NovelToon NovelToon

Rush Wedding

Kecelakaan!

Siang itu di Kampus Cakrawala, suasana meriah karena ada pameran seni lukis. Semua karya mahasiswa seni lukis dipajang rapi, termasuk lukisan milik Tessa Alodia Kamani. Sebelumnya sudah ada penilaian, dan lukisan Tessa berhasil keluar sebagai pemenang utama.

Tessa, mahasiswi jurusan Seni semester 4, tersenyum bangga melihat namanya tertera di papan pengumuman. Sebagai anak semata wayang pasangan Dimas Kamani dan Erna Wijaya, hidup Tessa selalu dipenuhi kasih sayang. Meski ayahnya hanya seorang karyawan swasta dan ibunya seorang ibu rumah tangga, Tessa tumbuh menjadi gadis yang sederhana dan penuh semangat.

Pagi itu, saat sarapan bersama orang tuanya, Tessa berbinar penuh semangat.

"Ayah sama Bunda jangan lupa yaa... kalian harus jadi saksi aku terima piala nanti siang!" ucap Tessa sambil menyeruput susu hangatnya.

"Iyaaa... kamu mau kado apa nih dari Ayah sama Bunda?" tanya Bunda Erna, tersenyum hangat.

"Aku mau alat lukis yang banyaaaakkk..." seru Tessa sambil menggoyang-goyangkan tangannya.

"Oke, nanti ayah belikan!" jawab Dimas sambil mengacak rambut putri semata wayangnya.

"Yeeeyyy!" Tessa bersorak gembira.

Kebahagiaan itu terasa sempurna... sebelum semuanya berubah dalam sekejap di siang hari itu.

Sebelum menuju Kampus Cakrawala untuk menghadiri pameran seni putri mereka, Tessa. Erna dan Dimas menyempatkan diri mampir ke sebuah toko kesenian. Mereka hendak membeli hadiah yang sudah lama diminta anak semata wayang mereka itu.

"Tessa pasti seneng banget kalau lihat ini nanti, ya?" kata Erna sambil membelai kotak besar berisi seperangkat alat lukis yang baru saja mereka beli.

"Iya... Ayah jadi nggak sabar mau lihat wajahnya waktu kita kasih kejutan ini." jawab Dimas dengan senyum hangat.

Setelah keluar dari toko, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Dimas menyetir dengan hati-hati sambil sesekali berbincang dengan Erna tentang betapa cepatnya Tessa tumbuh besar.

Namun, di tengah perjalanan menuju kampus, sebuah truk besar dengan muatan penuh di depannya mendadak mengerem mendadak. Dimas, yang mengendarai Honda HR-V putih miliknya, sempat mengerem keras hingga mobil sedikit oleng. Beruntung, dia masih bisa menyeimbangkan lajunya.

Naasnya, dari arah belakang, sebuah sedan BMW yang dikendarai Reza Naradipta melaju terlalu cepat. Reza adalah seorang pengusaha sukses yang bergerak di bidang properti dan teknologi, Reza Naradipta dikenal sebagai sosok perfeksionis dan visioner. Di usia 45 tahun, namanya sudah masuk dalam daftar "100 Orang Paling Berpengaruh di Indonesia" versi majalah bisnis ternama.

Pria paruh baya itu punya segalanya—harta, keluarga bahagia, jaringan bisnis luas—namun hidupnya kini berubah jadi mimpi buruk karena satu detik kelalaiannya. Reza panik, ia tak sempat menginjak rem dengan sempurna. Benturan keras pun terjadi—

BRAAAKKKK!

Mobil Reza menghantam bagian belakang mobil Dimas dengan keras, mendorongnya hingga bagian depan HR-V putih tersebut masuk ke kolong truk. Suara besi beradu, kaca pecah, dan teriakan memenuhi udara.

"ERNA!!!" teriak Dimas sesaat sebelum segalanya menjadi gelap.

Erna tak bergerak. Tubuhnya terjepit di kursi penumpang dengan darah mengalir dari kepalanya. Ia meninggal di tempat.

Sementara Dimas, yang bersimbah darah dengan luka parah di kepala dan bahunya, masih menunjukkan denyut lemah.

Di dalam mobil BMW, Reza tertegun, wajahnya pucat pasi. Tangannya gemetar di atas setir.

"Tuhan... apa yang sudah aku lakukan..." bisiknya lirih, penuh rasa bersalah.

Di sudut lain dikampus Cakrawala, seorang pemuda jangkung dengan rambut hitam rapi sedang berdiri di lapangan basket. Rajata Kastara Naradipta, mahasiswa Fakultas Ekonomi semester 4, memimpin latihan tim basket Kampus Cakrawala. Sebagai kapten, ia bukan hanya jagoan di lapangan tetapi juga idola banyak mahasiswi karena ketampanan dan kharisma dinginnya.

"Ja, ayo jangan bengong. Kita masih punya 10 menit buat sparing!" seru salah satu temannya.

Rajata hanya mengangguk ringan. Di luar, ia terlihat tenang, tetapi di dalam pikirannya ada sesuatu yang mengganjal sejak tadi. Ia merasa ada firasat buruk yang tak bisa dijelaskan.

Ponselnya tiba-tiba bergetar di saku celana. Nama 'papa' muncul di layar.

Biasanya ia akan mengangkat dengan santai, tapi kali ini... entah kenapa firasat nya tidak enak.

"Halo, Pa?" suaranya terdengar kaku.

"Ja... kamu dimana?!" suara Reza terdengar panik di ujung telepon.

"Di kampus, kenapa pa?"

"Cepat ke Rumah Sakit Bina Sehat. Papa ada disini... ada kecelakaan besar... Papa nggak bisa jelasin panjang di telepon. Kamu cepat kesini ya!"

Tut. Sambungan terputus.

Rajata terdiam sesaat, lalu menghampiri pelatihnya.

