saja.”
“Ibu, aku tidak mau putus kuliah. Biarkan aku tetap kuliah seperti biasa.”
“Tidak!” Lydia menolak tanpa ragu. “Jangan berpikir seperti itu sampai bayi ini lahir dengan selamat. Kalau tidak, seluruh keluarga kita akan hancur.”
Claire menatap wajah Lydia yang berubah lebih cepat dari cuaca musim panas di Roma. Bibirnya bergetar, namun akhirnya ia diam dan menunduk.
“Claire! Claire!”
Berbaring di kamar kecilnya, Claire terbangun oleh suara yang sangat dikenalnya. Suara yang ia rindukan selama ini.
“Claire! Claire!”
Mengetahui siapa pemilik suara itu, Claire langsung melompat dari tempat tidur dan berlari ke jendela.
“Thomas.”
Di luar pagar rumah, Thomas Powell kekasihnya berdiri dengan wajah cemas. Mata Claire langsung berkaca-kaca melihat pria yang sudah sebulan tidak ia temui.
“Claire, kau kenapa? Kudengar kau sakit. Aku mencoba menelepon, tapi ponselmu selalu mati. Kau baik-baik saja?” Thomas berusaha melihat wajah Claire dari balik jendela.
Claire menggeleng. Semua keluhan yang ia simpan selama sebulan seperti hendak meledak.
“Kakak Thomas,” suara lain memotong. Millie Jenkins, adik tiri Claire, muncul dari balik rumah dan memeluk lengan Thomas. “Kakak Thomas, kenapa kau di sini?”
“Millie, ada apa dengan Claire?” tanya Thomas.
Millie menatap Claire di jendela sambil tersenyum licik. “Dia--”
“Millie, jangan!” Claire memohon dari jendela, matanya penuh permohonan.
Millie tersenyum sinis. “Kakak Thomas, Claire sedang hamil. Dia harus tinggal di rumah untuk menjaga bayinya.”
“Apa?” Thomas menatap Claire dengan ekspresi tak percaya. “Claire, benarkah yang dikatakan Millie?”
Air mata mengalir di pipi Claire. Tapi ia tidak bisa menyangkal.
“Kakak Thomas, dia benar-benar hamil. Kalau tidak, kenapa dia tidak menjelaskan?” Millie menarik lengan Thomas. “Oh, aku lupa bilang. Karena ‘kerja keras’ Claire, dia mendapat nilai bagus untuk ujian masuk universitas. Padahal, akulah yang diterima di Universitas Highland. Sekarang, aku akan satu kampus dengan Kakak Thomas.”
“Apa?” Claire terkejut. Meski mereka adik tiri, usia mereka hanya terpaut dua bulan. Mereka berkuliah di tempat yang sama, tapi prestasi akademik mereka sangat berbeda.
“Kau tinggal di rumah dan jaga kehamilanmu. Aku akan menggantikanmu kuliah di Universitas Highland dan menemani Kakak Thomas,” kata Millie, angkat alis dengan senyum puas.
Thomas menatap Claire diam-diam beberapa saat. Lalu ia berbalik dan pergi tanpa sepatah kata.
“Thomas! Thomas! Dengarkan aku!” Claire berteriak dari jendela.
“Kakak,” kata Millie sambil tersenyum manis. “Kusarankan jangan pernah meneleponnya lagi.”
“Jangan khawatir, aku akan menjaga Kakak Thomas untukmu.”
"Tidak, ini tidak benar." Claire merosot ke lantai, rasa putus asa sepenuhnya menenggelamkannya.
"Tidak, kalian tidak bisa melakukan ini padaku."
Ia tidak bisa membiarkan orang-orang menghancurkan hidupnya. Dengan keberanian yang entah dari mana datangnya, Claire bergegas turun ke ruang tamu, tempat ayahnya, Barrett Jenkins, dan Lydia sedang duduk.
"Ayah, aku tidak mau hamil lagi! Aku tidak mau!" Claire berteriak.
