“Kriiiiiiiiiing…” mimpi indah Karina buyar seketika, saat ponselnya berdering mengumumkan bahwa ini sudah pukul 5 pagi. Ia memincingkan matanya sementara tangannya mencari-cari dimana ia meletakan benda kecil, asal suara itu. Mulutnya monyong-monyong karena tak juga menemukan yang ia cari.
“Rin, bangun!! Berisik itu Hp nya...!!” teriak ibu Nurma, mamanya, dari dapur.
“Iya ma…” sahutnya dengan suara yang masih parau. Hap, akhirnya ketemu, berada dibawah bantal lalu ia matikan alarm ponselnya, mereegangkan badanya yang masih terbungkus dalam selimut.
Ah, pagi yang dingin, hari pertama di bulan April. Hari ini akan jadi hari yang sibuk bagi Karina, siswi kelas XII di sebuah SMA Negeri di Jakarta. Pagi setelah sekolah ia harus langsung bimbingan belajar, persiapan untuk ujian akhir nasional. Belum lagi sore ini ia ada janji dengan ibunya untuk membantu mengurus pesanan bunga di floris milik ibunya. Ah, memikirkannya saja sudah membuat bahunya pegal, dipijatnya bahunya sendiri dengan tangan yang dilipat meraih belakang lehernya.
“Karina, sudah jam berapa ini,” ibunya membuka pintu kamar mengejutkanya, “kamu mau merem terus?”
“iya mamaku sayang, ini udah melek” Karin memelototkan matanya, mulutnya meringis meledek ibunya.
“mandi, sarapan. Se-Ka-Rang!!”
“Siap mama!!”
Ibu Nurma hanya geleng-geleng melihat kelakuan anaknya. Segera Karin beranjak dari tidurnya menuju kamar mandi.
Tak butuh waktu lama, Karin keluar dari kamarnya dengan seragam sekolahnya rapi dan rambut yang masih basah terurai.
“Sarapan apa hari ini mama sayang?”
“Liat sendiri aja sih ngapain nanya” samber Dimas, adik semata wayangnya yang sudah terlebih dulu duduk dan menikmati sepotong tempe goreng.
“Apaan sih lu, orang gue nanya mama.”
“Kan keliatan ini dimeja, ngapain nanya.”
“Lah suka-suka gue dong mau nanya apa gak.”
“hustt…, kalian tuh ya pagi-pagi udah ribut” lerai mamanya. Menyiapkan segelas susu hangat untuk masing-masing anaknya.
“Sudah, duduk Karin. Kita sarapan” perintahnya pada Karin yang masih monyong kesal dengan adiknya. Ini adalah kebiasaan merka bertiga setiap pagi, harus sarapan bersama sebelum mereka melakukan aktifitasnya masing-masing. Tidak lupa ibunya selalu menyisipkan nasihat untuk kedua anaknya.
Seperti pagi itu, Ibu Nurma yang juga sudah rapi bersiap untuk bekerja menyempatkan untuk tetap memasak dan menyiapkan sarapan serta bekal untuk Karin dan Dimas.
"Dimas hari ini ada ulangan kan?" Dimas mengangguk. "Kerjakan betul-betul. Jangan buru-buru, jangan asal kerjain. Ujianmu sudah dekat, nilai raportmu jangan sampai jeblok kya semester kemarin" lanjut bu Nurma.
"Siap bu komandan!" sahut Dimas meledek.
“Jangan lupa sore ini bantu mama di floris ya Rin.”
“He eh ma. Karin gak lupa” Karin mengunyah sarapannya sambil mengangguk. “Memangnya siapa sih ma yang meninggal, kok banyak pesanan karangan bunga hari ini?”
“Mama juga gak tau Rin, yang jelas ada lima pesanan untuk alamat yang sama.”
“Pejabat ya ma?” Dimas bertanya sebelum meneguk habis segelas susu hangat.
“Sepertinya ibu dari seorang pejabat atau pengusaha. Kurang tau juga mama. Ini, nanti kamu buatkan dulu tulisan ini sebelum berangkat sekolah ya. Kalau sudah, simpan di folder biasanya di laptop mama.” Ibu Nurma menyerahkan sebuah tulisan nama dalam secarik kertas. Ibu Surya Dinata, nama yang tertulis disana.
Tugas Karin sebelum berangkat sekolah adalah membuat tulisan untuk dicetak ke sterofoam papan karangan bunga. Ibu Surya Dinata, dibacanya sekali lagi tulisan itu. Nama yang rasanya tidak asing bagi Karin, namun ia tidak yakin mengenal nama itu.
“Mama gak kenal nama ini? Atau pernah denger dimana, gitu?” selidiknya meyakinkan diri, barangkali ibunya juga merasakan hal yang sama. Ibu Nurmo berfikir sejenak, disipitkan matanya seolah mencari sebuah memori, tapi kemudian ia menggelengkan kepalanya.
“Mama gak ingat. Lagian nama orang yang pasti ada yang sama atau mirip” jawab bu Nurma sambil beranjak meninggalkan meja belajar, memberekan sisa-sisa sarapanya dan anak-anaknya.
