NovelToon NovelToon

Pewaris Terhebat 2

Bab 1

Xander tiba di tempat Lizzy, Lydia dan Samuel berada. la menghembus nafas lega ketika bisa melihat mereka secara langsung. Meski untuk sekarang keadaan sudah relatif aman, tetapi tetap saja ia merasa sangat khawatir jika terjadi sesuatu pada mereka.

Kediaman utama sedang diperiksa secara ketat oleh para pengawal. Mereka diterjunkan langsung seluruh bagian tempat, termasuk hutan dan jalan yang menjadi tempat pertarungan semalam. Para pengawal yang terluka sudah dirawat serta pihak lawan yang tertangkap dikumpulkan untuk diinterogasi.

Xander memeluk Lizzy dengan erat, memejamkan mata.

Ketakutannya dengan cepat menghilang. "Syukurlah semua baik-baik saja. Aku benar-benar takut jika terjadi sesuatu padamu dan anak kita."

Lizzy tersenyum, melepas pelukan. “Aku bukan wanita lemah, begitupun dengan anak kita. Dia akan jadi tumbuh menjadi pria yang hebat. Jangan meremehkan kami."

Lydia dan Samuel berdehem bersamaan.

“Syukurlah, kalian juga tampak baik-baik saja, Ayah,ibu!" Ucap Xander malu-malu.

Obrolan berpindah ke meja makan. Waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi di mana sinar matahari terlihat menerobos kaca jendela.

"Apa aku melewatkan sesuatu?" ujar Sebastian yang mendekat ke arah meja makan. la duduk di kursi kosong di samping Samuel. "Ini terlalu biasa untuk sebuah perayaan. Kita bisa membuat perayaan untuk keberhasilan malam tadi."

Obrolan beralih ke ruang tamu setelah sarapan usai. Xander berniat mengajak Lizzy jalan-jalan di sekitar taman, tetapi urung ketika Sebastian memberi tanda untuk kembali duduk.

“Ada seseorang yang datang berkunjung pagi ini." Sebastian berdiri, menghadap pintu masuk di mana suara langkah kaki mulai terdengar.

Xander, Lizzy, Lydia, Samuel, dan Govin menoleh ke arah yang sama.

"Apa aku datang terlalu pagi?" Marcus muncul bersama para pengawalnya.

"Kakek." Xander ikut berdiri.

Marcus menoleh pada Xander, Sebastian dan berhenti di sosok Samuel dan Lydia yang berdiri berdampingan di samping Sebastian. Wajah kakek tua itu tampak terkejut hingga tubuhnya mundur selangkah. la memejamkan mata dan kembali membukanya. Hal itu terus berulang beberapa kali. "Aku akhirnya mengerti bagaimana perasaan anak-anakku ketika melihat seseorang yang disangka sudah meninggal nyatanya masih hidup. Dibandingkan memberi kejutan, nyatanya aku yang justru mendapatkan kejutan."

Marcus mendekat dengan mata berkaca-kaca. “Lydia... Samuel... syukurlah kalian masih hidup. Aku turut bersedih saat kalian mengalami kecelakaan beberapa tahun lalu, Aku tidak akan bertanya banyak hal bagaimana kau selamat, tapi yang pasti aku sangat bahagia."

Samuel berjalan pelan ke arahnya, memeluk Marcus. “Maaf, Ayah... Kami terpaksa menyembunyikan diri. Tapi kini saatnya kami kembali.”

"Terima kasih, Ayah. Aku juga senang bisa bertemu denganmu kembali. Banyak hal yang terjadi pada kami selama lima tahun terakhir. Tapi yang membuatku tetap kuat adalah harapan untuk bisa bertemu kalian kembali.” sahut Lydia..

Marcus menoleh pada Lizzy. la terdiam sesaat ketika melihat wanita itu dari dekat. "Kau pasti Lizzy. Kau berkali-kali lebih cantik dibanding saat aku melihatmu dari sambungan Video. Bagaimana keadaan cicitku?"

Lizzy menoleh pada Xander sesaat. "Cicitmu baik-baik saja, Kakek. Terima kasih karena sudah berkunjung untuk menemuiku."

