NovelToon NovelToon

Misteri Desa Lagan

Bab 1. Datang Ke Desa Lagan

Singgalang, Padang, 2008.

BAWAN- 7 Gadis Perawan yang bernama Anggita Sari (19 Tahun), Riska Aulia (18 Tahun), Hanifa Maudina (17 Tahun), Delmi Putri (17 Tahun), Marni Sinandar(14 Tahun), Via Purnama Sari (12 Tahun), dan paling kecil bernama Abel Tasnia(9 Tahun). Meninggal dunia dalam kecelakaan di jalan simpang tiga Lagan, AMP lama, Desa Tapian Kandih, Salareh Aia, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, sekitar pukul 05.30 WIB.

Kapolres Agam AKBP Ivan Irwansyah di dampingi kasat lantas IPTU Damrah Surendra menjelaskan, korban adalah warga Muaro Kandang, Lagan, dan Rimbo Laweh, Desa Tapian Kandih, Salareh Aia.

"Peristiwa tersebut terjadi atas tabrakan dari mobil pick up Mitsubishi L-300 berisi suplai makanan yang akan dikirim ke pusat kota dengan BA 1418 TZ, yang dikendarai oleh Muhammad Lutfi (32 Tahun), datang dari arah jalan Pasaman menuju jalan raya lintas Padang-Pariaman."

Sesampai di TKP, kendaraan dibagian depan tampak penyok, dua ban depan sudah masuk ke dalam parit di tepi jalan, mobil bagian depan itu menghimpit enam gadis sekaligus, sedangkan yang satu lagi terpelanting ke jalan raya.

"Akibat dari kecelakaan tersebut, korban mengalami luka berat, satu orang langsung meninggal dunia di TKP, dua orang meninggal dunia di jalan, saat hendak dibawa ke rumah sakit Bawan, tiga orang lagi meninggal di rumah sakit Bawan, sedangkan satu orang lagi, sempat di rawat di rumah sakit M-Jamil Padang selama tiga hari, namun tak terselamatkan."

Menurut kesaksian dua teman korban yang selamat dari kecelakaan maut, mobil pick up Mitsubishi L-300 itu mengejar mereka dengan laju cepat.

"Saat kami marathon bersama, dari depan kami melihat ada mobil. Tetapi mobil itu terlihat bergerak aneh, seharusnya ada dibagian kanan, tapi mobil malah menyebrang ke arah kiri, ke sebelah kami," tutur Leli (18 Tahun)

"Saat itu, Kak Leli langsung berteriak menyuruh kami menepi, kami semua sudah menepi, bahkan kami sudah melompat ke seberang parit, tetapi mobil melaju dengan cepat ke arah kami, hiks ... hiks ... aku yang berada di paling belakang saat itu, melihat temanku tertabrak di depanku hanya berjarak beberapa senti meter, aku takut sekali, aku menangis histeris, hingga Kak Leli menarik tanganku dan kami meminta tolong. Waktu itu, Mesjid masih ramai dengan Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang baru selesai tadarusan selesai sholat subuh," kata Sherly (16 Tahun) sambil menangis.

Dari kesaksian dan bukti dari TKP, sang sopir dinyatakan lalai dalam mengemudi (mengantuk saat mengemudi) hingga dia diputuskan kurungan di dalam penjara dan ganti rugi.

Setelah sebulan kejadian kecelakaan maut yang menyebabkan 7 kematian Gadis Perawan. Silih berganti terjadinya kecelakaan yang menewaskan para pemuda yang melewati jalan itu, rentang usia 10 tahun hingga 25 tahun selama satu tahun terakhir.

Mulai dari jatuh dari atas atap mobil oplet, ditabrak saat menyebrang, terjatuh dan terguling-guling saat menaiki mobil oplet, kecelakaan sepeda motor, dan lainnya. Pemuda yang meninggal bukan hanya warga sekitar desa Lagan, Amp, Muaro Kandang, Tapian Kandih, dan sekitarnya, namun berbagai pemuda dari daerah lain yang melewati jalan itu.

Hingga semenjak itu, warga sekitar melakukan do'a bersama dengan dipimpin oleh Ustadz, untuk melakukan doa menolak bala dan dijauhkan dari musibah.

Semua Masyarakat bersama-sama berdo'a dan berkeliling kampung.