Ibu Nurma adalah seorang ibu tunggal untuk kedua anaknya, Karina kelas XII dan Dimas kelas VII. Seorang ibu hebat yang sejak anak-anaknya masih kecil bekerja keras menghidupi anak-anak tanpa kehadiran seorang suami. Budiman Arya, nama laki-laki yang sempat dipanggil Karin sebagai papa, kini pergi entah kemana setahun setelah Dimas lahir. Meninggalkan mereka yang berjuang melayan kerasnya hidup tanpa kabar. Dan bagian yang tersulit yang harus mereka hadapi adalah berjuang melawan kenangan dan ketidaktahuan akan apa yang sebetulnya membuat papanya pergi meningglkan mereka begitu saja. Beruntung sebelum papanya pergi, ibu Nurma sempat membuat usaha floris yang diberi nama Paradise, usaha yang akhirnya mampu membuat ibu Nurma menyibukan diri dan melupakan kesedihan atas kepergian suaminya entah kemana, dan juga usaha yang mampu menghidupi keluarganya.
**
Pembahasan di bimbel hari ini sedikit membosankan, bagi Karina. Mengulang sedikit materi tentang Metabolisme Sel. Ah.., baru semalam ia belajar dan membaca materi ini, hari ini harus ia ulangi lagi. Membosankan, batin Karin. Sementara udara hari ini sangat panas, lembab dan lengket rasanya.
Dalam ruangan seukuran 4x7 meter, diisi delapan anak termasuk dirinya dan Nia, teman baiknya disekolah yang sama, mereka belajar dalam mempersiapkan ujian akhir bulan depan. Udara panas yang membuat AC di ruangan itu rasanya tidak mempan dikulit sama sekali, menghadirkan rasa kantuknya tanpa bisa ditolak. Berkali-kali Karin menguap dan mengusap matanya untuk membuatnya sedikit terbuka, berharap rasa kantuknya pergi dan ia bisa sedikit menegakan kepala mendengarkan bu Sinta, tutornya hari itu. Tersisa 30 menit terakhir, tetapi entah kenapa mata Karin tak bisa diajak kerjasama kali ini. Usahanya tidak berhasil, ia akhirnya menyerah dan tertunduk diatas meja, mencuri kesempatan untuk sebentar memejamkan matanya.
“Rin, jangan tidur.” Nia berbisik-bisik sambil melemparkan gulungan kertas kecil, mengenai rambut Karin yang tak menyahut sedikitpun.
“Rin...!!” Karin tak bergeming. Sementara Nia hanya bisa menghela nafas melihat sahabatnya itu. Ia menyerah, membiarkan Karin tertunduk tidur hingga akhir pembelajaran. Untungnya, mereka duduk dideretan belakang, sehingga bu Nia tidak terlalu memperhatikan salah satu muridnya sudah tumbang diatas mejanya.
“Karinaaa…!!” Nia menimpuk lembut tubuh Karin yang sudah terbuai lelap, menyenderkan kepalanya diatas mejanya.
“Bangun Rin, udah selesai, ayo pulang!!” kali ini Nia menggoyang goyang kepala Karin, membuat Karin kaget dan mendongak linglung.
“Hah, udah selesai??” Nia melipat kedua tangannya di depan dada, menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Karin yang baru tersadar dari tidurnya.
“Udah selesai, udah ditambah stengah jam malah” sahut Nia. Karin terkaget.
“Hah, nambah jam??” Karin mengecek jam di ponselnya. “Aduh, ada janji sama mama”.
Buru-buru ia rapikan buku dan tasnya, lalu berlari keluar kelas hendak menuju halte bis di samping gedung bimbelnya.
“Ni, gue duluan ya, ada janji sama mama” Nia tak sempat menjawab, Karin sudah berlalu pergi. Nia hanya melongo melihat sahabatnya itu. Lalu melepas pandanganya dengan menggelengkan kepala.
Karin sedikit berlari, turun dari lantai 2 tempat ia belajar menuju pintu keluar disisi kanan gedung. Lalu berjalan ditrotoar menuju halte bis disebrang jalan utama depan gedung. Ia mengecek ponselnya, mencari barangkali mama mengirim pesan karena keterlambatanya. Sambil sesekali melihat ponsel, ia berjalan menyeberangi jalan. Matanya terpaku pada sebuah pesan dari nomer tak ia kenal. Dibuka pesan itu dan ia mendapati sebuah tulisan,
“Karina, ini papa.” Deg, jantungnya seolah berhenti sejenak, lalu kembali berdetak dengan irama yang jauh lebih cepat. Papa?? Pipinya terasa panas, kaki dan tanganya kaku tak mampu ia gerakan. Lalu tiba-tiba,
Criciiiiit, braaaak !!
Suara deritan rem dan ban mobil menyeruak hiruk pikuk jalanan sore itu.
Mobil itu, berwarna putih dan berpenampilan sporty, membuat tubuh Karin melayang, terlempar beberapa meter keatas, lalu terhempas keras keatas jalanan yang masih terasa panas. Pipinya menyentuh aspal, darah mengucur dari kepala, hidung dan telinganya. Disambut jeritan semua orang yang menyaksikan peristiwa itu.