"Syukurlah. Aku datang menemuimu atas kemauanku sendiri. Aku takut jika usiaku tidak lagi panjang sehingga aku tidak bisa bertemu denganmu dan cicitku secara langsung." Marcus menyeka tangis sesaat, tersenyum.

Marcus duduk di kursi. "Alexander, kau harus menjaga Lizzy dan calon anakmu dengan baik. Kau akan dihadapkan pada jalan terjal dan panjang. Sekuat dan secerdas apapun dirimu, kau tetap membutuhkan sosok tak kalah hebat di sampingmu."

Marcus melanjutkan, "Kemenangan yang kau raih semalam hanyalah permulaan. Aku yakin jika ada beberapa orang di keluarga Ashcroft yang tidak menerima begitu saja kekalahan mereka dengan diseretnya ketiga pamanmu dan anggota keluarga Ashcroft yang lain ke penjara. Di sisi lain, sekutu mereka juga tidak akan tinggal diam dan akan berusaha untuk menuntut balas."

"Dua sekutumu yakni keluarga Hillborn dan keluarga Stravenhall adalah dua sekutu yang sangat kuat karena diikat dengan ikatan keluarga. Akan tetapi, bukan berarti mereka bisa membantumu di setiap waktu. Adankalanya kau harus menghadapi semua musuhmu dengan kekuatanmu sendiri. Aku berpesan kau jangan terlalu mengandalkan bantuan orang lain karena hal itu bisa membuatmu lemah dan abai. Semua hal bisa saja terjadi. Rekan menjadi lawan, lawan menjadi rekan."

Xander mendengarkan saksama.

Marcus menjeda sejenak. "Kau harus semakin kuat dari waktu ke waktu, Alexander. Begitupun dengan pasukanmu. Untuk itu, aku akan memberitahukan sesuatu padamu. Pergilah ke kota Petalland di negara Lytora untuk berlatih di bawah bimbingan rekanku yang bernama Evan Krest. Dia adalah mantan prajurit rahasia negara Vistoria yang kemungkinan menetap di sana sebagai penduduk biasa. Ada kemungkinan lain jika Evan Krest juga pindah dari kota Petalland ke kota maupun negara lain."

"Evan Krest?" Sebastian tercenung sesaat. "Aku belum pernah mendengar namanya."

"Prajurit rahasia negara Vistoria?" Alexander tiba-tiba merasa tegang.

Marcus mengangguk, memberikan sebuah foto yang kertasnya sudah berwarna kuning. "Ini adalah fotoku dengan Evan Krest saat kami masih muda. Kisaran waktunya mungkin sekitar lima puluh tahunan yang lalu."

Samuel mengambil foto tersebut, mengamati sosok di samping Marcus. "Aku benar-benar asing dengan orang ini.”

Samuel memberikan foto itu pada Sebastian lalu kepada Alexander.

"Aku tidak tahu Evan Krest masih hidup atau tidak, tapi pastinya akan ada sosok penerus yang meneruskan ilmu-ilmu dan kemampuannya. Aku juga tidak tahu apa Evan Krest atau keturunannya mau menerimamu sebagai muridnya meski kau mengatakan bahwa kau adalah cucuku, tapi dialah orang yang sangat cocok untuk membantumu, Alexander."

Xander mengepalkan tangan erat erat, mengamati sosok Evan Krest. "Ini sebuah informasi yang sangat penting untukku, Kek. Musuh musuhku pastinya sedang berusaha untuk menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Aku tidak akan melewatkan kesempatan ini begitu saja."

Marcus memberikan sebuah kotak kecil pada Xander. “Aku harap kotak ini akan membantumu untuk meyakinkan Evan Krest atau keturunannya untuk melatihmu."

Xander membuka kotak tersebut. la mendapatkan sebuah pisau berukir harimau emas. "Ini adalah pisau yang diberikan Evan Krest padaku sebagai hadiah di masa lalu. Aku yakin dia dan keturunannya akan langsung mengingatnya."

Xander mengangkat pisau dari tempatnya, mengamatinya saksama. Ia menjadi lebih tegang dari sebelumnya. Sebuah tantangan baru terbuka di depannya saat ini.

"Aku harap informasi dariku bisa membantumu." Marcus pamit tak lama setelahnya.

