Typing... Tapi Nggak Dibales
"Typing... Tapi Nggak Dibales"
BAB 1: Ngetik Duluan, Dibales Nggak
Raka
"Hei, Nad. Kamu tau nggak bedanya kamu sama jam weker?"
Raka
"Kalau jam weker bisa bikin aku bangun pagi. Kalau kamu, bikin aku bangun perasaan."
Nadya
"Garing ih, sumpah wkwkwk."
Raka
"Tapi kamu senyum kan? Iya kan? Aku bisa bayangin kamu senyum malu-malu tuh di depan HP."
Nadya
"GR bener hidup lu."
Raka
"GR? Ga Rela kalo kamu punya cowok lain."
Raka, siswa kelas 12 yang terkenal bukan karena prestasi, tapi karena koleksi gombalan absurdnya. Tiap hari, kerjaannya nge-chat Nadia, cewek yang duduk dua baris di depannya, cantik, cerdas, dan yang jelas... nggak pernah naksir balik.
Meski begitu, Raka pantang mundur. Prinsipnya cuma satu: selama belum diblok, berarti masih ada harapan.
Setiap malam, sebelum tidur, dia punya ritual: buka chat Nadia, ketik gombalan terbaru, lalu tunggu.
Kadang dibales. Kadang cuma dibaca. Kadang... centang dua biru tanpa balasan.
Tapi Raka nggak pernah kehabisan akal. Dia selalu punya satu atau dua lelucon segar untuk dilempar. Bahkan temen-temennya sampai taruhan:
temen sekolah raka
"Raka, kapan lu nyerah?"
Jawaban Raka selalu sama,
Raka
"Gue bukan nyari pacar, gue nyari keturunan yang kuat mental. Jadi ini latihan."
Hari itu, di sekolah, Raka duduk dengan ekspresi penuh semangat. Tangannya sibuk di bawah meja, ngetik sesuatu.
Rio
"Lu nge-chat dia lagi?"
Tanya Rio, sahabat sehidup semati (dan saksi hidup semua penolakan).
Raka
"Tentu dong. Hari ini gue bawa senjata baru. Gombalan bertenaga matahari,"
Raka
"Belum. Tapi belum bukan berarti nggak. Bisa aja dia mikir dulu, terus bales panjang. Atau lagi ngetik. Atau ya... ketiduran sambil baca chat gue."
Rio
"Gue salut ama mental lu, bro. Tapi jangan sampe lu jadi drama korea yang penuh luka."
Raka
"Tenang aja. Ini bukan drama Korea. Ini sinetron Indonesia, bisa seribu episode walau rating jelek."
Bel istirahat berbunyi. Raka dengan PD-nya berdiri, ngambil bekal, dan jalan ke arah meja Nadia.
Raka
"Nad, kamu suka telur dadar nggak?"
Nadia lagi ngobrol sama temen-temennya. Dia nengok, bingung.
Raka
"Soalnya aku pengen bikin kamu jadi istri yang pinter masak telur dadar buat aku nanti."
Temen-temennya ketawa. Nadia senyum-senyum malu.
Nia
"Gue heran lu nggak capek, Rak
" kata Nia, salah satu sahabat Nadia.
Raka
"Cinta itu energi terbarukan, Nia. Nggak habis-habis,"
Jawab Raka sambil duduk di kursi sebelah.
Nadia cuma geleng-geleng, tapi wajahnya tetap ceria. Entah karena geli atau mulai terbiasa.
Raka
"Kalo aku bisa jadi makanan, aku mau jadi apa coba?"
Raka
"Sate. Soalnya aku pengen ditusuk... rasa cintamu."
Nadya
"Yah ampun, Rak. Lo tuh ya..."
Raka
"Aku tuh apa? Lucu? Manis? Calon imam?"
Raka
"Tapi serius deh, Nad. Aku suka sama kamu. Dari dulu. Nggak ada gombal, ini beneran."
Nadya
"Rak... aku udah pernah bilang, kan. Aku nggak nyari pacar sekarang. Aku pengen fokus UN."
Raka
"Aku juga fokus UN. Tapi kalau bisa fokus bareng kamu, kan lebih semangat."
Nadya
"Kamu nggak ngerti ya... Aku beneran nggak bisa. Aku nggak pengen kamu berharap."
Raka
"Nggak apa-apa. Harapan itu gratis. Selama kamu belum nikah, aku masih punya kesempatan."
Raka
"Selamat malam, calon penolakku selamanya. Tidur yang nyenyak ya."