"Coach, saya izin pulang dulu. Ayah saya kecelakaan," ujarnya singkat.

Tanpa menunggu jawaban, ia segera berlari ke parkiran dan melesat keluar kampus.

Di lorong rumah sakit, Reza Naradipta mondar-mandir dengan gelisah. Jemarinya terus meremas rambutnya sendiri, sementara pikirannya dipenuhi rasa bersalah. Ia bahkan tak mengenal orang yang kini berjuang antara hidup dan mati di ruang ICU.

"Seharusnya aku lebih fokus... kalau saja aku tidak menyetir sambil memikirkan pekerjaan... ini tidak akan terjadi..." gumamnya lirih.

Seorang dokter keluar dari ruang ICU, melepas masker dengan wajah muram.

"Anda keluarga pasien?" tanyanya.

Reza menggeleng pelan. "Saya... bukan... saya hanya—"

"Silakan masuk, Pak. Pasien ingin bicara dengan Anda," ucap dokter itu, suaranya berat.

Reza diam membeku. Tapi entah bagaimana, langkah kakinya mulai bergerak menuju pintu ruang ICU.

Saat memasuki ruangan, rasa bersalahnya semakin menyesakkan dada. Tubuh Dimas terbaring lemah di atas ranjang, dipenuhi selang dan alat medis yang berbunyi lirih.

Dengan sisa tenaga, Dimas mengangkat tangannya. Reza tersentak, tapi segera mendekat dan meraih tangan itu.

"Tolong... jaga putri saya..." bisik Dimas lirih, matanya berkaca-kaca. "Dia sendirian... dia nggak punya siapa-siapa... tolong jaga dia..."

"Tunggu... Pak... saya—" Reza hendak bicara, tapi sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya...

Tiiit... tiiit... tiiiiiiiiiiiiiitttttttttttttt.

Bunyi monitor jantung berubah menjadi garis lurus panjang.

"Pak! Pak, tolong bertahan demi putri anda!" Reza mengguncang tangan Dimas yang kini terkulai lemas.

Namun Dimas telah menghembuskan napas terakhir.

Reza hanya bisa berdiri kaku di samping ranjang, matanya merah menahan air mata. Di kepalanya, suara Dimas terus terngiang:

"Tolong... jaga putri saya..."

Seorang dokter bersama perawat buru-buru masuk. Mereka memeriksa tubuh Dimas yang sudah terkulai lemah. Setelah memastikan tak ada lagi tanda kehidupan, dokter menatap Reza dengan sorot mata penuh iba.

"Maaf... pasien sudah meninggal dunia," ucapnya pelan.

Reza hanya berdiri membeku, dadanya terasa sesak mendengar kalimat itu. Ia menunduk, jemarinya mengepal erat menahan rasa bersalah yang semakin menggunung.

Tak lama kemudian, suara langkah cepat terdengar dari lorong rumah sakit. Seorang gadis dengan rambut tergerai, mengenakan almamater biru tua, berlari dengan wajah panik. Tas selempangnya nyaris terjatuh saat ia mendorong pintu ruang ICU dengan tergesa-gesa.

"Dokter! Dimana ayah saya? Dimana bunda saya?!" teriaknya dengan napas memburu.

Dokter itu tampak terkejut, mencoba menahan gadis itu agar tidak langsung masuk.

"Maaf, Anda siapa?" tanyanya lembut.

"Saya... saya Tessa... Tessa Alodia Kamani... anak dari korban kecelakaan"

Napas nya memburu, dada nya naik turun tidak beraturan.

"Dimana Ayah dan Bunda saya dok?"

Dokter hanya diam sejenak, lalu menunduk dengan sorot mata yang sulit ditebak. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata,

"Maaf... kami sudah melakukan yang terbaik. Ibunda anda meninggal di tempat... dan... ayah anda tidak tertolong. Beliau baru saja berpulang."

Suara detak jam dinding mendadak terasa lebih keras daripada degup jantungnya. Pandangan Tessa kabur. Dunia seolah berhenti berputar, tubuhnya nyaris ambruk kalau saja seorang perawat tak sigap menopangnya.

"Nggak... nggak mungkin... AYAH! BUNDA! KALIAN NGGAK MUNGKIN NINGGALIN AKU!!" teriaknya histeris.

Air mata bercucuran, tangannya menggapai-gapai seolah memohon agar ada keajaiban.

Reza yang berdiri tak jauh di sana menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dadanya sesak, perasaan bersalah mencengkram pikirannya.

"Ini semua salahku... kalau saja aku lebih hati-hati..." batinnya berperang.

Dokter menatap Reza dengan raut prihatin. "Pak... untuk saat ini hanya Anda yang ada di sini. Bisa tolong tenangkan dia? Gadis itu pasti sangat terpukul."

Reza menarik napas panjang, menenangkan dirinya sebelum melangkah mendekati Tessa yang kini terduduk di lantai rumah sakit. Gadis itu menangis tersedu-sedu, bahunya bergetar hebat.

"Nak..." panggil Reza dengan suara pelan. Ia mendekat perlahan, lalu meraih bahu Tessa yang gemetar hebat.

"Kamu harus kuat... ya. Ayahmu... sebelum pergi, dia sempat menitipkanmu padaku."

Tessa perlahan mengangkat wajahnya. Matanya sembab, air mata terus mengalir

"Maaf... Anda siapa?" suaranya lirih, nyaris patah.

"Nama saya Reza..." ucap Reza lembut, menunduk. "Saya juga korban tabrak beruntun seperti ayahmu. Kebetulan... mobil saya ada tepat di belakang mobil ayahmu saat kejadian."

Tessa hanya menatap kosong. Bibirnya bergetar, tetapi tak ada lagi tenaga untuk berteriak atau marah. Tubuhnya lemas. Perlahan ia menunduk, membiarkan air matanya jatuh membasahi tangannya sendiri.

