NovelToon NovelToon

CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

Malam Pertama Tanpa Cinta

“Kau yakin ingin menjual dirimu untuk ini?”

Suara Bu Melani, wanita berumur dengan penampilan elegan, terdengar menusuk dalam keheningan kamar hotel bintang lima itu.

Aku hanya mengangguk. Tak mampu bersuara. Tenggorokanku kering, dan napasku terasa berat seolah paru-paruku enggan menerima kenyataan ini.

Di tanganku, selembar kertas kontrak. Satu malam. Tanpa nama. Tanpa ikatan.

Sebagai imbalannya, keluargaku bisa terbebas dari utang tiga ratus juta rupiah, jumlah yang tak akan sanggup aku kumpulkan walau bekerja sepuluh tahun ke depan.

Aku Lana Ayudia.

Bukan siapa-siapa. Hanya gadis miskin yang harus putus kuliah dan bekerja serabutan demi ibu yang sakit dan adik yang masih sekolah. Ayahku kabur bertahun-tahun lalu, meninggalkan kami tenggelam dalam utang dan penyesalan.

Dan malam ini... aku menjual keperawananku.

Bukan karena aku murahan. Tapi karena hidup memaksaku memilih: kehormatan atau keluarga.

“Klien sudah datang,” ucap Bu Melani, melihat layar ponsel. “Namanya... Mr. L.”

Mr. L.

Nama yang terdengar seperti tokoh dalam film thriller. Misterius. Dingin. Tidak ingin dikenal.

Aku mengangguk pelan.

Tubuhku berbalut gaun malam hitam selutut, punggung terbuka, bahannya tipis dan dingin. Aku bahkan tak mengenali bayangan diriku di kaca besar kamar hotel. Rambutku disanggul setengah, bibir diberi warna merah pudar. Mataku tampak kosong.

Tok. Tok.

Pintu itu diketuk.

Jantungku seakan berhenti berdetak. Tanganku gemetar saat Bu Melani berjalan membukanya.

Dan pria itu masuk.

Tinggi. Tegap. Bersetelan jas hitam sempurna. Wajahnya tajam, rahang kokoh, dan sorot matanya—Tuhan… sorot itu seperti jurang gelap yang menarikku masuk.

Ia memandangku tanpa senyum.

Matanya menyapu tubuhku, membuat kulitku merinding walau AC ruangan tak begitu dingin.

"Keluar," ucapnya datar pada Bu Melani.

Wanita itu segera pamit dengan tunduk hormat, lalu menutup pintu. Kini hanya kami berdua.

Aku menunduk, tubuhku gemetar. Tapi suara langkah kakinya mendekat cepat.

“Berapa umurmu?” tanyanya tajam.

“D-dua puluh dua...” jawabku nyaris tak terdengar.

“Hm. Cukup legal.”

Dia melepaskan jasnya dan meletakkannya di sofa. Lalu dengan santai, membuka kancing kemejanya satu per satu sambil tetap menatapku.

Aku merasa ingin pingsan.

Tak pernah kusangka malam pertama dalam hidupku akan seperti ini,bukan dengan cinta, bukan dengan kelembutan… tapi dengan transaksi dingin.

“Lihat aku,” katanya pelan, tapi tegas.

Aku mengangkat wajah. Dan untuk pertama kalinya, mata kami bertemu.

Tatapannya menusuk.

Bukan seperti pria biasa. Mata itu... seolah menyimpan luka yang dalam dan kemarahan yang nyaris tak bisa dijinakkan.

Ia melangkah lebih dekat. Tangannya meraih daguku.

Lembut, tapi mengancam.

"Mulai malam ini," bisiknya pelan, "kau milikku. Tubuhmu... perasaanmu… semuanya."

Deg.

Jantungku berdetak kacau. Tapi aku tak punya hak untuk melawan. Aku sudah menandatangani kontrak. Sudah menukar harga diriku.

Dia mencium leherku. Napasku tercekat.

Dan dalam sekejap, semua runtuh. Benteng pertahananku, keperawananku… hilang dalam malam yang dingin, tanpa cinta, tanpa harapan.

 

Keesokan paginya

Aku bangun dengan tubuh nyeri, tapi hatiku lebih sakit.

Dia tak ada di kamar. Hanya secarik kertas di meja:

“Kontrak belum selesai. Aku akan menemuimu lagi.”

L

Aku memandangi tulisan tangan itu. Tegas. Dominan.

Dan hatiku bergetar entah karena takut... atau rasa lain yang belum kupahami.

Aku menangis dalam diam.

Tidak karena kehilangan keperawananku. Tapi karena tahu, aku baru saja menyerahkan tubuhku pada pria yang tidak kukenal… yang mungkin akan muncul lagi dan lagi dalam hidupku.

Dan aku bahkan tidak tahu… wajah siapa yang mencuri jiwaku malam tadi.

 

Air mataku belum kering saat aku berdiri menatap jendela besar kamar hotel itu. Jakarta masih terjaga. Lampu-lampu jalanan berpendar bagai bintang jatuh. Indah. Tapi hatiku,kosong.

Kupandangi refleksiku di kaca. Wajah yang sama sekali tak lagi kuanggap milikku.