Dan begitulah. Hari pertama dari 49 hari penuh gombalan, harapan, dan penolakan.
Raka belum tau, bahwa seiring waktu, semangatnya akan diuji lebih dari sekadar dibaca tanpa dibalas.
Dia belum tau, bahwa melihat Nadia tertawa dengan pria lain... akan mengubah semuanya.
Centang Dua Biru, Tapi Sunyi
Raka
"Selamat pagi, Nad. Jangan lupa sarapan ya. Soalnya kamu butuh energi... buat nolak aku hari ini."
Raka
"Kalau kamu jadi mata pelajaran, aku mau ulangan tiap hari. Biar bisa ketemu kamu terus."
Raka
"Kalau kamu jadi soal ujian, aku yakin nggak bakal nyontek. Soalnya jawabannya cuma satu: kamu."
> (Centang dua, tidak dibalas)
---
Raka menatap layar ponsel dengan ekspresi… campuran antara optimisme dan kebodohan abadi.
Raka
"Dia udah bangun pasti. Centangnya udah dua. Tapi kenapa nggak dibales?"
Rio, sahabat karib sekaligus komentator setia hidup Raka, duduk di sebelahnya sambil nyeruput kopi sachet dari kantin.
Rio
"Rak, boleh jujur nggak?"
Raka
"Lu udah jujur dari kemarin-kemarin, dan gue tetep ngegas."
Rio
"Oke. Tapi lu sadar kan, dia udah nggak seantusias dulu?"
Raka berpikir sejenak, lalu mengangkat bahu.
Raka
"Bisa jadi sinyalnya jelek. Atau dia lagi PMS. Atau... HP-nya jatuh ke kolam renang?"
Rio hanya menghela napas panjang.
Nia
"Nad, kamu udah ngerjain PR fisika belum?"
Nadya
"Udah sih, tapi kayaknya salah semua. Soal nomor 3 tuh aneh banget."
Nia
"Eh, ngomong-ngomong, Rayhan ngajak kamu ngobrol mulu ya akhir-akhir ini?"
Nadya
"Nggak juga. Dia cuma bantuin PR kemarin."
Nia
"Tapi kalian duduk bareng di perpus, terus makan bareng pas istirahat? Itu cuma PR?"
Nadia tidak menjawab, hanya senyum sambil memainkan pulpen.
Tapi di belakang mereka...
...Raka yang baru masuk kelas, melihat semuanya.
Matanya menangkap tawa Nadia. Bukan ke dia. Tapi ke orang lain.
Raka
(21.00)
"Hari ini kamu cantik banget... eh tapi ya tiap hari juga cantik sih. Jadi ini udah biasa ya."
Raka
(21.15)
"Nad? Kamu tidur?"
> (Centang dua, tetap tidak dibalas)
Raka
(21.40)
"Kalau kamu bahagia sama orang lain, bilang aja ya. Biar aku berhenti berharap."
Raka
(22.10)
"Atau... mungkin aku cuma pelarian buat kamu?"
Raka scroll IG sambil rebahan. Jari-jarinya berhenti saat melihat story terbaru.
Nadia & Rayhan
📍 Kantin belakang – Makan bareng, wkwk anak Fisika vs anak Bahasa katanya 😄
Wajah mereka cerah. Tertawa. Natural. Tanpa gombal.
Raka
> "Selama ini aku pikir, aku lucu. Aku pikir aku bikin dia ketawa. Tapi ternyata... yang bisa bikin dia ketawa beneran, bukan aku. Aku cuma pengisi waktu luang. Sementara dia nunggu orang yang bener."
Rio
(08.21)
"Rak, lu masuk sekolah nggak?"
Raka
(08.22)
"Males. Gue bangun tapi hati gue masih tidur."
Rio
(08.22)
"Lu nggak apa-apa?"
Raka
(08.22)
"Biasa aja. Cuma... capek aja ngasih perhatian ke orang yang nungguin orang lain."
Hari-hari Raka mulai berubah. Tidak ada lagi gombalan pagi. Tidak ada lagi kalimat absurd seperti,
"Nad, kamu tau nggak kenapa matahari terbit dari timur? Soalnya kalo dari barat, aku nggak bisa lihat senyummu duluan."
Di kelas, dia mulai duduk paling belakang. Diam. Tatapannya kosong. Hanya menatap papan tulis, seolah sedang belajar, padahal pikirannya berteriak:
> (Dibaca, tidak dibalas)
Nadya
(20.50)
"Kamu kenapa nggak masuk hari ini?"