**Lagan, 2015**.

Terik panas matahari pagi, menjelang jam 11 siang sangatlah pedih menusuk kulit. Ada empat orang pemuda kelas 2 SMK bersama guru pembimbingnya, tengah berjalan kaki menuju rumah kepala jorong/desa (Pak RT).

Mereka di turunkan melebihi simpang tiga oleh bus umum. "Hah, capeknya! Kenapa, sih! Mobil bus tadi nurunin kita di sana? Nggak pas di simpang jalan aja? Kalau gini, kita harus jalan muter mundur lagi," protes salah satu pemuda berbadan kerempeng, rambut ikal bergelombang, dengan gigi yang sedikit mencangkul keluar alias tonggos.

"Udah lah Diro, namanya juga bus umum. Untung aja kita nggak di turunin disimpang satunya lagi, lebih jauh kita jalan," balas Pemuda berkulit putih, rambutnya berdiri-diri, pendek, lurus, dan hitam, badannya sedikit gembul menggemaskan, tetapi dia cukup tinggi.

"Tapi 'kan capek dan panas, Gung!" Masih saja protes.

Yang kurus bernama Diro Haryo, sedangkan berkulit putih ini bernama Agung Sedayu. Lalu di sebelahnya, seorang pemuda pendiam, tatapan mata tajam, tubuh atletis, rambut panjang berponi, gaya urakan dan gaul, namanya adalah Saddam Mousen.

"Udah, udah, kalian ini, ngapain sih ribut. Baru juga sampai di desa Lagan, udah berdebat," ujar Viko Pratama. Pemuda paling tampan diantara mereka berempat, mudah tersenyum dan ramah.

Guru pembimbing hanya diam saja, tak banyak bicara, dia hanya memilih berjalan dengan diam karena lelah dan panas. Rumah di daerah ini sedikit berjarak-jarak, tak sama dengan rumah di kota yang beradu dinding.

Kurang lebih mereka berjalan selama 15 menit, barulah mereka sampai di sebuah rumah semi permanen, rumah yang dibawahnya batu bata, namun di atasnya dengan papan dan atap seng.

"*Assalamu'alaikum*," kata Guru Pembimbing mengucapkan salam.

Toktoktok! "*Assalamu'alaikum*." Guru Pembimbing kembali mengetuk pintu yang tertutup dan mengucapkan salam.

Tak lama terdengar suara sahutan dari dalam. "*Wa'alaikumsalam*."

Seorang ibu paruh baya membuka pintu rumah dan menatap mereka berlima.

"Permisi, apakah ini rumah Kepala Jorong?" tanya Guru Pembimbing ramah.

Ibu itu kemudian membuka pintunya lebar. Berjalan dua langkah ke depan. "Iya, benar. Silahkan duduk dulu," ucapnya dengan mengedepankan tangannya ramah, mempersilahkan mereka semua duduk di kursi yang terbuat dari kayu dan sebagiannya dari rotan di depan teras.

"Tunggu ya, Ibu akan memanggil Bapak dulu, di belakang," pamitnya.

"Iya, Buk," sahut mereka semua ramah dan menganggukkan kepala.

Tak lama, muncul 'lah pria paruh baya menggunakan sarung dengan short shirt berwarna kuning, kopiah berwarna hitam. Wajahnya berkumis lebat dengan bola mata bulat besar.

Guru pembimbing langsung menyalami bapak itu, yang diiringi juga oleh empat muridnya.

"Perkenalkan, saya Anisa Lulu, Guru SMKN 1 Kartika Raya Padang. Ini murid-murid saya, bernama Diro, Agung, Viko, dan Saddam," tunjuk Bu Anisa bergantian pada murid-muridnya.

Pak Jorong mengangguk. "Salam kenal anak muda. Saya Pak Syaf," jawab Kepala Jorong itu. "Dan dia istri saya, Bu Net," lanjutnya lagi memperkenalkan diri, saat Bu Net membawa nampan air putih di dalam teko dengan 5 gelas, serta roti biskuit kelapa di dalam piring.

Bu Anisa tersenyum ramah sambil mengangguk.

"Ada perlu apa Nak Anisa? Apa ada yang bisa kami bantu?" tanya Pak Syaf *to the point*.

"Oh, begini Pak. Berhubungan karena susah nya menemukan lowongan untuk mencari pengalaman di daerah kota Padang, kami memutuskan untuk bertanya-tanya dan mencari informasi. Murid-murid saya mengambil jurusan Teknik Survei dan Pemetaan, di kota tidak ada lagi pembangunan dan pelebaran jalan ataupun pembuatan jembatan. Jadi, kami menelusuri daerah ini yang sedang pelebaran jalan."