Aku ingin marah. Tapi pada siapa?

Pada ayahku, yang menelantarkan kami?

Pada ibuku, yang terlalu lemah untuk berjuang?

Atau pada diriku sendiri… yang begitu mudah menyerah pada pilihan paling kejam dalam hidupku?

Aku berjalan ke kamar mandi, menyalakan air hangat, dan menenggelamkan tubuhku dalam bak berisi busa. Tapi tidak ada yang bisa membersihkan rasa kotor di dalam diriku.

Air mengalir, tapi bekas sentuhannya… tidak.

Tangannya. Bibirnya. Cara dia menyentuhku dengan dingin,seperti aku hanyalah barang yang dibeli.

Tapi anehnya, ada bagian dari tubuhku yang justru masih mengingat rasa itu. Dan itu membuatku jijik pada diriku sendiri.

Aku meremas lengan sendiri, berharap rasa itu lenyap. Tapi hanya kesunyian yang menelan segalanya.

 

Dua hari kemudian

Aku menerima transferan sebesar 300 juta rupiah.

Tanpa nama pengirim. Hanya inisial “L.”

Aku membayar semua utang ibu. Rentenir itu bahkan terkejut. Dia tertawa, lalu pergi sambil mengancam tidak akan segampang itu melepaskan kami sepenuhnya.

Aku tahu, kebebasan tak pernah gratis. Bahkan setelah utang itu lunas… rasa bersalahku tidak.

Dan lebih parah lagi… aku mulai terobsesi.

Siapa dia?

Mengapa dia begitu dingin… tapi tetap menghantuiku?

 

Hari pertama magang

Aku berdiri di depan gedung tinggi menjulang: Revanza Corp.

Perusahaan teknologi terbesar di Asia Tenggara. Aku diterima karena nilai IPK-ku yang tinggi meski tak lulus. Salah satu manajer HR menyukai surat motivasiku. Katanya, aku ‘berani’.

Lucu. Jika dia tahu seberapa jauh keberanianku malam itu…

Aku masuk, menggenggam tas kecil erat-erat.

“Kau pasti Lana Ayudia?”

Suara lembut menyambutku di lobi.

Aku mengangguk pada seorang wanita elegan dengan name tag “Maya Sekretaris CEO.”

“Kau dijadwalkan hadir di presentasi internal hari ini. Ruang rapat lantai 27.”

Aku hanya menjawab, “Baik.”

Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya, tapi aku menepis rasa itu. Ini hari baruku. Aku tak boleh dipecat hanya karena takut menghadapi orang penting.

Ruang rapat itu besar dan dingin. Lantai marmer putih, lampu gantung elegan, layar LED raksasa di dinding.

Aku duduk di kursi paling ujung, bersama lima peserta magang lainnya. Semuanya tampak ambisius dan siap tampil.

Hingga pintu terbuka.

Dan aku membeku.

Itu dia.

Pria itu.

Pria dari malam neraka itu.

Mr. L… kini bernama lengkap di hadapanku: Leonhart Revanza.

Dia masuk dengan postur sempurna. Jas mahal, rambut tersisir rapi, wajah tak berubah dingin, maskulin, dan berbahaya.

Matanya langsung menatapku.

Bukan sekadar melihat… tapi menelanjangiku dari ujung kepala hingga kaki. Seolah dia mengenal setiap inci tubuhku.

Aku memalingkan wajah, tapi dadaku sesak.

Apa yang harus kulakukan? Melarikan diri? Berpura-pura tak mengenalnya? Menghadangnya?

Tapi dia justru berbicara…

“Aku ingin mengenal satu peserta magang secara personal,” katanya tiba-tiba.

Seluruh ruangan menoleh ke arahnya.

Langkah kakinya mendekat. Detak sepatunya seperti gema dari mimpi burukku.

Dan dia berhenti tepat di depan mejaku.

“Lana Ayudia.”

Semua orang menatapku. Beberapa tersenyum iri, beberapa bingung. Tapi hanya aku yang tahu kengerian di balik nada suaranya yang tenang.

“Aku ingin kau ikut ke ruang kerjaku. Sekarang.”

Aku berdiri. Tangan dan kaki gemetar. Napas tak stabil. Tapi aku melangkah… seperti zombie yang tak punya pilihan.

 

Ruang Kerja CEO

Kantor itu lebih seperti penthouse daripada ruangan kantor. Jendela besar menghadap kota. Sofa kulit hitam. Meja kayu eksklusif. Rak penuh buku hukum dan ekonomi.

Leon duduk. Lalu memandangku seperti hewan buruan yang baru dikurung kembali.

“Kau bekerja di sini. Menarik,” katanya pelan.

“Aku tidak tahu... ini perusahaanmu,” jawabku pelan. Sungguh, aku tidak tahu.

“Benarkah?” Tatapannya menusuk. “Atau kau memang mengejarku ke sini?”

Aku terkejut. “Apa maksudmu?”

Dia berdiri, berjalan mendekat. Langkahnya lambat, tapi tegas.

“Kau menjual tubuhmu. Tapi sekarang kau di sini. Di kantorku. Dalam wilayahku. Di bawah kekuasaanku.”