Mata Karin kabur, bayangan pepohonan dibahu jalan ia lihat membayang bergoyang goyang. Samar-samar suara orang-orang yang mendekatinya masih tertangkap telinganya. Ada suara laki-laki yang menghubungi ambulan, ada suara ibu-ibu yang menangis sambil beristgfar. Dan, ada suara Nia, menjerit memanggil namanya. Lalu, ada seorang laki-laki yang turun tergopoh-gopoh dari mobil itu mendekati tubuhnya yang terkapar ditengah jalan. Lalu, gelap. Semuabtak terlihat, semua membisu.
“Karin !!!” brug…. Sebuah tas ransel mendarat tepat di punggung Karina, membuatnya terhenyak dan hampir saja melompat dari kursi. Nafasnya tersengal-sengal dengan butiran keringat di dahi yang mulai meluncur ke pipi. Diusapnya keringat itu dengan punggung tangan Karin dari wajahnya yang pucat pasi.
“Hah, keringat?” gumam Karin bingung.
“Lu kenapa sih, Rin?” tak kalah bingung, Nia memperhatikan sahabatnya yang seperti orang linglung.
“Darah Ni. Mana darahnya?”
“Darah apaan si Rin? Kamu haid? Kok haid dari jidat?” Nia semakin bingung.
“Bukan Nia, darah. Tabrakan mobil?” Karin berdiri dari duduknya, diperhatikan sekeliling yang makin membuatnya tidak mengerti. Ia berada dalam kelas. Tidak mungkin, bukankah ia harusnya tergeletak dijalan? Karin mondar-mandir diruangan kelasnya, membuat Nia khawatir akan kondisi sahabatnya itu.
“Karin lu ngomong apa sih? Tabrakan apa? Siapa yang tabrakan?”
Karin pucat pasi, badannya bergetar hebat, akhirnya ia ambruk terduduk dikursi dengan lunglai. Sementara Nia yang semakin kebingungan meminta bantuan teman-teman untuk membawa Karina menuju UKS. Nia menggamit tangan kanan Karin menuntun perlahan menuju UKS, sementara dua teman lainnya menuntun dari kiri dan mengawasi dari belakang.
“Sorry ya Ri, lu kaget gara-gara gue ya?” Nia merasa sangat bersalah melihat sahabatnya yang kini berjalan dengan pandangan kosong itu, menunduk seolah memperhatikan jalan. Karin menggeleng pelan.
“Atau lu mimpi ya?” lanjut Nia.
Karin sendiri bingung, ia tidak mengerti apa yang sebetulnya terjadi. Ia ingat betul, bahwa ia baru saja mengalami sebuah kecelakaan karena keteledorannya. Setelah pulang dari bimbingan belajar, ia pulang menuju florist dan berjalan dengan tidak berhati-hati, menyebrang jalan tanda menoleh kiri dan kanan. Ia juga ingat betul, sebuah mobil sporty menabraknya yang tengah berjalan memperhatikan pesan di ponselnya. Bahkan suara decitan rem dan ban mobil masih sangat jelas terdengar ditelinganya.
Ponsel, ya. Pesan dari papa, tertulis disana tulisan PAPA. Langkah gontainya terhenti, dirabanya saku rok Karina mencari sebuah ponsel.
“Ni, liat handphone gue gak?”
“Gak Rin, kayaknya di tas. Lu kan tadi taruh handphone lu di tas sebelum tidur.”
“Tidur?”
“Iya, lu kan tidur barusan. Abis olah raga, lu ganti baju masuk kelas trus tidur kan dikursi. Noh pipi lu masih bau meja.”
“Iya Rin, lu tidur pules tadi. Sampai Nia bangunin aja lu gak denger” timpa teman yang lain.
Karin kembali terbengong. Jadi, aku tidur barusan? Jadi itu tadi mimpi? Desahnya dalam hati. Mimpi yang rasanya bukan mimpi.
“Rin, lu kenapa sih? Jangan bikin aku worry dong Rin” Nia merengek dengan penuh kecemasan, sementara Karina masih diam terbengong mencerna apa yang terjadi.
“Udah yuk lanjut ke UKS aja, lu istirahat dulu.”
“Gak…gak…gue gak kenapa-kenapa kok. Iya mungkin gue cuma mimpi” Karin menolak dan berbalik badan menuju kelasnya. “Balik kelas aja yuk, kita bulan depan udah ujian, jangan sia-siain waktu” lanjutnya.
“Bulan depan???” sahut tiga temannya bersamaan, langkah Karin terhenti. Ia balik badan dan menatap ketiga temannya.
“Ujian kita masih dua bulan lebih Rin.”
“Hah??”
“Iya, masih dua bulan lagi. Lu jangan becanda Rin. Lu beneran sakit deh kayaknya. Ayo ke UKS.” Nia menarik paksa tangan Karin.
“Bentar-bentar,” Karin mengibaskan tangan Nia, lalu ia cubit pipinya sendiri dan, “Auw….sakit…”
“Ya sakit lah orang lu cubit.”