"Untuk itu, kami meminta bantuan dan izin Pak Syaf, untuk mengizinkan anak-anak menetap dan tinggal di desa Lagan selama mereka melakukan Praktek Kerja Lapangan (PKL). Kami telah mengirim lamaran permohonan pada PT. Sen Padang, ini surat persetujuannya," ucap Bu Anisa menunjukkan surat dari pihak pengelola untuk memperluas jalan raya.

Pak Syaf membaca surat itu dengan mengangguk. "Baiklah. Lalu, apakah mereka semua sudah mendapatkan tempat tinggal?" Pak Syaf menatap Bu Anissa.

"Sudah Pak, di rumah Buk Raisyah. Saya sudah berkomunikasi dengannya di telepon kemarin malam. Setelah ini, kami akan mendatangi rumah beliau," terang Anisa.

"Oh, syukurlah kalau begitu. Kalian cukup tinggalkan foto copy Kartu Keluarga (KK) dan fotocopy izin PKL di sini saja untuk dokumentasi."

"Baik, Pak."

Setelah berbincang-bincang dengan Pak Syaf dan Bu Net. Kini, sampailah mereka di rumah yang cukup besar. Rumah bercat biru tua yang telah pudar dan sebagian sudah terkelupas. Bunga-bunga di teras rumah itu sudah banyak mati, rumput-rumput di halaman kering kerontang, halamannya berpasir kerikil yang mengkilat dan menyilaukan.

Toktoktok! "Assalamu'alaikum," panggil Bu Anisa.

"Wa'alaikum salam." Terdengar suara menggigil menyahut, seperti suara seorang nenek-nenek.

Dan benar saja! Muncul lah seorang nenek-nenek bungkuk dengan rambut yang sudah beruban, bersanggul, kulit berkeriput, pipi sudah mencekung, dan tentu saja giginya sudah ompong, hanya tersisa dua gigi besar di bagian depan, salah satunya berwarna emas.

Nenek itu tersenyum senang, menunjukkan gigi emasnya. "Hehehe, kamu Bu Anisa, ya?" tanya Nenek itu mengelus punggung tangan Anisa yang langsung menyalami dirinya.

Empat muridnya juga ikut menyalami nenek itu.

"Iya, Nek. Apa Nenek yang bernama Bu Raisyah, saya temannya Kak Delvia?" tanya Bu Anisa dan nenek pun menjawab dengan mengangguk.

"Mari, silahkan masuk." Nenek itu melangkah dengan membungkuk, berjalan perlahan ke ruang tamu yang ada sofa lama dengan motif garis-garis, berwarna coklat tua dan coklat muda seperti kopi susu.

Mereka berlima pun masuk dan duduk di sofa. "Mari bantu Nenek Nak Nisa," ajak Nenek pada Bu Nisa. Mereka berdua berjalan ke arah dapur.

Rumah ini terasa aneh, bulu-bulu kuduk Diro dan Agung berdiri, seolah ada yang menghembus tengkuknya. Mereka merinding dan mengelus tengkuk itu.

Karena takut, Diro dan Agung duduk merapat pada Saddam dan Viko. Membuat Saddam mendengus dan Viko mendelik tajam.

"Ngapain sih duduk rapat, gerah tau, panas!" protes Viko.

"Aku–" ucapan Diro langsung terdiam, karena dia melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya lebih berdiri seketika.

"Kau kenapa?" tanya Agung menatap Diro dan melihat arah tujuan pandangan Diro.

Agung meneguk salivanya seketika, nafasnya terasa sesak. Dia semakin merapat, bahkan sudah memeluk lengan Saddam. "Ah, apa-an sih!" dengus Saddam kesal.

"I-itu!" tunjuknya dengan bibir.

"Itu apa-an sih?" tanya Viko yang juga sudah kesal melihat tingkah laku Diro yang menempel pada nya, seperti Agung yang menempel pada Saddam.

Viko dan Saddam pun menoleh pada arah tujuan kedua temannya itu. Lalu mereka berkata serempak. "Ooh, kuburan. Dari tadi sih kita sudah melewati beberapa kuburan, kok baru sekarang kagetnya." Saddam melepaskan tangan Agung.

"Hah? Beneran?" tanya Diro dan Agung bersamaan.

