NovelToon NovelToon

Kultivator Koplak

Bab 1

Dunia itu bernama Aetherion—sebuah jagat luas tempat sihir dan nasib bertaut dalam lingkaran takdir yang abadi. Di tengah langit bintang yang selalu bergerak, bersemayamlah seorang Dewi kuno: Anantasia, Sang Pemelihara Titik Awal dan Akhir. Ia bukan sekadar pencipta Aetherion, tapi penjaga harmoni semesta yang menyatukan berbagai lapisan dunia.

Namun harmoni itu kini terancam.

Dari celah-celah realitas yang retak, bangkitlah sesuatu yang tidak semestinya ada—Eidros, entitas prakeberadaan yang pernah disegel jauh sebelum waktu dimulai. Dalam diamnya, Eidros menumbuhkan kegelapan yang menelan tanah, menodai langit, dan membungkam suara roh. Pasukannya menyebar: makhluk-makhluk tanpa nama, bayangan-bayangan yang merasuki jiwa dan menelan cahaya kehidupan.

Anantasia melihat bahwa para dewa sendiri mulai kehilangan kekuatannya. Takdir tak lagi bisa ditulis ulang, dan hukum dunia mulai runtuh. Dalam keputusasaan yang tenang, ia membuka Gerbang Pemanggilan Takdir, sebuah ritus kuno yang dilarang dipakai kecuali saat kehancuran mutlak mengancam.

Melalui gerbang itu, ia menyerukan panggilan suci ke berbagai dunia—ke jagat modern yang tak mengenal sihir, ke dunia perang yang penuh darah, ke ruang masa depan yang terbungkus logika dan mesin. Ia tidak memanggil sembarang makhluk, tapi hanya mereka yang memiliki "jiwa tak terikat": orang-orang yang pernah kehilangan arah, namun tetap memiliki bara kecil dalam diri mereka… kekuatan untuk memilih sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.

Mereka datang dalam jumlah yang tidak sedikit.

Pria dan wanita dari usia dan bentuk hidup yang berbeda. Ada yang datang dalam tubuh fana, ada pula yang hanya berupa cahaya, suara, atau wujud spiritual. Sebagian datang karena harapan, sebagian karena pelarian, dan sebagian lagi karena rasa penasaran yang tak dapat dijelaskan.

Anantasia berdiri di hadapan mereka—tinggi, tak tergapai, namun lembut. Suaranya menembus jiwa.

"Kalian bukanlah pahlawan karena dipilih. Tapi karena kalian memilih. Aku tak akan memaksa kalian tetap di sini. Tapi jika kalian ingin... Aetherion bisa menjadi awal dari segala sesuatu yang belum pernah kalian pahami."

Tak semua menjawab dengan pasti. Tapi beberapa melangkah ke depan, menatap kegelapan di ujung cakrawala dunia asing itu… dan memilih untuk tinggal.

Dari sekian banyak sosok yang dipanggil ke dunia Aetherion, salah satunya muncul agak terlambat—seorang pemuda kurus dengan kaos oblong lusuh, celana jeans belel, dan wajah ngantuk seperti baru bangun tidur. Namanya Ryandi Pratama, seorang mahasiswa berusia 18 tahun dari dunia modern. Tidak ada aura istimewa darinya, tidak ada pancaran kekuatan, bahkan posturnya sedikit membungkuk seperti orang yang terlalu sering tidur di meja kelas.

Ia mengucek matanya, menatap sekeliling, lalu menggumam pelan,

"Apaan nih… tempat seminar kampus pindah ke dunia isekai?"

Beberapa orang lain yang dipanggil bersikap waspada, kagum, bahkan gemetar karena kehadiran Dewi Agung itu. Tapi tidak dengan Ryandi. Begitu pandangannya menumbuk pada wujud Anantasia, pupil matanya membesar.

Sosok sang Dewi berdiri di atas altar cahaya, rambutnya panjang menjuntai hingga lantai, kulitnya bersinar lembut seperti bulan purnama. Tapi yang paling mencolok adalah pakaiannya—atau lebih tepatnya, ketiadaan pakaian itu.

Seluruh tubuh Anantasia hanya dibalut oleh lembaran tipis berwarna putih keperakan, nyaris transparan, membungkus seadanya bagian-bagian penting, tapi justru menonjolkan lebih dari yang disembunyikan. Pinggulnya terbuka dari sisi, belahan dadanya memanjang dalam potongan V yang dalam, dan kaki jenjangnya sama sekali tak tertutup apapun selain untaian cahaya samar yang seolah dengan sengaja menyembunyikan titik paling rahasia.