“Ni, ini tanggal berapa?” Karina kini mencengkeram kuat pundak Nia menunggu jawaban. Sementara Nia yang melihat tingkah Karina menatap ketakukan.
“Tet…tanggal 18 Feb..bruari.” jawab Nia terbata. Karina yang mendengar jawaban Nia tiba-tiba jatuh lunglai tak sadarkan diri, Karina pingsan.
**
Kepala Karina terasa nyeri hebat, saat ia membuka mata. Bayangan langit-langit yang memudar perlahan terlihat jelas saat Karina mengerjap ngerjapkan matanya perlahan. Benda dingin menempel pada dahinya membuat dahinya terasa sedikit nyaman. Ia menengok kanan dan kiri mencari tahu keberadaanya sendiri. Ternyata, ia berada dalam ruangan yang sangat ia kenali, dinding biru muda dengan sebuah foto besar terpajang disana, foto dirinya yang tersenyum pada dirinya saat ini. Ya, Karin berada dikamarnya sendiri.
“Ma…mama…” Karin mencoba berteriak memanggil bu Nurma. Suaranya yang serak tidak membuat ibunya mendengar panggilannya.
“Mama….” Dia mencoba mengulangi namun taka da jawaban. Disingkapnya selimut tipis yang menutupi kakinya, lalu mencoba duduk diranjang berniat untuk menuju dapur mencari ibunya. Belum sempat ia berdiri, pintu kamarnya terbuka. Seorang anak kecil masuk kedalam kamar dan tersenyum padanya. Berdiri tepat dihadapan Karina yang tertegun melihat senyum anak perempuan berusia sekitar 9 tahun itu. Anak siapa ini? Batin Karin.
“Hay kak, namaku Putri.” Anak berbaju merah muda itu mengulurkan tangannya mengajak berjabat tangan. Karin menyambut tangan itu. Baru saja mulutnya terbuka hendak menyebutkan nama, “Nama Kakak Karin kan?” lanjut gadis kecil itu. Karina hanya mengangguk.
“Kakak masih pusing?” gadis itu duduk disebelah Karin, ditepi ranjangnya. Karin menggeleng. Ia masih belum mengenali anak ini. Sepertinya, ia tidak punya saudara bernama putri. Atau, ini anak temen mama?
“Kakak pingsan tadi di sekolah. Terus mamanya kakak jemput. Dokter keluarga kakak juga sudah datang dan memeriksa kakak tadi.” Cerocos anak itu tanpa ditanya. “Teman kakak tadi mengantar sampai rumah, sekarang sudah pulang.” Tambahnya. Nia, pasti Nia yang anak ini maksut.
“Kamu siapa?” Karin akhirnya buka suara.
“Aku Putri.”
“Iya, tapi kamu itu siapa? Kenapa kamu disini?”
“Karena rumahku disini.” Gadis kecil itu tersenyum ramah dan polos, membuat Karin semakin pusing. Ia tak menggubris jawaban anak itu, segera ia bangkit dan berjalan menuju dapur, dicarinya sosok bu Nurma yang ternyata sedang memasak bubur di dapur.
“Mama, ma itu sia…”
“Karin… kamu sudah siuman nak??” bu Nurma berbalik dari sepanci bubur dan berjalan cepat menyambut anaknya dan menuntunnya duduk di sofa kecil disisi ruang keluarga.
“Kenapa malah kesini Karin, istirahat saja dikamar.” Bu Nurma menempelkan bahu tangannya didahi Karin. “Masih pusing nak?” lanjutnya. Alih-alih menjawab ibunya, Karin menanyakan gadis kecil yang ada di kamarnya itu.
“Ma, itu anak kecil siapa sih? Anak siapa itu?”
Ibu Nurma mengernyitkan dahinya, mencoba mencerna siapa anak yang dia maksut.
“Itu ma yang dikamar Karin, yang pakai baju pink” lanjut Karin menjelaskan. Ibunya geleng kepala tak mengerti, sepertinya betul kata Nia sebelum pulang tadi. Karin sedikit berhalusinasi, mungkin efek demam atau shock karena mimpi buruknya.
“Sudah Rin, ini minum the hangatnya. Mama lagi masak bubur kaldu iga, bentar lagi mateng. Tunggu disini ya. Diam disitu jangan kemana-mana” ibunya melanjutkan memasak meninggalkan Karina yang terbengong dan tak habis pikir apa yang sedang ia alami.
Dipegangnya cangkir berisi teh hangat itu dengan kedua tangannya. Kakinya ia angkat keatas kursi dan menekuk perutnya agar terasa lebih nyaman. Sementara sesekali kepalanya menoleh kearah kamarnya mencari-cari gadis kecil yang ia tinggalkan begitu saja dari kamarnya. Tak terlihat sama sekali. Apa yang ia lakukan di kamarku? Batin Karina.