Reza merasakan sesak yang sama di dadanya. Tanpa berpikir panjang, ia merengkuh Tessa ke dalam pelukannya.

"Tidak apa-apa... Menangislah... mulai sekarang, biar saya yang menjaga kamu."

Tessa tak merespon. Ia hanya diam dalam pelukan itu, pasrah, sementara dunia di sekitarnya terasa runtuh.

***

Setelah sedikit tenang, Reza akhirnya mengajak Tessa ke ruang jenazah. Begitu melihat kedua orang tuanya terbaring kaku di atas ranjang, tangis Tessa pecah tak tertahankan.

"Ayah... Bunda..." Suaranya bergetar, tubuhnya gemetar. "Harusnya... harusnya hari ini aku dapat hadiah dari kalian... kenapa malah kabar duka yang kalian kasih ke aku?" racau Tessa sambil berlutut di samping jenazah.

Reza berdiri di ambang pintu, menatap pemandangan itu dengan dada sesak. Rasa bersalah menekannya hingga nyaris membuatnya kehilangan napas. Ia tidak sanggup lagi... akhirnya memilih keluar dan menunggu di lorong.

Di saat bersamaan, Renata—istrinya—datang bersama kedua anak mereka, Rajata dan Carissa.

"Sayang!" seru Renata begitu melihat suaminya. Ia segera memeluk Reza erat, kemudian memeriksa tubuh sang suami dari kepala hingga kaki. "Kamu baik-baik saja, kan? Ada luka? Ada yang sakit?" suaranya dipenuhi kekhawatiran.

"Pa, Papa nggak apa-apa, kan? Nggak ada yang terluka?" tanya Carissa panik.

Reza hanya diam. Sorot matanya berat tertuju pada Rajata Kastara Naradipta—putra sulungnya yang kini berdiri tegap, menatap ayahnya dengan dahi berkerut.

"Ja..." panggil Reza lirih.

Rajata mengernyit, bingung melihat ekspresi ayahnya yang tak biasa. Ia pun melangkah mendekat. "Kenapa, Pa? Ada yang sakit? Kita ke dokter dulu, ya?"

Reza menggeleng lemah. "Papa nggak apa-apa secara fisik..." katanya lirih, "Tapi... batin Papa... hancur, Ja."

Semua yang mendengar itu langsung menatap Reza dengan tatapan heran.

"Maksud Papa apa?" tanya Renata, suara lembutnya kini terdengar cemas.

Reza menarik napas panjang, berusaha meredam sesak di dadanya. "Kalau saja Papa lebih fokus... kalau saja Papa tidak menyetir sambil memikirkan pekerjaan... mungkin tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan itu."

"Kalau saja Papa lebih hati-hati... mungkin gadis itu... masih punya orang tuanya."

"Gadis?" Rajata menatap ayahnya, keningnya berkerut makin dalam. "Gadis siapa?"

Reza menatap mata putranya dengan sorot memohon. "Ja... kamu satu-satunya harapan Papa. Tolong... tolong nikahi Tessa. Jagalah dia... sebagai bentuk rasa tanggung jawab Papa, sebagai cara Papa menebus dosa ini..."

Rajata mundur satu langkah, tubuhnya terasa membeku mendengar ucapan ayahnya.

"Apa, Pa?!" suaranya meninggi. "Nikahi siapa? Tessa? Siapa dia?! Dan kenapa Papa menyuruh aku menikahi gadis yang bahkan nggak aku kenal?"

Suara Rajata terdengar getir. "Pa... aku udah punya Liora! Aku nggak bisa nikah sama orang lain. Apalagi dengan gadis asing itu!"

"Kalau Papa mau bertanggung jawab, Papa bisa angkat dia jadi anak. Jangan paksa aku menikahinya!"

"Ja... Papa mohon..." suara Reza bergetar, tangannya meremas sisi dadanya. Rasa nyeri tiba-tiba menjalar hingga ke lengan kirinya. Nafasnya mulai memburu, wajahnya pucat pasi.

"Pa? Papa kenapa?!" teriak Renata panik sambil memegang lengan suaminya.

Rajata melangkah cepat dan memegang bahu ayahnya. "Pa! Jangan bikin aku takut! Papa kenapa?!"

Reza jatuh berlutut, tangannya menekan dadanya erat-erat. "J-jantung... Papa..." gumamnya sebelum tubuhnya ambruk ke lantai.

"PAPA!!"

Terpaksa Putus!

"Pak Reza mengalami serangan jantung... mungkin karena terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini." Ucapan dokter membuat suasana di ruangan itu kian berat.

"Tolong diperhatikan ya... jangan sampai beliau terbebani lagi. Kondisi jantungnya sangat sensitif sekarang."

Renata mengangguk cepat, mencoba menenangkan diri. "Baik, Dok. Terima kasih."

Sang dokter pun pamit keluar, meninggalkan keheningan yang begitu menusuk.

Renata menunduk, kemudian meraih tangan suaminya yang terbaring lemah di ranjang. Sementara itu, Rajata hanya berdiri di sudut ruangan, terpaku. Kata-kata sang ayah terus terngiang di kepalanya—permintaan yang menjeratnya di antara cinta dan rasa bakti.

Kalau aku menolak, Papa pasti terus memikirkan ini... tapi kalau aku menurut, gimana dengan Liora? batinnya berkecamuk.

Ponsel di sakunya tiba-tiba bergetar, membuatnya tersentak.

Liora Sayang is calling...

Getaran itu seperti menambah berat beban yang sudah menindih dadanya.

Jari-jarinya sempat hendak menekan tombol hijau, tapi suara lirih ayahnya terdengar, memanggilnya.

"Ja..."

Rajata menoleh cepat. Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku, lalu melangkah mendekati ranjang. "Iya, Pa... Raja di sini."