"Xander, ini kesempatan yang tidak akan datang dua kali. Kau harus menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Selain itu, kau juga harus bisa menemukan Evan Krest dan berlatih dengan arahannya. Bawalah para pengawal terbaik untuk pergi bersamamu ke sana."

Xander menoleh pada Lizzy, beralih pada Samuel, Lydia, dan berakhir pada Sebastian. Orang-orang inilah yang menjadi sumber kebahagiaannya, dan musuh-musuhnya tidak boleh sampai menyakiti mereka. Menjadi kuat dan tangguh adalah keharusan yang tidak boleh ditunda-tunda.

"Kami sudah menyerahkan semuanya padamu, Xander. Kau harus mempersiapkan rencanamu dan kami hanya akan memberikan nasihat jika kau membutuhkannya." Samuel berdiri, mengulurkan tangan pada Lydia.

Sebastian, Samuel dan Lydia meninggalkan ruangan dengan beberapa pengawal.

"Kau harus melakukannya. Ini kesempatanmu." Lizzy menggenggam tangan Xander. "Aku yakin kau mampu melakukannya.”

Xander mengangguk. "Govin, segera kumpulkan kesepuluh pengawal utama, termasuk Miguel dan Mikael. Dan segera buat tim khusus untuk mencari keberadaan Evan Krest secepatnya. Kita tidak boleh membuang waktu."

"Aku mengerti, Tuan.”

Bab 2

Di tengah matahari yang semakin meninggi, Theron, Troy, dan Tyler tengah melihat proses penguburan Theo Lennox. Banyak pengawal berbusana hitam yang ikut menyaksikan pemakaman tersebut. Suasana begitu hening sampai akhirnya pecah oleh hujan yang mendadak mengguyur deras.

Peti sudah tertutup sepenuhnya oleh tanah. Troy berjongkok di sisi pusara, menatap kosong tanah merah basah di dekatnya. “Aku akan membalaskan dendammu pada mereka, Ayah. Aku tidak akan mati sebelum bisa bisa menghancurkan Alexander, Sebastian, dan Miguel."

Theron, Tyler, dan para pengawal masih berada di tempat yang sama, tak beranjak sedikitpun meski hujan semakin mengguyur deras.

Satu per satu pengawal menjauh dari pusara hingga hanya menyisakan Theron, Troy, dan

Tyler. Tidak ada pembicaraan di antara ketiga pria itu untuk sementara waktu. Mereka tenggelam dengan pikiran dan perasaan masing-masing.

“Saatnya kita pergi, Troy. Menunggu selama apapun, tidak akan membuat ayahmu dan kakakmu kembali hidup," ujar Theron.

Troy segera berdiri, mengamati pusara Theo Lennox dengan tatapan yang masih kosong. Kepalan tangannya tampak menguat hingga

akhirnya kembali mengendur.

"Baiklah."

Theron, Troy, dan Tyler meninggalkan pusara. Beberapa pengawal segera mendekat untuk memayungi mereka meski tampak percuma sebab ketiganya sudah basah kuyup.

"Edward mengalami luka yang cukup serius sampai harus berada di kursi roda, sedang rekannya yang bernama Leonel mengalami patah kaki karena tertimpa lemari ketika bom meledak. Menurut keterangan dari pihak Edward, bom yang meledak di tempat mereka berasal dari sepatu yang digunakan Edward. Kemungkinan besar, Miguel yang menempatkan bom itu saat dia membekuk mendiang ayahmu dan Edward. Edward lebih beruntung karena sepatu yang dikenakannya sudah dibuang ke tempat sampah sehingga ledakannya tidak mengenainya secara langsung dan hanya mengenai bawahannya saja," ujar Theron.

Troy menggertakkan gigi. Dinginnya air hujan sama sekali tidak membuat amarahnya meredup, yang terjadi justru semakin membesar hingga dirinya terbakar.

Theron, Troy, Tyler memasuki mobil. Rombongan mobil mulai menjauh dari pemakanan Theo Lennox. Hujan besar seakan mewakili kesedihan karena kepergian sosok ayah, kakak, paman, dan pemimpin mereka.

