NovelToon NovelToon

Billioraire'S Deal: ALUNALA

Ultimatum di Ambang Kematian

Langkah kaki Alaric Alverio bergema di koridor steril rumah sakit elit itu. Sepatu kulit hitam mahalnya beradu dengan lantai marmer putih, bersih dan dingin, sama seperti tatapan pria itu.

Dua bodyguard membukakan pintu ruang VVIP tanpa sepatah kata pun. Aroma antiseptik bercampur dengan wangi mawar putih memenuhi udara. Di tengah ruangan luas yang dipenuhi alat medis canggih, seorang pria tua terbaring lemah—kakeknya, Ravenshire Alverio—pendiri dan pemilik imperium bisnis Alverio Group sekaligus pria terkaya di dunia.

Alaric tak berkata apa-apa. Ia hanya melangkah mendekat, sikapnya tenang, tapi rahangnya mengeras saat melihat tubuh kurus sang kakek yang dulu tak tergoyahkan oleh siapa pun.

Di sisi ranjang—papa Alaric, Samudra Alverio— berdiri kaku. Wajahnya dingin, suaranya bahkan lebih dingin ketika berkata, “Kakekmu tidak punya banyak waktu. Dan dia tidak akan membiarkan semua ini jatuh ke tangan yang salah.”

Alaric menatap sang papa tajam. “Langsung ke intinya.”

Pria itu menyerahkan selembar dokumen, ditandatangani langsung oleh Ravenshire. Di atasnya, satu syarat tertulis tegas:

‘Jika Alaric Alverio tidak menikah dalam tujuh hari terhitung sejak hari ini, seluruh harta warisan, saham, dan kekuasaan perusahaan akan dialihkan kepada anak dari Samuel Alverio, Renzo Alverio.’

Ya, Samuel adalah saudara kembar Samudra. Usia masih 45 tahunan. Terbayang semudah apa Alaric saat ini.

Alaric tertawa tipis—sarkastik. “Menikah dalam seminggu? Dengan siapa? Asisten kantor? Model iklan minuman?”

“Siapa pun bisa. Asalkan resmi. Dan secepatnya,” jelas Samudra.

Alaric memutar bola matanya malas. Tapi sebelum ia bisa mengumpat, layar televisi 60 inci di sudut ruangan menyala otomatis—menayangkan berita yang sedang viral di seluruh negeri.

'Artis papan atas Aluna Valtieri kini menjadi tersangka utama dalam kematian mantan kekasihnya, Rafael Maresca. Sang model pria ditemukan tewas mengenaskan di apartemen mewahnya semalam…

Gambar Aluna muncul besar di layar—wajah cantiknya penuh air mata, dikerubungi wartawan. Gaun mewahnya tercabik, eyeliner-nya luntur, tapi aura glamor dan sensualnya tetap tak pudar.

Alaric mengernyit. Nama itu terdengar familiar.

'Perusahaan Alverio Beauty, milik keluarga Alverio, diketahui sebagai sponsor utama Aluna selama dua tahun terakhir. Beberapa kerja sama iklan telah ditunda, menunggu hasil penyelidikan polisi...'

Seketika, ide gila mulai terbentuk di kepala Alaric.

Ia mendekat ke layar, menyipitkan mata. Lalu menoleh pada papanya.

“Jika aku menikahi wanita yang sedang dibenci seluruh negeri... lalu menyelamatkan reputasinya... berarti aku juga menyelamatkan nama perusahaan, ‘kan?”

Samudra menatapnya tajam. “Kau tidak serius.”

Alaric menyeringai. “Dia butuh perlindungan. Aku butuh istri. Saling untung, bukan?”

Ia menyelipkan tangan ke saku celana, lalu menarik smartphonenya.

Virgo—Sekretaris

Cari tahu di mana Aluna Valtieri sekarang.

Aku ingin bertemu dengannya malam ini.

...***...

Langkah kaki Alaric bergema di sepanjang koridor lantai 32 apartemen mewah itu—bagian dari Alverio Nyx Residences, salah satu proyek real estate unggulan milik kakeknya. Angin AC menyapu rapi jas hitamnya yang mahal, kontras dengan kemeja putih terbuka dua kancing. Jam tangan Audemars di pergelangan kirinya memantulkan cahaya temaram lampu koridor.

Tangannya memasukkan kartu akses. Tapi sebelum pintu terbuka penuh, seorang pria paruh baya keluar tergesa dari dalam apartemen. Pria itu—dengan Manager ID yang menangani Aluna Valtieri—langsung terhenti saat melihat siapa yang berdiri di depannya.

Mata manajer itu membelalak. "P-Pak Alaric?"

Alaric hanya mengangkat alis, tangannya masih menyelipkan kartu ke sakunya. “Kenapa?”

"Maaf, saya tidak tahu Anda akan datang sendiri. Kalau ini soal kontrak, saya bisa siapkan pengacara kami—"

Alaric menyela dingin. Suaranya datar tapi tajam. “Saya di sini bukan untuk mendengarkan pembelaan. Saya hanya ingin berbicara langsung dengan artismu.”

Manager itu menelan ludah. “Kalau soal kontrak—”

“Jika semua tidak berjalan sesuai rencana saya,” lanjut Alaric, berjalan melewati pria itu tanpa menoleh, “kontrak itu akan dibatalkan dalam waktu 24 jam. Dan reputasinya… biar publik yang menghancurkan.”

Manager itu membisu. Tak sempat mengucap sepatah kata pun, pintu sudah tertutup kembali di belakang Alaric.