Tak tahan dengan rasa penasaran, Karina meletakan secangkir teh hangat yang telah ia sesap beberapa kali keatas meja makan, lalu berhati-hati ia berjingkat masuk kembali kedalam kamarnya mencari keberadaan gadis kecil yang mengaku bernama Putri itu. Nihil. Sudah tak ada di dalam kamarnya. Entah ia pergi kemana dan entah kapan. Rasanya ia tak melihat anak itu keluar meninggalkan kamarnya. Karina memeriksa sekeliling. Jendela kamarnya terkunci, bahkan satu sisi jendelanya sudah lama tidak bisa dibuka, tak mungkin anak itu lompat keluar kamarnya melalui jendela. Entahlah, mungkin anak itu keluar kamar bertepatan dengan Karin keluar kamar sehingga wajar jika Karin tak melihat anak itu.
“Karin, buburnya matang. Ayo sini makan dulu.” Bu Nurma memanggil anaknya dan menyiapkan semangkuk bubur kaldu sapi lengkap dengan irisan daging sapi untuk putrinya. Karin berjalan gontai ke meja makan, seolah ia kehabisan tenaga selepas mengejar anak ayam dan tak mendapatkan yang ia kejar. Bingung, lelah, terlihat jelas diwajahnya.
“Kenapa Rin? Masih pusing?” bu Nurma menarik kursi untuk duduk anaknya. Karina menggeleng, berusaha tersenyum agar ibunya tidak merasa khawatir.
“Makan dulu, yang banyak, trus lanjutin istirahatnya. Besok jangan sekolah dulu ya, istirahat dulu beberapa hari dirumah.”
“Jangan ma, Karin gak apa apa kok. Sayang pelajaran sekolahnya. Bentar lagi ujian.” Jawab Karin, ibunya mendesah pasrah.
Karin teringat lagi percakapan dirinya dan teman-temannya saat menuju ke UKS. Soal jadwal ujian yang akan segera ia hadapi.
“Ma,” Karin menyuap sesendok bubur kemulutnya yang masih terlihat sangat pucat, ibunya mendongak merespon panggilan putrinya. “Sekarang tanggal berapa ma?”
“Erm..., tanggal 18 Februari sepertinya.”
“Tahun 2023 kan?”
“Iya. Kenapa Karin? Kamu ada janji?”
Karin menggeleng lesu. Betul, Nia gak bohong, dia memang gak mungkin bohong, hari ini tanggal 18 Februari. Bukan tanggal 1 April, tanggal dimana Karin mengalami kecelakan. Entah itu betul tanggal 1 April, atau itu hanya mimpi. Sepertinya memang mimpi.Tapi Karin masih belum puas dengan semua kesimpulannya.
“Mama hari ini ada pesanan karangan bunga di florist ma?”
“Ada, hari ini ada beberapa pesanan bucket bunga untuk acara wisuda. Semua sudah diatasi karyawan, jadi kamu gak usah kawatir, gak perlu ke florist hari ini. Kamu is…”
“Bukan karangan bunga kematian ma?” Karin tak sabar dan memotong pembicaraan ibunya. Bu Nurma terdiam, diamati anak gadisnya yang makin bersikap aneh itu. Kali ini ia betul-betul khawatir. Sepertinya Karin mengalami kejadian yang membuatnya kehilangan beberapa memorinya, tebak bu Nurma.
“Ma, apa kita punya saudara bernama Putri? Umurnya sekitar 9 tahun.” Bu Nurma terdiam, hanya menggeleng sambil menarik sandaran kursi dan duduk disebelah anaknya.
“Atau kita punya tetangga yang punya anak namanya Putri? Atau anak temen mama mungkin?" cecar Karin tanpa henti.
“Rin,” bu Nurma menggamit kedua tangan Karin. Menggeser tubuh anaknya untuk berhadapan-hadapan dengannya. Dibelainya rambut Karin yang menjuntai dari dahinya, menyelipkan kebagian belakang telinganya.
“Kamu punya mama untuk bisa kamu percaya, kalau kamu punya masalah kamu bisa crita ke mama” ucapnya penuh kasih. Menatap wajah putrinya yang sayu. Karin adalah anak yang manis dan sangat patuh pada ibunya, ia tak pernah bertingkah dan menyulitkan ibunya. Bu Nurma sangat bersyukur, ditengah kondisinya sebagai ibu tunggal, yang harus berperan ganda sebagai ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya, ia dianugrahi anak-anak yang mengerti betul kondisi ibunya. Sungguh anugrah yang sangat ia syukuri.
Karin mengerti dengan keresahan ibunya, ia kemudian menggeleng dan berusaha untuk menghentikan pertanyannya, mengalihkan kebingungan yang belum mampu ia pecahkan ke sepiring mangkuk bubur kaldu buatan ibunya.
“Hem.., enak banget buburnya ma,”
Bu Nurma menghela nafas, tak dapat dipungkiri rasa khawatir masih menggantung disudut hatinya. Semoga ini hanya efek dari demamnya saja, pikir bu Nurma.
“Habiskan nak, lalu minum obat dan istirahat” Karin mengangguk.
**
Efek obat yang Karin minum siang itu ternyata sangat ampuh, ia tertidur lelap setelah meminumnya, dan terbangun saat sore, karena mendengar suara adzan dari masjid perumahan tempat tinggalnya. Ia mengernyitkan matanya perlahan, gelap menyelimuti ruangan. sepertinya, ini adzan maghrib, diluar sudah gelap dan belum ada yang menghidupkan lampu kamarnya.