Deg.

Dia menatap wajahku. Dekat. Nafasnya menyentuh pipiku.

“Apakah kau pikir… aku akan melepaskanmu semudah itu?”

Aku menahan napas.

“Kau sudah kubeli, Lana. Malam itu hanya permulaan.”

Tangannya mengangkat daguku, seperti malam itu. Tapi kini matanya penuh permainan.

“Mulai hari ini… kau bukan hanya karyawanku. Kau adalah milikku.”

Aku ingin membantah. Berteriak. Tapi suaraku tertahan di tenggorokan.

“Aku bukan barang,” bisikku akhirnya.

“Tentu saja tidak.” Dia tersenyum miring. “Tapi aku tak pernah membeli barang. Aku membeli… kekuasaan. Dan kau tahu persis harga dirimu.”

Aku menamparnya.

Tangan kiriku bergetar setelah itu. Tapi dia hanya tertawa kecil.

“Aku suka semangatmu, Lana.”

Lalu dia mendekat lagi.

“Jangan lari. Aku belum selesai denganmu.”

 

Malam itu

Aku duduk di kamar kosku. Tangan memegang ponsel. Ada notifikasi masuk:

Transfer masuk: 15 juta rupiah.

Pengirim: L.

Catatan: Untuk kost dan makan bulan ini.

Aku membuang ponsel ke kasur. Tubuhku bergetar.

Aku tahu ini baru permulaan.

Dan mungkin aku sudah melangkah terlalu jauh untuk bisa kembali.

Tapi mengapa jantungku… berdetak lebih kencang saat dia menatapku?

Mengapa sentuhannya… masih meninggalkan jejak?

Dan mengapa, Tuhan… aku tak bisa berhenti memikirkan dia?

Aku memeluk lutut di sudut kasur sempit kamar kos. Lampu redup menyala, menyoroti bayanganku di dinding,seorang perempuan yang sudah bukan lagi dirinya sendiri.

Aku pernah bermimpi jadi jurnalis. Pernah berharap bisa menyuarakan kebenaran lewat tulisan. Tapi sekarang, aku bahkan tak bisa menyuarakan luka dalam diriku sendiri.

Leon…

Nama itu berputar-putar di kepalaku seperti mantra kutukan. Pria itu telah menyentuh bagian terdalam dalam diriku, bukan hanya tubuh… tapi rasa yang tak bisa kupahami.

Aku membencinya.

Aku takut padanya.

Tapi mengapa bayangannya justru datang saat aku memejamkan mata?

Kupandangi ponselku sekali lagi. Nominal transfer itu membuat perutku mual.

Semuanya terasa seperti jerat.

Dia menolongku dengan cara yang salah.

Dia membantuku dengan harga yang membuatku kehilangan harga diri.

Dan sialnya… ada bagian dalam diriku yang justru menunggu pesan selanjutnya.

Apakah ini cinta?

Bukan. Ini bukan cinta. Ini obsesi. Ini ketergantungan. Ini racun.

Tapi siapa yang bisa membedakan antara cinta dan racun saat keduanya terasa begitu manis sekaligus menyakitkan?

Aku memejamkan mata.

Dan di kegelapan malam itu, aku berjanji…

Jika pria itu ingin bermain kekuasaan,aku akan bertahan. Bukan sebagai miliknya, tapi sebagai wanita yang tidak akan kalah.

Walau aku harus terbakar dalam permainannya, aku akan jadi api yang membakar balik.

Jerat Yang Tak Terlihat

Aku tidak tidur semalaman.

Setiap kali memejamkan mata, bayangan wajah Leonhart Revanza kembali hadir, menyusup seperti racun yang mengalir dalam darahku. Tatapan matanya yang dingin, sentuhan tangannya yang lembut tapi mengikat… semua itu bukan sekadar kenangan. Mereka seperti jerat yang tak terlihat, menggenggam leherku pelan-pelan.

Pagi ini aku berdiri di depan kaca kamar kos yang sempit, mengenakan kemeja putih dan rok hitam sederhana,seragam wajib magang. Tapi tak peduli seberapa profesional aku mencoba tampil, aku tahu mata itu akan tetap melihatku sebagai... miliknya.

Dan aku benci kenyataan itu.

Namun yang lebih ku benci,aku tidak tahu bagaimana caranya melepaskan diri.

Ruang kantor Leon di lantai paling atas bagai dunia yang berbeda.

Pintu kaca terbuka otomatis, dan di dalamnya, aroma kopi mahal dan parfum maskulin menyeruak ke hidungku. Suara AC nyaris tak terdengar, tapi hawa dinginnya menggigit kulitku.

Aku berdiri kaku beberapa langkah dari meja kerjanya. Dia sedang menandatangani beberapa dokumen, seolah aku tidak ada di sana.

Diam. Dingin. Mematikan.

"Lana." Suaranya akhirnya terdengar, dalam dan pelan. "Duduk."

Aku menurut. Kursi kulit di depanku terlalu empuk hingga aku merasa seperti tenggelam di dalamnya.

"Apa tujuanmu masuk ke sini?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Aku tidak tahu ini perusahaanmu," jawabku cepat. "Aku hanya ingin... bekerja. Menjalani hidup."