Ruangan apartemen Aluna tenang, hanya terdengar alunan instrumental klasik dari speaker tersembunyi. Aroma lavender samar tercium dari diffuser yang berhembus halus di sudut ruangan. Interiornya mewah, hangat, berkelas—kontras dengan berita kriminal yang baru saja meledak di luar sana.

Alaric melangkah masuk tanpa ragu, menyisir ruangan dengan pandangan tajam. Lalu dia berhenti.

Di depan cermin kamar, Aluna Valtieri berdiri membelakanginya—gaun hitamnya sudah separuh melorot dari bahu.

Tubuh jenjang dan lekuk tubuhnya terpampang sebagian, kulit pucatnya memantulkan cahaya malam yang masuk dari jendela. Aluna tak menyadari kehadirannya, sibuk menarik resleting dengan satu tangan.

“Kalau aku ingin melihat lebih banyak, harusnya aku datang lima menit lebih lambat,” ucap Alaric ringan, suaranya rendah dan terkontrol.

Aluna terlonjak, refleks menarik gaunnya kembali ke bahu. “Apa kau gila?! Masuk tanpa izin?!”

Alaric bersandar santai di ambang pintu. “Aku pemilik gedung ini. Dan kebetulan juga sponsor yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan kariermu, tergantung mood-ku malam ini.”

Aluna memutar tubuhnya perlahan, matanya menajam—campuran marah dan curiga. Nafasnya masih terengah, tapi bukan karena malu. Lebih karena penasaran.

“Kalau kau datang untuk membatalkan kontrak, kirim saja tim legalmu. Aku tak butuh intimidasi.”

Alaric melangkah mendekat, mengurangi jarak di antara mereka. “Aku tidak ke sini untuk membatalkan apa pun. Aku ke sini untuk menawarimu... kehidupan baru. Tapi dengan syarat.”

“Syarat?” Aluna mengangkat alis. “Kau datang tengah malam, masuk ke apartemenku, dan bicara seperti kau sedang memilih properti?”

“Kurang lebih.” Alaric menyeringai kecil. “Aku butuh istri dalam tujuh hari. Kau butuh penyelamat. Kita bisa saling menguntungkan.”

Aluna terdiam. Sebelum ia sempat menjawab, smartphonenya berdering keras. Layar menampilkan nama rumah sakit. Tangannya gemetar saat menyentuh layar.

“Halo?”

Beberapa detik kemudian, wajah Aluna berubah pucat. Matanya melebar, tubuhnya bergoyang seperti kehilangan keseimbangan.

“Apa…? Tidak mungkin… Mama… Papa… Rey?”

Tangannya lemas, smartphone jatuh ke lantai berkarpet. Napasnya tersengal—terlalu sunyi dan terlalu panik dalam waktu bersamaan.

Alaric mendekat, refleks menahan lengannya sebelum ia jatuh.

“Apa yang terjadi?” tanyanya pelan.

Aluna tak menjawab. Air matanya mengalir diam-diam, tapi tatapannya kosong. Tiga nama yang ia panggil barusan… adalah keluarganya. Dan kini, mereka hanya tinggal kenangan. Kecelakaan dalam perjalanan menemuinya setelah mendengar anak pertama mereka jadi tersangka pembunuhan.

...***...

Langkah kaki Aluna bergema pelan di sepanjang koridor marmer putih. Gaun putih panjang membuntuti tubuhnya setiap kali ia melangkah, kainnya lembut dan mewah, tetapi rasanya berat di punggungnya—seberat hidup yang kini menuntunnya menuju altar pernikahan yang bukan ia pilih sendiri.

Pintu besar kayu ek dibuka perlahan. Sinar dari ratusan chandelier menyambutnya—menerangi ruangan megah bertema putih-emas yang dipenuhi tamu berdasi, berlensa kamera, dan beraroma uang.

Di sisi kanan aula, duduk para bintang film, penyanyi, dan model yang diam-diam masih percaya pada Aluna. Tatapan mereka campuran antara simpati, kekaguman, dan harapan. Mereka mengenal Aluna sebelum dunia menjadikannya headline kriminal.

Di sisi kiri, tamu-tamu dari kalangan bisnis dan politik berdiri tegap mengenakan setelan terbaik mereka. Semua undangan itu adalah hasil kerja keras tim Alverio Grup dalam tujuh hari persiapan yang hampir mustahil. Tapi keluarga Alverio tak pernah gagal dalam menciptakan panggung yang sempurna—meskipun cinta tak termasuk di dalamnya.

Langkah Aluna tertahan sesaat saat sampai di ujung karpet merah. Pandangannya bertemu dengan sosok pria tinggi di ujung altar.

Alaric Alverio—dalam setelan jas hitam eksklusif, rambut disisir rapi ke belakang, dan tatapan tajam yang tak pernah memberinya ruang untuk bernapas lega.

Tangannya terulur. Diam, tapi kuat. Aluna ragu sejenak, lalu menyambut uluran itu.

“Tidak ada jalan kembali setelah ini,” bisik Alaric nyaris tanpa suara.

“Memangnya aku pernah punya pilihan?” Aluna balas lirih, bibirnya membentuk senyum sinis yang tak sampai ke mata.

Mereka berdiri di altar. Pendeta membaca naskah pernikahan dengan khidmat, sementara blitz kamera dan sorot lampu dari media yang diundang tak henti memotret setiap detik kebersamaan mereka.

“Dengan ini, aku menanyakan kepada Tuan Alaric Alverio—apakah Anda bersedia menerima Aluna Valtieri sebagai istri Anda?”

