NovelToon NovelToon

Lorenzo Irsyadul

Chapter 1: Alone

“Hari ini juga... sendirian,” bisiknya. Ia menatap cermin dengan mata sayu, wajah tirus, bayangan kosong.

Wajahnya pucat, matanya suram. Rambutnya berantakan, pakaiannya kusam. Ia berdiri sendiri di depan cermin, seperti bayangan yang kehilangan jiwa.

Di sekelilingnya, sampah berserakan tanpa ampun. Kasur reyot itu nyaris hancur dikunyah rayap, digerogoti tikus, dan disusupi kecoak. Sisa-sisa makanan manis di lantai diangkut kawanan semut, berbaris menuju lubang kecil di sudut belakang kamar.

Ia menunduk, berbicara dalam hati, "Tiga hari tanpa Ibu... rasanya tak tertahankan."

Perlahan, kepalanya terangkat. "Aku... ingin... mati saja."

Air mata jatuh tanpa henti. Wajah pucat nya tampak mengerikan. Kotoran mengering di pipi, bekas tonjokan membiru di sisi kanan, dan darah kering masih menempel di bawah hidungnya.

Tap. Tap. Tap.

Suara langkah pelan terdengar, menusuk keheningan yang menebal.

Ia melangkah mundur, belok kanan, berjalan lurus, lalu duduk.

Dapur tampak porak-poranda. Sampah berserakan, dan benda-benda tajam seperti pisau, pecahan piring dan gelas, serta garpu yang bengkok, mengotori wastafel.

Kulkas dibiarkan terbuka. Isinya membusuk, diselimuti lalat. Di langit-langit yang penuh debu, tikus-tikus berkeliaran tanpa takut.

Atap dipenuhi jaring laba-laba. Semua lampu, termasuk di dapur tempat ia duduk, pecah. Menyisakan kegelapan yang menelan setiap sudut ruangan.

Pecahan-pecahan kaca dibiarkan berserakan di atas meja makan, sofa, tempat tidur, lantai toilet, mesin cuci, hingga di atas televisi tabung yang sudah lama tak menyala.

Ia kembali berbisik cepat, tanpa jeda. Air matanya telah kering, tapi suaranya gemetar, penuh ketakutan. Wajahnya kacau, diliputi rasa bersalah yang tak tertahankan. "Seharusnya... aku mencegahnya."

Awalnya ia menunduk, lalu tiba-tiba mendongak cepat, menatap wastafel dengan wajah kacau yang belum berubah. "Ibu... seharusnya tidak pergi," bisiknya, kini lebih cepat dan panik.

Kedua tangan menempel di pipinya. Dalam ledakan rasa bersalah dan putus asa, ia mencakar wajahnya sendiri dengan jari-jarinya seperti pisau, mengoyak kulit hingga darah mengalir, menetes di lantai yang kotor dan dingin.

Ia bangkit dari duduknya dan berjalan cepat kembali ke kamar.

Begitu tiba di depan cermin, tanpa ragu ia menghantamkan tangan kanannya, lalu kiri berulang kali ke permukaannya.

Retakan menjalar, darah mengucur dari kedua tangan, menetes deras ke lantai. Namun ia terus memukul, seolah ingin menghancurkan bukan hanya kaca… tapi dirinya sendiri.

Napasnya memburu, tatapannya liar dipenuhi ketakutan. Ia melangkah maju semakin dekat, semakin gemetar, lalu tanpa ragu, membenturkan kepalanya ke pecahan kaca yang sebelumnya dihantamnya dengan kedua tangan.

Darah mengucur dari dahinya, menetes ke lantai tanpa henti. Ia mundur perlahan, keluar dari kamar, belok kiri, lalu berjalan lurus menuju pintu depan. Langkahnya gontai, namun matanya tak berkedip.

"Gara-gara mereka... Ibu hilang. Aku... aku harus..." ucapnya dalam hati.

Di depan pintu, ia menunduk sejenak. Lalu perlahan mengangkat kepala. Tatapannya berubah gelap, mengerikan, dan tak lagi manusiawi.

"Membunuh mereka semua." Ia membuka pintu dengan kasar, melangkah keluar, belok ke kiri, dan berdiri tepat di depan kamar nomor 6 yang awalnya bernomor 7 atau nomor tempat tinggalnya.

Tanpa ragu, ia menggedor dan langsung membuka pintunya secara paksa.

Begitu pintu terbuka, enam pasang mata menatapnya tajam. Wajah dingin, pakaian serba hitam, dan pistol besar tergantung di punggung masing-masing.

Tiga bersandar di kanan, dua di kiri, satu berdiri di tengah. Semua menunduk diam, seolah menunggu sesuatu.

Teriaknya pecah, menggetarkan udara bukan sekadar marah, tapi luka yang meledak. "Kembalikan Ibu padaku!!!"

Orang yang berdiri di depannya perlahan bangkit, melangkah maju, lalu tersenyum lebar. Dari saku kanannya, ia mengeluarkan pisau dan tanpa ragu, menusuk langsung ke arah jantungnya.

