Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, namun jalanan kota masih tampak ramai. Cahaya dari kendaraan yang lalu-lalang memenuhi jalanan, membuat langit malam seolah berkelip.
Aiden duduk di dekat jendela suite presidensialnya, mengamati hiruk-pikuk kota yang begitu kontras dengan sunyinya kamar tempat ia berada. Sesekali tangannya terangkat, menyisir rambut pendeknya yang masih basah.
Matanya terpaku pada pemandangan kota yang indah, namun keindahan itu justru membuat matanya perih dan pandangannya kabur.
Ia memejamkan mata, pikirannya kembali melayang ke hari itu—setahun yang lalu. Hari ketika takdir tidak hanya merenggut penglihatannya, tapi juga membuat kedua kakinya lumpuh. Hari itu telah mengubah seluruh hidupnya.
Tapi, apa sebenarnya makna dari takdir? Aiden tidak percaya pada takdir. Baginya, bukan takdir yang menentukan jalan hidupnya, tapi dirinya sendiri. Ia mampu melakukan hal yang dianggap mustahil, bahkan jika takdir tidak berpihak padanya.
Delapan bulan setelah kecelakaan itu, Aiden kembali bangkit. Ketekunannya menjalani fisioterapi intensif selama berbulan-bulan membuahkan hasil—kakinya mulai bisa bergerak lagi. Penglihatannya pun perlahan pulih, meskipun cahaya terang masih membuat matanya silau dan pandangannya belum sepenuhnya jelas.
Ia sedang tenggelam dalam kenangan masa lalunya ketika tiba-tiba sebuah suara membuyarkan lamunannya. Pintu kamar terbuka perlahan, dan dua pelayan masuk sambil menuntun seorang wanita. Wanita itu tampak sangat mabuk, hingga tidak sadar ketika kedua pelayan membaringkannya di tempat tidur Aiden.
Salah satu pelayan mengangkat jari telunjuk ke bibir, memberi isyarat agar rekannya tidak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Aiden tersenyum melihat gerak-gerik mereka—mereka mengira dia buta dan tidak bisa melihat. Tapi senyumnya bukan senyum ramah, melainkan senyum dingin yang menyeramkan.
“Siapa di sana?” Aiden menggeram pelan.
Geraman itu membuat kedua pelayan terperanjat. Tanpa berpikir panjang, mereka langsung melarikan diri dari kamar.
Aiden marah. Rahangnya mengeras saat ia bangkit dari kursi dan berjalan ke arah wanita asing yang ditinggalkan di ranjangnya. Siapa yang berani masuk ke kamarnya tanpa izin?
Di bawah cahaya remang-remang kamar, Aiden bisa melihat wajah wanita itu yang kemerahan, bau anggur menyengat dari seluruh tubuhnya. Wanita itu terus menggeliat di atas ranjang, bibirnya terbuka sedikit, mengeluarkan erangan lembut.
Aiden mengerutkan kening melihatnya. Ia berbalik, berniat memanggil asistennya untuk segera menyingkirkan wanita tak dikenal itu. Namun saat ia hendak pergi, tiba-tiba wanita itu meraih tangannya.
“Tolong…” gumamnya lirih.
Baru saat itulah Aiden melihat wajah wanita itu dengan jelas. Matanya sedikit membelalak saat menyadari siapa sebenarnya wanita di hadapannya.
Ia langsung duduk di tepi ranjang dan mengulurkan tangan, mengelus wajah wanita itu dengan lembut. Namun bertolak belakang dengan sentuhannya yang halus, pertanyaan yang keluar dari mulutnya terdengar dingin dan menusuk.
“Anya. Siapa yang melakukan ini padamu?”
Sayangnya, Anya tidak menyadari apa pun. Ia bahkan tak mendengar pertanyaan Aiden. Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya terasa terbakar dari dalam.