Alaric menatap mata Aluna. Dalam-dalam. Bukan karena cinta, tapi karena keputusan yang tidak bisa ia tarik kembali.

“Aku bersedia,” katanya tenang.

“Dan Anda, Nona Aluna Valtieri—apakah Anda bersedia menerima Alaric Alverio sebagai suami Anda?”

Aluna menarik napas pelan. Tak ada satu pun keluarganya yang duduk di antara undangan. Kursi yang disiapkan khusus untuk orang tua dan adiknya tetap kosong—sunyi, menyakitkan, dan tak tersentuh.

Ia menggigit bibir. Lalu menatap lurus ke depan.

“Aku bersedia.” Suaranya nyaris bergetar—tapi ia tak membiarkan air mata jatuh.

Pendeta mengangguk.

“Silakan menyampaikan janji pernikahan Anda.”

Alaric berbicara lebih dulu. Matanya tidak berkedip.

“Aku tidak akan menjanjikan cinta, tapi aku akan memastikan kamu tidak sendiri menghadapi dunia. Selama kamu tak mengkhianati kepercayaan ini, aku akan berdiri di sisimu.”

Aluna menelan ludah. Tangannya menggenggam buket lebih erat.

“Aku tidak tahu apakah aku masih pantas dipercaya siapa pun. Tapi jika ada sisa hidupku yang bisa diperbaiki, maka aku akan memulai dari sini. Dari kamu.”

Keheningan menyelimuti ruangan setelah kalimat itu. Kamera berhenti berbunyi. Waktu seolah menunggu…

“Dengan ini, aku nyatakan kalian sebagai suami istri.”

Alaric tak menunggu komando. Ia mengangkat dagu Aluna dengan satu jari, lalu menunduk…

Dan mendaratkan kecupan dalam di bibirnya—hangat, dalam, dan terlalu nyata untuk disebut sekadar formalitas. Bibir mereka bertaut lama, cukup untuk membungkam tanya-tanya dunia tentang ‘pernikahan dadakan’ mereka.

Saat mereka berpisah, Aluna hanya bisa menatap kosong ke depan. Senyuman kecil menghiasi wajah Alaric, tapi matanya tetap seperti es: menyembunyikan lebih banyak dari yang dia tunjukkan.

...***...

Pintu kamar pengantin terbuka perlahan dengan suara klik halus. Langit-langit tinggi, lampu gantung kristal, dan sprei putih yang tersusun sempurna menciptakan atmosfer mewah—tapi dingin. Seperti hubungan mereka.

Alaric melepas jas hitamnya tanpa bicara. Ia melemparnya ke sofa lalu membuka kancing kemeja satu per satu, santai dan tanpa beban. Cahaya temaram kamar mempertegas garis tegas otot-otot dada dan bahunya. Ia menoleh ke Aluna yang berdiri terpaku di dekat meja rias, gaun pengantin masih membalut tubuhnya yang lelah—gaun itu mewah, berat, dan nyaris terlepas dari satu sisi bahunya.

Aluna tidak berkata sepatah kata pun. Padahal Alaric tahu, wanita itu biasanya adalah peluru yang siap meletup dengan komentar sarkastik dan celetukan tajam.

“Kamu diam. Aneh sekali,” ucap Alaric, mendekat pelan, suaranya rendah.

Aluna menoleh sebentar. Senyumnya kecil, tapi bukan senyuman menyambut—lebih seperti menahan.

“Aku hanya sedang memilih kalimat yang tidak akan membuatmu ingin mendorongku keluar jendela,” gumamnya pelan.

Alaric tertawa pendek. “Biasanya kamu tidak selembut ini. Artis yang suka nyolot.”

Ia berdiri di hadapan Aluna, satu tangannya mengangkat dagu gadis itu, lembut namun mantap. Mata mereka bertemu. Napas Aluna tercekat sejenak, tapi ia tidak bergerak menjauh.

Gaun di bahunya melorot sedikit lebih dalam. Dan dada Alaric kini tak lagi terhalang kain. Udara di antara mereka makin berat. Tak ada suara kecuali detak jam dan deru napas yang pelan tapi tak stabil.

Jari-jari Alaric menyentuh tulang selangka Aluna. “Kita bisa mulai jadi suami istri sungguhan malam ini…” bisiknya.

Aluna menggigit bibir, tapi tidak berkata ya ataupun tidak. Sebaliknya, ia menarik tubuh Alaric lebih dekat. Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang awalnya pelan, lalu makin dalam, semakin panas. Lidahnya manis, namun getir. Seperti perasaan yang belum bisa mereka beri nama.

Tangan Alaric menyelusup ke belakang punggung Aluna, sementara resleting gaunnya mulai turun perlahan...

Tiba-tiba suara dering telepon memotong semuanya.

Nada dering itu terdengar dari sisi ranjang. Alaric mengumpat pelan, masih setengah menunduk dengan bibirnya hanya sejengkal dari leher Aluna.

“Jangan diangkat,” bisik Aluna cepat, menarik wajahnya kembali, jari-jarinya menahan pergelangan tangan Alaric agar tetap bersamanya.

Tapi Alaric sudah melihat layar. Nama itu muncul jelas.

Renzo

“Bang, jemput gue di bandara. Sekarang.” 

Suara di seberang terdengar dalam, maskulin, tapi agak manja. 

“Pesawat gue mendarat lima belas menit lagi.”

Alaric menarik napas panjang dan menoleh ke Aluna. Gaunnya sudah hampir terbuka, pundaknya telanjang. Tatapannya kebingungan.