Darah mengalir dari mulutnya. Pandangannya mulai kabur, matanya terbuka lebar, lalu tubuhnya ambruk tergeletak di kaki orang itu. Sosok yang menusuknya menatap tajam. Mata merahnya, yang semula dipenuhi kesenangan, kini berubah menjadi murka.

Ia melompati tubuh korban dan mendarat tepat di punggungnya, berdiri di atas pisau yang masih menancap.

Tanpa belas kasihan, ia menginjak kepalanya berulang kali hingga suara teredam oleh darah yang terus dimuntahkan. Tak lama kemudian, tubuh korban diam. Mati.

Setelah tubuh korban tak lagi bergerak, ia turun dari punggungnya.

Menengadah, tatapannya dingin dan menjengkelkan. Membangkitkan amarah baru. Ia mencabut pisau dari jantung korban, dan cipratan darah menghantam wajahnya.

Setelah mencabut pisau itu, ia langsung mengarahkannya ke mata kanan korban, mencongkelnya keluar, lalu melakukan hal yang sama pada mata kiri.

Kedua bola mata jatuh ke lantai. Tanpa ragu, ia menancapkan pisau ke tengah kepala korban, lalu mengangkat tubuh itu dan melemparkannya keluar jendela dengan tenaga penuh. Tubuh itu terhempas, jatuh dari lantai atas apartemen.

Kedua bola mata korban yang jatuh ke lantai segera ia ambil dengan tangan kanan. Ia mengepalkan nya sejenak, lalu membuka telapak tangannya, tersenyum lebar. Mulutnya menganga dan tanpa ragu, ia menelan keduanya sekaligus.

Ia menutup pintu. Seketika, seluruh ruangan dipenuhi tawa terbahak-bahak dari orang-orang di dalamnya.

Dalam kegelapan itu, di dinding belakang, tergantung sebuah lukisan aneh. Terlihat seorang anak kecil tengah menginjak-injak seekor anak anjing. Darah muncrat ke segala arah, membanjiri lukisan pantai yang semula tenang, kini ternoda merah sepenuhnya.

Tubuhnya terjatuh tanpa terlihat siapa pun, lalu menghantam tumpukan sampah di bawah apartemen busuk, penuh sisa busuk.

Sekawanan lalat beterbangan, dua kecoak merayap keluar, dan seekor tikus muncul dari balik tumpukan, terganggu oleh kedatangannya yang tiba-tiba.

Sekelilingnya berubah gelap total. Suara-suara aneh berputar mengitari tubuhnya, menggema seperti bisikan dari tempat yang tak dikenal. Ia tak bisa bicara, tak bisa melihat, dan tubuhnya terkunci tanpa daya.

Kegelapan di hadapannya bukan sekadar gelap. Ia seperti kehampaan tanpa ujung, tanpa dasar.

Lalu, suara langkah kaki mulai terdengar… dari segala arah. Makin dekat. Makin nyata. Dan tiba-tiba ... langkah itu berhenti, tepat di hadapannya, dan…

“AAAHHH!” teriaknya, lalu terbangun dengan tubuh masih terbaring.

Mulutnya terbuka, kini bisa berbicara. “Te… tempat apa ini?” gumamnya panik, matanya menatap ke kiri dan kanan, perlahan mulai bisa melihat dengan jelas.

Tiba-tiba, sebuah suara terdengar mengagetkannya. “Apakah kau ingin hidup lagi?”

Nada suara itu terdengar seolah tersenyum… lebar, dingin, dan penuh teka-teki.

Ia mendengar suara itu dan segera menoleh ke depan. “Eh...?” gumamnya, terkejut kecil. Tak ada siapa pun di sana.

Ia menoleh ke kanan, ke kiri, lalu ke belakang. Masih kosong. Ia berdiri, berjalan lurus beberapa langkah… tetap tak ada siapa pun di sekitarnya.

“Si—siapa di sana?!” teriaknya kencang, menatap lurus ke depan. Suara itu kembali terdengar, masih dengan nada yang sama, tenang, namun seolah menyeringai di balik gelap.

"Kau ingin pergi ke alam baka... atau menyelamatkan ibumu?." Suara itu bertanya tenang.

Mendengar itu, ia tersenyum tipis penuh harap. Lalu berbicara pelan pada suara yang entah dari mana berasal.

“A-apakah... aku benar-benar bisa... menyelamatkan ibuku?” tanyanya dengan suara terbata-bata.

Suara itu tak menjawab pertanyaannya. Sebaliknya, ia justru balik bertanya. “Tapi... apakah kau benar-benar ingin menyelamatkannya?”

Percaya sepenuhnya pada suara itu, ia tersenyum lebar. Matanya terpejam rapat, seolah menyerahkan segalanya. “Ya,” jawabnya singkat, tanpa ragu.

Suara itu mendekat, lalu membisikkan sesuatu di telinga kanannya pelan. "Kalau begitu... mau kembali ke duniamu?"