Di tempat berbeda, Edward sedang melihat foto keadaan Theo Lennox sesaat setelah ledakan bom di layar. Wajahnya tampak datar dengan tatapan kosong. la memang tidak terlalu dekat dengan Theo Lennox, tetapi tak bisa dipungkiri jika pria itu adalah salah satu sekutu terkuatnya.

"Pertemuan Anda dengan Troy Lennox dan Tyler Lennox akan berlangsung satu jam lagi, Tuan," ujar salah satu pengawal Edward.

Edward tidak menanggapi apa pun. Saat akan pergi, ponselnya tiba-tiba berdering. "Ayah?"

Edward menggertakkan gigi, memejamkan mata kuat-kuat. Perasaannya menjadi tidak keruan

sekarang. Meski malas untuk mengangkat telepon, tetapi jika tidak dilakukan, keadaannya justru akan semakin sulit. Dengan terpaksa ia menerima panggilan.

"Aku sudah mendengar semuanya dari Leonel," ujar Caesar dengan nada dingin, "kau sudah mengecewakanku, Edward. Kau juga sudah mempermalukan nama keluarga Graham sebagai keluarga pembunuh bayaran terkuat di negara Havreland. Kau harus berterima kasih pada Leonel karena dia menahanku untuk tidak menghukummu sebab dia mendapat kabar bagus mengenai kelima benda antik itu di rumah Alexander.”

"Maafkan aku karena aku belum bisa menjadi orang yang kau inginkan, Ayah." Edward menatap kosong jendela yang dipenuhi tetes air di depannya. "Dalam pertarungan semalam, aku tidak menduga jika Alexander dan Sebastian memiliki sekelompok pengawal tangguh yang–”

"Aku tidak membutuhkan alasanmu." Caesar setengah membentak. “Aku sedang berada

dalam perjalanan menuju tempatmu saat ini. Sialan, kau membuatku harus turun tangan."

Edward terdiam meski sambungan telepon sudah terputus. Napasnya mendadak terengah engah hingga bahunya berguncang. la menggenggam ponsel dengan erat, bersiap untuk melemparnya, tetapi ia akhirnya mengurungkan niatan tersebut.

Satu jam kemudian, Troy dan Tyler tiba di tempat Edward. Keduanya memasuki sebuah ruangan di mana Edward berada.

Edward melihat kedatangan Troy dan Tyler dari pantulan kaca jendela. Meski begitu, ia tidak berbalik atau mengatakan apa pun. Selama satu menit lamanya ruangan diisi keheningan.

Edward akhirnya berbalik, mendekat pada Troy dan Tyler yang masih berdiri. “Aku turut berduka dengan meninggalnya Theo Lennox. Meski hubunganku dan dia tidak terlalu dekat dan hanya sebatas kerja sama yang saling menguntungkan, tapi harus kuakui kalau dia adalah sosok yang luar biasa."

Troy masih belum menanggapi apa pun. la tidak menyukai Edward karena dahulu pria itu pernah menghina harga dirinya. Akan tetapi, mengingat keadaannya saat ini, ia tidak punya pilihan lain selain memperkuat kerja sama dengan Edward. “Aku menghargai ucapan belasungkawamu, Edward.”

"Duduklah." Edward memosisikan diri berhadapan dengan kursi.

Troy dan Tyler duduk di sofa.

"Seperti yang kalian lihat, keadaanku tidak cukup baik sekarang. Aku tidak bisa bergerak bebas dan untuk sementara waktu harus berada di kursi roda. Aku sama sekali tidak keberatan jika kalian ingin bekerja sama denganku. Jika kita melawan Alexander dan Sebastian dengan kekuatan sendiri, akan sangat sulit bagi untuk membalaskan dendam kita pada Alexander dan Sebastian. Selain memiliki kekayaan dan kedudukan, mereka juga memiliki pasukan yang sangat kuat, salah satunya Miguel. Dia adalah penghalang besar bagi kita untuk mendekat pada Alexander dan Sebastian."

"Aku setuju denganmu. Miguel adalah sosok yang harus disingkirkan lebih dulu. Akan tetapi, mendekatinya tidak kalah sulit. Kita harus memikirkan cara untuk menjebaknya dan menghabisinya," sahut Troy.