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Claire, gaungnya menggema di seluruh rumah.
"Claire, aku sudah membesarkanmu sampai sebesar ini. Sekarang keluarga kita dalam masalah, dan aku hanya meminta sedikit bantuan darimu. Beginikah caramu membalas budi?" Barrett menatap Claire dengan mata memerah.
Lydia duduk di samping, menyaksikan Claire yang terhuyung dengan darah di sudut bibirnya. Ia tersenyum puas, lalu berkata dengan nada penuh kasih palsu,
"Claire sayang, kau sudah berhasil hamil. Jika kau tidak melahirkan anak ini, bukan hanya perusahaan ayahmu yang akan bangkrut, tapi seluruh keluarga kita akan binasa."
Claire menatap Barrett, lalu Lydia, mengingat kembali percakapan yang ia dengar di rumah sakit. Ketakutan mulai menggerogoti hatinya.
"Baiklah. Kalau begitu, berikan aku 100 ribu euro. Aku mau 100 ribu euro."
"Seratus ribu?" Lydia terkejut. "Untuk apa?"
"Tidak usah tanya untuk apa. Kalian sudah dapat dua juta, apa salahnya aku minta seratus ribu euro?"
Claire benar-benar putus asa. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia berteriak memberontak "Kalau kalian tidak memberikannya, aku tidak akan pernah melahirkan anak ini!"
Barrett hendak menampar Claire lagi, tapi Lydia segera menahannya.
"Baiklah, seratus ribu saja. Ibu akan berikan." Lydia tersenyum. Dibandingkan dua juta euro, seratus ribu tidak ada artinya. Lagipula, setelah anak itu lahir, ia bisa mencari cara untuk mengambil kembali uang tersebut.
***
Delapan bulan kemudian...
"Oaaa... Oaaaa..."
Tangisan bayi yang keras memecah keheningan ruang bersalin. Claire yang berbaring lemah di tempat tidur berusaha mengangkat kepalanya.
"Biarkan aku melihat anakku."
Meskipun anak ini bukan hasil dari cintanya, ia adalah anak yang telah ia kandung selama sembilan bulan. Bagaimana mungkin ia tidak memiliki perasaan?
Namun, Dr. Hansen tidak memberinya kesempatan. Begitu lahir, bayi itu langsung dibawa pergi oleh perawat.
"Biarkan aku melihatnya, sebentar saja."
"Jangan bergerak! Ini bukan anakmu. Untuk apa melihat?" Dr. Hansen mendorong Claire kembali ke tempat tidur dengan suara galak.
"Setidaknya, apakah laki-laki atau perempuan?"
"Bukan urusanmu! Berbaring saja!"
Claire ingin bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. Pandangannya kabur, dan ia perlahan tertidur dengan air mata mengalir di pipi.
***
Lima tahun kemudian...
"Ting-ling-ling."
"Claire, cepat! Presiden sudah kembali."
"Ah? Apa?" Claire yang sedang merapikan dokumen terjemahan merasa pusing. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja di Istana Presiden Italia.
"Jangan berdiri di sana! Presiden sudah kembali. Semua orang harus berbaris di pintu utama untuk menyambutnya."
"Oh, baiklah!"
Tanpa berpikir panjang, Claire mengikuti Leah Harmon bergegas ke pintu utama.
Ruang penerjemahan Claire berada di lantai tiga. Ketika mereka tiba di pintu utama, hampir semua orang sudah berkumpul. Semua mengenakan pakaian formal, berbaris rapi, dan berdiri tegak menunggu kedatangan sang Presiden.
Atlas Foster, Presiden mereka, adalah presiden termuda dan paling menjanjikan dalam sejarah Italia. Ia menjadi CEO Foster Group di usia 27 tahun, terpilih menjadi Presiden saat berusia 32 tahun, dan kini berusia 33 tahun. Ia telah menjadi pemimpin paling populer dalam sejarah Italia, sekaligus salah satu tokoh politik paling berpengaruh di dunia.