Dengan suara lemah dan mata berkaca-kaca, Reza mengangkat tangannya, meraih tangan putranya.

"Tolong, Nak... bantu Papa keluar dari rasa bersalah ini... Tolong jaga Tessa.. Dia sendirian sekarang..."

Rajata terdiam. Hatinya mencelos mendengar permintaan itu. Ia ingin sekali berkata "Aku nggak bisa, Pa... hatiku sudah milik Liora", tapi melihat kondisi sang ayah yang begitu rapuh, bibirnya terkunci.

Sementara itu, Renata menatap putranya dengan sorot tajam, meski bibirnya masih berusaha melengkungkan senyum lembut. Ia kemudian menyentuh bahu Rajata, memberi isyarat untuk ikut keluar ruangan.

"Ma, aku nggak bisa..." Rajata akhirnya bersuara pelan namun tegas ketika mereka sudah berada di lorong. Napasnya memburu, dadanya sesak. "Aku nggak bisa menikahi gadis lain... hatiku sudah milik Liora."

Renata menarik napas panjang, menahan emosi yang hampir meluap. "Ja... kamu dengar sendiri apa kata dokter tadi kan? Kondisi papamu sangat rentan sekarang. Sedikit saja papa mu stres, itu bisa memperburuk keadaannya."

"Tapi Ma—"

"Dengarkan Mama dulu!" potong Renata dengan suara sedikit meninggi sebelum kembali melembut. "Kamu ikuti saja dulu keinginan Papa. Anggap ini hanya formalitas... nanti Mama yang akan cari cara agar kamu bisa segera bercerai dari gadis itu."

"M-Mama serius?" Rajata menatap ibunya tak percaya.

Renata mengangguk mantap. Tatapannya dingin kini, tak ada lagi kelembutan. "Yang paling penting sekarang adalah kesehatan Papamu. Kamu mau kan Papa selamat?"

Rajata memejamkan mata erat-erat. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ada rasa bersalah, marah, dan putus asa yang bercampur jadi satu.

"Baik..." ucapnya lirih, hampir seperti bisikan. "Tapi Mama janji... setelah ini semua selesai, aku bisa kembali ke Liora..."

Renata tersenyum samar, menyentuh pipi putranya dengan lembut namun ada kesan dingin di sana. "Tentu saja, Nak. Mama akan pastikan itu terjadi."

***

Di sisi lain, Tessa melangkah gontai keluar dari ruang jenazah. Matanya sembab, wajahnya pucat pasi. Tangannya meremas erat-erat gagang pintu seolah itu satu-satunya pegangan agar tubuhnya tidak limbung.

Sesekali pandangannya menyapu sekeliling, mencari sosok Pak Reza—pria yang tadi berjanji untuk menemaninya. Namun yang ada hanya lorong rumah sakit yang terasa begitu asing dan dingin. Tak ada Reza. Tak ada siapa pun.

Helaan napas berat lolos dari bibirnya. Alih-alih terus mencari, Tessa memilih duduk di bangku panjang di depan ruang jenazah. Ia mendekap tasnya erat-erat, menundukkan kepala.

"Aku nggak tahu harus ke mana sekarang... nggak ada siapa-siapa lagi..." bisiknya pada diri sendiri.

Air mata kembali mengalir, meski ia berusaha keras untuk menahannya. Dunia yang selama ini penuh warna baginya, kini terasa seperti kanvas kosong—hampa, dingin, dan menyakitkan.

Entah apa yang ia tunggu. Entah apa yang ia harapkan. Yang jelas, saat ini Tessa benar-benar kehilangan arah.

Rajata melangkah pelan menuju ruang jenazah. Suasana di lorong terasa berat, membuat langkahnya terasa lebih lambat dari biasanya. Saat matanya menangkap sosok gadis berambut panjang yang duduk membungkuk di kursi depan ruang jenazah, langkahnya refleks terhenti.

Dahinya berkerut. Pandangannya menajam, memperhatikan jaket almamater yang gadis itu kenakan. Warna biru dongker dengan emblem yang sangat familiar.

"Itu... almamater Cakrawala..." batinnya.

Rajata menarik napas panjang. Ada rasa asing yang menggelitik dadanya, entah karena situasi atau karena wajah sendu gadis itu yang seolah menyimpan ribuan luka.

"Dia anak Cakrawala juga?"

Untuk beberapa detik, Rajata hanya berdiri di sana, mematung. Ada dorongan untuk melangkah mendekat, tapi ada juga beban berat yang menahannya. Ia tahu, gadis itu pasti hancur. Dan jika benar sesuai ucapan ayahnya, gadis ini akan menjadi bagian dari hidupnya—bagaimana pun caranya.

Langkah Rajata terasa berat, tapi ia memaksa kakinya untuk tetap maju. Setiap hentakan seolah membawa beban yang tak kasat mata, membuat dadanya semakin sesak.

Sampai akhirnya ia berhenti di hadapan gadis itu. Sosok yang kini duduk membungkuk di kursi panjang depan ruang jenazah, dengan mata sembab dan wajah pasi.

"Lo... yang namanya Tessa?" ucap Rajata pelan, suaranya agak serak.

Tessa yang mendengar namanya disebut sontak menoleh. Gerakan kepalanya begitu lambat, seakan ia harus mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk sekadar mengangkat wajah.

Pandangan mereka bertemu. Mata Tessa menangkap sosok Rajata—tinggi, gagah, dengan wajah yang selama ini hanya ia lihat dari jauh.

"Rajata?" batin Tessa. Ya... siapa yang tidak mengenal Rajata Kastara di kampus Cakrawala? Kapten basket andalan, idola banyak mahasiswi, dan nama yang selalu digaungkan oleh ketiga sahabatnya—Raisa, Putri, dan Diana.