"Iya, di rumah Pak Syaf tadi juga ada kuburan, di samping teras, di dekat pohon tabu miliknya, ada dua kuburan," jawab Viko santai.

"Apa!" Agung dan Diro semakin merinding karena takut.

Dua pemuda itu memang penakut, sedangkan Viko dan Saddam sedikit berani.

Bab 2. Kran Air Hidup Sendiri

Nenek Raisyah berjalan mendahului Bu Anisa yang sedang membawa nampan berisi air putih dan kolak pisang, lalu di dalam mangkok besar ada pecahan es batu.

“Nak, cicipilah kolak pisang Nenek, biar seger di kasih es batu. Enak ini, jika panas-panas begini makan yang manis, lagi dingin,” kata Nek Raisyah duduk di kursi sofa single, sedangkan Bu Anisa duduk di sofa paling ujung.

“Iya, Nek.” Semua mengangguk dan mengambil mangkuk masing-masing, memasukkan kolak pisang dengan bongkahan es batu ke dalamnya.

“Nenek pikir kalian tidak jadi datang, tadinya kalau kalian tidak datang, mau nenek kasih kolaknya sama tetangga. Soalnya nenek udah nggak bisa minum yang manis-manis,” tutur sang Nenek.

“Aduh, Nek. Kami merepotkan Nenek saja, ya. Jadi, nggak enak.”

“Tidak kok, Nenek senang jika ada tamu, soalnya Nenek hanya sendirian saja di rumah, hanya ditemani dua ekor kucing hitam.”

Setelah mereka menikmati kolak pisang dan berbincang-bincang, Bu Anisa pun mulai berpamitan kepada Nek Raisyah untuk kembali ke kota karena jadwalnya keberangkatan bus ke kota jam empat sore.

“Nek, aku titip mereka dulu ya, selama dua bulan ini. Jika ada apa-apa, Nenek kabari saja saya,” kata Bu Anisa sopan.

“Iya, Nak, jangan khawatir.”

“Diro, Viko, Agung, dan Saddam. Kalian di sini yang baik, jaga diri, dan jangan buat Nenek Raisyah repot, ya. Baju harus di cuci, jangan di tumpuk, jangan mengotori rumah, nenek sudah tua, bantu nenek, mengerti?” Bu Anisa meninggalkan beberapa pesan pada muridnya.

“Berpandai-pandailah!” Bu Anisa menatap mereka berempat.

“Iya, Bu Guru,” jawab mereka serempak.

“Ya udah, Ibu kembali lagi ya.”

“Biar aku antar Bu,” tawar Viko. “Dam, kita antar Bu Anisa ke luar, ya!” ajaknya menatap Saddam yang diam.

“Oke,” sahut pemuda pendiam itu.

“Eh, aku ikut juga!” seru Agung.

“Aku juga,” tambah Diro. Dia tidak ingin ditinggalkan sendiri di sini, bersama nenek yang terlihat menyeramkan, apalagi ada kuburan di sebalik rumpun tebu, membuat bulu kuduk merinding.

***

Mereka berempat pun mengantarkan Bu Anisa ke jalan raya, tepatnya di simpang tiga.

“Nak, jangan nunggu mobil bus di simpang ini, majulah ke depan sana.” Seorang Bapak-bapak yang sedang mendorong gerobak berisi sayur mayur menegur Bu Anisa dan ke-empat muridnya.

“Oh, baiklah Pak. Makasih banyak sarannya.” Bu Anisa pun memilih maju.

“Loh, bikin capek aja Bu. Apa salahnya nunggu di simpang tiga itu?” tanya Diro.

“Enggak ada yang salah. Mungkin karena susah di persimpangan, kemarin kita juga diturunkan di sini 'kan?”

“Hm, iya.”

Sambil menunggu bus lewat, Bu Anisa berceramah kepada mereka berempat, agar baik-baik di kampung orang, jangan rusuh, jangan buat masalah. Jangan bertengkar dan buat malu nama sekolah.

“Iya, iya, Bu. Kami akan berkelakuan baik kok,” jawab Diro dan Agung yang dari tadi mendapat teguran.

“Saddam sama Viko jarang banget dimarahi, sekali-kali, giliran mereka juga, Bu,” protes Diro lagi.

“Masalahnya mereka nggak buat kesalahan. Gimana mau di marahi? Yang sering bikin masalah 'kan kalian berdua,” tunjuk Bu Anisa pada Agung dan Diro.