Dan di saat yang lain berdebar karena kehadiran Ilahi...

Ryandi malah menyipitkan mata, menelan ludah, dan bergumam pelan,

"Gila... ini... Dewi beneran? Atau model Victoria's Secret? Buset... bahannya tipis bener..."

Otaknya langsung bekerja, tapi bukan dalam cara yang biasanya diharapkan dari seorang calon pahlawan. Imajinasi mesumnya melesat liar, membayangkan berbagai hal yang tak pantas, termasuk ide-ide bodoh seperti berpura-pura tersandung agar bisa jatuh di "tempat yang tepat".

Di sebelahnya, beberapa calon pahlawan menatap sinis atau heran melihat ekspresinya yang seperti anak SMA nonton film semi untuk pertama kali.

Namun Anantasia, meski menyadari tatapan pemuda itu, tidak marah. Ia hanya menoleh perlahan, dan untuk sesaat—entah kenapa—seulas senyum tipis muncul di sudut bibirnya.

"Kau… berbeda dari yang lain," ucapnya pelan, suara lembut itu menusuk langsung ke dalam hati Ryandi.

Dan dia?

Ryandi hanya garuk-garuk kepala.

"Iya, iya… gua juga gak ngerti kenapa bisa nyasar ke tempat begini..."

"Ahh… ini pasti game VR, ya kan? Grafisnya realistis banget…" pikir Ryandi sambil melihat sekeliling. Cahaya, aroma, suhu udara—semuanya terasa nyata. Terlalu nyata. Tapi bagi mahasiswa malas yang doyan tidur di kelas ini, pemikiran logis tidak pernah menjadi kekuatan utamanya.

Ia mendengus pendek lalu mengangguk pada dirinya sendiri.

"Yah, kalau ini memang dunia virtual, berarti saatnya masuk mode karakter."

Dengan gerakan penuh gaya—padahal tidak diminta siapa pun—ia melangkah ke depan, membuka menu imajiner di udara (yang sebenarnya tidak muncul apa-apa), lalu berkata setengah berbisik:

"Nama karakter… hmm… Rynz. Ya, itu lebih keren. Biar keliatan misterius dikit."

Salah satu orang di dekatnya sempat melirik heran karena pemuda itu bicara sendiri, tapi Ryandi—sekarang menyebut dirinya Rynz—tidak peduli. Ia mulai berjalan santai, menyilangkan tangan di belakang kepala, lalu bertanya cukup lantang:

"Kalau ini memang kayak game... terus kita semua dapet skill khusus, nggak?"

Pertanyaan itu mengundang lirikan dari beberapa orang. Suasana yang sebelumnya hening berubah jadi bisik-bisik penasaran. Beberapa memang sempat memikirkan hal serupa, tapi tak ada yang cukup bodoh atau cukup nekat untuk langsung bertanya pada Dewi Anantasia.

Namun sang Dewi tidak marah. Ia justru menoleh perlahan, dan seulas senyum muncul di wajahnya—senyum lembut yang anehnya terasa hangat, namun menyimpan sesuatu yang sulit ditebak.

"Tentu saja," ucapnya pelan, suaranya seolah menyelinap masuk langsung ke dalam dada mereka.

"Setiap jiwa akan diberi sesuatu yang mencerminkan kedalaman batin mereka... Sebuah kekuatan. Atau mungkin, sebuah kutukan."

Seketika, tanah di bawah mereka bergetar. Langit meredup. Dan di hadapan mereka terbentuk sebuah bola energi raksasa—melayang di udara, berputar perlahan, memancarkan aliran cahaya dan suara gema spiritual yang menembus alam bawah sadar.

Anantasia melangkah ke depan, tubuhnya dilingkupi aura suci yang menggema seperti gelombang lautan.

"Masuklah. Di dalam sinilah takdirmu akan terbaca."

Satu per satu, orang-orang mulai berjalan menuju bola energi itu.

Beberapa dengan rasa takut.

Beberapa dengan harapan.

Dan Rynz?

Ia justru berseru pelan dengan gaya seenaknya:

"Heh… semoga dapet skill ngintip baju musuh."

Kemudian ia tertawa sendiri sebelum ikut melangkah masuk ke dalam bola cahaya, tanpa tahu bahwa...

ia akan mendapatkan sesuatu yang bahkan tak ada dalam sistem manapun.