“Kamu mau pergi?” tanya Aluna. “Suruh aja pengawal—”

“Aku sendiri yang harus menjemputnya,” potong Alaric, suaranya datar namun tegas.

Aluna mengernyit. “Kenapa? Siapa cowok tadi?”

Alaric menatapnya beberapa detik, lalu melempar smartphone ke sofa. Tubuhnya berbalik mengambil kemeja. “Tidak ada yang lebih penting dari Renzo.”

Aluna menahan tangan Alaric sebelum ia pergi. “Sepenting itu?”

Hening.

Alaric menoleh. Wajahnya tetap tenang. Tapi suaranya lebih berat dari biasanya.

“Karena... hanya dia yang bisa bikin jantungku berdebar tanpa harus menyentuhku.”

Mata Aluna membesar. Jemarinya melemah di lengan Alaric. Tidak ada ciuman. Tidak ada ledakan. Tapi kalimat itu—menampar jauh lebih keras.

Alaric memandangi mata Aluna sekali lagi, lalu pergi, meninggalkannya berdiri sendiri di kamar yang terlalu besar, terlalu dingin, dan kini terlalu sunyi.

Alaric adalah Iblis

Alaric adalah Iblis

Hujan mengguyur deras di luar jendela kaca besar terminal kedatangan. Langit gelap, bandara basah, dan suara rintik hujan beradu ritmis dengan atap logam, seperti lagu sunyi yang hanya dimengerti oleh orang-orang yang sedang menunggu—diam, dan menahan napas.

Alaric Alverio berdiri tegak di dekat tiang penyangga. Setelan jas pernikahannya masih melekat di tubuhnya. Basah di ujung celana, sepatu kulitnya sudah menampung air, tapi ia tak tampak terganggu. Tak satupun keluhan lolos dari bibirnya. Wajahnya tetap datar, rahangnya mengeras, matanya fokus pada satu titik: pintu kaca otomatis yang belum terbuka.

Smartphone di sakunya bergetar. Tapi ia mengabaikannya.

Lalu, akhirnya, pintu itu bergeser. Dan suara langkah cepat memecah kesunyian.

“Bang Al!”

Renzo muncul dari dalam kerumunan—jaket hoodie hitam, tas selempang, dan rambut cokelat yang sedikit basah karena terburu-buru. Usianya hanya setahun di bawah Alaric, tapi senyum dan langkah ringannya membuatnya terlihat jauh lebih muda. Dia berlari kecil, seperti anak kecil yang menemukan orang rumahnya setelah terlalu lama di negeri asing.

Tanpa ragu, Renzo memeluk Alaric—erat, hangat, dan terlalu lama untuk dianggap biasa.

Alaric membalas pelukan itu, satu tangan menepuk punggung Renzo, tapi ada tarikan samar di matanya. Napasnya sedikit bergetar… hanya sedikit. Tapi cukup untuk mengungkapkan sesuatu yang tak bisa diucapkan.

“Lo datang pakai jas pernikahan?” tanya Renzo sambil tertawa kecil saat mereka melepaskan pelukan.

“Baru selesai… langsung ke sini,” jawab Alaric datar.

Mereka mulai berjalan menuju parkiran. Langkah mereka sejajar. Kadang bahu mereka bersenggolan ringan.

Renzo kuliah di Los Angeles dan langsung pulang setelah lulus S1. Sering bertelepon dengan Alaric jadi logat ‘lo gue’ masih tersangkut di kepala.

“Jadi, lo beneran nikah?”

“Ya.”

“Sama si artis itu?”

“Ya.”

“Suka dia?”

“Nggak.”

Renzo terkekeh pelan. Lalu menoleh padanya.

“Tapi lo tetap dateng buat jemput gue sendiri, meski dia nunggu sendirian di kamar pengantin?”

Alaric menghentikan langkahnya sejenak. Menoleh. Tatapannya tajam, penuh diam.

“Nggak ada yang lebih penting dari elo, Ren.”

Renzo mengangkat satu alis, pura-pura geli, tapi pipinya merona samar.

“Lo tahu itu kalimat yang bisa merusak pernikahan orang lain, ‘kan?”

Alaric tidak menjawab. Hanya melanjutkan langkah. Tapi di tengah hujan yang makin deras, tangan mereka bersentuhan. Sejenak. Lalu menggenggam.

Mereka berjalan seperti itu menuju mobil hitam Alaric—dua pria, dua nama besar dari keluarga Alverio, berjalan berdampingan. Tapi apa yang ada di antara mereka… lebih dari sekadar kedekatan. Lebih dari sekadar darah. Sesuatu yang tak seharusnya. Tapi juga tak sanggup dihentikan.

...***...

Lampu koridor menyala temaram. Jam menunjukkan lewat pukul sepuluh malam. Udara apartemen masih hangat dari uap kamar mandi. Aluna melangkah keluar dari unitnya, hanya mengenakan jubah tidur satin putih yang longgar membungkus tubuh mungilnya. Rambut basahnya terurai, aroma sabun lavender masih menempel di kulitnya. Suara tumit sandal tipisnya memecah keheningan koridor.

Langkahnya terhenti saat melihat Alaric muncul dari lift, masih mengenakan kemeja putih yang kusut dan celana hitam formal. Di sebelahnya, seorang pria muda lebih tinggi dan sedikit lebih kurus dari Alaric, berjalan tenang namun enggan melihat ke arahnya.

Renzo.

Tatapan Renzo dingin. Mata biru keabu-abuannya menatap lantai seolah Aluna tak ada di sana. Bahunya sedikit miring ke Alaric, seperti mencari perlindungan diam-diam. Suasana mendadak terasa aneh.