“Y-ya... a-aku ingin kembali,” jawabnya terbata, dengan senyum kecil di wajahnya.

Ia tetap menatap lurus ke depan. “A-apa… syaratnya?” tanyanya pelan, penuh harap.

Suara itu tak langsung menjawab. Hanya melanjutkan bisikannya, kini dengan pertanyaan yang berbeda. "Hidupmu tak akan sama. Kau harus menjalani hidup yang baru... apakah kau keberatan?"

Matanya membelalak. Ia menunduk, berpikir sejenak. Sunyi. Lalu perlahan, raut wajahnya berubah penuh keyakinan. Keputusannya sudah bulat. "Kalau aku bisa menyelamatkannya, maka tak peduli apa yang terjadi, aku tidak keberatan."

Suara itu menghilang. Kesadarannya mulai memudar. Tubuhnya kehilangan kendali, bergoyang ke kiri dan kanan tanpa arah, lalu ambruk ke depan. Matanya yang semula masih terbuka sedikit... perlahan tertutup rapat, tenggelam dalam gelap.

Tiba-tiba, ia terbangun dan langsung bangkit dengan cepat. “AAAA!!!” teriaknya keras, penuh panik dan ketakutan.

Ia menatap sekeliling dengan wajah pucat. Keringat membasahi wajah dan lehernya. Napasnya tersengal saat ia bergumam lirih. “T-te… tempat a-apa ini…?”

Ia terbaring di sebuah kamar pasien bernuansa putih, mengenakan pakaian rumah sakit yang sama pucat nya. Penampilannya berbeda, lebih bersih, namun penuh luka. Selang infus terpasang di tangan kanan dan hidungnya. Beberapa perban putih membalut dahi, lengan kanan, dan kaki kirinya.

“A-apa… yang sebenarnya t-terjadi…?" ucapnya lirih dengan suara terbata-bata.

Bersambung...

Chapter 2: Hospital

Selimut putih yang menutupi tubuhnya ia singkap perlahan. Tampak jelas kini ia mengenakan baju biru khas pasien rumah sakit. “Baju ini...” gumamnya, tatapannya segera menyapu sekeliling ruangan.

“Rumah sakit,” bisiknya, seolah baru menyadari di mana ia berada. Matanya kembali menatap bajunya, lalu tanpa ragu ia membuka kancingnya. “Perban?” ujarnya pelan, melihat balutan putih yang melilit tubuhnya.

Bagian perut, pusar, dan dadanya terbalut perban putih. “A-apa yang terjadi...?” gumamnya dengan suara gemetar. Tatapannya beralih ke sisi kanan dan tanpa berpikir panjang, ia mencabut infus yang tertanam di tangan kanannya, juga selang oksigen yang menempel di hidungnya.

Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan menuju pintu keluar yang tertutup rapat. Di dekatnya, tergantung sebuah cermin besar. Saat ia berdiri di hadapannya, matanya terpaku pada bayangan dirinya sendiri.

“W-wajahku...?!”

Rambutnya kini hitam legam dengan gaya spiky yang acak-acakan, sementara bola matanya berwarna merah menyala begitu mencolok, begitu asing. “Mata, rambut... tinggi badanku juga... bahkan wajahku...” Ia menatap lekat bayangan dirinya. “Semuanya berubah.”

Pandangannya menyapu sekeliling ruangan hingga tertuju pada sisi kiri, di ujung dekat pintu keluar, sebuah dinding putih dengan kaca tebal membentang di depannya. Ia segera berjalan cepat ke sana. Kaca yang tertutup itu ia geser ke kiri, dan pemandangan di baliknya langsung menyambutnya. Lingkungan yang asing, jauh berbeda dari yang pernah ia kenal.

Gedung-gedung tinggi menjulang, jalanan yang asing, dan arsitektur yang tak dikenalnya, semua terlihat berbeda, seolah bukan lagi negara tempat ia berasal. “Negara ini... Amerika Serikat... lebih tepatnya, Brooklyn, New York,” ucapnya pelan. Ia tahu pasti bahwa itulah kenyataannya.

Tiba-tiba...

Krekkk...

Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras, membuatnya refleks membalikkan badan. Seorang wanita berdiri di ambang pintu. Berambut panjang lurus berwarna merah, bermata hitam, dan mengenakan gaun putih one-piece. Tatapannya membelalak kaget.

“AaAA—!” teriaknya panik.

Tanpa pikir panjang, wanita itu langsung menghampirinya dan memeluknya erat. Kepalanya secara tak sengaja bersandar ke dadanya, membuatnya sontak terkejut dan wajahnya memerah hebat.

“Si-siapa kau?!” teriaknya kencang, suaranya menggema hingga memenuhi seluruh ruangan.

Wanita itu langsung menangis keras, air matanya mengalir deras. “Uwa aaahhh... Widlie jahat!!” isaknya sambil berdiri tegak dengan emosi.