Anya hanya bisa merasakan tangan dingin menyentuh wajahnya, memberinya sedikit rasa nyaman. Seakan haus akan kehangatan, ia langsung memeluk Aiden, merebahkan tubuhnya pada pria itu.
Kepalanya jatuh lemas di bahu Aiden, sementara napas panasnya menyapu leher Aiden, membuat tubuh pria itu kaku seketika.
Seseorang jelas telah memberinya obat, lalu mengirimkannya ke sini untuk tujuan tertentu. Tapi siapa? Dan apa maksud sebenarnya?
Anya sudah tidak sanggup menahan efek obat yang melanda tubuhnya. Ia sulit bernapas, napasnya tersengal-sengal.
Aiden mengangkat dagunya perlahan, memaksa Anya menatap matanya. Rambut hitam panjang Anya tergerai, tapi tidak mengurangi pesonanya.
Tatapan mereka bertemu, seolah saling terjerat dan tak bisa lepas. Anya mengambil inisiatif, melingkarkan jarinya di leher Aiden, lalu mengecup bibir pria itu. Aiden terkejut, tak tahu harus berbuat apa.
Aroma tubuh Anya menyeruak ke indra penciumannya. Wangi yang lembut dan menggoda, membuat Aiden kehilangan kendali.
Tangannya meraih belakang kepala Anya, dan bibirnya yang semula diam kini mulai membalas ciuman Anya dengan lembut. Bagi Anya, bibir Aiden terasa dingin seperti permen mint, membuatnya tak sanggup melepaskan diri. Ia memiringkan kepala, mencari posisi paling nyaman.
Melihat sambutan hangat dari wanita di pelukannya, Aiden makin larut. Bibirnya menekan lebih dalam, tangan perlahan mendorong tubuh Anya hingga terbaring penuh di atas kasur. Napas mereka menyatu, menyelaraskan irama.
Anya merasakan tubuhnya makin panas. Ia menggeliat, berusaha membuka resleting gaunnya. Namun Aiden lebih dulu bertindak. Ia meraih pergelangan tangan Anya dan menahannya di atas kepala. Sementara tangan satunya menarik resleting gaun, membuka pakaian Anya secara perlahan.
Aiden mulai mencium bahu Anya, lalu turun ke leher. Ciumannya lembut, seperti kelopak bunga yang menyentuh kulit Anya, membuat desahan pelan lepas tanpa sadar dari mulutnya.
Desahan itu justru membakar hasrat Aiden. Ia mulai membelai tubuh Anya, menjelajahi setiap lekuknya. Wanita ini seperti candu baginya.
Suhu ruangan makin memanas, seiring keduanya tenggelam dalam gelombang gairah. Sepanjang malam, hanya terdengar erangan lembut dan napas berat memenuhi kamar itu.
Malam telah berlalu, sinar matahari mulai mengintip dari celah tirai jendela yang sedikit terbuka.
Anya perlahan membuka matanya dan segera menyadari bahwa ia berada di ruangan yang asing. Dengan panik, ia langsung bangun dan mencoba bangkit dari tempat tidur.
"Aduh!" Ia meringis kesakitan. Seluruh tubuhnya terasa remuk, seperti habis ditabrak mobil. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kenapa ia bisa berada di kamar yang tidak dikenalnya?
"Sudah bangun?" Suara pria yang dalam dan berat terdengar. Seperti tarikan magnet, Anya langsung menoleh ke arah pemilik suara itu.
Matanya membelalak saat melihat sosok pria itu. Tubuhnya masih basah, hanya dibalut handuk yang melilit pinggangnya, memperlihatkan otot perut six-pack yang jelas terlihat di depan mata Anya. Wajahnya seketika memerah, mulutnya sedikit terbuka, tapi tak sepatah kata pun keluar. Pemandangan itu terlalu menggoda!
Senyuman muncul di wajah Aiden melihat reaksi Anya. Satu alisnya terangkat sedikit sambil berkata santai, “Kau suka yang kau lihat?”