Aluna mengernyit. "Dia tinggal di sini juga?"

Alaric hanya meletakkan koper Renzo di depan unit apartemen seberang—tepat berhadapan dengan unit Aluna. Klik kecil terdengar saat pintu dibuka dengan kode akses.

“Ya. Renzo tinggal di sini,” jelas Alaric datar sambil menggiring koper masuk ke dalam.

Renzo tak mengucap salam. Ia hanya menunduk sedikit dan masuk tanpa menatap Aluna sekalipun.

Pintu ditutup. Sunyi.

Aluna memutar tubuhnya, bersedekap. "Kamu naruh... dia di depan apartemenku?"

Alaric menoleh santai. “Ya. Apartemen ini milik keluargaku. Dan dia juga keluarga.”

“Keluarga yang kamu jemput sendiri saat malam pernikahan kita?” Nada Aluna mulai meninggi, matanya menyipit.

Alaric menatapnya dengan angkuh. “Pernikahan ini bukan pernikahan sungguhan. Itu perjanjian. Dan kamu sudah tanda tangan.”

Aluna melangkah mendekat, jubahnya tersibak sedikit oleh gerakan marahnya.

“Kalau ingin perhatian, bisa pakai cara lain selain menggoda adik ipar sendiri dengan baju tipis,” balas Alaric tajam, matanya menyisir tubuh Aluna sekilas tapi penuh sindiran.

Aluna menahan napas. Wajahnya merah, entah karena malu atau marah.

“Jadi itu? Pernikahan ini cuma cara kamu untuk ngedapetin warisan dari kakekmu?!”

Alaric mendekat satu langkah. Suaranya menurun, tapi tak kalah tajam.

“Dan kamu pikir kamu bukan bagian dari permainan itu? Kamu juga dapat untung, Aluna. Nama bersih, hidup mewah, sorotan simpati. Jangan sok jadi korban!”

“Aku kehilangan keluargaku, Alaric.”

Alaric terdiam. Matanya menahan sesuatu—sesuatu yang hampir terlihat seperti rasa bersalah, tapi langsung dia bungkam.

“Istirahatlah. Aku akan bicara denganmu nanti.”

Alaric membalikkan tubuh. Tapi sebelum benar-benar masuk ke unitnya, ia membuka pintu unit seberang.

“Renzo, nggak usah nunggu gue. Tidur aja dulu.”

Suara Renzo dari dalam terdengar pelan namun jelas. “Iya, Bang.”

Aluna mengepalkan tangan. Hatinya menegang.

Tanpa sepatah kata lagi, Alaric masuk ke unitnya dan pintu tertutup.

...***...

Keesokan paginya, dunia terbelah oleh berita yang sama.

BREAKING NEWS

‘Aluna Valtieri Resmi Menikah dengan CEO Muda Alverio Beauty!’

‘Tersangka Pembunuhan Mendadak Jadi Istri Pewaris Kekayaan Dunia!’

‘Pernikahan atau Manuver Bisnis?’

Layar-layar televisi, portal berita online, hingga akun-akun gosip selebgram ramai memajang foto wedding kiss Aluna dan Alaric—penuh kemewahan, sensualitas, dan kontroversi. Gaun putih dengan potongan terbuka di bahu, senyum tipis Aluna, serta kecupan mendalam Alaric menjadi sorotan yang tak terhindarkan.

‘Apa ini bentuk cinta… atau strategi penyelamatan citra?’

‘Apakah Alverio Group menggunakan pernikahan ini untuk membersihkan nama brand mereka?’

‘Bagaimana bisa CEO muda paling dingin bisa jatuh ke pelukan wanita paling kontroversial saat ini?’

‘Gila, aku kira Alaric terlalu pintar untuk main drama begini.’

‘Aluna cocok banget jadi pasangan CEO, tatapannya kuat.’

‘Jangan-jangan dia nggak bersalah dan justru sedang dikambinghitamkan?’

Beberapa jam kemudian, berita baru muncul—tak kalah menggelegar.

‘Fakta Baru Kasus Pembunuhan Rafael Maresca: Bukti CCTV Menunjukkan Waktu Kematian Tidak Sesuai Alibi Tuduhan Aluna!’

Media mulai menggiring arah baru.

‘Sebuah rekaman CCTV dari gedung seberang apartemen Rafael mengungkapkan bahwa waktu kematian Rafael terjadi dua jam setelah Aluna meninggalkan lokasi. Polisi mulai membuka kemungkinan bahwa Aluna bukan pelaku.’

‘Kami akan meninjau ulang tuduhan. Ada kejanggalan dalam kesaksian saksi kunci yang sebelumnya menjatuhkan Aluna.’ —Juru Bicara Kepolisian

Berita itu menyebar secepat api.

Pakar hukum diundang bicara di televisi. Pengacara publik mulai bicara soal kemungkinan pembebasan nama. Fans Aluna perlahan muncul kembali di kolom komentar, seperti pasukan yang selama ini diam dan takut.

‘Dia nggak bersalah! Kita harus minta maaf!’

‘Mungkin Alaric tahu semuanya sejak awal. Mungkin ini caranya menyelamatkan Aluna.’

...***...

Cahaya matahari pagi menelusup dari balik tirai transparan, menciptakan bayangan halus di lantai marmer ruang tengah. Aroma kopi hangat mulai menyebar samar, bercampur dengan udara pagi yang tenang.