Tak lama, akhirnya bus pun datang. Bu Anisa pun naik ke atas mobil itu.

“Ingat, jangan nakal Anak-anak, jaga diri baik-baik,” ucap Bu Anisa menyembulkan kepalanya di kaca setelah naik ke atas mobil, dia melambaikan tangan saat bus sudah mulai melaju. Diro, Agung dan Viko melambaikan tangan, sedangkan Saddam hanya melihat saja dengan raut wajah datar seperti biasa.

Mereka pun kembali ke rumah Nek Raisyah setelah mengantarkan Bu Anisa ke jalan raya.

“Nenek punya tiga kamar kosong, kamar nenek paling belakang, kalian bisa memilih diantara tiga kamar ini, mungkin ada yang satu kamar berdua di dalamnya, karena kalian berempat, kamar kosong nenek cuma ada tiga.”

“Eh, jangan dong, kita bareng-bareng aja satu kamar,” tolak Diro yang takut.

“Iya nih, aku nggak biasa tidur sendirian, di rumah aku tidur bareng adikku,” sambung Agung.

“Please!” Dua pemuda penakut itu memohon.

Akhirnya setelah berdebat, mereka memutuskan hanya memakai dua kamar, Agung bersama dengan Viko, Diro bersama dengan Saddam.

“Ya udah. Ini kunci kamarnya, itu sapu dan alat-alat bersih di sudut,” ucap Nenek Raisyah menunjuk ke sudut ruangan, dimana ada sapu dan lainnya di sana.

“Nenek mau sholat dulu, juga mau kasih makan cucu-cucu Nenek di belakang,” tutur Nenek. Setelah itu, Nek Raisyah pun berlalu pergi.

“Eh, katanya nenek tinggal sendiri, kok dia bilang kasih makan cucu-cucunya di belakang?” Diro bertanya.

“Nggak usah cerewet! Kau mau sekamar dengan ku atau tidur sendiri? Ayo, bereskan tempat tidur kita. Ini udah sore tau!” Saddam berkata dengan wajah dinginnya.

“Iya es balok!” Diro mencebikkan bibirnya.

Agung masuk ke kamar urutan dua bersama Viko, sedangkan Saddam dan Diro masuk ke kamar urutan pertama. Di kamar paling depan, ada dua kaca jendela yang memiliki tralis besi dengan tirai gorden berwarna coklat susu.

Di sudut langit-langit kamar paling ujung, ada loteng yang rusak, Diro menatap sekeliling kamar dengan ngeri. “Kau ini mau berberes atau enggak sih? Kalau nggak mau, keluar sana!” hardik Saddam.

“Dari tadi mondar-mandir, bikin aku pusing aja.” Saddam membersihkan lemari kosong dengan kemoceng, lalu memindahkan semua pakaiannya ke dalam.

Diro pun juga ikutan. Kemudian mereka merapikan kasur, memasang seprai baru yang diberikan Nek Raisyah pada mereka. Diro meletakkan selimutnya di atas bantal, kemudian menggantung handuknya di sebalik pintu.

Setelah beres, Saddam memilih merebahkan tubuh di atas ranjang.

“Dam,” panggil Diro.

“Hm.”

“Dam!”

“Hm!”

“Daaaam!”

“Apa sih, Diro!”

“Aku mau pipis, temani ke toilet dong!”

“Kek cewek aja kau! Pipis aja minta ditemani! Ganti aja kelamin kau!”

“Dam, please....” Diro memegang tangan Saddam.

Saddam mendesah, dia pun bangkit dari tidurnya, memilih keluar kamar bersama dengan Diro.

Kamar mandi Nek Raisyah ada dua. Ke-dua kamar mandi itu ada di bagian paling belakang, dekat dengan dapur. Sedangkan kamar dan ruang tamu cukup luas dan panjang untuk mereka lewati. Ada empat kamar yang berukuran cukup besar dan luas, lalu ruang makan dan televisi, baru berbelok ke kanan ada kamar mandi dan dapur.

“Tuh kamar mandi! Cepat sana!” Saddam menunjuk kamar mandi, dia hanya memilih bersandar di dekat dapur sambil memainkan hp.

Entah karena terlalu takut, pipis pun enggan keluar, namun perut Diro sangat mules. Cukup lama dia di kamar mandi, membuat Saddam bosan dan pergi meninggalkannya, karena baterai hp nya lowbat.