Anya menegakkan kepala, menatap wajah pria itu. Tak kalah memukau dari tubuhnya, wajah blasterannya begitu tampan. Alisnya rapi, seperti terukir dengan sempurna, membingkai bola mata yang tampak sedikit cokelat saat terkena cahaya matahari.
Tapi ini bukan saatnya terpukau pada pria asing!
Tersadar dari lamunan, Anya langsung tergagap, “Si… siapa kamu? Kenapa kamu ada di kamarku?”
Senyuman Aiden langsung menghilang. Tatapan hangatnya berubah dingin seketika. Wanita ini tidak mengenalnya?
“Kamarmu?” tanya Aiden, suaranya terdengar tajam dan dingin, membuat bulu kuduk Anya berdiri.
Anya terlalu panik hingga tidak sadar bahwa kamar ini terlihat sangat mewah. Begitu menyadarinya, wajahnya langsung pucat. Tak mungkin ia bisa menyewa kamar hotel semewah ini. Lalu kenapa ia bisa berada di sini?
Ia mengangkat selimut yang menutupi tubuhnya dan terkejut saat melihat bekas-bekas jelas di seluruh tubuhnya—hasil dari malam yang mereka lalui bersama.
“Apa kita… kita…” Air mata mulai memenuhi mata Anya. Perasaan malu, marah, takut, dan bingung bercampur jadi satu, membuatnya kehilangan kata-kata. Aiden menatap Anya dalam diam, dan menyadari bahwa semalam adalah pertama kalinya bagi wanita itu.
Kakinya lemas, ia jatuh terduduk di atas karpet, kepalanya tertunduk di sisi ranjang. Potongan-potongan memori semalam perlahan kembali ke pikirannya. Dialah yang memohon bantuan pria itu. Dialah yang mencium pria itu lebih dulu!
Anya menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Malu dan kesal pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia begitu mabuk dan salah masuk kamar orang lain? Ia merasa sangat bodoh.
Anya mengangkat wajahnya, menatap Aiden dengan bingung. Apa maksud dari semua ini?
Melihat kebingungan di mata Anya, Aiden hanya bisa menghela napas dan menggeleng pelan. Wanita ini begitu polos. Dia bahkan tidak tahu bahwa dirinya telah dijebak.
“Dengan siapa kau keluar semalam? Kau tidak sadar seseorang sengaja memberimu obat?”
Obat?! Seseorang memberinya obat?! Pantas saja ia tak sadar semalaman.
Kepala Anya terasa pusing, telinganya berdengung saat mencoba mengingat kembali kejadian malam itu. Kakak tirinya, Natali, mengajaknya bertemu dan menawarkan bantuan untuk biaya pengobatan ibunya. Saat bertemu, Natali terlihat biasa saja, bahkan sempat memberinya minuman.
“Minumlah!”
“Natali! Ini pasti perbuatan Natali.”
“Kau sepertinya tahu siapa pelakunya,” kata Aiden pelan.
Ya, Anya tahu. Tapi kenapa Natali melakukan ini padanya? Meski mereka tidak sedarah, Anya tak pernah berbuat jahat padanya. Ia bahkan menganggap Natali seperti kakak sendiri.
Aiden memandangi Anya yang termenung dan bertanya, “Anya Tedjasukmana, kau benar-benar tidak mengenaliku?”
Anya terkejut. Ia menatap Aiden dan balik bertanya, “Kita... saling kenal? Kenapa kamu tahu namaku?”
Anya benar-benar tidak mengenali pria ini. Ia yakin tidak mungkin melupakan seseorang dengan wajah setampan itu.
Jawaban Anya membuat Aiden semakin kesal. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal kuat. Wanita ini benar-benar tidak mengingatnya.
“Siapa kamu? Kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Anya lagi. Tatapannya kini sedikit curiga.