"Sejujurnya, aku merasa curiga dengan tindakan Alexander dan Sebastian. Mereka memang

mengirimkan pasukan untuk menangkap mu dan mendiang pamanku saat kalian kabur dan diselamatkan, tapi anehnya Alexander dan Sebastian justru menarik mundur pasukan mereka, padahal mereka bisa saja sudah mengetahui tempatmu dan mendiang pamanku dari bom yang sengaja mereka tanamkan. Aku bertaruh jika mereka juga menempatkan beberapa kamera pengawas. Hal yang membuatku semakin curiga adalah mereka justru terkesan membiarkan kita bergerak leluasa, padahal mereka bisa saja menghabisi kita semalam. Apa mungkin mereka berharap besar pada bom yang mereka tanamkan atau mereka memiliki pemikiran lain?"

"Kau benar. Dengan kekuatan mereka saat itu, mereka bisa saja menghabisiku dan Theo Lennox langsung di tempat kejadian tanpa pikir panjang. Akan tetapi, mereka sama sekali tidak melakukannya." Edward berdecak, berusaha mengendalikan amarah yang kembali menyiksa. Kepalanya mendadak pening karena memaksa otaknya untuk mencari jawaban pasti dari tindakan Xander dan Sebastian. "Mereka juga bisa menghabisi kita tanpa harus menunda-nunda waktu seperti sekarang."

Troy memejamkan mata karena emosi yang akan meledak. Sungguh sial, baru saja ingin membalaskan dendam, ia justru dihadapkan pada jalan buntu. Ia tidak tahu rencana apa yang sudah disusun Xander dan Sebastian di balik tindakan mereka yang membiarkan musuh-musuh mereka bebas begitu saja.

Pintu tiba-tiba terbuka dari luar. Caesar memasuki ruangan, menoleh pada Edward, Troy, dan Tyler bergantian. “Aku tidak tahu kalau keadaanmu separah ini, Edward."

"Ayah." Edward membungkuk hormat.

"Tuan Caesar." Troy dan Tyler segera berdiri, memberi hormat.

Caesar duduk di kursi kosong, menyandarkan punggung, menghidupkan cerutu. “Aku tidak

tahu kalau Theo Lennox akan pergi secepat ini. Aku harus mengakui jika dia sosok pekerja keras dan terampil."

Caesar mengembuskan napas. Asap rokok mengepul di sekitar wajahnya. "Sejujurnya, aku tidak menduga jika pasukan pembunuh bayaran nomor satu di dua negara bisa dikalahkan oleh Alexander dan Sebastian. Itu membuatku muak dan kesal. Tapi di sisi lain aku senang karena pada akhirnya aku menemukan lawan yang pantas."

Caesar memajukan letak duduk, tersenyum bengis. "Sebagai balas jasaku pada Theo Lennox, aku akan ikut turun tangan dalam masalah ini. Aku akan menghadapi Miguel.”

Bab 3

Edward, Troy, dan Tyler sontak terkejut ketika mendengar perkataan Caesar barusan. Ketiganya saling berpandangan, kembali menatap Caesar yang kini berjalan menuju jendela.

Caesar melirik ke arah Edward, Troy, dan Tyler sesaat, menatap titik-titik air yang terperangkap di kaca jendela. Asap cerutu masih mengepul di dekat wajahnya. "Aku belum pernah bertemu dengan Miguel secara langsung. Aku hanya mendengar kehebatannya darimu maupun dari anak buahku, Edward. Aku menjadi sangat penasaran dengan Miguel dan ingin bertarung dengannya satu lawan satu.

Kehidupan di penjara yang sangat keras, ditambah pengkhianatan dari keluarga Ashcroft dan rekan rekannya, membuat Miguel tidak memiliki pilihan lain selain terus bergerak maju. Hal itulah yang menjadikannya sangat kuat. Tidak ada ruangan dalam dirinya untuk ragu.

Edward menggertakkan gigi, teringat dengan dirinya yang ragu dalam beberapa kali kesempatan. Keragu-raguan itulah yang membuatnya kalah dan terhina seperti sekarang.