Aluna berjalan santai dari kamar ke ruang tengah dengan pakaian yang menjadi kebiasaannya: tank top tipis warna krem dan celana pendek satin, ringan dan lembut, memperlihatkan hampir seluruh lekuk tubuh rampingnya. Rambutnya masih agak kusut setelah tidur, tapi tetap cantik dengan kesan liar yang alami.

Ia menjatuhkan tubuh ke sofa putih panjang dan mengambil remote. TV 60 inch di depannya menyala dengan satu klik. Saluran berita muncul. Jemari Aluna memutar rambutnya santai sambil memandangi layar.

Dari balik lorong kamar, terdengar langkah kaki. Alaric muncul, hanya mengenakan jubah mandi hitam terbuka sebagian, dada bidangnya basah sedikit, dan rambutnya masih menetes air. Ia menguap kecil lalu berjalan ke dapur terbuka, menuang air mineral ke gelas kristal, menghadap ke arah sofa tempat Aluna duduk.

Matanya memandang Aluna. Sebentar. Lalu menoleh ke layar TV.

“Kebiasaan kamu nonton berita pagi-pagi pakai baju begitu?” tanya Alaric, nada suaranya datar tapi penuh sindiran halus.

“Kebiasaan kamu keluar kamar setengah telanjang juga enggak kalah mengganggu,” balas Aluna santai, tanpa menoleh.

“Fair,” gumam Alaric, lalu menyesap air.

Mereka nyaris masuk dalam rutinitas... sebelum wajah seorang pria muncul di layar televisi. Rafael Maresca. Mantan Aluna. Foto profilnya dipajang di samping headline berita.

BREAKING NEWS

‘Penyebab Rafael Maresca Tewas: Racun Sianida’

Gelas di tangan Alaric berhenti di tengah jalan.

Aluna mendadak duduk tegak. Wajahnya berubah.

“Apa…?” bisiknya, mata membelalak menatap layar.

‘Kepolisian menyimpulkan Rafael bunuh diri di apartemennya karena tekanan dari dunia permodelan. Hasil autopsi menunjukkan kandungan sianida dalam sistem pencernaannya…’

Napas Aluna tertahan.

“Nggak mungkin…” gumamnya. “Rafael... dia…”

Alaric berjalan pelan ke arah sofa, berdiri di sampingnya.

“Dia mantanmu. Kamu yakin tahu segalanya tentang dia?”

Aluna menatap Alaric dengan wajah keras. “Dia memang impulsif, tapi bukan pengecut. Dia enggak akan bunuh diri.”

“Masih menyimpan perasaan?”

“Jangan mulai dengan tuduhan murahanmu, Alaric! Dia manusia. Aku punya masa lalu. Dan aku tahu dia ngga—”

“Dia mati. Dan itu justru menyelamatkanmu, bukan?” potong Alaric tajam.

Aluna berdiri. Kini mereka saling berhadapan.

“Kamu senang dia mati?!” teriak Aluna, suaranya bergetar.

Alaric mendekat. Matanya tajam, bahunya menegang.

“Aku yang menyuruh orangku membunuhnya.”

Hening.

Seperti semua udara di dalam ruangan disedot dalam satu tarikan napas.

Aluna membeku. Matanya melebar, suara tercekat di tenggorokannya.

“A—apa?”

“Aku perintahkan pengikutku menyusup ke apartemennya. Campurkan racun ke minumannya,” ujar Alaric dengan dingin nyaris kejam. “Bukan karena aku benci dia. Tapi karena aku nggak suka kamu mengingat siapa pun. Karena tahananku… nggak boleh punya siapa-siapa.”

Aluna melangkah mundur. Tangannya menggenggam lengan sofa, tubuhnya gemetar.

“Aku bukan tahananmu…” bisiknya.

“Oh, tapi kamu adalah bagian dari kesepakatanku dengan dunia. Pernikahan ini membuka jalan ke kekuasaan yang aku inginkan. Dan kamu,” Ia mendekat pelan, “hanya bisa jadi milikku. Bukan siapa-siapa lagi.”

Air mata Aluna nyaris jatuh, tapi ia menahannya mati-matian.

“Ternyata… kamu udah merencanakan hal itu sejak lama…”

“Ya. Sebelum Papa aku nunjukin ultimatum, aku udah tau isinya sejak lama.”

“Kamu… monster….”

Alaric menyeringai tipis. “Monster yang kamu nikahi.”

Take Scene Film 18+

‘Ding-dong’

Suara bel apartemen memecah sunyi. Aluna menoleh malas dari dapur. Tanpa menunggu Alaric keluar kamar, ia berjalan menuju pintu dengan jubah tipis masih melingkari tubuhnya.

Begitu daun pintu terbuka, sosok jangkung langsung berdiri di sana. Renzo. Senyum kecil, mata tajam, hoodie abu-abu yang kebasahan di kerahnya. Aluna mengerjap. Tanpa kata, ia langsung menutup pintu.

Tapi tangan lain lebih cepat. Alaric, masih dengan kaos putih dan celana linen, menahan pintu sebelum benar-benar tertutup.

“Biarin dia masuk.”

“Kenapa? Supaya bisa sarapan bertiga sambil menyudutkanku?”

Alaric hanya menatap. Aluna mendengus, melangkah mundur. Renzo masuk begitu saja, seperti rumah miliknya.

“Wah, artis besar buka pintu sendiri sekarang?” sindir Renzo ringan, pandangannya menyapu Aluna dari atas ke bawah. “Gue sempat lihat lo di berita New York. Audisi teater Broadway, ‘kan? Sayang gagal… karena skandal pembunuhan mantan.”

Aluna menegang. Mata membelalak, tapi ia tertawa kecil, penuh racun.