Pertanyaan itu justru membuat Aiden makin murka. Ia menendang meja kecil di sampingnya dengan keras, lalu berbalik untuk berganti pakaian, meninggalkan Anya yang ketakutan sendiri.
Melihat kesempatan itu, Anya buru-buru mengenakan pakaian dan kabur dari kamar. Ia harus segera pergi dari tempat itu. Ia harus menemukan Natali dan meminta penjelasan. Kenapa Natali melakukan ini padanya?
Setelah keluar dari kamar mandi, Aiden mendapati kamarnya kosong. Wanita yang semalam bersamanya sudah pergi. Tapi Aiden tampak tenang, bahkan tersenyum tipis.
Ia segera menelepon asistennya yang paling dipercaya.
“Harris, cek rekaman CCTV semalam. Cari tahu dengan siapa Anya bertemu dan siapa yang mengirimnya ke kamarku.”
“Baik, Tuan. Tapi…” Harris menjawab dengan ragu.
Aiden menatap tajam ke arah asistennya. Ia tidak suka kata-kata yang menggantung. Biasanya Harris selalu tanggap dan tegas. Tapi hari ini, ada yang aneh dengan sikapnya.
Hari ini benar-benar buruk bagi Aiden. Ia bertemu lagi dengan Anya wanita yang ia tunggu selama ini tapi wanita itu justru tidak mengenalnya dan malah melarikan diri. Hal itu sudah cukup membuat harinya kacau. Ditambah sikap Harris yang tidak seperti biasanya, membuat emosinya makin naik.
“Foto wanita yang bersama Anda tadi malam sudah tersebar luas di internet, Tuan. Dia terlihat masuk hotel dan keluar dari kamar Anda pagi ini.”
Aiden mengernyit. Sepertinya semua ini sudah direncanakan dengan sangat matang. Bahkan berita menyebar begitu cepat.
“Cari tahu siapa yang melakukannya,” ucap Aiden. Ia tak tampak peduli dengan pemberitaan itu.
“Tuan, pertunangan Anda dengan Nona Natali bisa batal karena skandal ini. Kerja sama dengan keluarga Tedjasukmana juga bisa…” Harris mencoba mengingatkan.
Namun belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Aiden sudah mengangkat tangannya, menyuruh Harris diam.
Aiden bukan orang bodoh. Ia tahu kemungkinan besar ini semua perbuatan Natali Tedjasukmana. Mereka memang dijodohkan oleh keluarga masing-masing keluarga Atmajaya dan Tedjasukmana ingin bergabung dan menambah kekayaan mereka.
Sayangnya, Natali tidak bisa menerima kondisi Aiden. Dia mengira Aiden masih buta, dan tidak mau memiliki suami yang cacat. Maka, Natali mencari cara untuk membatalkan pertunangan ini tanpa harus menjatuhkan nama keluarganya sendiri.
Aiden hanya perlu satu hal sekarang bukti. Bukti kuat untuk membongkar semua ini.
Aiden Atmajaya, putra dari konglomerat Bima Atmajaya sekaligus CEO dari Atmajaya Group, tertangkap basah bersama seorang wanita di sebuah hotel.
Judul berita itu menjadi topik terpanas sejak pagi dan langsung menyedot perhatian publik. Bagaimana tidak? Aiden Atmajaya adalah figur pria paling terkenal di kota ini. Ia jarang muncul di hadapan publik dan sangat menjaga reputasinya. Tapi pagi ini, namanya justru terpampang di halaman utama berita karena tuduhan perselingkuhan!
Aiden Atmajaya sudah memiliki tunangan, tapi malah kepergok berada di hotel bersama wanita lain!
“Ternyata semua pria sama saja! Jijik!”
“Itu pasti salah wanita genit itu! Jelas-jelas dia ngincer harta! Dasar perempuan murahan!”