Leon menatapku lama. "Hidup? Setelah kau menjualnya padaku malam itu?"

Aku menggertakkan rahang. "Itu hanya satu malam. Dan sudah berakhir."

Dia tertawa pendek. Suara itu dingin, tapi ada nada menghina di dalamnya.

"Kau naif, Lana. Dunia ini tidak sesederhana kontrak semalam. Apalagi saat pihak yang membelinya adalah aku."

Aku berdiri. "Kalau Anda berpikir bisa mempermainkan hidup saya karena uang"

"Diam."

Suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat lututku melemas. Matanya menyala. Seperti binatang buas yang merasa terganggu oleh mangsanya.

"Aku membantumu. Membebaskan keluargamu. Memberimu pekerjaan. Memberi makan. Tempat tinggal. Dan kau pikir kau masih bebas?"

Aku menelan ludah.

"Bahkan Tuhan pun meminta balasan atas setiap karunia-Nya, Lana. Dan aku jauh dari Tuhan."

Deg.

Kata-katanya menikam lebih dalam daripada sentuhannya.

"Jadi sekarang apa yang Anda inginkan?" tanyaku akhirnya. "Tubuh saya? Lagi?"

Dia berdiri. Mendekat perlahan. Tangannya menyentuh daguku, seperti malam itu.

"Aku ingin semuanya," bisiknya.

Aku menarik wajahku. "Maaf. Tapi saya bukan boneka."

Matanya menajam. Tapi sebelum dia sempat bicara lebih jauh, pintu diketuk.

"Masuk," ucapnya, nada suaranya langsung berubah profesional.

Seorang wanita tinggi dengan rambut gelombang cokelat masuk. Penampilannya elegan. Wajahnya cantik dengan senyum penuh percaya diri.

"Leon," sapanya sambil berjalan langsung ke arahnya dan mencium pipinya dengan akrab. "Kau lupa kita ada lunch meeting hari ini?"

Leon mengangguk. “Tidak lupa.”

Wanita itu baru menoleh padaku. Matanya memindai tubuhku dari atas ke bawah. “Dan ini?”

“Peserta magang,” jawab Leon ringan. “Lana Ayudia.”

Wanita itu tersenyum tipis. “Aku Anastasia. Wakil CEO. Dan tunangannya.”

Dunia runtuh sejenak.

Tunangannya?

Aku berusaha menyembunyikan reaksi di wajahku, tapi rasanya pipiku terbakar. Mataku mencari Leon, tapi dia hanya berdiri santai, seolah tak terjadi apa-apa.

“Senang bertemu denganmu,” ucap Anastasia sambil tersenyum tipis. “Hati-hati, Lana. Di tempat seperti ini, wanita muda bisa dengan mudah terjebak dalam fantasi.”

Dia tertawa kecil. Tapi nadanya menusuk.

Aku membalas senyuman itu. “Terima kasih atas peringatannya. Saya di sini untuk bekerja, bukan bermimpi.”

Anastasia melirik Leon sejenak sebelum pergi. Pintu tertutup dengan bunyi ‘klik’ yang pelan, tapi menyesakkan.

Aku berdiri.

“Saya akan kembali bekerja,” kataku singkat.

Namun sebelum aku sempat melangkah, Leon berkata, “Anastasia bukan tunanganku.”

Aku berhenti. “Tapi dia bilang begitu.”

Dia menatapku lama. “Aku tidak menjelaskan diriku pada siapa pun. Bahkan padamu.”

“Lalu kenapa Anda mengatakannya sekarang?” bisikku, tanpa menoleh.

Hening.

Lalu dia berkata pelan, “Karena aku ingin kau tahu... aku hanya memilih apa yang ingin ku miliki. Dan aku memilihmu.”

Tubuhku gemetar.

Aku berjalan keluar ruangan tanpa berkata apa-apa.

Tapi dalam hati, aku tahu… semakin aku berusaha lari, semakin dalam aku terhisap dalam permainannya.

Hari-hari selanjutnya berlalu dalam kabut emosi.

Leon tidak menghubungiku. Tapi dia ada di mana-mana.

Setiap kali aku lewat di lorong kantor, aku bisa merasakan matanya dari kejauhan.

Setiap kali rapat, dia hanya menyapaku dengan satu tatapan singkat,tapi cukup untuk membuat napasku tercekat.

Dan tiap malam… aku menerima transfer tanpa nama.

Lima juta. Sepuluh juta. Kadang hanya satu juta.

Tanpa pesan. Hanya inisial: L.

Aku ingin menolak. Tapi bagaimana?

Aku butuh uang itu untuk membayar pengobatan ibu. Untuk adikku yang mulai ujian akhir sekolah.

Leon tahu itu. Dia tahu persis di mana letak kelemahanku.

Suatu malam, aku duduk di halte bus dekat rumah sakit, menunggu angkutan pulang. Hujan turun deras. Ponselku berbunyi. Nomor tidak dikenal.

Aku mengangkat. “Halo?”

“Kenapa tidak kau pakai payung?”

Suara itu... Leon.