Kamar mandi itu berdekatan, saling menempel. Terdengar di sebelahnya kran berputar, air mengalir deras dari kran itu, membuat Diro yang takut merasa berani karena ada orang yang juga ke kamar mandi di sebelahnya.

“Dam,” panggil Diro setelah buang air, dia tengah memasang celananya.

“Dam!” panggil nya lagi setelah keluar dari kamar mandi, tapi tak ada sahutan. Dia sangat yakin Saddam ada di dalam, soalnya Saddam tidak tampak lagi di posisinya tadi berdiri.

Diro berdiri cukup lama di sana menunggu, akhirnya karena bosan, dia mengetuk pintu kamar mandi. “Da–” Ucapannya terhenti di kala pintu terbuka sendiri.

“Loh? Nggak ada orang?” Bulu kuduk Diro merinding, sambil mematikan kran air. Tetapi kran air itu kembali menetes, tidak sekencang tadi.

“Ss-ss-se-se-taaaaaaaaaaan!” Diro berlari sekencang-kencangnya ke depan.

Membuat Viko dan Agung membuka pintu kamarnya, dan Saddam pun berdecih sebal.

“Kau ngapain sih, teriak-teriak nggak jelas! Berisik tahu, nggak!”

“Aa-ada se-setan!” ucap Diro tergagap.

“Ngawur, nih, anak. Mana ada setan siang bolong. Aneh!” ucap Viko.

“Yuk, beberes lagi, Gung!” ajak Viko pada Agung, mendengus mengabaikan Diro.

Diro segera mengikuti Saddam dan masuk ke dalam kamar, duduk di dekat Saddam.

“Dam, kau dari tadi ya, ninggalin aku sendirian di kamar mandi?” tanyanya ketakutan.

“Enggak juga, palingan baru 5 menitan lebih, tadi batraiku habis, charger nya malah nggak jumpa, ini tadi baru minjem sama Viko,” jawab Saddam.

“Lima menit yang lalu?” Diro makin merinding. “Kau ke kamar mandi nggak tadi? Di sebelah aku?” tanyanya menatap serius Saddam.

“Enggak. Kenapa, kau lihat setan di kamar mandi?” ejek Saddam dengan terkekeh kecil.

“Iya. Karena kamar mandi itu kosong, kran air-nya hidup sendiri, pas aku ketuk pintu, pintu itu terbuka sendiri, dan kamu tahu? nggak ada siapa-siapa di dalam,” jelas Diro.

“Dasar penakut, kebanyakan halu dan nonton sinetron sih! Barang kali, Nenek Raisyah yang dari kamar mandi, mungkin saja nenek berwudhu, tapi lupa mematikan kran, jangan terlalu banyak berpikiran yang aneh. Mending kau sholat dan ngaji sana, baca ayat kursi!” Saddam merebahkan badannya kemudian bermain ponsel.

Bab 3. Tidur Di Rumpun Tebu

Setelah bermain ponsel beberapa saat, Saddam bangkit dan mengambil pakaian dan handuknya, serta peralatan mandi seperti odol, sikat gigi, sabun, dan sampo.

“Kau mau mandi, Dam?” tanya Diro.

“Enggak, mau taraweh,” balas Saddam asal. "Udah jelas bawa handuk, ya mandilah!" ketus Saddam.

“Tunggu Dam, kita mandi bareng, ya!” seru Diro.

“Ogah!” Saddam berjalan keluar kamar untuk segera mandi.

Diro mengambil sampo dan handuk dengan terburu-buru, dia pun mengejar Saddam yang berjalan ke kamar mandi. Setelah memastikan Saddam masuk ke dalam kamar mandi, dia juga masuk ke kamar mandi di sebelahnya. Bergegas mandi, menggosok tubuh dengan cepat, sambil bersorak.

“Dam, kau masih di dalam kamar mandi 'kan?” tanyanya takut. Berteriak dari kamar mandi sebelah.

Saddam tak menyahut, dia hanya diam saja. Diro mendengarkan air yang mengalir membuktikan Saddam sedang mandi, terdengar air mengguyur di kamar mandi sebelah.

Setelah mandi dengan bersih. Diro melilitkan handuk di pinggangnya, kemudian menggosok giginya dengan tangan saja, karena tadi buru-buru tak sempat mencari alat-alat mandi. Hanya sempat membawa sampo dan handuk saja.

Tak lama, terdengar suara kamar mandi di sebelah hening, mungkin saja Saddam sedang memakai pakaian di dalam kamar mandi itu. Diro segera keluar, masih menggunakan handuk yang melilit di pinggang.