“Natali Tedjasukmana seharusnya membatalkan pertunangannya. Ngapain tunangan sama pengkhianat!”
“Bener banget. Natali gak pantas diperlakukan kayak gitu!”
“Aiden Atmajaya bener-bener buta. Emangnya Natali kurang apa? Cantik, kaya, elegan... malah pilih perempuan rendahan!”
Kolom komentar penuh dengan cercaan. Semua hinaan ditujukan pada Aiden dan wanita yang dianggap menggoda dirinya. Banyak pula yang membela Natali dan merasa kasihan padanya.
Saat ini, Aiden sedang dalam perjalanan menuju kantornya. Ia mengenakan kemeja hitam lengan panjang, sementara jasnya dilipat rapi di samping. Seperti biasa, kacamata hitam menempel di wajahnya, menambah kesan cool dan berwibawa. Sayangnya, publik mengira Aiden masih buta, jadi mereka pikir kacamata itu hanya untuk menutupi kelemahannya.
Ia duduk santai di kursi tengah, menatap keluar jendela mobil. Di depan, duduk sopir kepercayaannya, Abdi, bersama Harris asisten pribadi yang sedang membacakan berita yang beredar beserta komentar-komentar netizen yang tajam, sambil menunggu perintah dari tuannya.
Sebagai salah satu keluarga paling berpengaruh di kota ini, menghapus berita bukan hal sulit bagi Aiden. Tapi ia hanya menggeleng pelan.
“Biarkan saja,” ucap Aiden datar. Ia tak peduli dengan pemberitaan itu. Justru, lewat berita ini, ia bisa membatalkan pertunangannya dengan Natali tanpa harus mencari alasan rumit. Dan yang lebih penting, semua orang akan tahu bahwa dia punya hubungan dengan Anya. Anya adalah miliknya.
“Umumkan saja kalau aku membatalkan pertunangan dengan Natali.” kata Aiden.
Harris terlihat ragu mendengar perintah itu. Membatalkan pertunangan bukan keputusan kecil. Kerja sama antara dua keluarga besar bisa hancur berantakan.
“Tuan, membatalkan pertunangan itu langkah berisiko. Apa Anda tidak mau mempertimbangkannya kembali?” Harris memberanikan diri menasihati.
Tapi Aiden hanya melambaikan tangan, menyuruh Harris diam. “Cari tahu semua informasi tentang wanita yang bersamaku semalam!”
Sementara itu, di kediaman keluarga Tedjasukmana, Mona Wijaya, ibu dari Natali, membaca berita terkini di ponselnya. Tangannya gemetar saat membaca kejadian itu. Ia mencengkeram gelas wine begitu kuat, seolah ingin melempar dan memecahkannya.
Ia benar-benar murka!
Ia sudah berjuang keras agar putrinya menikah dengan pria kaya dan berkuasa, tapi semuanya hancur hanya karena satu perempuan jalang!
Perusahaan milik suaminya kini sedang goyah. Perjanjian pernikahan adalah satu-satunya cara agar mereka tetap bisa hidup nyaman dan bergelimang harta. Tapi semua itu rusak karena wanita sialan itu!
Ia langsung menggedor pintu kamar anaknya. “Nat, apa yang terjadi?!”
Natali justru sedang merasa puas. Rencananya berhasil.
Ia memang tidak mau menikahi pria buta seperti Aiden. Meski Aiden tampan dan berwibawa, buat apa tampang jika cacat? Ia tak mau mengurus pria itu seumur hidup dan jadi bahan olokan teman-temannya karena bersuamikan orang buta.
Dengan skenario yang sudah ia susun rapi, ia berhasil keluar dari masa depan suram tanpa terlihat kejam. Justru sekarang, ia mendapatkan simpati dan dukungan dari banyak orang. Setelah ini, ia bisa bebas mencari pria idamannya yang tampan, menarik, dan tentu saja, tidak cacat.