Namun, meski sempat terkejut, Tessa terlalu lelah untuk berkata apa-apa. Bahkan sekadar bertanya kenapa Rajata tiba-tiba muncul di hadapannya pun terasa begitu berat. Ia hanya menatapnya dengan tatapan kosong, seolah kehabisan kata.

Rajata kini ikut duduk di sebelah Tessa. Wajahnya terlihat lelah, tapi tatapannya tetap tajam menatap gadis di sampingnya.

"Bokap gue... tadi siang kena serangan jantung," ucapnya pelan. "Waktu nunggu lo."

Tessa menoleh cepat, tapi Rajata mengalihkan pandangannya.

"Dia minta gue nikahin lo... sebagai bentuk tanggung jawab dan rasa bersalahnya sama orang tua lo."

Tessa diam. Matanya kembali memerah mendengar kata-kata itu. Ya... kecelakaan itu memang bukan sepenuhnya salah Reza, tapi kalau saja dia lebih fokus dan mengerem mobilnya lebih cepat, mungkin Dimas dan Erna masih hidup.

"Lo..." Tessa menarik napas panjang, suaranya bergetar, "...lo bisa bilang ke Pak Reza, nggak perlu.... Gue udah ikhlas.."

Tessa hendak berdiri, tapi tiba-tiba Rajata mencengkeram pergelangan tangannya dengan erat.

"Kita tetap nikah. Besok." Suara Rajata terdengar mantap, meski ada nada berat di ujungnya.

Tessa membeku. Tatapannya langsung menatap mata Rajata, mencoba membaca isi hati pria itu. Dan benar saja... ada keterpaksaan di sana. Sorot matanya jelas menyimpan beban.

"Lo..." Tessa berbisik, suaranya serak. "Lo bisa nolak kalau nggak mau."

Ia menarik napas dalam, berusaha meredam gemuruh di dadanya. "Dan lagi... gue nggak mau nikah sama orang yang udah punya pacar!" serunya sedikit lebih keras.

Yah... siapa yang nggak tahu? Seluruh mahasiswa di Kampus Cakrawala tahu Rajata Kastara Naradipta adalah milik Liora Gistara—cewek populer dengan paras cantik tapi sifat nya sedikit arogan. Semua orang tahu jangan pernah cari masalah dengan Liora.

Merebut kekasih Liora? Itu sama saja dengan menyalakan api untuk membakar diri sendiri.

Dan Tessa... dia tidak pernah mau terlibat dalam drama seperti itu. Dia tidak mau jadi bahan gunjingan, apalagi harus berurusan dengan Liora.

Rajata hanya berdiri terpaku, menatap punggung Tessa yang menjauh tanpa sedikit pun niat untuk mengejarnya. Ada sesuatu di dadanya yang terasa berat... sampai getaran ponsel di sakunya membuyarkan lamunannya.

Mama is calling...

Tanpa banyak pikir, ia mengangkatnya.

"Halo." Suaranya terdengar datar.

"Ja, Raja!" suara Renata terdengar panik dari seberang. "Mana dia? Papa nanyain terus ini. Cepat bawa dia ke sini sebelum kondisi papamu drop lagi!"

Tanpa menjawab, Rajata  menghela napas keras, lalu memutuskan sambungan telepon. Ia memasukkan ponsel ke saku, langkahnya panjang-panjang menyusul Tessa yang sudah berjalan cukup jauh.

Begitu mendekat, tanpa banyak kata Rajata langsung menarik pergelangan tangan Tessa.

"Ja, lepasin! Lo ngapain, sih?!" seru Tessa panik, mencoba melepaskan cekalannya.

Tapi genggaman Rajata terlalu kuat. Tubuh tinggi besar pria itu—184 cm—terlihat sangat kontras dengan Tessa yang mungil di sampingnya, hanya setinggi 165 cm. Ia bahkan nyaris terseret ketika Rajata menariknya dengan langkah panjang.

"Ikut ke ruangan bokap gue." Suara Rajata terdengar dingin, penuh tekanan.

Mau tak mau, Tessa akhirnya mengikuti langkah Rajata. Ia hanya diam, membiarkan pria itu menuntunnya menuju sebuah ruangan bertanda VIP di ujung koridor rumah sakit.

Hatinya berdebar tak karuan. Begitu pintu terbuka, aroma khas antiseptik rumah sakit menyeruak. Dan di sana, di atas ranjang dengan selang infus terpasang di tangan, Reza terbaring lemah. Wajah pucatnya tampak begitu rapuh, bibirnya pecah-pecah.

Tessa terpaku di ambang pintu. Ada desir aneh di dadanya. Entah kenapa melihat sosok itu seperti membangkitkan memori lama—ayahnya saat sakit dulu. Sama-sama pucat, sama-sama berjuang menahan sakit. Tiba-tiba hatinya terasa mencelos.

"Nak..." Suara lirih memanggil, membuat Tessa tersentak. Ia menoleh. Reza mengangkat tangannya lemah, memberi isyarat agar Tessa mendekat.

Perlahan, langkah Tessa maju ke arah ranjang. Ia berusaha menenangkan degup jantungnya yang tak karuan.

"Saya harap... kamu mau menikah dengan Rajata... anak saya," ucap Reza dengan suara parau, napasnya tersengal.

Tessa menelan ludah. Matanya beralih ke Rajata yang berdiri di sisi ranjang, terlihat tegang namun menunduk, seolah menyembunyikan sesuatu.

"Kamu... mungkin sudah tahu Rajata, kan?" lanjut Reza terbata. "Saya lihat... kalian satu almamater."

Tessa hanya diam, tak tahu harus menjawab apa.

"Anggap saja... ini sebagai bentuk tanggung jawab saya... sama kamu... dan almarhum ayahmu," suara Reza terdengar bergetar.

"Ayahmu sebelum menghembuskan napas terakhir-nya....menitipkan kamu pada saya. Dan saya... saya nggak tahu... sampai kapan saya bisa bertahan di dunia ini."