"Di mana Presiden?" Claire berbisik.
"Ssst!" Leah memberi isyarat untuk diam, lalu menunjuk ke luar. "Lihat, mereka datang."
Mengikuti arah pandang Leah, Claire melihat barisan panjang mobil hitam mewah perlahan melaju dari ujung halaman istana. Dua regu pengawal berdiri tegak memberi hormat militer.
Presiden yang selama ini hanya ia lihat di TV, kini akan muncul langsung di hadapannya. Jantung Claire berdebar kencang. Atlas bukan hanya Presiden paling populer, tapi juga pria paling didambakan di Italia.
Semakin dekat iring-iringan mobil itu, jantung Claire berdetak makin cepat, seolah hendak meloncat keluar dari dadanya.
"Selamat pagi, Presiden!"
Melihat Atlas turun dari mobil, semua orang menyapanya serempak. Claire segera sadar dan menundukkan kepala.
Mata Atlas yang tajam seperti elang menyapu sekeliling dengan tenang, lalu mengangguk pelan.
"Aduh, hati-hati, sayang!"
Seorang anak laki-laki berusia sekitar lima tahun turun dari mobil mengikuti Atlas. Sekretaris pribadi Atlas, Daisy Craig, segera mendekat untuk membantu.
Namun anak itu menatapnya dengan jijik, menghindari tangannya, dan langsung berjalan ke arah Atlas.
"Aku bukan bayi. Aku tidak ada hubungannya denganmu. Jangan panggil aku seperti itu lagi."
Meskipun ditolak, Daisy tetap tersenyum.
"Baiklah, akan kupanggil Milo saja."
Milo melirik Daisy, mendengus pelan, lalu menyeret tas sekolahnya dan melompat-lompat ke arah gerbang.
"Milo Foster, jalan yang benar!" Suara Atlas yang berwibawa terdengar dari belakang.
Milo yang tadinya ceria langsung berhenti, mengenakan tasnya dengan benar, dan mulai berjalan seperti seorang tentara kecil.
Claire menatap Milo yang berjalan sangat formal, dan tak bisa menahan senyum.
Di tengah keheningan, senyum kecil ini justru menarik perhatian Milo. Melihat Claire berdiri di ujung barisan, ia berlari menghampiri.
"Hei, kau orang baru, ya? Kenapa pakaianmu sederhana sekali? Tidak cocok untuk tempat ini."
Claire menatap anak kecil yang tingginya hanya sebatas pinggangnya. Ia sedikit terkejut dan belum sempat bereaksi.
Tidak jauh dari sana, tatapan tajam Atlas mengikuti anaknya dan akhirnya tertuju pada Claire. Sesaat kemudian, alisnya terangkat sedikit. Cahaya gelap berkilat di mata cokelat pekatnya.
"Ya, aku baru di sini. Hari ini hari pertamaku bekerja," Claire mendorong kacamata berbingkai tebal yang menutupi wajahnya, lalu tersenyum.
"Namaku Claire. Senang bertemu denganmu."
Milo memiringkan kepala, mengedipkan mata cokelat besarnya, menatap Claire sejenak, lalu berkata, "Kacamatamu tidak cocok. Itu menyembunyikan kecantikanmu. Ganti besok, ya!"
Claire terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
"Hehe." Melihat ekspresi Claire, Milo tiba-tiba menyeringai bahagia, lalu berlari masuk ke dalam istana.
Di belakangnya, Atlas melangkah maju. Ketika melewati Claire, seluruh tubuhnya bergetar tanpa bisa ia kendalikan.
Tatapan tajam Atlas hanya sesaat, namun cukup membuat Claire merasa seolah seluruh dunia berhenti berputar.
Atlas melepaskan jas hitam Armani-nya dengan gerakan elegan namun penuh ketegangan. Matanya yang gelap memindai ruangan dengan tatapan dingin dan menyelidik.