Dia berdiri di depan pintu menunggu Saddam sambil memanggil-manggil, membuat Saddam berdecak kesal.

“Payah punya teman lebih pengecut dari cewek!” ejek Saddam yang baru membuka pintu kamar mandi, dia sambil menggosok rambut basahnya dengan handuk.

Diro membuntuti Saddam di belakang. Di sepanjang jalan mereka hendak masuk ke dalam kamar, Viko dan Agung juga keluar dari kamar mereka, sambil membawa handuk dan pakaian masing-masing, sehingga mereka berselisih jalan di lorong kamar.

Sepertinya, Agung sama takutnya dengan Diro. Dan ... ingin mandi serempak dengan Viko.

***

Adzan Maghrib berkumandang. Nek Raisyah muncul menggunakan mukenanya, mengagetkan Diro dan Agung yang sampai memanjat Saddam dan Viko.

“Apa kalian ingin ke Mesjid? Nenek hendak ke Mesjid, mau jalan bersama,” ajaknya.

“Iya Nek. Kami juga ikutan, biar sekalian kenal daerah dan bisa cari-cari teman baru,” sahut Viko dengan tersenyum ramah.

“Ya udah, ayuk,” ajak Nenek.

Mereka berempat pun jalan mengiringi Nek Raisyah. Lumayan lama sampainya, mungkin karena Nek Raisyah jalannya pelan dan bungkuk. Hingga orang sudah iqamat, barulah mereka sampai, untung saja mereka semua sudah berwudhu dari rumah, hingga bisa langsung berdiri dan sholat Maghrib berjamaah.

Letak Mesjid ada diantara salah satu jalan simpang tiga. Orang-orang yang sholat berjamaah cukup ramai jika magrib begini.

Setelah sholat, imam memimpin do'a, lalu saling bersalaman. Tak banyak pemuda yang sholat, hingga empat pemuda itu hanya berbincang-bincang ringan dengan para bapak-bapak.

“Oh, urang Padang mah, Bahaso Minang sajo lah kalau baitu. Kami banyak nan indak lancar Bahaso Indonesia ko — Oh, dari Kota Padang, bahasa minang saja kalau begitu, kami tidak lancar bahasa Indonesia,” ujar salah satu Bapak di sana protes, agar mereka menggunakan bahasa Minang, jika mereka dari kota Padang, karena ke-empat pemuda itu memakai bahasa Indonesia. Sedangkan Bapak-bapak di sana tidak lancar menggunakan bahasa Indonesia.

“Kami mengerti Pak, tapi tidak lancar dan fasih mengucapkannya, terdengar jelek jika kami ucapkan. Sebenarnya kami campuran, di rumah lebih sering memakai bahasa Indonesia juga,” terang Diro. "Tapi teman saya yang ini, dia pandai." Diro menunjuk Viko yang tersenyum ramah. “Ibu Bapaknya asli dari Padang," lanjut Diro lagi.

“Oh, baitu — Oh, begitu.” gumamnya.

“Iya, Pak,” jawab Diro dan Viko santun.

Setelah berbincang-bincang cukup lama, bahkan sampai sholat isya datang. Mereka kembali pulang bersama Nek Raisyah, setelah sholat Isya berjamaah di Masjid.

Di sepanjang perjalanan, bulu kuduk Diro dan Agung merinding. Apalagi setelah mereka sadari, di setiap rumah warga, pasti ada kuburan.

“Nek,” terdengar Suara Saddam memecah keheningan yang sejak tadi hanya terdengar irama sendal. Biasanya anak itu hanya diam saja.

“Iya, Nak,” sahut Nenek.

“Apa di desa Lagan ini tidak ada kuburan masal, ya? Seperti tanah hibah atau waqaf dari seseorang atau pemerintah?” tanyanya. Membuat semua bulu remang di tubuh Diro dan Agung berdiri, mereka memegang ujung baju Saddam dan Viko erat sambil mengelus tangan yang merinding.

“Oh, ada, kuburan masal ada di daerah Jiraik dan Timadang namanya,” jawab Nenek.

“Oh jauh ya Nek, soalnya aku perhatikan, hampir setiap rumah ada kuburan, Nek. Aku pikir karena tak ada kuburan masal,” gumam Saddam mengelus dagunya.