Sambil melangkah pelan mengikuti arus, Rynz tetap memperhatikan setiap orang yang mendahuluinya masuk ke dalam bola energi spiritual itu. Setiap jiwa yang melewati medan cahaya itu, tubuh mereka berpendar sesaat, lalu sebuah lingkaran sihir muncul di bawah kaki mereka—mengumumkan profesi, atribut utama, bahkan kemampuan awal yang mereka peroleh.

Ada yang langsung dipenuhi cahaya perak tebal dan mendapat panggilan "Tanker".

Tubuhnya membesar, dilapisi aura pelindung tebal seperti perisai hidup.

Yang lain dikelilingi oleh api dan logam—seorang Warrior, dengan kekuatan fisik brutal dan refleks cepat.

Beberapa diselimuti bayangan pekat, nyaris tidak terlihat, lalu dipanggil sebagai Assassin.

Tubuh mereka menghilang dari pandangan sebelum muncul kembali di tempat lain, seperti bayangan yang melompat antar dimensi.

Ada juga yang ditutupi kabut ungu penuh simbol, lalu diakui sebagai Magician. Mereka memanggil petir, bola api, bahkan hujan racun, hanya dengan isyarat tangan.

Dan tentu saja, mereka yang disinari cahaya hangat dan tenang, menjadi Healer, pemulih luka dan penahan batas antara hidup dan mati.

Satu gadis muda bahkan tiba-tiba dikelilingi oleh kupu-kupu bercahaya, dan dari dalam bola energi, muncul seekor serigala bermata dua.

"Spiritual Beast Contracted", ujar suara gaib.

Rynz mengangguk-angguk pelan, mencoba bersikap seperti sedang menilai sebuah game balance.

"Hmm… Tanker itu kayak paladin. Warrior sih mainstream. Assassin, meh, udah terlalu banyak di game PvP. Magician? Ntar kena stun langsung ampas. Healer? No, thanks."

Lalu ia menyeringai kecil, menatap bola energi yang kini makin mendekat padanya.

"Kalau gitu, biar kuajukan satu harapan terakhir…"

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu bergumam dalam hati:

"Tolong ya… kasih aku jadi Super Saiyan… atau minimal One Punch Man lah. Biar bisa jadi karakter OP dari episode satu."

Bola energi itu perlahan menyelimuti tubuhnya.

Tapi berbeda dari yang lain, cahaya yang muncul bukan putih, merah, atau emas...

melainkan abu-abu, samar, berdenyut pelan, nyaris tanpa gema atau efek suara. Tak ada sinar menyilaukan, tak ada formasi lingkaran sihir di bawah kakinya.

Bahkan sistem tidak langsung mengumumkan profesinya.

Hening.

Membingungkan.

Rynz melongok ke tubuhnya sendiri, mengangkat tangan dan melihat ke sekeliling.

"Lah? Kok gak ada efek-efeknya? Mana tulisan 'Selamat, Anda Mendapat Profesi Langka'?"

Tapi kemudian, dari dalam bola energi itu… terdengar suara Dewi Anantasia.

Lembut. Tapi kali ini... agak aneh.

"Kau bukan petarung. Bukan penyembuh. Bukan pemanggil. Kau adalah… sesuatu yang tidak pernah tertulis dalam sistemku."

Sekejap setelah itu, seluruh bola energi mendadak meredup. Para peserta yang belum masuk tampak kaget.

Bahkan langit di atas mereka sempat berubah warna.

Sementara Rynz berdiri di tengah pusaran kekacauan itu, matanya melotot.

"Wah anjir... jangan-jangan aku beneran jadi karakter bug..."

Bab 2

Dalam keheningan itu, ketika semua orang menanti hasil dari pemanggilan energi spiritual yang menyelimuti tubuh Rynz… tiba-tiba sebuah cahaya kecil menyala di tangan kanannya. Tidak ada efek ledakan, tidak ada aura hebat, tidak ada binatang spiritual yang muncul dari langit.

Yang ada hanyalah...

sebuah palu kecil.

Besi tua, gagang kayu pendek, dan kepala palunya pun sedikit berkarat.

Rynz menatap benda itu.

Matanya menyipit.

Mulutnya bergumam,

"Eh? Mainan?"

Namun di depan altar langit, sebuah tulisan akhirnya muncul—menggantung di udara dengan cahaya abu-abu pucat:

> PROFESI: BLACKSMITH

TINGKAT: 1 (Dasar)

KEMAMPUAN: MEMBENTUK PERALATAN KELAS RENDAH | DURABILITAS 60% | NO COMBAT FUNCTION

Beberapa detik berlalu tanpa suara.