Karin berdiri, meraba-rapa dinding meraih saklar lampu. Cekrek… lampu kamar menyala, dan,
“Astaga…” Karin kaget dan terduduk dikasurnya. “Putri…!!” Karin setengah berteriak melihat gadi itu sudah berdiri didepan pintu kamarnya. Ia tersenyum ramah, seperti siang itu.
“Kamu ngapain berdiri disitu?”
“Nungguin kak Karin bangun.” Jawabnya polos.
“Dari tadi siang?”
Putri mengangguk girang, seperti seorang anak yang baru menemukan sesuatu yang telah lama ia cari-cari. Ia kemudian duduk menjejeri Karin di ranjang. Sementara Karin yang sudah mulai sadar dari rasa kantuknya mencoba untuk meyakinkan diri bahwa ia tidak sedang bermimpi, bahwa gadis yang duduk disebelahnya betul-betul ada. Karin menyentuh pundak Putri hati-hati, memastikan ia dapat menyentuh tubuh gadis itu. Nyata, anak ini betul-betul ada disebelahnya, dapat disentuh, bahkan kini tangan Karin membelai rambutnya.
“Kamu kenapa jam segini masih disini? Ini sudah mau malam. Kamu gak pulang?” Karin mencoba bersikap ramah, agar Putri tak merasa kehadirannya tak diinginkan. Ia tak mau bermasalah dengan orang tua Putri jika ia mengadu seolah Karin mengusirnya pulang. Putri hanya mengangguk, senyumannya nyaris tak pernah hilang dari garis bibirnya.
“Mamamu gak nyariin kamu?” putri kembali menggeleng. Karin kehabisan pertanyaan. Hening sejenak, hanya pandangan mata dan senyuman Putri yang masih lekat mengarah penuh pada Karin yang makin tertarik mengenal gadis kecil disampingnya.
“Memangnya rumah kamu dimana Putri?”
“Disini.” Karin mengernyitkan dahinya mendengar jawaban Putri.
“Disini dimana?”
“Ya disini. Dengan Kak Karin.” Tangan Putri naik turun dengan jari telunjuk mengarak kebawah, menunjuk ke kamar Karin.
“Dikamar kakak?”
Putri mengangguk. Glek, Karin menelan ludah. Tenggorokannya tercekat. Badannya mulai merinding. Tak hanya karena jawaban Putri yang tak masuk di akal, tapi juga tatapan mata dan senyuman Putri yang makin diperhatikan makin membuat bulu kudunya berdiri.
“Putri, tolong jangan bercanda. Maksut kamu itu apa? Kamu ini siapa? Kenapa kamu bilang ini rumah kamu?”
Putri seketika berdiri, lalu tiba tiba bandanya berpindah dengan sekejap mata, menghilang dan muncul lagi diatas meja belajar Karin. Duduk menjulurkan kakinya bergoyang goyang terlipat paha dari atas meja belajar. Karin terkesiap, tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Ia beringsut perlahan mundur diatas kasurnya, lalu duduk menekuk lututnya dan bersandar pada kepala ranjangnya penuh ketakutan.
“Kak Karin gak usah kawatir, aku gak akan ganggu atau nyakitin kakak kok,” ucap Putri yang kemudian tiba-tiba sudah berada diatas Kasur, tepat dihadapan Karin yang melonjak kaget.
“Namaku Putri, aku tinggal disini jauh sebelum kak Karin tinggal disni. Aku juga yang selama ini menjaga kak Karin,” ucap Putri menjelaskan siapa dirinya.
“Han…Hantu ya?”
Putri tertawa renyah mendengar pertanyaan Karin. Suara tawa yang justru membuat Karin beringsut semakin takut.
“Yah, anggap saja aku hantu yang baik.”
“Trus mau kamu apa?”
“Kakak pasti ingat, kejadian sore itu, selepas kakak belajar digedung dekat sekolah kakak.”
“Kecelakaan itu?” Putri mengangguk. “Jadi kecelakaan itu betul terjadi?”
“Iya, betul terjadi. Dan seharusnya kakak sudah menjadi sepertiku.”
“Jadi hantu? Mati?” Putri kembali terkekeh dan mengangguk. “Trus kenapa tiba-tiba aku balik ke hari ini?”
“Karena aku. Aku membantu kakak kembali ke 40 hari sebelum kejadian itu.”
“Kenapa? Untuk apa?” air mata Karin tak terbendung, ia terisak perlahan mengetahui bahwa ia seharusnya sudah tiada, meninggalkan ibu dan adiknya. Putri mendekatkan tubuhnya, menyentuh tangan Karin hati-hati untuk menenangkannya tanpa membuatnya merasa takut.
“Kak Karin punya waktu 40 hari sebelum kakak benar-benar pergi bersamaku, untuk bisa melakukan apa yang ingin kakak lakukan. Gunakan kesempatan itu sebaik-baiknya kak. Kakak pasti tau apa yang harus kakak lakukan.” Putri membelai rambut Karin yang tertunduk menangis semakin jadi.