“Dan lo kuliah di luar negeri cuma buat ngikutin berita gosip lokal?”

“Maaf, gue juga pelajari ‘penyebab kegagalan’, biar gak jadi kaya lo.”

Debat meledak. Dua mulut tajam saling tikam. Kata-kata penuh sarkasme dan ejekan dilempar seperti pisau. Renzo mendekat. Aluna mundur. Sampai punggungnya terbentur dinding marmer di koridor apartemen.

Renzo mencondongkan tubuhnya. Hanya beberapa inci dari wajah Aluna. Napasnya hangat di pipi wanita itu.

“Apa lo juga ngadu napas begini ke mantan lo sebelum dia mati?”

“Renzo!” bentak Aluna.

Tapi Alaric tetap diam di dapur. Ia sibuk memanggang roti. Ia menaruh dua sandwich isi telur dan smoked beef di meja makan, lalu menambahkan piring ketiga.

“Ren, duduk. Lo lapar.”

“Iya, Bang.”

Aluna masih berdiri, dada naik turun. Renzo hanya tersenyum seolah tak terjadi apa-apa, lalu menarik kursi dan mulai makan. Alaric duduk di sampingnya.

Aluna memandangi keduanya. Dua pria dari keluarga yang sama, penuh rahasia, penuh jebakan.

Dan sekarang... sarapan pun terasa seperti jamuan eksekusi.

Sendok menabrak pinggir piring porselen. Suara lembut, tapi mengganggu. Aluna menatap dua pria di depannya.

Renzo duduk terlalu dekat dengan Alaric, bahunya kadang menyentuh bahu sang CEO muda itu saat mengambil garam, atau saat menyodorkan cangkir kopi.

“Bang, roti bagian tengah lo masih kosong. Biar gue isi,” ucap Renzo, mengambilkan potongan telur dan menyelipkannya di roti Alaric, gerakannya akrab—terlalu akrab.

Alaric mengangkat alis, tapi tak menolak.

Aluna mengetukkan jemarinya di atas meja. “Kalian selalu begini?”

“Begini bagaimana?” Renzo menoleh, senyum tipis.

“Seperti pasangan suami-istri yang udah nikah lima tahun.”

Renzo tertawa pelan. “Lo cemburu, Kakak Ipar?”

“Lo keliru. Gue jijik.”

Suasana mendingin. Renzo hanya tersenyum—tapi kini tak semanis sebelumnya.

Aluna berdiri. Baru satu langkah ia ambil, suara Alaric menyusul tanpa nada tinggi, tapi sangat jelas.

“Alaric nggak pernah ditinggal partner makan. Kalau ada yang pergi lebih dulu, itu aku,” ujar Alaric ke arah Aluna.

Langkah Aluna berhenti. Ia menoleh perlahan. Alaric menatap langsung ke matanya sambil memegang gelas kopi.

“Duduk. Habiskan sarapanmu.”

Renzo memandangi Alaric sebentar, senyumnya mengembang kecil, tapi matanya tak lepas dari Aluna. Penuh pengawasan. Penuh rasa tak suka.

Aluna kembali duduk, pelan, dengan wajah datar. Tapi pikirannya mulai bekerja keras.

Meja itu terlalu sempit untuk tiga orang. Terlalu sesak untuk rahasia, untuk emosi dan untuk seseorang yang mulai kehilangan tempatnya.

Suara dering dari smartphone Renzo memecah keheningan ruang tengah. Ia baru saja menyelesaikan sarapannya ketika nama ‘Mommy’ muncul di layar. Wajah santainya sedikit berubah.

Ia menjawab panggilan itu sambil berdiri, membelakangi Aluna dan Alaric. 

“Ya, Mom…”

“Iya, aku langsung ke apartemen, enggak mampir ke rumah dulu…”

“Mommy, enggak perlu khawatir, aku baik-baik aja…”

Nada suara lembut itu perlahan berubah jadi lebih patuh. Lalu hening beberapa detik.

“Sekarang?”

“Okay, Renzo pulang sekarang.”

Renzo menutup telepon. Ia berbalik. Senyumnya tetap ada, tapi tidak seceria tadi.

“Mommy nyuruh pulang ke rumah. Katanya nggak sopan langsung ke apartemen tanpa sapa Mama sama Papa.”

Alaric langsung berdiri dari kursinya. Sigap. Refleks. Seolah tubuhnya sudah terbiasa bereaksi begitu saat Renzo butuh sesuatu.

“Gue antar.”

Renzo mengangkat tangannya, menolak halus.

“Jangan! Mommy udah kirim sopir. Dan jalanan masih licin karena hujan tadi malam, lo enggak perlu keluar.”

Alaric mengerutkan dahi. “Gue enggak masalah. Gue bis—”

“Lo baru nikah, Bang,” potong Renzo, nada bicaranya pelan tapi tajam. “Beritanya masih panas. Kalau paparazzi lihat lo lebih memilih nganter gue daripada menemani istri, artikelnya bisa meledak.”

Aluna menoleh dari sofa, matanya menyipit. “Mommy? Mama? Papa?”

“Mommy itu Mama tiri gue,” ujar Renzo lalu berjalan ke arah pintu.

“Telpon gue kalau udah nyempe,” ucap Alaric akhirnya.

Renzo menoleh, senyumnya tipis. Tapi matanya hanya menatap Alaric, bukan Aluna. “Selalu, Bang.”

Aluna menarik napas. “Lucu. Pernikahan ini cuma formalitas, tapi tetap terasa seperti orang ketiga.”