> (Dibaca... tetap sunyi)
Nadya
(21.15)
"Aku nggak enak. Beneran."
> (Centang dua biru. Tak ada balasan)
Raka, si badut sekolah, mulai mengunci mulutnya. Bukan karena marah. Tapi karena lelah.
Lelah mengetik panjang lebar, hanya untuk dibaca lalu dilupakan.
Semua perhatian yang dulu gratis, kini jadi mahal.
Semua candaan yang dulu ringan, kini terasa berat.
Dan untuk pertama kalinya...
> Raka berhenti mengetik.
---
BAB 3 Gombalan yang Mengendap Jadi Dendam
Raka
(06.03)
"Nad, tahu nggak bedanya kamu sama matematika?"
Raka
(06.06)
"Kalau matematika bisa aku hitung, tapi rasa ini nggak bisa aku ukur."
> (Centang dua. Masih tidak dibalas)
Raka
(06.12)
"Oke. Gombalan terakhir minggu ini. Atau... seumur hidup kali, ya."
Langkah kaki Raka terdengar pelan memasuki koridor kelas. Biasanya dia datang lebih dulu, duduk paling depan, dan selalu memulai hari dengan satu jokes receh buat Nadia. Tapi hari ini?
Tidak ada celetukan. Tidak ada panggilan "Nad, Nad" dengan suara noraknya.
Hari ini, Raka berjalan melewati bangkunya sendiri.
Rio
Lu ngapain duduk di belakang, Rak?
Raka hanya mengangkat alis.
Raka
Mau nyobain jadi bayangan. Kan cahaya udah punya tuannya.
Raka
Kalau yang nyindir nyadar, berarti tepat sasaran.
Nadia memperhatikan dari jauh. Sesuatu terasa berbeda. Biasanya Raka bakal langsung nyamperin dan mengoceh soal hal-hal absurd.
Nia memukul pelan lengannya.
Nia
Eh, lu nungguin dia nyapa ya?
Nia
Lu sadar nggak sih? Dulu lu yang selalu dicari. Sekarang, lu yang nyari."
---
📱 Chat Grup (Geng Sekolah)
Rio
"Eh guys, Raka kenapa ya? Kok diem mulu."
temen sekolah raka
"Iya, biasanya dia nge-spam jokes tiap jam."
Nia
"Fix. Badutnya patah hati."
Nadya
"Dia masih suka bercanda. Tapi sekarang cuma ke dirinya sendiri."
Raka mulai berubah. Dia tetap hadir, tapi tanpa energi.
Murid lain merasa sekolah jadi lebih... tenang.
Tapi Rio tahu, itu bukan ketenangan. Itu kekosongan.
Dulu Raka adalah noise yang menyenangkan. Sekarang dia sunyi yang menyiksa.
Perlahan merasa kehilangan sesuatu.
Tapi versi Raka yang selalu memprioritaskannya.
📸 Foto buku fisika terbuka, dengan tulisan kecil di pojok kertas:
Raka
Kamu adalah variabel yang terus aku substitusi. Tapi tiap aku masukkan ke rumus hidupku, hasilnya tetap nol.
Nadya
(20.05)
"Rak... kamu kenapa sih?"
Nadya
(20.07)
"Kalau aku salah, bilang aja. Jangan diem gini terus."
> (Dibaca. Tidak dibalas)
Nadya
(20.12)
"Aku kangen kamu yang cerewet. Yang lucu. Yang selalu gangguin aku."
Raka
"Aku bukan marah. Aku cuma muak. Bukan sama kamu. Tapi sama harapan yang aku ciptain sendiri."
Raka
"Aku sadar, perasaan itu bukan buat dilawak-lawakin. Tapi ternyata, sekalinya aku serius, aku jadi badut yang kehilangan tawa."
---
📝 Catatan di Buku Harian Raka
Raka
> "Tadinya aku kira, lucu bisa bikin orang jatuh cinta.
Tapi ternyata, cinta nggak butuh lawakan.
Cinta cuma butuh... saling."
---
📱 Chat Terakhir Hari Itu
Raka
(23.59)
"Besok aku bakal duduk paling belakang lagi.
Bukan karena aku pengen nyembunyiin diri,
tapi karena aku pengen belajar ngelihat kamu... tanpa pengen nyamperin lagi."
Menggambarkan perubahan emosional Raka setelah mulai benar-benar menjauh. Ia berhenti bercanda, mulai meluapkan perasaannya secara implisit lewat tulisan dan tindakan. Nadia mulai menyadari kehadiran Raka yang perlahan memudar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!