Lalu…

ledakan tawa meledak dari kalangan para calon pahlawan.

"Hahaha! Pandai besi? Itu juga level satu?! Bukannya itu profesi NPC pendukung?"

"Dia pikir ini game survival? Mau bikin kapak dari batu?"

"Ck, ck, ck… siapa yang manggil bocah sampah ini ke upacara pemanggilan pahlawan?"

Rynz masih memandangi palu di tangannya. Beratnya lumayan... tapi tetap saja tidak tampak seperti senjata legendaris. Tak ada aura. Tak ada nama khusus. Bahkan tidak ada fungsi bertarung sama sekali.

Dia berusaha tersenyum canggung, mengangkat palunya sedikit.

"Ehe… mungkin ini versi awal dari item rahasia ya? Ntar bisa evolve?"

Namun suara lembut Anantasia terdengar, kini tidak lagi selembut tadi.

Nada suaranya berubah—dingin, kaku, dan jenuh.

"Kau adalah hasil pemanggilan yang sia-sia. Jiwa tanpa nilai. Tak ada kekuatan. Tak ada potensi."

Ia mengangkat tangannya, dan cahaya istana mulai menggulung seperti ombak putih yang menyapu langit.

"Aetherion butuh pahlawan… bukan beban yang harus kami rawat. Pergilah."

Seketika itu juga, tubuh Rynz diselimuti oleh kilatan cahaya kasar. Bukan teleportasi halus seperti yang diberikan kepada para pahlawan, melainkan dorongan paksa—seperti seseorang yang ditendang keluar dari rumah mewah tanpa sempat memakai sepatu.

"WOOOAAAHHH!! TUNGGUUU!! GUA BELUM GANTI BAJU!!"

Suara teriakannya bergema, lalu menghilang bersama tubuhnya yang dilempar keluar dari altar cahaya...

menuju hutan liar di batas dunia Aetherion.

Dingin. Gelap. Dan penuh makhluk buas.

Dan di sanalah ia tergeletak, wajah menempel di tanah, palu kecil masih dalam genggamannya.

Rynz terbaring telentang di tanah lembap, tubuhnya pegal-pegal, dan kepalanya masih berdenyut karena terhempas begitu saja dari istana cahaya. Suara burung liar menggema dari pepohonan tinggi, kabut tipis melayang di antara semak belukar, dan hawa sejuk dari akar-akar lembab menyusup ke dalam pakaiannya.

Namun meskipun semuanya terasa begitu nyata…

“Hah… pasti ini bagian dari tutorial game. Disuruh jatuh dulu, biar pemain ngerasa susah di awal…” gumamnya sambil duduk perlahan.

Ia melihat ke tangan kanannya. Palu kecil itu masih di sana. Tak ada ikon status. Tak ada petunjuk. Tak ada HUD. Hanya sepotong logam konyol yang bahkan tidak memantulkan cahaya dengan benar.

“Oke… jadi kayaknya ini semacam class tersembunyi. Kayak blacksmith yang nanti bisa bikin senjata legendaris. Iya kan? Hehe… ya kan?”

Ia memaksa dirinya tertawa. Garing. Sunyi. Hanya angin yang menjawab.

Perutnya mulai lapar. Air liurnya mengental.

“Eh... tapi biasanya kalo di game, ada menu inventori, peta, atau petunjuk... Mana ini?”

Rynz mengayunkan tangan di depan wajahnya, berharap ada jendela holografik muncul. Tak ada. Ia coba menekan pelipis, dada, bahkan... menampar pipinya sendiri.

Plak.

Sakit.

“Oke. Itu sakit. Jadi kalau ini game, realistisnya udah keterlaluan.”

Ia pun akhirnya bangkit, sedikit sempoyongan, lalu mulai berjalan tanpa arah. Hutan itu begitu luas, dengan akar-akar menjulur di mana-mana dan suara makhluk asing bersahutan dari kejauhan.

Namun, alih-alih panik…

Rynz malah menggumam seperti komentator YouTube:

“Oke, sekarang masuk fase survival. Cari kayu, cari batu. Bikin kapak. Classic tutorial stuff.”

Ia melihat sebatang pohon kecil, lalu mencoba memukulnya pakai palu.

Duk. Duk. Duk.

Tak ada yang terjadi. Bahkan kulit pohonnya tak tergores.

“Hmm… mungkin level gua kurang. Harus ningkatin dulu EXP-nya.”

Dia celingukan, lalu melihat seekor kelinci kecil muncul dari balik semak.