"Siapa wanita berkacamata berbingkai hitam yang berdiri di ujung ruangan tadi, dan siapa yang mengizinkannya bekerja di sini?" tanya Atlas kepada direktur kantornya, Patrick Palmer, dengan suara rendah yang menggema di ruang kerja yang luas.
Patrick, pria berusia hampir lima puluh tahun dengan rambut beruban rapi, merenung sejenak sebelum menjawab dengan hormat,
"Ah, itu Claire Jenkins. Dia baru saja lulus dengan gelar master dari Universitas Sorbonne. Dia adalah penerjemah yang direkomendasikan oleh Menteri Luar Negeri Marcel Dottore beberapa waktu lalu. Anda telah menyetujui perekrutannya saat itu."
Patrick mengatur kacamata bacanya.
"Saya dengar dia tidak hanya mahir dalam bahasa Prancis, tetapi juga fasih berbahasa Spanyol dan Jerman. Dia adalah bakat langka dalam bidang penerjemahan."
Atlas, yang sedang memegang dokumen diplomatik penting, berhenti sejenak dan melirik Patrick dengan tajam "Jadi, dia menguasai empat bahasa?"
"Tepat sekali. Kemampuannya sangat mengesankan untuk seseorang seusianya."
Suasana tenang di ruangan itu tiba-tiba terganggu ketika suara ceria seorang anak laki-laki terdengar dari sofa kulit mewah di sudut ruangan "Wah, sungguh menakjubkan! Kebetulan aku tidak mengerti beberapa kata dalam bahasa Prancis. Aku akan mencarinya!"
Milo, anak laki-laki berusia lima tahun dengan mata biru cerah yang mirip ayahnya, meluncur turun dari sofa dengan semangat dan berlari menuju pintu.
"Milo Foster, berhenti!" perintah Atlas dengan suara tegas namun tidak kasar.
Bocah itu langsung terdiam, berdiri kaku seperti patung kecil, tidak berani bergerak seinci pun. Meski masih kecil, Milo sudah memahami otoritas yang dimiliki Daddy-nya.
"Bawa dia ke ruang sebelah, dan pastikan dia menyelesaikan tugas sekolahnya sebelum boleh pergi," Atlas memerintahkan Patrick tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen di tangannya.
"Baik, Tuan Patrick mengangguk dan tersenyum ramah kepada Milo.
"Tuan Muda, mari kita pergi."
Milo mengerucutkan bibirnya, melirik Daddy-nya dengan mata yang berkilat kesal, lalu mengambil tas sekolah kecilnya. Sambil berjalan keluar dengan langkah berat, dia bergumam dengan suara hampir tak terdengar, "Ini jelas menunjukkan aku bukan anak kandungmu."
"Apa yang kau katakan?" Atlas mengangkat kepala, menatap putranya dengan mata gelap penuh otoritas.
Milo berbalik dan menatap Daddy-nya dengan wajah keras kepala, "Sudah kubilang, aku jelas bukan anak kandungmu!"
Daftar tugas sekolahnya begitu panjang. Anak-anak lain mungkin membutuhkan seminggu untuk menyelesaikannya, tetapi dia harus menyelesaikannya dalam satu hari. Hidup memang tidak adil untuk anak lima tahun.
Atlas mengangkat kepalanya sepenuhnya, menatap Milo dengan mata hitam yang dalam, dan berkata tanpa ekspresi,
"Tentu saja aku tidak bisa melahirkanmu karena aku laki-laki. Tapi aku tetap Daddy-mu."
Milo cemberut dengan kesal, suaranya bergetar sedikit, "Jika Ibu bisa bangun dan bicara, dia pasti tidak akan sekeji dirimu!"
Mendengar itu, Atlas merasakan sesuatu menusuk dadanya, tapi wajahnya tetap tenang. Ia menatap Milo dengan pandangan sedikit melembut, lalu berkata dengan suara lebih rendah, "Kerjakan tugas sekolahmu."
Milo menghentakkan kaki kecilnya dan berjalan keluar bersama Patrick.