Alaric tidak menjawab. Ia hanya memandangi pintu yang baru tertutup, lebih lama dari seharusnya.

...***...

Langit mendung membalut sore yang murung. Aluna duduk di sisi sofa, tubuhnya membungkuk sedikit, rambut panjang tergerai menutupi sebagian wajah. Di tangannya, cangkir teh yang sejak tadi tak disentuh.

Alaric berdiri di dekat jendela, menatap keluar, satu tangan di saku celana, satu lagi memegang smartphone yang sudah lama ia matikan layarnya.

“Alaric…” Suara Aluna nyaris berbisik. “Benar kamu yang bunuh Rafael?”

Suasana membeku. Hanya detak jarum jam yang terdengar dan hujan ringan mulai menampar kaca.

Alaric tidak langsung menjawab. Ia membalikkan badan perlahan, lalu menatap Aluna dengan wajah datar.

“Ya.”

Aluna menarik napas tajam. Jemarinya meremas cangkir. “Kalau begitu… keluarga aku juga? Mama, Papa, adikku… semua kecelakaan itu…”

Alaric tidak menghindar. “Bukan aku,” katanya pelan. “Itu kehendak Tuhan.”

Tangan Aluna gemetar. Cangkir itu nyaris jatuh dari genggamannya. Ia menunduk, dan satu tetes air mata jatuh di lututnya yang terbuka karena hot pants satin yang ia pakai.

Ia sendiri. Benar-benar sendiri.

Dan satu-satunya orang di rumah itu adalah pria yang mencabut semua yang ia punya.

Alaric mendekat. Duduk di sandaran sofa, tak menyentuh Aluna.

“Tapi sekarang kamu bebas. Namamu sudah bersih. Manajermu menghubungiku tadi siang. Ada tawaran film—”

Aluna langsung menoleh cepat. “Kamu bicara dengan manajerku tanpa izin?”

Alaric mengangkat alis, santai. “Dia bagian dari kontrak perusahaan. Semua hal yang menyangkut kamu… harus atas sepengetahuanku.”

“Jadi aku ini... apa?” Aluna berdiri, menatapnya tajam. “Proyek? Properti perusahaan?”

“Kamu itu milik Alverio Group. Dan aku pemiliknya.”

Aluna tertawa kecut. Matanya basah, tapi suaranya dingin.

“Dan tawarannya? Genre sekolah tapi… 18+? Kamu juga setuju aku berperan seperti itu?”

“Itu yang laku di pasaran. Kamu butuh peran itu untuk bangkit. Dan kita—” Alaric berdiri, menghadapnya lurus, “—butuh kamu terlihat ‘baik-baik saja’ di media.”

Aluna mundur selangkah. “Kamu bukan suami. Kamu manajer, penculik, dan penguasa.”

Alaric menatapnya tenang. “Dan kamu menandatangani semuanya.”

...***...

Lampu studio menyala terang, menyinari set ruangan UKS yang dibuat semirip mungkin dengan ruang kesehatan sekolah elite. Tirai putih, ranjang kecil, lemari obat, dan kamera yang siap menangkap setiap sudut dari cerita.

Aluna, mengenakan seragam sekolah ketat—rok pendek plisket navy dan kemeja putih yang satu kancingnya dibiarkan terbuka—duduk di pinggir ranjang UKS sambil memegang naskah. Rambutnya dikuncir kuda, bibirnya diberi sedikit gloss yang membuatnya tampak lebih muda… dan lebih menggoda.

Di sisi ruangan, berdiri seseorang yang seharusnya tidak ada di sana: Alaric Alverio.

Setelan jas gelap, wajah dingin CEO, dan lencana tamu di dadanya. Ia berdiri diam di balik monitor sutradara, bersama manajer Aluna dan dua produser. Tapi hanya matanya yang tak berkedip, tertuju penuh ke satu titik: Aluna.

‘Take 1, Scene 23 – UKS, Ciuman’

Suara clapper terdengar.

Aktor lawan main Aluna—seorang pria muda tampan dengan jas sekolah yang terbuka separuh, turun dari meja periksa dan duduk di sebelah Aluna. Tatapan mereka bertemu. Aluna memiringkan kepala, senyum kecilnya muncul. Ia berperan… sempurna.

“Jangan bilang kamu bolos kelas cuma buat peluk aku.” Suara Aluna lirih, menggoda.

“Kamu lebih sehat dari semua vitamin,” balas aktor itu sambil menyentuh pinggang Aluna, menariknya mendekat.

Alaric tidak bergerak. Tapi rahangnya mengeras.

Sementara itu, di layar monitor, aktor itu menunduk perlahan, menyentuh bibir Aluna dengan ciuman—lembut di awal, lalu berubah jadi panas dan mendalam. Aluna menutup matanya, tangan aktor itu menyelip ke dalam bagian bawah kemeja.

Alaric mengepalkan jemari di balik saku jasnya. Ia tidak berkata apa-apa. Tapi dadanya sesak.

Bukan karena ciuman itu… Tapi karena bukan dia yang melakukannya.

Atau karena… Renzo pun belum pernah ia cium seperti itu.

Seketika pikirannya kacau.

“Cut! Bagus! Energinya dapet!” teriak sutradara.

Para kru bertepuk tangan. Aluna tersenyum lelah, menyeka sudut bibirnya dengan tisu, lalu berdiri. Matanya sempat bertemu dengan Alaric dari kejauhan.

Dan untuk pertama kalinya… Aluna melihat Alaric tidak sekaku biasanya. Ada api kecil di matanya. Api yang berbahaya. Api yang ingin membakar sesuatu… atau seseorang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!