“Perfect. Monster level satu.”

Dia maju perlahan. Pelan-pelan. Menjinjit.

Angkat palu. Tarik napas.

"Maaf ya, kelinci. Demi progress—"

Namun sebelum sempat menghantam...

Srettt!

Kelinci itu melompat… dan dari belakangnya, muncul ular besar, sisiknya hijau gelap, matanya merah menyala. Giginya menyembul dari rahang bawah, menjulur lidah panjang yang mendesis.

Rynz membeku.

Matanya melotot.

Palu di tangannya mulai gemetar.

“…Tutorial apaan nih anjing.”

Rynz berlari sekuat tenaga. Napasnya memburu, kaki terantuk akar-akar pohon besar, dan tubuhnya mulai penuh goresan akibat ranting tajam. Di belakangnya, ular hutan raksasa itu masih mengejar, melata cepat di antara rerumputan dan tanah becek, mengayunkan tubuhnya seperti cambuk hidup.

"Gila… ini... tutorial macam apa yang langsung ngasih boss level early game begini?!" teriak Rynz dalam hati.

Namun nasib buruknya tidak berhenti di situ.

Saat ia menerobos celah antara dua pohon besar, tanah di depannya terbuka menjadi area berumput luas yang dikelilingi batu-batu runcing. Di tengahnya, berdiri seekor makhluk... yang seketika membuat darahnya membeku.

Seekor serigala merah. Tapi bukan sembarang serigala.

Makhluk itu setinggi kuda dewasa, berdiri dengan sikap waspada. Bulu merah darah menyelimuti seluruh tubuhnya, tampak seperti kobaran api yang hidup. Tubuhnya kekar, penuh otot yang berdenyut pelan, dan dari punggungnya menjulur dua deretan duri tulang yang menyembul seperti tombak kecil.

Namun yang paling mencolok adalah kepalanya—moncong panjang dengan rahang bawah yang retak di sisi kanan, seolah pernah bertarung dengan sesuatu yang lebih besar. Lidahnya menjulur, menjilat taring-taring panjang yang menghitam di ujungnya.

Dan di dahinya…

sepasang tanduk iblis, melengkung ke belakang seperti sabit yang tumbuh dari dalam tengkorak. Tanduk itu menghitam, berkilau seperti batu obsidian, memancarkan aura jahat yang menekan dada siapa pun yang melihatnya.

Matanya...

merah menyala, tapi tidak memantul cahaya. Mata itu seperti lubang ke dalam jurang neraka, penuh kebencian purba dan naluri pembunuh. Nafasnya mengepul, dan dari setiap hembusan itu muncul percikan api kecil yang membakar rumput di sekitarnya.

[Red Devil Wolf — Rank B]

[Warning: Beast-Class Demon Detected]

Rynz membeku. Tubuhnya gemetar. Bahkan ular yang mengejarnya tadi pun berhenti mendadak, mendesis pelan, lalu... mundur perlahan, melata pergi dari arah makhluk mengerikan itu.

Sementara Rynz masih berdiri di tengah lapangan itu.

Palu kecilnya...

bergetar di tangannya. Tak memberikan rasa aman sama sekali.

"...Oh."

"...Ini bukan tutorial."

"...INI SURVIVAL MODE NGENT..."

Sebelum ia sempat menyelesaikan umpatan terakhirnya, Red Devil Wolf itu mengangkat kepalanya...

dan menatap langsung ke mata Rynz.

Rynz memutar tubuhnya secepat yang ia bisa, tidak sempat berpikir dua kali. Ular yang tadi mengejarnya sudah tidak lagi menjadi ancaman—sekarang, seluruh fokusnya adalah berlari menjauh dari Red Devil Wolf yang mengeluarkan desisan rendah, seperti suara bara api yang tersiram darah.

Kakinya bergerak tanpa arah pasti, hanya mengandalkan naluri untuk menyelamatkan nyawa. Napasnya memburu, jantungnya berdentum begitu keras hingga seakan memukul tulang rusuknya dari dalam. Tapi di dalam otaknya… satu kalimat terus menggemakan kebohongan yang selama ini menenangkan:

“Ini masih tutorial. Ini masih game. Gak beneran. Gak nyata.”

Namun kenyataan tidak peduli pada anggapan seseorang.

Suara "DUARRK!!" terdengar dari belakang.

Red Devil Wolf menerjang dengan kecepatan mengerikan. Tubuh besar itu meluncur di udara, dan dalam sekejap… cengkeraman rahangnya menghantam dari sisi kiri tubuh Rynz.