“Widlie... Jadi, itu nama pria ini?” pikirnya, tatapannya masih tertuju pada wanita yang menangis di depannya. “Lalu... siapa sebenarnya wanita ini baginya?” Ia menarik napas pelan. “Yang jelas, aku harus menenangkannya dulu.”

Tanpa berpikir panjang, ia memeluk wanita itu kembali, mencoba menenangkannya. Tangisnya perlahan mereda, lalu wanita itu justru memeluknya lebih erat.

“A-apa aku... melakukannya dengan benar?” pikirnya gugup, wajahnya memerah. “Se-sepertinya, iya. S-sekarang... a-apa yang harus ku-katakan?”

Ia terdiam sejenak, berpikir singkat, lalu membalas dengan senyum kecil. “Si-siapa ya?” ujarnya, mencoba bercanda di tengah kebingungannya.

“Eeehh?” Ia segera menarik tubuhnya sedikit menjauh, lalu menatap wajah pria itu dengan kaget. “Widlie, kamu lupa aku?! Ini aku, Scarlett—istrimu! Kamu benar-benar lupa?!”

Melihat Scarlett hampir menangis lagi, Widlie refleks memeluknya lebih erat, mencoba menenangkannya. Ia tersenyum lebar, meski wajahnya tampak gugup.

“T-tentu saja tidak...” gumamnya pelan. Lalu, dengan wajah memerah, ia memberanikan diri mengucapkan kata yang terasa asing tapi familiar di lidahnya.

“Ho-ho-honey...”

Apa yang dikatakannya membuat Scarlett langsung mundur beberapa langkah. Wajahnya memerah terang, nyaris seperti tomat, dan seolah-olah asap mengepul dari kepalanya. Tubuhnya mulai goyah, kehilangan keseimbangan... lalu jatuh pingsan.

“Ehehehe...” Senyum kecil masih tergurat di wajahnya saat ia ambruk, bahkan... sempat mimisan saking malunya.

Tanpa pikir panjang, Widlie segera melangkah mendekatinya. Ia berjongkok di samping tubuh Scarlett yang pingsan, lalu mulai mencari-cari di mana ponsel milik wanita itu disembunyikan.

Srek, srek, srek...

Ponselnya ternyata berada di saku kanan celana hitam yang dikenakan di balik gaun putih one-piece itu. Setelah menemukannya, Widlie segera mengambilnya, lalu berdiri dan menghadap ke depan. Tanpa membuang waktu, ia menekan tombol daya untuk menyalakannya.

“Password!” gumamnya kaget, melihat enam digit yang harus diisi.

“Jangan-jangan...” Ia langsung mencoba menuliskan sesuatu yang terlintas di pikirannya.

“Ternyata benar,” bisiknya pelan. “Sepertinya... wanita ini memang benar-benar istrinya.” Begitu ponsel terbuka, ia segera mencari aplikasi catatan. Setelah menemukannya, ia langsung menekannya tanpa ragu.

Salah satu judul catatan menarik perhatiannya: “Catatan Keluarga.” Tanpa ragu, ia membukanya, berharap bisa mendapatkan petunjuk lebih.

Tertulis di dalamnya:

Widlie Martin — pria, 25 tahun

Scarlett Victoria — wanita, 26 tahun

Carina Johanson — ibu Widlie, 50 tahun

Ia membaca dengan seksama, mencoba mencerna hubungan mereka satu per satu.

Tak ada lagi informasi penting yang bisa dibaca dari catatan itu. Ia menutupnya dan segera menelusuri daftar catatan lainnya, berharap menemukan sesuatu yang lebih berguna.

Sebuah judul menarik perhatiannya: “Catatan Keluarga #2.”

Ia menekannya dan mulai membaca:

“Aku adalah istri dari Widlie, dan anak angkat dari ibu Widlie, Carina Johanson. Nyonya Carina sangat cantik, dan aku sangat menghormatinya.”

Ia melanjutkan pencariannya, hingga menemukan satu lagi catatan dengan judul mencolok: “Ayah Fucking Shit.”

Meskipun terdengar kasar, Widlie tetap menekannya tanpa ragu. Ia ingin tahu lebih banyak, judul tak akan menghentikannya.

Isi catatan itu terbuka:

“Aku dan Widlie tidak memiliki sosok ayah. Nyonya Carina memilih untuk tidak menikah lagi setelah suaminya, Chorus Cleftrik, meninggalkannya tak lama setelah melahirkan Widlie. Sejak saat itu, aku selalu menganggap sosok ‘ayah’ sebagai sesuatu yang menjijikkan.”

Ia terus menelusuri catatan demi catatan, hingga matanya tertumbuk pada satu entri baru: “Hari ini, 16 Mei 2003.”

Ia membacanya perlahan.

“Ini... kemarin,” gumamnya, mata membelalak.

“Berarti... Widlie tak sadarkan diri selama satu hari penuh... dan aku...”

Ia terdiam sejenak, napasnya tertahan. “...aku mati kemarin.”

Rasa penasarannya memuncak. Tanpa menunda lagi, ia menekan catatan itu dan mulai membacanya.