***
Di ruang arsip yang tenang, dengan rak-rak tinggi berisi dokumen penting negara, Claire sedang mencari berkas yang diperlukan bersama Leah.
"Leah, anak tadi--" Claire baru mulai bicara tetapi Leah segera menghentikannya.
"Ssst!" Leah mendekat dan berbisik, "Di sini, dilarang keras membicarakan kehidupan pribadi Presiden. Semua yang kau lihat dan dengar di sini tidak boleh diceritakan kepada siapa pun setelah jam kerja. Bukankah kau sudah menandatangani perjanjian kerahasiaan sebelum bekerja?"
Claire menatap Leah dengan wajah serius, lalu mengangguk dengan rasa malu "Maaf, aku tidak akan mengulanginya lagi."
"Tidak apa-apa, yang penting kau ingat untuk untuk tidak melakukannya lagi." Leah mengingatkan dengan suara lembut namun tegas.
"Baik, aku mengerti," Claire mengangguk dan tersenyum.
Melihat ekspresi Claire yang polos, Leah merasa kasihan dan tiba-tiba mencondongkan tubuh untuk berbisik di telinga Claire, "Itu Milo Foster, putra Presiden. Orang-orang di istana biasanya memanggilnya Milo Kecil."
Bagaimanapun, semua orang di istana tahu tentang situasi keluarga Presiden. Karena Claire sudah bertemu Milo, Leah merasa perlu memberi informasi dasar.
"Putra Presiden?" Claire terkejut, matanya membesar di balik kacamata tebal.
"Lalu Presiden--"
Sebelum pertanyaannya selesai, Claire menyadari dia hampir melanggar batas lagi dan segera berhenti bicara.
"Jangan ceritakan hal ini kepada siapa pun di luar. Kalau tidak, kariermu sebagai penerjemah bisa berakhir sebelum dimulai,"
Leah mengingatkan sambil memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka.
Claire mengangguk dengan serius.
"Terima kasih, Leah. Aku benar-benar mengerti sekarang."
"Baiklah, cepat cari berkas yang kita butuhkan, lalu aku akan menunjukkan lingkungan kerja lainnya."
***
Keesokan harinya, Claire kembali menjalani rutinitas orientasi karyawan baru. Leah mengajaknya berkeliling istana untuk mengenal lingkungan kerja yang megah dan penuh sejarah. Saat mereka tiba di luar ruangan Atlas, Daisy, sekretaris pribadi Atlas, meminta Leah menunggu di luar dan mengajak Claire masuk.
Atlas berdiri di depan jendela besar, memandangi taman istana yang indah sambil memegang secangkir espresso. Cahaya matahari pagi menerangi sosoknya yang tinggi dan berwibawa. Mendengar langkah kaki, ia berbalik dan melirik Claire dengan tatapan netral.
"Tuan Presiden, selamat pagi. Saya Claire, dan hari ini hari kedua saya bekerja di sini," Claire menundukkan kepala dengan hormat, tak berani menatap langsung ke arah Atlas.
Atlas memperhatikan penampilan Claire sekilas: kacamata hitam berbingkai besar, rambut cokelat panjang tergerai tanpa hiasan, kemeja putih rapi hingga ke kerah, dan blazer hitam formal. Penampilannya sangat konservatif dan profesional.
Jika bukan karena rekomendasi langsung dari Menteri Luar Negeri, tak seorang pun menyangka wanita dengan penampilan sederhana ini menguasai empat bahasa dengan sempurna.
Setelah sekali pandang, Atlas kembali menatap ke luar jendela "Baik, kalian boleh pergi."
"Baik," Daisy mengangguk dengan senyum profesional, lalu berkata kepada Claire, "Mari kita lanjutkan tur orientasi."
Claire tersenyum tipis, mengangguk, dan berbalik untuk keluar bersama Daisy.
"Apakah Menteri Keuangan sudah tiba? Jika sudah, suruh dia langsung masuk ke ruangan saya," kata Atlas sambil tetap memandangi taman dan menyesap kopinya.