Aku menoleh panik ke sekeliling. Mobil-mobil melaju, lampu-lampu berpendar basah karena hujan. Tapi aku tahu, dia melihatku dari suatu tempat.

“Aku tidak butuh perlindunganmu,” kataku gemetar.

“Tapi kau tetap membiarkanku melindungimu,” jawabnya tenang.

Deg.

“Pulang sekarang,” lanjutnya. “Tak aman di sana.”

Klik. Telepon ditutup.

Beberapa detik kemudian, mobil hitam berhenti di depanku. Sopir membuka pintu.

“Silakan, Nona Lana.”

Aku nyaris menolak. Tapi udara terlalu dingin, tubuhku sudah basah, dan jiwaku... lelah.

Aku masuk.

Dan di dalam mobil itu, aroma Leon langsung menyambutku meski dia tak ada di sana.

Dua minggu kemudian

Aku mulai merasa seperti boneka dalam permainan yang tidak kumengerti. Setiap langkahku diawasi. Setiap gerakku tercatat.

Sampai suatu malam, pintu kamar kosku diketuk.

Aku membuka pintu perlahan.

Leon berdiri di sana. Basah oleh gerimis. Jasnya melekat pada tubuhnya, rambutnya sedikit berantakan. Tapi matanya… sama. Tajam. Mematikan.

“Aku tak bisa menahan diri,” ucapnya pelan.

Aku tak tahu harus marah atau takut.

“Kenapa kau terus melakukan ini?” tanyaku. “Apa kau senang melihatku bingung? Hancur? Terjerat?”

Dia masuk tanpa izin. Menutup pintu. Menatapku.

“Aku benci melihatmu bersama orang lain.”

Deg.

“Aku benci jika ada yang menatapmu.”

“Kau tidak berhak mengatakan itu!” bentakku. “Kau bahkan tidak mencintaiku!”

Dia menghampiriku.

“Aku tidak tahu apa itu cinta,” bisiknya. “Tapi aku tahu… aku tidak ingin kehilanganmu.”

Dia menyentuh pipiku. Lembut. Dan untuk pertama kalinya... sentuhan itu membuatku menangis.

Malam itu, dia tidak menyentuh tubuhku. Tidak seperti malam pertama kami.

Dia hanya duduk di lantai kamarku. Menatapku dalam diam.

“Ayahku membunuh ibuku,” ucapnya tiba-tiba.

Aku menoleh, terkejut.

“Dia kaya, berkuasa… tapi kejam. Ibuku hanya wanita penghibur. Ketika dia tahu ibuku hamil, aku...dia membuang kami. Tapi ibuku tidak pergi. Dia bertahan. Sampai akhirnya... mati bunuh diri.”

Aku menahan napas.

“Aku tumbuh membenci cinta. Karena cinta, ibuku mati. Karena cinta, aku jadi monster.”

Dia menatapku.

“Tapi sejak malam itu... kau mengganggu pikiranku. Aku tidak tahu kenapa. Tapi aku tidak bisa berhenti.”

Aku menutup mata.

Mungkin... ini awal dari sesuatu. Entah luka, entah cinta, atau keduanya.

Yang pasti, aku sudah masuk ke dunianya.

Dan jalan keluar... tak lagi terlihat.

Aku membuatkan teh hangat untuknya, dan kami duduk berdampingan di kasur kecilku.

Hening. Tapi tidak lagi menakutkan.

“Kenapa kau terus menolongku?” tanyaku akhirnya, menatap cangkir di tanganku.

“Karena aku ingin kau tetap ada,” jawabnya pelan. “Meski harus kubayar. Meski harus kupaksa.”

Aku menoleh. “Itu bukan cinta.”

“Aku tahu,” katanya datar. “Tapi aku tidak butuh cinta. Aku butuh kendali.”

Deg.

Dia menyesap tehnya perlahan, lalu menatapku dalam.

“Kau bisa pergi jika mau, Lana,” ucapnya tiba-tiba. “Aku tidak akan mengejarmu.”

Aku terdiam.

“Benarkah?”

Dia mengangguk pelan. “Tapi kau tahu kan... saat kau pergi, utang-utangmu akan kembali. Perlindunganmu lenyap. Dan orang-orang yang memburumu... tak sebaik aku.”

Ancaman halus itu membuat darahku membeku.

Aku sadar… Leon bukan hanya pria kaya. Dia punya jaringan. Pengaruh. Kekuatan di luar nalar.

“Jadi aku ini tawanan?” bisikku.

Dia tak menjawab. Tapi tatapannya menjelaskan semuanya.

Malam semakin larut. Hujan turun lagi, rintik-rintiknya menempel di jendela kamar.

Leon masih duduk di sisiku. Kali ini lebih dekat.

“Kau menggigil,” katanya. “Pakai ini.”

Dia membuka jasnya dan menyampirkan di pundakku. Kehangatannya menempel di kulitku. Aroma tubuhnya begitu dekat, menusuk hingga ke tulang belakangku.

“Aku tidak terbiasa... didekati seperti ini,” ucapku lirih.

“Seperti apa?”

“Dengan ketenangan... setelah kau menghancurkanku.”

Dia menunduk. Matanya terlihat rapuh sejenak.

“Maaf.”