“Hari ini adalah hari pertama kami menikah... dan aku berniat menjebaknya. Aku berhasil—Widlie sudah mati! Ahahaha!”

Ia menelan ludah saat membaca baris berikutnya:

“Kalau dia hidup lagi, bagaimana, ya? Hmm... gampang. Akan ku tipu lagi.”

Widlie terdiam, matanya terpaku pada layar. Kata-kata itu menghujam keras, antara kenyataan dan pengkhianatan yang tak bisa ia pahami sepenuhnya.

Begitu selesai membaca catatan itu, wajahnya seketika pucat. Rasa takut menyergap, membuatnya buru-buru mengembalikan ponsel itu ke tempat semula, seolah tak ingin ketahuan pernah membukanya.

Tak lama kemudian, Scarlett mulai membuka matanya perlahan. Ia bangkit dalam posisi duduk, lalu berdiri tegak dengan ekspresi canggung.

“Aaaa... Widlie, maaf,” ucapnya lirih sambil menundukkan kepala, tak berani menatap wajah suaminya.

Rasa bersalah yang terlihat jelas dari wajahnya membuatnya bahagia. “Tidak apa-apa kok, Scarlett.”

Tanpa berkata apa-apa, Scarlett melangkah cepat ke arahnya. Tiba-tiba, ia menariknya dalam pelukan dan menciumnya dalam, penuh gairah, seolah semua emosi meledak dalam satu momen. Widlie membalas ciuman itu dengan sama brutalnya.

Begitu keduanya melepaskan diri, napas mereka memburu... dan wajah mereka memerah hebat.

Setelah menyelesaikan semua urusan biaya di Billing Office, Widlie langsung melangkah keluar menuju mobil milik mereka berdua.

“Widlie, ayo masuk!” seru Scarlett dari kursi pengemudi sambil tersenyum cerah. “Aku yang nyetir kali ini!”

Widlie segera menolak tawarannya. “B-biar aku saja yang nyetir!” ujarnya cepat, nada suaranya terdengar gugup tapi bersikeras.

“Eehh... o-oke,” jawab Scarlett sedikit bingung, namun menuruti permintaannya.

Mereka berdua kini sudah berada di depan sebuah SUV Ford Explorer berwarna hitam. Widlie segera masuk ke kursi pengemudi dan mulai menjalankan mobil.

“Aku... tak bisa menyetir mobil,” gumamnya dalam hati, menyadari sesuatu. “Berarti... hanya jiwaku saja yang berubah. Tubuh ini benar-benar milik pria bernama Widlie.”

Ia melirik sekilas ke arah Scarlett yang duduk di sebelahnya.

“Sekarang... apa yang akan dilakukan wanita ini padaku? Kalau tadi aku saja sudah panik waktu dicium... jangan-jangan, kalau aku terlihat takut lagi... nyawaku yang dalam bahaya.”

“Yah... nggak usah dipikirkan lagi,” gumamnya. “Sekarang waktunya fokus nyetir, ikuti saja arahan yang muncul di kepala ini.”

Ia keluar dari gerbang Rumah Sakit Incheon, membelok ke kanan, lalu melaju lurus melewati deretan bangunan, kendaraan lalu lalang, dan pejalan kaki yang sibuk dengan aktivitas mereka. Setelah menempuh jarak sekitar lima kilometer, akhirnya Widlie dan Scarlett tiba di rumah.

Sebuah rumah bergaya Fachwerk berdiri anggun di hadapan mereka, lengkap dengan taman kecil yang asri dan area parkir pribadi—tempat tinggal keluarga ini.

“Ayo masuk ke dalam!” ajaknya sambil menggenggam tangan kanan Widlie dengan lembut.

Widlie hanya tersenyum kecil. “Ayo,” jawabnya singkat, membalas ajakannya tanpa ragu.

Scarlett membuka pintu, dan... pemandangan mengerikan langsung menyambut mereka.

Seorang wanita terbaring dengan tubuh menganga. Organ-organ dalamnya menjulur keluar dari perut yang terbuka lebar. Ginjalnya tinggal satu, paru-parunya masih utuh namun penuh noda darah, usus berserakan tak beraturan. Tatapan matanya membeku dalam ketakutan, sementara jantungnya... lenyap. Seluruh tubuhnya dilumuri darah yang telah mengering sepenuhnya.

Scarlett dan Widlie, masih dengan senyum kecil di wajah mereka, perlahan menatap sosok wanita itu. Namun senyuman mereka berubah. Mata mereka kini menatap dengan tatapan mengerikan, dingin, dan penuh sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

“IBUUU!!!” teriaknya kencang, berlari ke arah tubuh itu. Ia langsung meraih kepala sang wanita dan meletakkannya di atas pahanya, gemetar.

“AAA—!”

Tiba-tiba, dari mulut Scarlett menyembur darah dalam jumlah banyak. Wajahnya berubah drastis. Mengerikan, matanya melotot penuh kemarahan.