Rynz berusaha menghindar. Tapi dia terlambat.

CRAAAKKK!

Seketika itu juga... lengan kirinya tercabik.

Bahu hingga bawah sikunya menghilang dalam satu gigitan. Terdengar suara tulang patah dan otot yang terkoyak, lalu semburan darah panas menyembur liar dari bekas pangkal lengannya. Tubuhnya terlempar ke tanah seperti boneka kain yang robek.

"AAAAAAAAAAARGHHHHH!!!"

Jeritannya menggema di hutan.

Suara parau penuh rasa sakit yang menusuk.

Seketika itu juga… dunia yang selama ini tampak seperti "game VR", "tutorial isekai", dan semua imajinasi bodoh yang ia ciptakan di kepala…

runtuh.

Darah itu panas. Terlalu panas.

Rasa sakitnya nyata.

Terus-menerus menggigit, membakar, menghantam dari dalam.

Rynz menggigil. Napasnya pendek-pendek. Pandangannya mulai buram. Ia memeluk tubuhnya dengan tangan yang tersisa, berusaha menekan luka yang tak bisa dihentikan.

“Bukan game… ini… beneran… ini... DUNIA NYATA!!”

Tubuhnya mulai melemas, tubuhnya basah oleh darah sendiri, keringat dingin membasahi leher dan kening. Namun dari kejauhan—ia bisa melihat bayangan samar seperti dinding batu, siluet sebuah desa, jauh di balik barisan pohon dan kabut.

Satu-satunya harapan.

Ia menggertakkan giginya.

"Aku belum mau mati… belum sekarang…!"

Dengan seluruh sisa tenaganya, ia mulai menyeret tubuhnya menuju arah desa. Kaki kanan bergerak, tangan kanan mencengkeram tanah. Palu kecilnya—masih tergenggam, penuh darah dan lumpur.

Red Devil Wolf masih berdiri di belakangnya, namun tidak langsung mengejar. Ia hanya mengendus, lalu mengeluarkan erangan rendah—seolah mengintai...

...menunggu korban itu mati perlahan.

Bab 3

Dengan napas tersengal-sengal dan tubuh gemetar, Rynz terus menyeret dirinya maju. Tanah di belakangnya membentuk jejak merah pekat, darah yang mengalir tanpa henti dari bahu kirinya yang kini hanya menyisakan sisa daging robek dan tulang remuk. Pandangannya mulai kabur, langit di atasnya berputar seperti pusaran hitam, dan suara alam di sekelilingnya berubah menjadi dengungan samar yang menusuk telinga.

Namun jauh di depannya—melalui celah kabut—ia mulai melihat bayangan tembok. Kokoh. Tinggi. Dibuat dari batu kasar yang disusun rapat. Di tengahnya, dua daun gerbang besar dari kayu tua tertutup rapat, dijaga oleh dua sosok berpakaian ringan, membawa tombak dan mengenakan pelindung kulit tipis.

Gerbang desa.

"A… aku berhasil…" gumam Rynz, tak yakin apakah suaranya benar-benar keluar dari mulutnya.

Langkahnya sudah tidak bisa disebut langkah. Ia lebih menyeret kakinya, membiarkan tubuhnya meluncur sedikit demi sedikit seperti mayat hidup.

Salah satu penjaga melihatnya mendekat dari kejauhan.

Awalnya, mereka mengangkat tombaknya dengan siaga, mengira itu monster hutan. Tapi saat melihat darah, wajah, dan palu kecil yang tergenggam erat di tangan kanan Rynz…

"Oi! Cepat! Dia masih hidup!"

Penjaga lain segera berlari ke arah Rynz, dan begitu tubuh Rynz hanya tersisa beberapa meter dari pintu gerbang, ia jatuh telungkup.

Mulutnya hanya sempat membisikkan satu kata:

"...tolong..."

Lalu semuanya gelap.

Kesadarannya runtuh.

Palu kecil itu jatuh dari genggamannya, berputar setengah lingkaran sebelum menyentuh tanah… dan saat itu pula, berpendar samar, seolah bereaksi terhadap darah pemiliknya sendiri.

Sementara itu, di dalam desa—tempat yang tampaknya belum pernah menerima "pahlawan gagal"—para penjaga mulai panik.

"Panggil tabib! Cepat!"

"Tangannya… hilang! Astaga, apa yang menyerangnya di hutan?!"

"Dia bukan petarung… dia hanya blacksmith… kenapa bisa sampai sejauh ini sendirian?"