Tak ada satu pun orang yang tahu rencana busuknya. Bahkan ibunya pun tidak. Ibunya hanya peduli pada harta dan tega menjadikan putri kandungnya sebagai alat tukar demi kemewahan.
Uang, uang, dan uang. Itu saja isi kepala ibunya.
Namun Natali tidak mau disalahkan oleh ayah atau ibunya. Ia harus terlihat sebagai korban yang dikhianati. Ia harus jadi pihak yang disakiti.
Begitu mendengar ibunya menggedor pintu, ia langsung mencubit tangannya sendiri kuat-kuat hingga matanya berkaca-kaca. Ia membuka pintu sambil menangis histeris.
“Ma... Anya...” isaknya, langsung memeluk sang ibu.
Mendengar nama itu saja membuat Mona kembali meledak. Ia bahkan tidak sadar kalau putrinya sedang bersandiwara. “Tenang sayang, Mama yang akan ajari dia pelajaran!” ujarnya sambil mengelus kepala Natali, yang tersenyum licik dalam pelukan ibunya.
“Anya keterlaluan, Ma. Apa salah kita ke dia?” ratapnya sambil terus menangis.
“Dulu, dia pernah menyakiti Mama. Sekarang, dia rebut tunangan Nat. Padahal Nat gak pernah ganggu hidup dia!” tambahnya lagi.
“Sejak dulu, anak itu cuma bawa sial. Harusnya dulu dia kita biarkan aja hidup di jalanan!” desis Mona. “Buat apa kita tolong dia, kita kasih tempat tinggal? Akhirnya malah kita yang dirugikan! Kali ini Mama gak akan tinggal diam, Mama sendiri yang akan hajar dia!”
Rencana Natali berjalan sempurna. Berita tentang perselingkuhan Aiden dan Anya sudah berhasil membakar emosi ibunya. Ia sengaja menyulut kemarahan Mona dengan mengungkit masa lalu.
Tak ada satu pun yang curiga padanya. Semua bukti sudah ia bersihkan. Orang-orang yang terlibat pun sudah ia bungkam. Semua akan menyalahkan Anya dan membela dirinya.
Di sisi lain, Anya sama sekali belum tahu apa yang sedang terjadi. Saat ini ia sedang dalam perjalanan menuju rumah Natali, ingin meminta penjelasan atas semua yang menimpanya. Ia bahkan belum sempat membuka ponsel, apalagi membaca berita.
Perasaannya bercampur aduk.
Ia bingung dan marah atas apa yang dilakukan Natali. Ia juga merasa dikhianati dan kecewa. Kenapa Natali tega berbuat seperti ini padanya? Apa motifnya?
Di sisi lain, pikirannya juga terus melayang ke pria asing yang bersamanya semalam. Siapa sebenarnya pria itu? Kenapa dia tahu namaku? Apakah dia mengenalku? Tapi kenapa aku tidak ingat sama sekali?
Pikirannya semakin kacau. Tapi untuk saat ini, ia harus mencari jawaban dari Natali terlebih dahulu.
Langkah kakinya cepat, dan rumah Natali mulai terlihat di kejauhan. Rumah itu masih semewah dulu. Dulu, tempat itu adalah rumahnya. Tempat di mana ia adalah putri dari sang ayah, dan ibunya adalah ratu di rumah itu. Tapi itu dulu...
Sejak perceraian kedua orangtuanya, ia dan ibunya harus meninggalkan rumah itu.
Pagar rumah berwarna hitam, dengan ukiran emas yang menambah kesan mewah. Di balik pagar, berjajar mobil-mobil mewah dan taman indah.
Kini, rumah itu ditempati oleh ayahnya dan keluarga barunya. Sementara ia dan ibunya harus tinggal di rumah kecil yang sempit dan reyot, memutar otak setiap hari hanya untuk bertahan hidup. Dan sekarang, ibunya sedang terbaring di rumah sakit...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!