“WIDLIEEEE... HARUSNYA KAU MATI SAJ—”

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, tubuhnya mendadak lemas dan terjatuh terlentang di lantai.

Di belakangnya terbaring ibu kandungnya tak bergerak, sunyi. Sementara di depannya... Istrinya. Sosok Scarlett tampak mengerikan, dengan darah mengalir dari setiap inci tubuhnya, seolah keluar dari pori-pori tanpa henti. Pemandangan itu begitu nyata... dan begitu mengganggu.

Widlie gemetar ketakutan, matanya masih terpaku dengan tatapan yang sama—tak percaya, campur panik.

“Ibuku dan... Scarlett?” bisiknya pelan. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?”

Kepalanya terasa penuh. “Sekarang... aku harus sedih? Atau justru... bahagia?”

“Saat ini... di ruang tamu ini... aku adalah tersangka,” gumamnya, suara lirih penuh tekanan.

Tubuhnya bergetar, ketakutan merambat cepat ke seluruh tubuhnya. Ia perlahan membalikkan badan, napasnya memburu. “A-aku harus pergi dari sin__i,” bisiknya, nyaris tak terdengar, sebelum kakinya mulai melangkah mundur dengan gemetar...

Seorang wanita muncul di hadapannya. Berambut pirang bergelombang panjang, berkulit putih bersih, dan bermata biru tajam. Ia mengenakan blouse sederhana dan celana jeans, berdiri dengan tenang namun penuh tanda tanya.

Dengan ekspresi datar, ia menatap Widlie dan bertanya pelan, “Kenapa kau terlihat ketakutan?”

"Si-siapa...?” tanyanya dalam hati, masih dalam kondisi yang sama—gemetar, diliputi ketakutan dan kebingungan.

Pertemuan yang seharusnya tak pernah terjadi... justru terjadi. Entah hasilnya baik atau buruk, semuanya tetap harus ditanggung. Itulah konsekuensinya.

Bersambung...

Chapter 3: Home

Chapter 3: Home

Wanita itu menatapnya tanpa ekspresi, tatapannya datar namun menusuk. Rasa penasaran perlahan menyelimuti dirinya, terlebih setelah melihat sekilas ketakutan luar biasa yang terpancar dari wajah pria itu. Tak kuasa menahan diri, ia akhirnya bertanya pelan, “Ada apa di belakangmu?”

Ketakutan kembali mencengkeram Widlie. Tubuhnya gemetar saat wanita itu melangkah mendekat tanpa ragu. Tanpa berkata apa pun, ia menggeser Widlie ke samping kiri dan tetap melangkah maju. Wajahnya tak berubah, tetap datar, bahkan saat matanya menatap langsung pada sesuatu yang mengerikan.

"Apa yang terjadi di sini?" tanyanya tenang, tanpa sedikit pun perubahan di wajahnya.

Ia buru-buru menjawab, membalikkan badan dan berdiri di satu garis dengannya. “A-aku tak tahu… w-waktu Scarlett menyentuhnya… da-darah keluar dari… seluruh tubuhnya…”

Ia menerima jawaban itu tanpa ekspresi. “Begitu, ya.” Tanpa ragu, ia melangkah ke depan, menuju posisi di tengah-tengah antara Scarlett dan Carina.

Bagian tubuh Scarlett yang paling parah terlihat adalah matanya. Kedua matanya terus mengalirkan darah tanpa henti, dengan tatapan marah yang tak bisa tertutup. "Sepertinya, Scarlett... Diancam," ucapnya tanpa ekspresi.

Widlie belum sempat bertanya ketika kata-katanya tertahan begitu saja. "Nyonya Carina... korban," katanya dengan nada dingin.

Ucapannya sama sekali tak dimengerti Widlie, dan saat ia hendak bertanya, wanita itu tiba-tiba membalikkan kepala ke kiri. "Lalu, kau... sudah ditipu," katanya pelan namun tajam.

"Siapa wanita ini? Apa dia berkata... yang sebenarnya?" Wajahnya tetap tanpa ekspresi, hanya mulutnya yang terbuka sedikit. Tanpa memberi celah untuk bertanya, wanita itu kembali berbicara, seolah tak peduli pada reaksinya.

"Siapa kau? Tubuh dan pikiran itu milik dia, tapi jiwanya... bukan. Siapa kau sebenarnya?" tanyanya dengan suara tenang, namun matanya setajam es.

Pertanyaannya membuatnya semakin ketakutan. Tubuhnya mulai gemetar, giginya bergemeletuk keras, dan ia menundukkan kepala. "Kenapa dia tahu? Tebakan? Bukan... bukan... bukan."

Pandangannya kosong, menatap lurus ke depan. "Wajah datar... acuh tak acuh... tapi bisa menebak, atau lebih tepatnya... kemampuannya." Ia mengembuskan napas pelan, lalu mengangkat kepala dan menatapnya dengan serius.