“Apa setelahnya aku tetap akan mati?” Karin mendongak, berharap jawab yang akan ia dengar tidak seperti tebakannya. Namun Putri hanya tersenyum, lalu menghilang entah kemana. Suara isak tangis Karin yang meronta memenuhi ruangan kamarnya. Anehnya, tak satupun masuk kedalam kamarnya, seolah tak ada yang mendengar suara tangis Karin yang pecah meratapi nasibnya.
Sudah tiga hari ini Karin mengurung diri dikamar, meringkuk di atas Kasur, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Tiga hari juga ia tak peduli dengan bujuk rayu ibu dan sahabatnya Nia yang memohon agar Kari mau untuk makan, bahkan sekedar bangun dari tempat tidurnya atau berbincang. Sementara Putri yang setia menemani Karin di kamarnya, hanya menatap gadis itu dengan senyuman khas dibibir Putri yang seakan tak pernah pudar. Bagi Putri, apapun keputusan Karin tentang waktu 40 hari yang Karin miliki, adalah sepenuhnya hak Karin untuk menentukan mau ia apakan waktu itu. Bahkan jika waktu itu Karin sia-siakan begitu saja, Putri tak berhak mengatur Karin. Sedangkan bagi Karin, seberapapun banyaknya waktu yang ia miliki, tidak lagi berarti baginya yang tetap akan menghadapi sebuah kematian tragis setelahnya.
Mau hari ini atau besok, ia tetap akan segera mati, jadi biarkanlah waktu itu datang sendiri, lebih cepat lebih baik, batin Karina.
Siang itu, Karin membuka matanya yang mulai cekung dan menghitam, saat mendengar suara berisik dari arah ruang tengah. Suara Dimas, ia mengenali betul suara itu meski tak melihat si pemilik suara. Dimas terdengar berteriak memanggil nama ibunya, lalu terdengar ia menghubungi seseorang lewat telephone. Sesaat kemudian dimas terdengar memanggil tetangga, dan mereka seperti beraba-aba mengangkat sesuatu keatas sofa, diikuti suara tangis Dimas yang terisak.
Karin mendengarkan suara-suara itu dengan seksama, menerka nerka apa yang terjadi. Hingga ia mendengar suara dokter Joko, dokter keluarga mereka. Dalam tiga hari ini memang dokter Joko selalu datang memeriksa kondisi Karin, bahkan kemarin sore dokter Joko berpesan agar Karin segera dilarikan ke RS jika ia tak juga mau makan untuk mendapatkan perawatan, mengingat sudah tiga hari ini tidak ada makanan yang masuk ketubuhnya, hanya sesekali minum jika bu Nurma memaksanya. Namun ini masih siang untuk jadwal kunjungannya, dan Karin tak juga mendapati dokter Joko memasuki kamarnya. Lalu apa yang ia lakukan di rumah ini? Siapa yang ia periksa?
Rasa penasaran Karin mendorong tubuhnya untuk bangkit dari Kasur dan keluar dari kamarnya menuju ruang tengah, tempat yang tadi menjadi pusat suara riuh. Terlihat di sana, berbaring di atas sofa ruang tengah, mamanya. Tampak lemah dan menyedihkan. Sementara suara isak tangis Dimas masih belum berhenti.
Melihat kakaknya yang berjalan gontai menuju mereka, justru membuat Dimas naik pitam. Ia berdiri menatap Karin yang masih mencari tahu apa yang terjadi dirumah itu.
“Ngapain lu keluar?! Lu mau mati kan?! Lu pengen mati kan?! Mati aja lu sendiri, jangan bawa-bawa mama! Jangan bikin mama gue jadi sakit gara-gara khawatir sama lu!” jerit Dimas tak terbendung. Tangisnya pecah.
Baru kali ini Karin melihat adiknya menangis seperti ini, namun mata Karin tak lepas dari tubuh lemah ibunya yang terbaring disofa. Sementara tangan ibunya meraih tangan Dimas, berusaha meredam emosi adiknya dengan membara. Menggeleng lemah seolah melarang Dimas melanjutkan amukannya.
Karin berjalan terhuyung-huyung mendekati ibunya, disambut dengan senyuman bu Nurma yang beberapa hari ini menguap terbang bersama dengan hilangnya semangat hidup anak gadisnya itu.
“Mama….”
Karin terduduk dilantai, menyenderkan kepalanya keperut samping ibunya yang masih terbaring disofa. Ia menangis, menangis dengan sangat pelan. Sudah tak ada tenaga baginya untuk terisak apalagi menangis histeris. Bu Nurma membelai lembut kepala Karin. Tanpa suara.
“Mama sakit?”
“Tidak sayang.”
“Mama sakit.”
“Tidak.”
Mendengar percakapan itu, Dimas berlalu jengah. Masuk ke dalam kamarnya dan membanting pintu keras. Karin dan bu Nurma bahkan tak memperhatikan itu, mereka larut dalam keharuan dan kerinduan.
“Maafkan Karin, mama.”
Bu Nurma tersenyum lega, setidaknya hari ini Karin mau keluar kamar, mau berbicara dengannya.
“Maafkan mama, mama gagal mendampingimu nak.”