“Tidak terlalu jauh juga, perihal kuburan di setiap rumah itu karena keinginan pribadi saja, di desa 'kan masih luas tanah, bisa membuat kuburan di tanah pribadi, berbeda dengan kota, tanah sejengkal saja di hitung, kalau di desa satu sampai dua meter di kasih saja.”

“Ooh, begitu.” Saddam mengangguk paham.

“Iya,” jawab Nenek mengangguk.

Akhirnya, mereka sampai di rumah.

“Aaaaa!” Diro berteriak dan melompat saat melihat empat cahaya dari dalam rumah yang gelap.

Nenek langsung masuk ke dalam rumah, setelah membuka pintu, beliau menghidupkan lampu, tampaklah dua ekor kucing hitam. Rupanya, itu hanya peliharaan Nek Raisyah.

“Ngucap, makanya banyak-banyak sebut nama Allah! Kucing aja takut!” ucap Viko menepuk pundak Diro.

Nek Raisyah hanya terkekeh kecil. “Ini namanya Rina dan Roni, kucing ini yang menjaga Nenek dan rumah Nenek. Jika ada apa-apa, mereka selalu mengeong.”

“Pernah kala itu, saat musim hujan, ada seekor ular tikus masuk ke dalam rumah. Penglihatan dan pendengaran Nenek tidak begitu jelas, ditambah mati lampu, penerangan nenek hanya dama (lampu bersumbu dari minyak tanah). Rina dan Roni mengeong, bahkan mereka berdua bertarung melawan ular itu sampai mati.” Nek Raisyah bercerita sambil menghidupkan semua lampu dan duduk di sofa ruang tengah.

Saddam menutup pintu dan menguncinya rapat, memeriksa jendela juga dan kembali duduk bersama tiga teman dan nenek Raisyah di ruang tengah.

“Apa kalian mau tidur atau menonton dulu? Kalau menonton hidupkan saja TV. Televisinya sedikit rendah karena nenek sudah tua, jadi susah untuk mematikan dan menghidupkannya jika diletakkan tinggi di atas sana!" tunjuk Nenek ke atas bekas bingkai TV gantung.

"Itu karena punggung Nenek bungkuk, maklum sudah tua.” Nek Raisyah tersenyum, memperlihatkan gigi emasnya yang terlihat goyang-goyang karena pipi dan bibir keriputnya.

Nek Raisyah memberikan remot pada Viko, kemudian kembali duduk di sofa.

“Ini foto siapa, Nek?” tanya Viko yang melihat ada foto dua wanita muda tersenyum terletak di meja televisi.

“Yang besar anak bungsu saya, yang kecil cucu pertama saya,” jawab Nek Raisyah.

“Oh, mereka sekarang lagi sekolah di luar daerah ya, Nek?” tanya Diro menimpali. Soalnya, Nenek hanya sendirian di rumah besar ini, pastilah anak bungsu dan cucunya sekolah di luar daerah.

“Enggak, mereka lagi tidur,” jawab Nenek.

“Tidur?” tanya Agung bingung. “Di kamar sebelah kami, apa di kamar Nenek?” tanya Agung penasaran.

“Mereka tidur di sana, tuh di rumpun tebu,” tunjuk Nenek. Membuat Diro dan Agung melompat ke dalam pelukan Saddam dan Viko. Sebab, di rumpun tebu itu ada tiga buah kuburan.

“Shit!*” umpat Saddam kesal, karena jarinya sempat terjepit oleh Diro yang melompat ke dalam pelukannya.

“Hehehe, 'kan dalam kuburan kita semua ditidurkan, Nenek nggak salah 'kan?” ucap Nek Raisyah terkekeh melihat tingkah laku Diro dan Agung.

“Inalillahi wa innailaihi raji'un,” ucap mereka berempat bersama, karena baru saja paham, apa yang dimaksud Nek Raisyah.

“Maaf ya, Nek. Kami tidak tahu,” tutur Viko kemudian.

“Iya, nggak apa-apa Nak. Mereka mengalami kecelakaan mobil bersama teman-temannya. Nenek punya anak dua orang, cewek keduanya. Anak pertama nenek sekarang di bawa merantau ke Aceh oleh suaminya, karena jika dikampung, putri Nenek selalu termenung dan mengigau.”

“Putri Nenek susah hamil, jadi itu adalah putri satu-satunya dari program hamil bayi tabung. Dia sangat terguncang sekali.” Nek Raisyah bercerita, membuat empat pemuda itu simpati.

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!