Aku menoleh cepat. Tidak yakin dengan apa yang baru saja kudengar.

Leon… meminta maaf?

“Kenapa minta maaf?” tanyaku.

“Karena... saat kulihat tubuhmu malam itu, aku berpikir aku sudah menang. Tapi aku salah.”

Dia mengangkat tanganku, menggenggamnya erat.

“Aku tak tahu kenapa... tapi kau menanam sesuatu dalam diriku. Dan sialnya, aku tak bisa mencabutnya.”

Hatiku berkecamuk. Kata-katanya menyakitkan dan manis dalam waktu yang sama.

Aku ingin percaya dia tulus.

Tapi aku juga tahu, orang seperti Leon... bisa mengucapkan apapun yang dia mau. Dan membuat siapa pun percaya.

Menjelang subuh, dia pergi.

Tak ada ciuman perpisahan. Tak ada pelukan. Hanya satu kalimat sebelum dia melangkah ke luar pintu.

“Kau akan tahu, Lana… aku bukan hanya mimpi burukmu. Aku juga kenyataan yang tak bisa kau lupakan.”

Dan dia pergi, meninggalkan jejak basah di lantai dan jejak lebih dalam... di hatiku.

Esok paginya aku terbangun dengan perasaan campur aduk.

Di meja kamar, ada kotak kecil berisi ponsel baru.

Di layar, satu pesan tunggal:

Nomor ini hanya untukku. Jangan gunakan untuk yang lain.

L

Aku menatap ponsel itu lama. Tanganku enggan menyentuhnya. Tapi dalam diriku... ada bagian yang justru ingin membalas.

Aku tahu aku sedang dijerat.

Tapi kenapa... aku tidak benar-benar ingin lepas?

Cinta Atau Perang?

Sudah tiga hari sejak Leon datang ke kamarku malam itu.

Tiga hari sejak pengakuannya yang membingungkan. Sejak tatapan matanya yang tidak lagi sepenuhnya dingin, tapi juga belum cukup hangat untuk disebut cinta.

Dan selama tiga hari itu pula… pikiranku kacau.

Bagaimana bisa seorang pria yang membeliku, mengancamku, menghancurkan kehormatanku,juga menjadi pria yang mengisi ruang-ruang kosong dalam benakku?

Aku membenci diriku karena membiarkan hatiku bergetar.

Tapi aku lebih membenci kenyataan bahwa aku belum bisa berhenti menunggunya.

 

“Lana, kamu yang handle presentasi internal hari ini, ya.”

Aku menoleh ke Dinda, rekan sesama peserta magang. Dia menatapku dengan senyum manis, walau ada sorot ragu di matanya. “Senior marketing-nya mendadak cuti. Kamu yang dinilai paling siap.”

Aku mengangguk pelan, walau tangan mulai dingin. “Baik.”

Presentasi ini akan langsung dinilai oleh... divisi direksi. Termasuk Leon.

Tentu saja.

Setiap langkahku di perusahaan ini, seolah selalu bermuara padanya.

 

Ruang rapat lantai 28 lebih megah dari bayanganku. Dinding kaca transparan memperlihatkan pemandangan kota Jakarta yang padat. Kursi-kursi kulit hitam disusun melingkar. Layar proyektor menyala.

Aku berdiri di depan ruangan dengan pointer di tangan. Slide presentasi produk baru ditampilkan. Tanganku sedikit gemetar.

Hening. Semua mata tertuju padaku.

Termasuk dia.

Leon duduk di kursi paling tengah. Dikelilingi jajaran eksekutif. Dasi hitamnya rapi. Wajahnya tanpa ekspresi. Tapi matanya tetap sama. Penuh klaim. Penuh kendali.

Aku menarik napas.

Tidak, aku tidak boleh gentar.

Kalau aku ingin bebas, kalau aku ingin mengambil kembali hidupku, aku harus berdiri. Harus bicara. Harus menunjukkan bahwa aku bisa lebih dari sekadar “miliknya”.

“Ada dua hal yang membuat produk ini layak didorong ke pasar luas,” ucapku lantang. “Pertama, nilai fungsionalitas yang sederhana tapi fleksibel. Kedua,pengalaman pengguna yang personal dan menyentuh sisi emosional.”

Beberapa direktur mengangguk. Aku mulai tenang.

“Target pasar kita bukan hanya mereka yang punya daya beli, tapi mereka yang ingin merasa terkoneksi. Dan untuk itu, kita perlu menjual cerita, bukan hanya fitur.”

Salah satu direktur tersenyum. “Kamu bicara seperti marketing senior, Lana.”

Aku tersenyum singkat.

Tapi saat mataku bertemu pandang dengan Leon, ekspresinya tetap datar. Dia menyandarkan tubuh, menatapku dalam.

“Apa kau bicara dari pengalaman pribadi?” tanyanya tiba-tiba.

Semua orang menoleh padanya. Termasuk aku.

“Apa maksud Anda?” tanyaku, mencoba terdengar profesional.

“Cerita. Emosi. Koneksi.” Dia menatapku tajam. “Kau terdengar sangat... personal.”

Aku merasakan panas menjalar ke wajahku.