Karin menggelengkan kepalanya, air mata deras mengalir. Kepalanya berdenyut, ada banyak hal yang berputar disana, sampai sesak dan tidak tahu harus bagaimana melerainya.
“Bolehkan mama tahu, apa yang terjadi padamu Karin?”
Karin terdiam, haruskah ia mengatakan bahwa ia sedang menunggu kematian? Harusnya ia ceritakan bahwa ia akan segera pergi meninggalkan ibunya? Ah, rasanya tidak mungkin. Dirinya saja tidak tahu bagaimana cara mempercayai hal itu, bagaimana mungkin mamanya akan mengerti? Jika karin sendiri merasa konyol dengan apa yang sedang ia hadapi, mungkin justru ibunya akan menganggap Karin sudah tak waras jika mengatakanya.
“Karin, boleh mama minta tolong?” Karin mendongak menatap ibunya, mengangguk.
“Temani mama makan ya?” Karin terbengong, ia baru saja sadar wajah mama semakin tirus, apakah mama juga tidak makan karena dirinya yang tak mau makan? Jadi ini yang membuat mama sakit? Rasa bersalah membuatnya mengangguk dan menurut saat ibunya bangkit dan menuntun perlahan langkah mereka ke meja makan.
“Kita makan ya, mama suapi pakai tangan. Seperti waktu kamu kecil dulu.”
Bu Nurma menyuapkan nasi uduk kemulut Karin yang mengering dan mulai pecah. Sedikit demi sedikit nasi uduk mereka santap, membangkitkan semangat dan harapan bu Nurma akan kembalinya putri satu-satunya itu. Sesekali bu Nurma menyeka air matanya sendiri dan air mata Karin yang juga luluh bersamaan dengan mulutnya yang bergoyang perlahan berusaha mengunyah makanan.
“Tadi pagi Dimas ke pasar, beli nasi uduk di dekat toko buah langganan kamu itu.” Cerita Bu Nurma dengan suara yang masih sangat lemah.
“Ternyata sudah lama sekali mama tidak menyuapimu ya?” mereka tersenyum bersamaan.
“Anak mama sudah besar rupanya. Maaf ya, mama selalu sibuk dengan pekerjaan mama.”
Karin menatap mata bu Nurma, menggali memory masa kecilnya disana. Betapa bu Nurma sebagai seorang ibu, sudah sangat bekerja keras untuk bisa menjadi sosok seorang ibu yang baik bagi anak-anaknya, namun juga berusaha hadir sebagai sosok seorang ayah bagi mereka. Bukan hal yang mudah tentunya. Bu Nurma pasti sudah melalui begitu banyak kesulitan dalam hidupnya.
“Nak, mama tidak pernah menuntutmu untuk menjadi anak yang sempurna. Apapun kesalahan yang kamu lakukan mama akan berusaha untuk memahami dan memaafkan.” Hening sesaat.
“Mama hanya meminta padamu dan adikmu, jadilah apa yang kalian inginkan. Hiduplah berbahagia. Isi hidupmu dengan sesuatu yang membuatmu menjadi bermakna dan bermanfaat.”
“Walaupun seandainya hidup kita tidak lama?”
“Tuhan lebih mengerti umur yang paling tepat untuk umatnya. Dan tugas kita sebagai umatnya adalah mengisi waktu hidup kita dengan kebaikan dan kebahagiaan, seberapapun singkatnya hidup kita.”
Karin menatap lekat wajah bu Nurma, menyadari betapa cantik bidadari di hadapannya itu. Tak hanya cantik wajahnya, namun juga hati dan cara berfikirnya. betapa beruntungnya ia terlahir dari Rahim wanita hebat ini. Juga betapa tiga hari ini ia sudah melakukan hal yang sangat bodoh, menyia-nyiakan sisa hidupnya alih-alih untuk membuat orang yang sudah sangat berjasa dalam hidupnya itu bahagia sebelum ia tinggalkan selama-lamanya.
Karin tersenyum, kini ia tahu apa yang harus ia lakukan selama 37 hari ke depan, sambil menunggu apakah benar kematian itu sedang berjalan kearahnya. Atau itu hanya omong kosong si hantu kecil yang saat itu diam-diam sedang mengawasi adegan ibu dan anak ini, dari atas kulkas dipojok ruang keluarga sambil tersenyum, tentu saja.
“Mama, terimakasih udah jadi mama Karin. Karin janji akan hidup sebaik mungkin, buat mama.”
Janji Karin pada ibunya, membuat segala keresahan dan duka yang merundung bu Nurma beberapa hari itu sirna seperti embun yang menguap oleh sinar matahari. Bu Nurma tersenyum lega, mengangguk mantap dan mencium kening putrinya.
“Sekarang, makan sendiri ya, mama sakit perut.” Bu Nurma berlari kearah toilet, entah mendapat kekuatan dari mana, ia yang awalnya lemah tak berdaya mendadak memiliki kekutan untuk berlari dan meledek kea rah putrinya.
“Mama ih…..” Tawa terkikik Putri dari atas kulkas mengiringi gerutu Karin melihat ibunya ngacir ke kamar mandi sambil memegangi perutnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!