Rynz perlahan membuka matanya.

Cahaya temaram menyambutnya—bukan langit, bukan matahari, tapi atap dari jerami yang diikat rapi. Aroma ramuan pahit, tanah basah, dan kayu terbakar mengisi udara. Tubuhnya terasa berat, seolah ditimpa oleh batu besar, dan kepala berdenyut setiap kali ia mencoba menggerakkan lehernya.

Ia memutar pandangan, pelan. Dinding ruangan dari batu tanah liat, jendela kecil di sudut ruangan, dan meja kayu dengan panci tanah liat yang masih mengepul tipis. Di sebelahnya, seseorang duduk dengan punggung membelakanginya—seorang perempuan tua dengan rambut abu-abu yang dikuncir, tengah menggiling sesuatu dalam mangkuk batu.

Saat suara napasnya mulai terdengar lebih berat, perempuan itu menoleh. Tatapannya tajam, namun penuh kehati-hatian. Ia mendekat, lalu menekan bahu Rynz agar tetap berbaring.

"Jangan bergerak dulu. Kau kehilangan terlalu banyak darah."

Rynz ingin menjawab, tapi bibirnya kering dan lidahnya berat. Ia hanya mengangguk perlahan. Saat ia mencoba mengangkat tangan kirinya secara refleks…

Kosong.

Udara.

Tak ada lengan yang menyambutnya.

Matanya langsung melebar. Kesadarannya kembali seutuhnya.

Namun sebelum rasa panik meledak, suara tenang perempuan itu kembali menekannya.

"Kau masih hidup. Itu yang penting. Jangan memaksa mengingat luka yang sudah terjadi. Kau sempat kehilangan denyut nadi... tapi tubuhmu menolak mati. Itu cukup membuat kami memutuskan untuk menyelamatkanmu."

Ia kembali ke meja, menuangkan ramuan hangat ke dalam cawan tanah liat, lalu mengulurkannya pada Rynz dengan tangan keriputnya.

"Minum. Ini untuk kekuatanmu, bukan untuk lukamu."

Rynz menerimanya dengan tangan kanan, meski gemetar. Ia meneguk perlahan. Rasanya pahit seperti racun, tapi hangatnya menenangkan perut dan dada.

Perempuan itu duduk kembali di bangkunya, menatapnya dari jauh.

"Kau bukan berasal dari sini."

Pernyataan itu bukan pertanyaan. Kalimat datar, tanpa nada curiga, tapi juga tanpa simpati.

"Kami tahu itu dari pakaianmu, dari caramu berjalan sebelum jatuh. Dan… dari palu kecil yang masih kau genggam saat kau pingsan."

Rynz menunduk, menyadari benda itu kini terletak di sisi ranjang, bersandar tenang di atas kain putih.

Palu kecilnya.

Masih utuh. Tidak berubah. Tapi entah kenapa… bersih.

"Kami tidak tahu siapa kau. Tapi hutan tempatmu ditemukan… bukan tempat yang bisa dilewati siapa pun tanpa kemampuan bertahan."

Perempuan itu berdiri, mengambil satu bundel ramuan dari dinding, lalu melanjutkan pelan,

"Untuk sekarang, kau akan tetap di sini sampai tubuhmu pulih. Tapi jika kau membawa bahaya, atau disusul oleh makhluk dari luar sana… kami tak akan bisa melindungimu."

Rynz mengangguk perlahan, kali ini tidak membantah.

Ia hanya menatap langit-langit jerami di atasnya, dan dalam hati—untuk pertama kalinya sejak ia datang ke dunia ini—ia benar-benar mengerti:

Ini bukan mimpi. Bukan game. Ini adalah dunia tempat seseorang bisa mati… dan tak akan pernah kembali.

Beberapa hari telah berlalu sejak Rynz sadar dari lukanya. Tubuhnya masih lemah, tapi ia sudah bisa duduk dan berjalan pelan di dalam rumah kecil yang menampungnya. Lengan kirinya kini hanya tersisa hingga bahu, dibalut kain bersih yang diganti setiap pagi oleh sang tabib.

Ia tidak banyak bicara, lebih banyak mengamati dan mendengarkan.

Dari jendela sempit di dinding barat, ia bisa melihat ladang kecil yang ditumbuhi tanaman aneh mirip rumput tinggi berwarna ungu, serta beberapa rumah tanah lainnya yang dibentuk melingkar seperti sarang. Di kejauhan, suara anak-anak kecil bercanda kadang terdengar, diselingi dengungan hewan liar dari hutan sebelah.