"Baik, Yang Mulia. Saya akan segera menghubunginya."
***
Saat Claire keluar dari Ruangan Presiden dan hendak melanjutkan tur, tiba-tiba terdengar suara anak kecil dari kejauhan.
"Hei, Kacamata Hitam! Kacamata Hitam!"
Claire menoleh ke arah suara itu. Ia melihat Milo muncul dari celah pintu dengan wajah imut dan ekspresi putus asa.
"Kacamata Hitam, kemari!" Milo melambaikan tangan dengan semangat ketika melihat Claire memperhatikannya.
Claire tak bisa menahan senyum melihat tingkah lucu anak itu. Ia tak peduli disebut "Kacamata Hitam", lalu berjalan mendekat.
"Kacamata Hitam, aku dengar kau pandai bahasa Prancis. Kata ini sulit sekali diucapkan. Aku belum bisa mengucapkannya dengan benar. Bisa ajari aku?" Milo menunjuk kata di buku catatannya dengan jari kecil, wajahnya menunjukkan kesedihan yang menggemaskan.
Claire menatap bocah kecil itu dengan kagum. Di usia empat tahun, ia sudah belajar bahasa Prancis. Memang putra Presiden berbeda dari anak lainnya.
Melihat kata yang ditunjuk, Claire tersenyum hangat, berjongkok sejajar dengan Milo, dan berkata dengan sabar, "Caratteristica. Saat mengucapkan 'tte', ujung lidah harus sedikit melengkung ke atas dan menekan gigi atas. Begini, coba ikuti: ca-rat-te-ri-sti-ca."
"Ca-rat-te-ri-sti-ca, ca-rat-te-ri-sti-ca,"
Milo menatap Claire dengan mata biru berkilat, mengikuti instruksinya dengan serius. "Sudah benar?"
Claire tersenyum tulus. "Ya, sudah benar. Kau sangat pintar, Milo!"
"Bagaimana dengan kata ini?" Milo menunjuk kata lain dengan antusias.
"Milo!"
Suara laki-laki dalam dan berwibawa memotong semangat Milo. Claire mendongak, melihat Atlas berdiri tak jauh dari mereka. Aura otoritasnya membuat udara terasa tegang. Claire bergidik dan segera berdiri, menyapa dengan suara rendah,
"Tuan Presiden."
Melihat ekspresi ayahnya yang tidak senang, Milo langsung menunduk dan berkata dengan enggan, "Daddy."
"Kemarilah sekarang."
"Baik, Daddy." Milo menghela napas kecil, berjalan ke arah Atlas dengan langkah berat. Saat melewati Claire, ia menoleh dan berseru ceria, "Kacamata Hitam, sampai jumpa! Aku akan mencarimu lagi untuk belajar bahasa Prancis!"
Melihat anak polos dan ceria itu, Claire tersenyum hangat. Tapi karena aura intimidasi dari Atlas, ia hanya melambaikan tangan pelan sebagai jawaban.
Milo menyeringai lebar, memamerkan dua baris gigi kecil rapi, lalu mengikuti Atlas ke ruang kerja.
Melihat sosok kecil itu menghilang, Claire tiba-tiba teringat pada anak yang pernah ia lahirkan lima tahun lalu. Kenangan itu muncul tanpa peringatan, membuat dadanya terasa sesak.
Anak itu sekarang pasti sudah berusia Empat tahun. Apakah dia secerah dan semanis Milo? Apakah suatu hari nanti dia akan bertemu dengannya?
Memikirkan itu, Claire tersenyum getir.
Ia bahkan tidak tahu apakah anak itu laki-laki atau perempuan. Bahkan jika bertemu, ia tak akan mengenalinya.
"Jadi, Claire, jangan terlalu banyak berpikir," gumamnya pada diri sendiri.
"Itu bukan anakmu. Itu tidak ada hubungannya denganmu."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!