Meskipun ditatap seperti itu, ekspresinya tetap tak berubah. "Tolong... pertama-tama, panggilkan polisi!" pintanya dengan suara bergetar.

Ia segera menelepon. Begitu selesai, ia menyelipkan ponselnya kembali ke saku kanan. "Sudah. Apa lagi?" tanyanya singkat.

"Kita tunggu sampai polisi datang. Oh iya, punya rekomendasi Starbucks terdekat?"

Ia sempat berpikir sejenak, lalu menjawab, "Satu kilometer dari sini. Belok kanan, lalu lurus terus."

Setelah mendengarnya, ekspresinya tetap tak berubah. "Aku mengerti. Sekarang, mari kita tunggu polisi datang ke sini, Nona..."

"Liliana. Liliana Wezalsky, 25 tahun. Sekarang, siapa nama dan usiamu serta siapa nama tubuh yang kau huni?" tanyanya balik padanya.

Ia langsung menjawab cepat, "Widlie Martin, umur tidak diketahui. Lorenzo Irsyadul, 25 tahun."

"Oke. Kalau begitu, kita tunggu saja," ucap Liliana.

"Ya," jawab Lorenzo singkat.

Sepuluh menit kemudian, mobil polisi tiba di lokasi. Tiga petugas berseragam NYPD keluar dari dalamnya.

Yang pertama turun adalah pria berkulit hitam dari kursi belakang, lalu wanita berkulit putih dari kursi depan kiri, dan terakhir pria berkulit sawo matang dari kursi depan kanan.

Seorang petugas wanita bersama dua rekan prianya mendekat. Mereka berdiri berhadapan. Empat ekspresi tanpa emosi, satu dengan wajah pucat ketakutan.

Dengan suara pelan, orang yang ketakutan atau Lorenzo berkata, "Kami hanya menemukannya, seperti yang sudah kami jelaskan. Kami akan pergi." Ia menunduk, diikuti Liliana. Petugas mengangguk singkat dan membiarkan mereka pergi, karena keduanya memang tidak terkait langsung dengan kasus ini.

Ia menceritakan bahwa dirinya, Widlie Martin, menemukan dua wanita bersimbah darah. Satu tergeletak di depan, kehilangan beberapa anggota tubuh, dan satu lagi di belakang, tubuhnya kering tanpa darah.

"Jangan sentuh kedua mayat itu," katanya tegas.

"Dan tolong lakukan sesuatu untuk menguburkan kedua mendiang ini... meski aku tak tahu siapa mereka."

Hanya begitu saja. Mereka berdua berjalan di sisi kiri jalan, menyusuri arah yang sama. Langit cerah membentang di atas mereka, sementara di sepanjang jalan tampak rumah-rumah berpagar, beberapa kendaraan bermotor yang melintas, dan pejalan kaki yang lalu-lalang.

Di ruang tamu, dua pria duduk berdampingan. Pria berkulit hitam di bagian belakang, pria berkulit sawo matang di depan. Seorang wanita berdiri kaku di tengah mayat, memandangi pemandangan mengerikan di hadapannya.

Kondisi kedua mayat memburuk dengan mengerikan. Darah mengucur deras dari rongga mata hingga bola mata mereka terlepas, menggelinding turun dan kini tergeletak di atas dada, menatap kosong ke langit-langit, seolah masih menyaksikan kengerian terakhir mereka.

Mulutnya menganga lebar, memuntahkan darah begitu banyak hingga seluruh giginya tercabut dan berserakan. Dua puluh kuku dari jari tangan dan kaki juga tercabut, tersusun rapi di ujung aliran darah yang telah mengering, seolah seseorang dengan sengaja menatanya sebagai peringatan.

Yang paling mengerikan adalah pakaiannya yang hangus dan compang-camping, memperlihatkan bagian dalam tubuhnya, organ-organ yang remuk dalam kondisi serupa dengan mayat yang satunya. Sosok berkulit hitam menatap temannya di depan dengan ekspresi kaku dan pucat.

“Corobo… bagaimana kita mengangkut kedua mayat ini?” tanyanya, suara nyaris tenggelam dalam ketegangan yang menggantung di udara.

Corobo menjawab tanpa ragu, suaranya tenang namun menusuk. “Biarkan saja. Cepat atau lambat, mereka akan membusuk dan lenyap seperti yang lain.”

“Corobo, jangan bicara seperti itu! Kita harus menangani keduanya dengan benar,” tegur wanita berkulit putih yang berdiri di antara mereka, suaranya tegas namun sarat kegelisahan.

Tersenyum lebar. “Harlet, Busko, mau mencoba menyentuh salah satu dari dua wanita ini!” ajaknya.

Harlet, wanita berkulit putih itu, langsung menegurnya dengan nada setengah mencela. Ia menghela napas panjang. “Haaah... Kalau kau tetap nekat, kau bisa mati, lho, Corobo!”

Busko menimpali, suaranya berat dan serius. “Harlet benar, Corobo. Kalau kau lakukan itu, kau akan mati.”