“Tentu tidak,” jawabku datar. “Saya hanya mempresentasikan strategi, bukan mengumbar perasaan.”

Beberapa orang tertawa kecil.

Leon hanya menatapku lebih dalam.

“Tapi kau melakukannya dengan sangat meyakinkan,” gumamnya pelan. “Terlalu meyakinkan.”

Aku menarik napas pelan.

Dan saat itu, pintu ruangan terbuka.

Seorang pria muda masuk, membawa dokumen. Rambutnya sedikit berantakan, tapi jasnya rapi. Wajahnya tampan,dengan aura santai yang kontras dengan atmosfer kaku ruangan.

“Oh, maaf. Saya diminta menggantikan Pak Rico sebagai pengawas audit,” katanya ringan. “Saya Arvino Mahendra.”

Leon menoleh cepat.

Dan aku tidak bisa tidak memperhatikan kilatan di matanya.

Arvino berjalan ke arah kursi kosong di dekatku. Sambil tersenyum, dia mengangguk sopan. “Lana Ayudia, ya? Presentasinya bagus.”

Aku mengangguk, sedikit gugup. “Terima kasih.”

Leon menatap kami berdua dengan ekspresi sulit ditebak.

 

Presentasi selesai. Aku keluar ruangan dengan langkah cepat, ingin segera menjauh dari tatapan Leon yang seakan membekukan udara.

Tapi suara seseorang menghentikanku.

“Lana, tunggu.”

Arvino menyusulku. “Aku belum sempat kenalan dengan benar tadi.”

Aku tersenyum sopan. “Saya Lana.”

“Sudah tahu,” jawabnya cepat. “Kamu pembicara terbaik hari ini. Leon jarang memperhatikan peserta magang. Tapi kamu... kamu berhasil membuatnya bicara.”

Aku mengangkat alis. “Dia bicara untuk menjatuhkan.”

“Tidak juga,” Arvino tersenyum miring. “Dia hanya bicara seperti itu pada dua tipe orang: musuh... atau orang yang menarik perhatiannya.”

Aku tertawa kecil, meski getir.

“Kalau boleh tahu, kamu sudah kerja berapa lama di sini?” tanyanya.

“Baru dua minggu.”

“Luar biasa.” Dia menyentuh dagunya. “Kalau kamu butuh bantuan adaptasi... aku bisa bantu.”

Aku menatap matanya yang terlihat tulus. Dan untuk pertama kalinya sejak bekerja di Revanza Corp, aku merasa bisa bernapas.

 

Sore itu aku pulang lebih lambat dari biasa. Begitu sampai di kos, aku melempar tas dan langsung menjatuhkan diri di kasur.

Ponselku berbunyi.

Pesan dari L:

“Siapa dia?”

Aku mengetik cepat:

“Rekan kerja. Kenapa?”

Balasannya datang seketika:

“Jangan dekat-dekat dia.”

Aku mendengus.

“Anda bukan siapa-siapa saya.”

Beberapa detik kemudian, ponsel berdering.

Aku mengangkat.

“Aku bilang jangan dekat-dekat dia.” Suaranya rendah. Tegas.

“Kau tidak berhak mengaturku,” kataku dingin.

“Aku sudah mengatur hidupmu sejak kau menandatangani kontrak itu.”

Aku berdiri. “Kontrak itu hanya semalam. Dan sudah selesai.”

“Tidak, Lana.” Napasnya terdengar berat. “Kontrak itu... belum pernah benar-benar selesai.”

Klik. Telepon ditutup.

Dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar takut.

Bukan karena dia mengancamku.

Tapi karena aku tahu... aku sedang memasuki perang. Antara kebebasan dan ketertarikan. Antara akal sehat dan obsesi.

Antara cinta… dan kekuasaan.

 

Malam itu, aku duduk di balkon kecil kosku, memandang langit Jakarta yang tak pernah gelap sempurna.

Angin berhembus pelan, membawa bayangan dua pria yang kini memenuhi pikiranku.

Leon sang pemilik segalanya, termasuk luka dan kekuasaan yang menjeratku.

Arvino pria asing dengan senyum hangat yang terasa seperti pelarian.

Dan aku, Lana, hanya perempuan biasa yang mencoba berdiri di antara mereka.

Tapi satu hal yang kutahu dengan pasti.

Aku tidak mau menjadi pion dalam permainan siapa pun lagi.

Mulai besok… aku akan menentukan permainanku sendiri.

Walau itu berarti harus menghadapi Leon.

Atau... mengandalkan Arvino.

Suara derit jendela yang terbuka tertiup angin malam menggema di kamar itu, mengisi keheningan yang menggantung di antara mereka. Leonhart berdiri di dekat meja, masih dengan tubuh setengah telanjang, sementara Lana menggenggam erat selimut putih yang membungkus tubuhnya. Kulitnya masih terasa hangat, bekas sentuhan yang tidak bisa dia lupakan begitu saja, meski seluruh hatinya memerintahkan untuk membenci lelaki itu.

"Aku tak mengerti apa sebenarnya yang kau mau dariku..." bisik Lana lirih, nyaris tak terdengar.