Tessa menggigit bibir. Matanya mulai memanas.

"Setidaknya... kalau saya harus pergi nanti... kamu nggak sendirian, Nak... ada Rajata di sampingmu."

Kata-kata itu menembus pertahanannya. Hati Tessa mencelos. Ada rasa getir yang tak bisa ia tolak saat melihat Reza berjuang menyampaikan setiap kalimatnya. Meskipun ucapannya terbata-bata, Tessa bisa mendengar dengan jelas... setiap kata itu terasa berat, namun tulus.

Ia menunduk, berusaha menenangkan perasaannya yang mendadak kacau.

"Tapi... saya nggak mau menikah dengan orang yang sudah punya pacar, Pak..."

Akhirnya Tessa memberanikan diri mengucapkan itu. Suaranya pelan tapi tegas. Ia tahu ini risiko besar—mungkin akan membuat semua orang di ruangan itu menatapnya dengan tidak suka. Namun ini demi kebaikannya sendiri. Kalau pun ia harus menikah dengan Rajata, setidaknya pria itu harus memutuskan kekasihnya lebih dulu.

Sejenak ruangan itu hening. Semua kepala perlahan menoleh padanya, termasuk Rajata. Tatapan pria itu penuh keterkejutan, matanya membelalak seolah tak percaya Tessa berani bicara seperti itu.

"Saya tahu Rajata punya pacar... dan saya nggak mau dianggap merebut kekasih orang," lanjut Tessa dengan nada yang sedikit bergetar namun tetap berusaha kuat. "Jadi... kalau memang Bapak menginginkan saya menikah dengan Rajata, saya mau... dia memutuskan kekasihnya lebih dulu."

Suasana langsung menegang. Renata dan Carissa yang sejak tadi diam ikut menoleh tajam ke arah Tessa. Mata mereka menyipit, sorotnya seolah siap mengajak perang. Rajata sendiri mengatupkan rahangnya kuat-kuat, tangan mengepal di sisi tubuhnya.

Rajata meraih pergelangan tangan Tessa dan menariknya keluar ruangan dengan langkah besar. Pintu VIP tertutup keras di belakang mereka, menyisakan ketegangan yang menggantung di udara.

"Lo gila, ya?!" bentak Rajata dengan suara tertahan, tapi jelas terdengar marah. "Ucapan lo barusan bisa bikin bokap gue ngedrop!"

"Dan gue... nggak mungkin mutusin Liora!" Lanjut Rajata nadanya tinggi. Matanya berkilat, rahangnya menegang.

Tessa menghela napas panjang, berusaha tetap tenang meski dadanya terasa sesak. "Yaudah... kalau gitu nggak usah nikah. Gampang, kan?"

"Keputusan ada di lo. Gue nggak masalah nikah... asal lo mutusin Liora dulu. Tapi kalau lo nggak mau... bukan gue juga yang rugi. Toh bokap lo juga yang udah bikin gue kehilangan orang tua gue."

Kalimat itu seperti tamparan keras bagi Rajata. Tessa hendak berbalik pergi ketika tiba-tiba tangan Rajata mencekalnya lagi, kali ini lebih kuat.

"Oke. Fine!!" seru Rajata, nadanya berat penuh frustrasi. "Gue putusin Liora!!"

Tessa terkejut, tapi tetap diam. Ada bagian dalam dirinya yang ingin percaya, tapi juga takut ini hanya omong kosong Rajata demi menyelamatkan keluarganya.

Rajata menunduk sesaat, mengatur napas yang mulai memburu. Dengan gerakan cepat, ia merogoh saku celana, menarik ponsel, lalu menekan nama yang sedari tadi muncul di layar—Liora.

Tangan satunya masih mencengkeram tangan Tessa, seolah memastikan gadis itu tidak pergi sebelum mendengar semuanya.

"Haloo, sayang?" suara Liora terdengar lembut di seberang.

Rajata terdiam beberapa detik. Dadanya naik turun cepat. Napasnya berat seolah kalimat yang akan ia ucapkan terlalu menyakitkan untuk keluar.

"Kita... putus," ucapnya akhirnya, lirih tapi tegas.

Sebelum Liora sempat menjawab, Rajata sudah menekan tombol merah. Sambungan terputus begitu saja.

Suasana hening sesaat. Tessa hanya bisa menatapnya dengan mata yang sulit terbaca—antara terkejut, iba, atau justru tetap ragu.

Sah!

Malam itu kondisi Reza sudah mulai stabil, meski tubuhnya masih terlihat lemah di atas ranjang rumah sakit. Suara mesin infus terdengar pelan, bersaing dengan desahan AC yang mendinginkan ruangan VIP yang pagi ini disulap menjadi tempat akad nikah.

"Ya... lebih cepat lebih baik," gumam Reza lirih. Ia tak ingin menunda-nunda lagi. Ada rasa cemas yang tak bisa ia sembunyikan—takut jika Rajata berubah pikiran. Sebagai ayah, ia tahu betul anaknya itu masih setengah hati menerima pernikahan ini. Tapi dalam hatinya, Reza yakin, lambat laun Rajata pasti bisa menerima Tessa sepenuhnya.

Penghulu sudah datang, duduk dengan map hijau di pangkuannya. Dua saksi duduk di sampingnya, sementara beberapa kerabat dekat Reza ikut hadir. Di antaranya ada Rani, adik kandung Reza, dan Teguh, kakak kandungnya. Mereka sengaja diundang sebagai saksi pernikahan Rajata.

Untuk saat ini, akad dilakukan secara sederhana di rumah sakit. Nanti, setelah kondisi Reza benar-benar pulih, mereka akan mengurus surat-surat resmi di KUA.

"Nak Rajata... sudah siap?" tanya penghulu dengan suara tenang.