Saran keduanya diabaikan begitu saja. Sebaliknya, Corobo menatap mereka dengan sinis dan melemparkan satu kata penuh ejekan:

“Pengecut.”

Ucapan singkat itu langsung memicu reaksi. Tangan kanan mereka serempak terarah pada tubuh Scarlett dan tubuh Carina.

“Mayat seperti wanita tua ini mustahil bisa membunuh,” ujar salah satu dari mereka dengan nada mengejek. “Kalau begitu, Corobo… kenapa kau tidak mencobanya lebih dulu?”

Mendengar itu, Corobo langsung membalas dengan tajam, suaranya penuh ejekan. “Harlet si pengecut. Jadi gelar salah satu wanita terkuat itu cuma omong kosong, ya?” Ucapannya menusuk, jelas ditujukan untuk memancing emosi.

“Jadi Harlet ternyata pengecut, ya? Biar aku dan Corobo saja yang mulai duluan.”

Mendengar provokasi dari kedua temannya, Harlet mendengus kesal. Ia langsung bersiap, meniru gerakan mereka. “Aku bukan pengecut!!” teriaknya lantang, membela diri. “Ayo kita lakukan bersama-sama!!” serunya, kini dengan semangat menyala.

Corobo, Busko, dan Harlet serempak meletakkan tangan kanan mereka, namun tak terjadi apa pun pada tubuh mereka. “Ternyata kau benar, Corobo,” ujar Busko dan Harlet hampir bersamaan, nada suara mereka mengandung rasa lega sekaligus kagum.

“Kekeke,” ia tertawa pelan, penuh ejekan.

“Sudah kubilang, kalian ini pengecut. Mana mungkin kita bakal jadi mayat hanya karena menyentuh salah satu dari kedua korban in—” Ucapannya terhenti, seolah sesuatu baru saja mengusik keyakinannya.

Brukk

Kepalanya terjatuh lebih dulu, tubuhnya menimpa Scarlett. Darah mengucur deras dari retakan di tengkoraknya. Kedua temannya menjerit dan dalam sekejap, hal yang sama menimpa mereka.

Pakaian ketiganya hancur, bahkan ada yang lenyap begitu saja, seolah dilahap oleh sesuatu yang tak kasatmata. Dari perut mereka, isi organ memuncrat keluar tanpa ampun. Telapak tangan dan kaki mengelupas, kulit tersobek, dan darah mengalir deras, membentuk genangan mengerikan di lantai.

Sebelum darah mereka sempat mengering, cairan merah itu mengalir membentuk huruf-huruf, seolah ditulis oleh tangan tak terlihat.

Dalam bahasa Inggris, terbaca jelas tiga kata:

Touch. Die. Next.

Mereka berdua duduk di bangku tengah, tepat di meja nomor 5, di sebuah Starbucks bernama DuckyClone. Di atas meja, tampak dua caffè latte dalam cup plastik putih, masing-masing berlogo biji kopi berwarna hitam.

Hampir semua meja di kafe itu telah terisi pengunjung. Hanya satu meja yang masih kosong, meja nomor 1 yang terletak di sisi kiri ruangan.

Widlie atau Lorenzo yang duduk di sisi kanan meja tengah, membuka percakapan lebih dulu. Ekspresinya datar dan serius, ketakutan yang tadi sempat terlihat kini telah lenyap. Ia menggenggam cup caffè latte dengan tangan kanannya.

“Liliana, menurutmu... reinkarnasi itu nyata?” tanyanya pelan, sambil menyeruput minumannya perlahan.

Ia menyeruput minumannya sejenak sebelum menjawab. “Tidak,” katanya singkat.

Lalu, setelah terdiam sejenak dan menatap lurus ke depan, ia menambahkan, “Setelah melihatnya… iya.”

Ia tersenyum tipis. “Begitu, ya,” gumamnya pelan.

Lalu ia menatap lawan bicaranya dan bertanya, “Jadi, apa yang sebenarnya kau cari di rumah pria bernama Widlie ini?”

Liliana mengangkat kepalanya, menatap ke atas sejenak, lalu menjawab dengan tenang, “Widlie dan aku teman masa kecil. Kami bekerja bersama di D.A.E. Hari ini__”

Lorenzo, yang tampak kebingungan, segera memotong penjelasannya. “D.A.E.?” tanyanya cepat, alisnya sedikit berkerut.

“Destroy All Enemies. Secret Police. Mungkin kau pernah dengar,” jawabnya sambil kembali menyeruput minumannya.

Lorenzo menggeleng pelan dan menjawab dengan jujur, “Aku tidak tahu. Soalnya aku tinggal di Jepang.”

“Kalau begitu, mau ku ceritakan semuanya tentang D.A.E.?” tawarnya dengan nada antusias.

Lorenzo tersenyum tipis, lalu wajahnya kembali datar. Ia menatap serius dan menjawab tegas, “Ceritakan semuanya padaku,” pintanya dengan nada memohon.

“Baiklah. Kalau begitu, aku akan ceritakan semuanya.”

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!