Leonhart membalikkan tubuhnya perlahan. Tatapan itu kembali menyala. Matanya seperti pisau yang bisa mengiris pelan-pelan, penuh perhitungan namun tetap dalam dan memikat. “Aku sudah membayar, Lana. Dan aku tak pernah membeli sesuatu yang tak berguna.”

Ucapan itu menusuk seperti sembilu. Lana mengepalkan jemarinya di balik selimut. Antara marah, malu, dan hina. Tapi lebih dari itu… ada bagian dari dirinya yang justru gemetar bukan karena takut,melainkan karena penasaran akan sosok pria ini yang begitu sulit ditebak.

Leonhart melangkah pelan ke arahnya, menunduk hingga wajah mereka hanya berjarak sejengkal. Nafasnya menyapu kulit wajah Lana, menciptakan desiran yang tak bisa ditahan meski ia mencoba keras untuk tetap tenang.

“Kau tahu yang paling menarik darimu?” Leonhart berbisik, jemarinya mengusap helai rambut Lana yang jatuh ke pipinya. “Kau berpura-pura membenciku, tapi matamu selalu bicara lain.”

Lana membuang wajahnya ke arah lain, menahan denyut di dadanya yang semakin liar. "Kau salah."

Leonhart terkekeh rendah, bukan tawa yang menyenangkan, tapi cukup membuat jantung Lana berdebar tak karuan. Ia menyingkap selimut itu perlahan, tak terburu-buru, seperti pemburu yang tahu korbannya sudah tak bisa lari ke mana pun.

“Kau bisa pura-pura suci semalaman, tapi tubuhmu jujur,” bisiknya di telinga Lana, membuat tubuh perempuan itu gemetar.

"Aku terpaksa," suara Lana akhirnya keluar. Pelan, tapi terdengar getir.

Leonhart menatapnya sesaat. Senyum di sudut bibirnya menghilang, digantikan ekspresi serius. Dia berdiri, menjauh sedikit dari ranjang. Tangannya meraih baju kemeja yang tadi dia tanggalkan.

"Kau tak sendiri dalam keterpaksaan, Lana," ucapnya sambil mengenakan pakaian. "Bedanya, aku memilih untuk memanfaatkan keadaan, bukan mengeluhinya."

Perkataan itu menggantung lama di udara. Lana mengerjap, hatinya mendadak terasa nyeri. Ada luka yang mengintip di balik kalimat pria itu. Luka yang tak dia pahami, tapi cukup untuk membuatnya bungkam.

Leon melirik jam dinding. "Kau bisa tidur di sini. Tapi besok pagi jam enam, kita sarapan bersama ayahku. Anggap saja ini... pemanasan menjadi istri CEO."

"Istri sewaan," Lana membetulkan.

Leon tertawa kecil, tidak menanggapi. Tapi sebelum dia benar-benar keluar dari kamar, dia sempat berbalik dan berkata, “Jangan jatuh cinta padaku, Lana. Aku bukan pahlawan dalam dongengmu.”

Lalu pintu tertutup.

 

Lana duduk sendirian di ranjang besar itu. Tubuhnya masih terasa lelah, tapi pikirannya berputar tanpa henti. Kata-kata Leon menyusup seperti racun perlahan. Bukan pahlawan dalam dongengmu… Kalimat itu seperti peringatan, atau mungkin sebuah luka yang sedang disembunyikan.

Ia mengalihkan pandangannya ke sisi ranjang yang kosong. Bau tubuh lelaki itu masih tertinggal di seprai. Bau maskulin yang anehnya mulai familiar dalam ingatannya.

Lana mendesah. Apakah dia benar-benar menjual dirinya hanya untuk melindungi ibunya? Apa yang akan terjadi jika hatinya benar-benar terseret terlalu jauh dalam permainan ini?

 

Pagi harinya, matahari belum sepenuhnya muncul ketika Lana berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana yang disiapkan oleh pelayan rumah. Rambutnya digelung rapi, wajahnya dipoles tipis dengan make up natural. Tapi matanya tetap menampakkan kelelahan.

Ia berjalan pelan menuju ruang makan utama.

Di sana, Leon sudah duduk lebih dulu, tampak tenang dengan kemeja hitam elegan. Di sampingnya, seorang pria paruh baya dengan sorot mata tajam menatap Lana,ayah Leonhart.

“Selamat pagi, Ayah,” sapanya. Suaranya terdengar datar, nyaris tanpa nada emosional.

Ayah Leon hanya mengangguk. Pandangannya menilai Lana dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Ini istrimu?” tanyanya datar.

Leon mengangguk. “Iya. Perempuan yang kupilih untuk menyelamatkan reputasi keluarga kita.”

Pria itu menyipitkan mata. “Semoga dia bukan hanya cantik, tapi juga pintar. Aku tak mau pewaris Hartono Group terlihat tolol karena wanita.”

Lana tertegun. Dia ingin menjawab, tapi Leon menyentuh tangannya di bawah meja. Sebuah tekanan lembut,sinyal agar dia diam. Dan untuk alasan yang tidak bisa dia jelaskan, Lana menurut.

Mungkin karena untuk pertama kalinya… dia merasa dilindungi.

Tapi ia juga sadar, perlindungan itu tak pernah gratis.

Atau keduanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!