Rajata mengangguk pelan, wajahnya kaku. Ia melirik Tessa yang berdiri di sampingnya, lalu menarik napas dalam-dalam. Hatinya masih terasa berat, tapi ia mencoba menyembunyikan itu demi sang ayah.

"Kalau begitu kita mulai..."

Suasana ruangan mendadak hening. Semua mata tertuju pada Rajata dan Tessa yang duduk bersimpuh di hadapan penghulu. Jantung Rajata berdegup keras, sementara Tessa menunduk, wajahnya terlihat gugup. Reza tersenyum lemah dari atas ranjangnya, berusaha menahan haru yang menyeruak di dadanya. Ia tak pernah menyangka hari itu akan datang secepat ini.

"Baik... kita mulai ya." Suara penghulu terdengar tenang, namun mampu membuat seluruh ruangan semakin tegang.

"Bismillahirrahmanirrahim..."

Penghulu menarik napas, lalu berkata lantang,

"Saudara Rajata Kastara Naradipta, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan seorang perempuan bernama Tessa Alodia Kamani, binti Dimas Kamani, dengan maskawin berupa uang tunai sebesar lima juta rupiah, dibayar tunai."

Rajata mengepalkan tangannya di atas lutut. Matanya menatap lurus ke arah penghulu. Ada jeda sesaat sebelum ia menjawab, suaranya sedikit bergetar namun tegas,

"Saya terima nikahnya Tessa Alodia Kamani binti Dimas Kamani dengan maskawin tersebut, tunai."

"Sah?" tanya penghulu kepada para saksi.

"Sah." Jawaban kompak menggema di ruangan.

Reza menutup matanya sejenak, butiran air mata mengalir di sudut mata yang cekung. Bibirnya bergetar, namun ia tersenyum puas. Dalam hati, ia berbisik pelan, "Aku akan menjaga putrimu, Dimas... mulai sekarang, Tessa juga putriku. Aku akan melindunginya seperti anakku sendiri."

Sementara itu, Tessa mencuri pandang ke arah Rajata. Ia tahu lelaki itu belum sepenuhnya rela, tapi detik ini, takdir sudah mempertemukan mereka dalam ikatan suci.

Tessa bisa merasakan hawa dingin yang menusuk di ruangan itu. Tatapan penuh penilaian datang dari ibu mertuanya, Bu Ratna, yang sedari tadi hanya duduk kaku di sudut kursi tanpa sepatah kata pun. Bahkan Carissa, adik Rajata, hanya memandang Tessa dengan sorot mata sinis, seolah pernikahan ini adalah kesalahan besar yang tak termaafkan.

Hanya Teguh—kakak kandung Reza—dan istrinya, Sindy, yang menyambut Tessa dengan hangat. Sindy memeluk Tessa erat-erat, memberikan kehangatan yang dibutuhkan Tessa. sejak kedua orang tuanya tiada.

"Selamat ya sayang. Semoga kalian jadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah," ucap Sindy lembut, sambil menepuk bahu Tessa.

Dia tahu betul rasanya ditinggalkan orang tua di usia muda. Mungkin karena itulah dia tak tega ikut menghakimi Tessa seperti yang lainnya.

Tessa menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia membalas pelukan Sindy, membiarkan dirinya larut sejenak dalam kehangatan itu.

"Terima kasih, Tante..." bisiknya pelan.

Rajata berdiri di samping mereka, hanya terdiam. Pandangannya kosong, pikirannya melayang jauh... pada Liora. Nama itu kembali menusuk hatinya. Perempuan yang selama ini ia cintai, yang harus ia lepaskan demi berbakti kepada sang ayah. Ada sesak di dadanya saat membayangkan Liora menangis, mungkin sedang membencinya sekarang.

"Maafkan aku, Liora... semua ini bukan keinginanku," batinnya bergejolak.

Setelah prosesi akad selesai, Rajata membawa Tessa ke rumahnya. Gadis itu hanya membawa satu tas kecil berisi baju ganti. Sebenarnya Tessa ingin pulang dulu ke rumah almarhum orang tuanya untuk mengambil beberapa barang, tapi Rajata menolak tegas.

"Gue capek. Besok aja kalau mau ambil barang-barang lo. Sekarang ikut gue,"

ujarnya dingin tanpa menoleh sedikit pun pada Tessa yang berjalan pelan di belakangnya.

Setibanya di rumah, Tessa dibuat kagum. Rumah keluarga Naradipta berdiri megah dengan arsitektur modern yang elegan.

Saat pintu kamar Rajata terbuka, Tessa menahan napas. Kamar itu luas, dengan dinding kaca yang memperlihatkan taman kecil di luar. Furniturnya minimalis tapi berkelas—cerminan pemiliknya yang perfeksionis.

Namun kekaguman itu segera buyar oleh suara Rajata yang tajam menusuk.

"Lo tidur di sofa. Gue nggak mau satu ranjang sama lo."

Tessa tertegun. Matanya langsung mengarah ke sofa panjang di sudut ruangan yang tampak nyaman tapi jelas tidak didesain untuk tidur semalaman.

Belum sempat ia menjawab, Rajata kembali menatapnya dengan sorot dingin.

"Dan satu lagi... gue mau pernikahan ini nggak ada yang tau, apalagi anak-anak Cakrawala. Gue nggak mau hidup gue jadi bahan gosip murahan. Lo ngerti?"

Tessa menggigit bibirnya. Ia menunduk, menahan perasaan pahit yang kembali mengalir di dadanya.

"Iya..." jawabnya pelan.

Rajata mendengus kecil, lalu membuka lemari mencari pakaian ganti. Tanpa banyak bicara, ia mengambil bantal dan selimut, lalu melemparkan ke arah sofa.

"Tidur yang bener. Jangan bikin gue tambah kesel."