Suatu sore, tabib tua itu duduk di bangku pendek sambil mengupas akar berwarna kehitaman.

"Namaku Mayla," ucapnya tanpa menoleh.

"Aku tabib desa Meryath. Kau diselamatkan oleh dua penjaga saat hampir mati di depan gerbang. Sudah hampir sepekan sejak itu."

Rynz mengangguk pelan. "Meryath… jadi ini nama desanya?"

"Iya. Meryath terletak di perbatasan barat dari wilayah humania. Kami tidak besar, hanya desa tani dan pengumpul ramuan. Tapi cukup kuat untuk bertahan dari serangan makhluk liar."

Mayla berhenti sejenak, lalu melirik ke arah Rynz.

"Meski tidak untuk makhluk iblis."

Rynz menunduk. Wajahnya datar, tapi pikirannya dipenuhi kembali oleh bayangan Red Devil Wolf—taringnya, napas panasnya, dan rasa hancurnya tulang saat lengan kirinya dilumat habis.

"Makhluk itu… serigala bertanduk. Apa kalian tahu apa itu?"

Mayla terdiam sesaat, sebelum menjawab pelan.

"Kalau benar seperti deskripsimu... itu disebut Red Devil Wolf. Salah satu iblis kelas rendah dari daerah retakan neraka. Seharusnya tak mungkin muncul di perbatasan barat. Tapi belakangan… banyak tanda bahwa batas dunia ini mulai melemah."

Ia meletakkan akar yang telah dikupas, lalu bangkit. Diambilnya kendi dari pojok ruangan dan mengisi mangkuk air untuk Rynz.

"Dunia ini bernama Aetherion. Ada lima ras besar: manusia, elf, beastfolk, dwarf, dan demon."

Saat malam turun dan angin dingin mulai menyelinap melalui celah-celah atap jerami, Rynz duduk di pinggir ranjang, memandangi api kecil yang menyala di tungku dekat kaki ranjang. Tabib Mayla telah tertidur di sudut ruangan, tubuhnya diselimuti kain usang, namun napasnya tenang dan teratur.

Di sisi ranjang, palu kecil milik Rynz diletakkan begitu saja di atas potongan kain putih. Tak berkilau. Tak berubah. Hanya… ada di sana, seolah selalu menunggu.

Dalam hening itu, ia mengulang kembali di dalam benaknya seluruh informasi yang ia dapatkan sepanjang hari:

> Sembilan tingkat kultivasi.

Advance, Hunter, Master, Grand Master, King, Emperor, Sage, Saint, dan Immortal.

Itu kata Mayla terakhir sebelum tidur, saat ditanya lebih lanjut. Rupanya, penyebutan sembilan tingkat itu bervariasi tergantung wilayah dan budaya. Di daerah mereka, itulah istilah yang umum dipakai.

Namun bagi Rynz, yang berasal dari dunia yang sangat berbeda—dunia modern, dunia kampus, dunia game online dan sistem EXP—semuanya terasa asing.

"Advance? Master? Sage? Immortal? Kenapa gak langsung aja bikin sistem level 1 sampai 100?" pikirnya sambil mengernyit.

Ia menarik napas panjang, lalu mengangkat palunya, memperhatikannya lagi.

"Kultivasi… jadi di dunia ini, orang-orang ningkatin kekuatan pakai semacam energi spiritual ya? Mirip sistem mana… atau EXP..."

Ia tidak tahu bagaimana caranya menaikkan kultivasi. Tidak tahu apakah ia memiliki "Qi" atau "inti roh" atau semacamnya. Tapi satu hal yang ia tahu:

Dirinya bukan bagian dari dunia ini.

Dan itu bisa jadi kelebihan… atau kutukan.

Ia tidak berbagi kebingungan itu dengan siapa pun. Bahkan kepada Mayla. Tidak sekarang.

Ia hanya menyimpan informasi itu dalam-dalam, menumpuknya di dalam pikirannya seperti catatan yang akan berguna nanti.

"Kalau semua orang di sini pakai sistem tingkat macam Grand Master dan King, dan gua satu-satunya yang ngerti sistem angka... bisa aja gua ngembangin sesuatu yang mereka gak punya."

Pikirannya mulai bergerak.

Meskipun tubuhnya setengah lumpuh dan tangannya tinggal satu, sesuatu dalam dirinya terasa masih menyala—keras kepala, seperti yang dibilang Mayla.

Dan itu bukan cuma soal bertahan hidup.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!