Caesar berbalik, tersenyum. "Jika Theo Lennox berhasil dikalahkan dengan mudah, itu berarti tingkatan kemampuan Miguel berada cukup jauh dari kalian bertiga. Jika kalian langsung menyerang Miguel, kalian hanya akan menyerahkan nyawa kalian sendiri. Aku ingin kalian memperkuat pasukan kalian, terkhusus kalian sendiri. Meski kalian tidak bisa menghadapi Miguel jika melawannya sendiri sendiri, tapi kemungkinan untuk memenangkan pertarungan dengannya bisa saja terjadi jika kalian menyerangnya bersama sama ketika kalian dan pasukan kalian sudah bertambah kuat. Kalahnya Miguel adalah gerbang kemenangan untuk mengalahkan Alexander dan juga Sebastian."

Caesar mengembuskan asap rokok ke atas. “Jangan terlalu terburu buru untuk membalas dendam. Gunakan waktu kalian sebaik mungkin. Untuk menghadapi musuh yang tangguh, tidak hanya dibutuhkan kekuatan, tapi juga kesabaran. Dengarkan aku baik baik, aku akan memberi tahu cara agar kalian bisa bertambah kuat. Pergilah ke tempat rekanku yang bernama Franklin di kota LittleTown yang ada di negara Lytora. Dia adalah seniorku saat aku berada di penjara. Aku juga pernah berkerja sama dengannya beberapa kali. Dia adalah orang yang cocok untuk melatih kalian."

Edward mengepalkan tangan erat-erat. "Kapan kami harus bertemu dengannya, Ayah?"

"Semakin cepat kalian ingin membalas dendam, semakin cepat pula kalian harus bertemu dengannya." Caesar duduk kembali di sofa, menyilangkan kedua kaki, mengembus asap rokok ke atas, mematikan cerutu di asbak. "Hanya saja aku tidak bisa memastikan jika kalian bisa menemukan Franklin dengan mudah. Selain itu, meski kalian sudah bertemu dengan Franklin, bukan berarti dia dia mau melatih kalian. Kalian harus bisa meyakinkannya untuk mau menerima kalian sebagai muridnya."

Edward, Troy, dan Tyler kembali saling menoleh.

"Terima kasih karena sudah membantu kami, Tuan Caesar." Troy membungkuk. “Aku sangat menghargai kebaikanmu."

Caesar tertawa. “Aku tidak memberikan informasi itu secara percuma, Troy. Semua hal di dunia ini memiliki harga yang pantas.”

"Lalu apa yang harus kami lakukan untuk bisa membalas jasa Anda?"

“Aku hanya ingin kesetiaan kalian dan seluruh keturunan kalian, Troy, Tyler. Bukankah itu tidak sulit?" Caesar tersenyum.

Troy dan Tyler saling menoleh, memberi anggukan satu sama lain.

"Kami tidak keberatan dengan hal itu. Keluarga Lennox akan memberikan kesetiannya pada Anda." Troy membungkuk kian bawah, mengepalkan tangan erat erat. Ia tidak peduli dengan harga dirinya sekarang selama ia bisa

membalaskan dendam ayahnya.

"Lalu apalagi yang kalian tunggu sekarang? Segera cari Franklin dan temui dia secepatnya. Selama kalian mencari dan berlatih di bawah arahannya, aku juga akan mempersiapkan diri untuk bertarung dengan Miguel." Caesar kembali menghidupkan cerutu. "Aku hanya bisa membantu kalian sampai sejauh ini. Sisanya kalian harus berjuang dengan kekuatan kalian sendiri."

Caesar bertepuk tangan sekali. Seorang pengawal memasuki ruangan. la memberikan tiga lembar foto pada Edward, Troy, dan Tyler.

"Foto itu adalah foto Franklin yang diambil sekitar 30 tahun yang lalu. Aku nyaris tidak bertemu selama itu dengan Franklin."

Edward, Troy, dan Tyler mengamati foto tersebut saksama.

"Kami akan segera mempersiapkan semuanya, Tuan." Troy berdiri dari sofa. Ia dan Tyler memilih pamit untuk segera mempersiapkan semuanya.

Ruangan hening setelah kepergian Troy dan Tyler, yang terdengar adalah suara hujan turun, embusan asap cerutu, dan detak jam. Edward masih mengamati foto Bejamin.