Tessa hanya bisa diam, menatap punggung Rajata yang kini sudah masuk ke kamar mandi. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh satu per satu. Ia mencoba menenangkan diri.

"Sabar, Tess... ini cuma awal. Semua akan baik-baik saja."

***

Pagi itu, Reza akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Meski kondisinya belum sepenuhnya pulih, ia memaksa diri untuk ikut mengantar jenazah Dimas dan Erna ke pemakaman. Ia merasa harus ada di sana, sebagai bentuk penghormatan terakhirnya.

Beberapa tetangga sudah berkumpul di rumah duka, menyampaikan belasungkawa. Namun bisik-bisik lirih mulai terdengar di antara mereka.

"Eh denger-denger... itu yang nabrak Bu Erna sama Pak Dimas ya?" bisik seorang ibu dengan nada penuh rasa ingin tahu.

"Katanya sih gitu... tapi nggak tau bener apa nggak," sahut yang lain.

"Eh... semalem si Tessa udah nikah ya sama anak laki-lakinya. Katanya sebagai bentuk tanggung jawab gitu? Bener nggak sih, Bu?" tanya seorang ibu muda dengan mata berbinar-binar, seolah berita itu terlalu panas untuk dilewatkan.

"Iya, saya juga denger gitu. Kata Pak RT ada laporannya ke kantor desa, bahkan udah ada surat resmi dari KUA segala," jawab seorang ibu tua, mengangguk mantap.

"Wah... beruntung juga ya si Tessa. Baru kehilangan orang tua langsung masuk ke keluarga kaya raya."

"Hmm... tapi kalau jadi yatim piatu dulu mah, apa enaknya Bu? Duit nggak bisa gantiin kasih sayang orang tua," timpal yang lain dengan nada sinis.

Tiba-tiba suasana jadi hening ketika seorang pria tinggi menjulang muncul di halaman rumah. Rajata.

Dengan setelan kemeja hitam sederhana, wajah tegasnya menambah kesan dingin. Kulitnya yang putih bersih kontras dengan rambut hitam legam yang disisir rapi. Alis tebal dan garis rahang tajamnya membuat beberapa ibu-ibu tak bisa menahan decakan kagum.

"Eh itu suaminya si Tessa? Buseeet... ganteng pisan... tinggi, putih, dadanya bidang... bibirnya tebal... alisnya tebal... Astaghfirullah...," bisik seorang ibu sambil menepuk mulutnya sendiri.

"Hus! Hus! Astaghfirullah ngomongnya!" tegur ibu yang lain, walaupun matanya tetap mengikuti langkah Rajata yang berjalan mantap ke arah Tessa dan Reza.

Aura dingin yang dibawa Rajata seolah membuat semua orang otomatis bungkam.

Suasana pemakaman terasa sunyi. Tessa berdiri di samping Reza dengan wajah pucat dan mata sembab. Rajata berdiri di belakangnya, sedikit menjauh, namun matanya terus mengawasi perempuan itu dengan tatapan yang sulit ditebak.

Setelah tanah terakhir ditutup dan doa selesai dipanjatkan, satu per satu pelayat mulai meninggalkan lokasi. Namun, bisik-bisik tetangga masih terdengar jelas di telinga Tessa.

"Itu suaminya Tessa kan? Kok kayaknya dingin banget ya... nggak keliatan kayak pengantin baru," bisik seorang ibu sambil melirik ke arah Rajata.

"Ya wajar, nikahnya aja katanya dadakan karena tanggung jawab... bukan karena cinta," timpal yang lain sambil menggeleng.

Tessa menggigit bibirnya, menahan diri agar air mata tak jatuh lagi. Ia tidak ingin terlihat rapuh di depan semua orang—terutama di depan Rajata.

Sindy, kakak ipar Reza. menghampiri Tessa dan menggenggam tangannya hangat. "Kuat ya, sayang... semua ini nggak mudah, tapi kamu harus tegar. Ada kami di sini," bisiknya sambil memeluk Tessa.

Tessa hanya bisa mengangguk pelan.

Rajata yang melihat itu tetap diam. Ia hanya memasukkan kedua tangannya ke saku celana, wajahnya tanpa ekspresi. Namun jauh di dalam hatinya, ada rasa tidak nyaman melihat perempuan itu menangis terus-menerus sejak kemarin.

"Udah selesai kan? Ayo pulang sekarang," ucap Rajata tiba-tiba dengan nada dingin.

Tessa yang masih duduk di sisi pusara mendongak pelan, matanya sembab, bibirnya bergetar menahan tangis. Namun, ketika pandangan mereka bertemu, tatapan Rajata yang sedingin es membuatnya buru-buru menunduk lagi. Ada rasa sakit yang menusuk di dadanya, membuatnya hampir tak sanggup bernapas.

"L-lo duluan aja..." ucapnya lirih. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat langkah Rajata terhenti sejenak.

"Gue... gue masih mau di sini."

Rajata menatapnya tajam. Sekilas, ada sesuatu di sorot matanya—entah itu amarah, rasa bersalah, atau hanya ketidakpedulian murni. Ia menarik napas panjang, lalu memasukkan kedua tangan ke saku celana.

"Terserah lo," jawabnya akhirnya. Suaranya rendah tapi tetap dingin, tanpa sedikit pun nada simpati.

Tanpa berkata lagi, Rajata berbalik dan berjalan pergi meninggalkan Tessa sendirian di pemakaman yang mulai sepi. Langkahnya terdengar mantap, bergema di jalan tanah yang masih basah setelah diguyur hujan semalam.

Tessa menggigit bibir, air mata kembali membasahi wajahnya. Ia memeluk lutut, mencoba menahan sesak di dadanya. "Kenapa rasanya sakit banget...? Papa, Mama... Tessa harus kuat, kan? Tapi kenapa rasanya kayak ditinggal lagi..." bisiknya lirih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!