“Aku tidak ingin kau mengecewakanku lebih dari ini, Edward. Kau kalah karena kau ragu ragu dalam pertarungan semalam. Dalam pertarungan, tidak ada tempat untuk keragu-raguan. Ingatlah baik-baik. Saat kau ragu, saat itulah kau berada dekat dengan kematian"

Edward terdiam sesaat dan secara tiba-tiba memaksakan diri bangkit dari kursi roda. la berhasil berdiri meski beberapa kali oleng dan nyaris terjatuh. "Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu lagi, Ayah.”

Caesar tersenyum tipis, mengembuskan asap ke arah Edward. "Mari kita lihat. Apa kau hanya

membual atau bisa membuktikan perkataanmu? Kua tahu, aku bisa menggantikanmu jika aku mau sejak dulu. Tapi aku tidak melakukannya karena aku melihat sesuatu yang tidak biasa darimu, Edward. Jangan membuatku kecewa karena aku sudah memilihmu, Edward."

Edward terdiam dengan amarah yang semakin meluap-luap.

"Satu hal lagi." Caesar berdiri dari sofa, mendekat pada Edward. "Di umurmu yang sudah menginjak tiga puluh tahun, kau harus segera memikirkan penerusmu. Aku tidak peduli dengan siapa kau akan memiliki anak. Aku juga tidak peduli kau menikah atau tidak. Selama kau memberikanku keturunan, itu lebih dari cukup. Tapi kau harus ingat jika aku hanya akan menerima anakmu, tapi tidak dengan wanita yang melahirkannya. Bagiku wanita tidak lebih dari sekedar penghibur dan pengganggu di saat bersamaan. Jika aku harus memberimu saran, pilihlah wanita yang berasal dari keluarga yang bisa membantumu."

Edward dekat dengan banyak wanita, dan tak terhitung wanita yang sudah ia tiduri. Akan tetapi, memilih wanita yang akan menjadi ibu dari penerusnya terasa cukup sulit baginya. Ia mengenal banyak wanita dari keluarga pembunuh bayaran yang lain, tetapi entah mengapa pikirannya justru tertuju pada Ruby.

Sebagai bagian dari anggota keluarga Ashcroft, Ruby adalah kandidat yang cocok. Hanya saja, jika memilih wanita itu, Edward harus terjebak dalam status pernikahan. Selain itu, kemungkinan besar ia belum tentu mendapatkan restu dari keluarga Ashcroft, terlebih setelah diseretnya Franco, Fabian, dan Felix ke penjara serta Alexander dan Sebastian yang bisa saja menolak keras dan mengambil sikap tegas.

Caesar mencengkeram bahu Edward dengan kuat. Di saat yang sama, Edward menahan rasa sakit sekuat mungkin.

Caesar tertawa justru tertawa, mengembuskan napas hingga asap menyelimuti wajah Edward. la berjalan meninggalkan Edward sendirian di ruangan tanpa mengatakan apa pun lagi.

Edward tercenung selama beberapa waktu di tengah kesunyian, berbanding terbalik dengan pikirannya yang ramai dengan wanita mana yang harus mengandung anaknya. Sialnya, wajah Ruby terus terbayang.

Edward segera menghubungi seseorang. Pengawal pribadinya muncul dari balik pintu tak lama setelahnya. “Kirimkan pengawal untuk mengawasi Ruby Ashcroft."

"Aku mengerti, Tuan. Apa ada lagi yang kau inginkan?"

"Bagaimana dengan keadaan Franco, Fabian, dan Felix? Aku ingin bertemu dengan mereka secepatnya."

"Mereka diawasi sangat ketat oleh pasukan Alexander dan Sebastian. Setiap orang yang menjenguk mereka akan diperiksa dengan

sangat ketat, Tuan."

Edward berdecak. "Lalu bagaimana dengan Dalton dan Jasper? Apa mereka sudah memberikan jawaban untuk tawaranku?"

"Mereka belum memberikan balasan apa pun, Tuan. Seluruh keluarga Ashcroft diawasi dengan sangat ketat oleh pasukan Alexander dan Sebastian sehingga sulit bagi mereka untuk bertindak.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!