NovelToon NovelToon

Once Mine

Uninvited

Tepat hari ini, genap sebulan sudah Sara Elowen tinggal sendirian di apartemen itu.

Tanpa pria itu.

Tanpa langkah beratnya yang pernah mengisi lorong setiap pagi.

Tanpa aroma rokok yang dulu selalu melayang di langit-langit saat fajar datang.

Dan anehnya, segalanya terasa lebih tenang.

Sara baru saja kembali dari butiknya, Soléa.

Setelah seharian penuh ia tenggelam dalam sketsa, memilih bahan, merapikan ruang pamer, dan menahan kepala yang nyaris pecah karena jadwal fitting yang tak kunjung habis.

Tubuhnya lelah. Tapi pikirannya... tenang.

Paris sudah mulai tenggelam ke dalam senja saat ia menjatuhkan diri ke sofa.

Tangannya mengambil ponsel, tapi layar yang menyala hanya ia pandangi sekilas.

Tak ada notifikasi atau pesan yang ia tunggu.

Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan dirinya tenggelam dalam diam.

Untuk sesaat, dunia terasa jauh.

Dan ia... sendirian. Tapi tak kesepian.

Solea bukan sekadar butik.

Butik itu adalah tempat Sara menuangkan dirinya.

Ia merancang setiap koleksi sendiri, mulai dari memilih kain, menentukan model, sampai menata ruangan agar pengunjung merasa nyaman.

Setiap detail mencerminkan kepribadiannya: lembut tapi tegas.

Setelah lulus dari sekolah mode, ia mulai membuka butik kecil di Rue Saint-Honore. Tidak mewah, tapi penuh usaha. Dalam lima tahun, karyanya mulai menembus pasar luar negeri dan dikenal di kalangan terbatas yang menghargai kualitas.

Bakatnya ia warisi dari ibunya, seorang Parisienne pecinta seni. Sementara sikap teguh dan pantang menyerah datang dari ayahnya, seorang pengusaha tekstil asal Swiss.

Sara melangkah ke dapur, mengambil sebotol lemonade dingin dari kulkas. Ia meneguk sekali, lalu berjalan ke kamar.

Tanpa banyak pikir, ia melemparkan tubuh ke ranjang, membiarkan linen sejuk menelan lelahnya.

Sesaat, segalanya terasa pas. Tenang.

Namun tak lama, hembusan angin menusuk kulitnya.

Matanya terbuka perlahan, menoleh ke arah balkon.

Pintu geser itu… terbuka.

Alisnya berkerut, tubuh ikut menegang. Ia yakin sudah menguncinya pagi tadi.

“Apa.. tadi pagi aku terburu-buru?” gumamnya, mencoba menenangkan diri.

Ia melangkah hati-hati ke balkon. Angin sore menyambutnya, dingin dan kosong. Tak ada siapa pun.

Tak ada bekas pintu dibuka paksa.

Tapi kalau begitu… terbuka dari dalam?

Sara kembali ke kamar, duduk di tepi ranjang. Jantungnya berdetak kencang, napas tak beraturan.

Matanya menyapu sekeliling. Rapi. Tak ada yang berubah.

Tetapi sepi itu kini terasa lain.

“Bagaimana kalau… memang ada orang masuk?” bisiknya.

Dan tepat setelah kata itu, suara kecil membuatnya terlonjak.

Ceklek.

Pintu depan terbuka.

Pelan, tapi cukup jelas untuk membuat darah Sara berdesir.

Lalu...terdengar.

Suara langkah. 

Langkah kaki itu berhenti di ambang pintu kamarnya.

Di sana ia berdiri, rokok menyala di jarinya, asapnya menusuk udara.

“Kau sudah pulang, Sara?”

Suara rendah, datar. Senyum tipis di bibirnya terasa seperti belati. Ia berdiri tegak di ambang pintu, satu tangan masih menggenggam rokok yang asapnya mengepul, sementara tangan satunya menyelip di saku celana.

Sara membeku, tubuhnya kaku. “Nicko?”

Suara itu serak, tertahan di tenggorokan. Jari-jarinya tanpa sadar meremas ujung ranjang, mencoba menahan gemetar.

“Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?”

Nicko menyandarkan bahu pada kusen pintu, menatapnya tenang.

“Apartemen ini terlalu mudah dibuka kalau aku mau.” Senyumnya tipis, tapi dingin.

Ia menghembuskan asap rokok pelan sebelum menatap Sara lurus.

"Sekarang ikut aku. Kita pulang."

Pulang.

Kata itu terasa asing, bukan rumah, bukan kenyamanan. Lebih mirip penjara.

Sara menegang, jemarinya mengepal.

“Kontraknya jelas, Nicko. Satu tahun. Bukan hakmu masuk seenaknya.”

Tatapan Nicko menajam, sudut bibirnya terangkat tipis.

“Aku tahu isinya. Tapi tidak ada pasal yang melarangku datang… saat aku menginginkanmu kembali.”

Sara menarik napas pendek, tubuhnya dingin.

“Jadi ini hanya soal kontrak?” bisiknya.

“Atau ada sesuatu yang belum pernah kau katakan padaku?”

Nicko terdiam lama, menatapnya tajam. Rokoknya padam di asbak kaca.

“Ada banyak hal yang belum kukatakan, Sara. Tapi malam ini bukan tentang itu.”

Ia melangkah masuk, batas di antara mereka lenyap.

“Malam ini… aku hanya datang untuk menjemput istriku pulang.”

Sara terpaku. Kata-kata itu bergaung di kepalanya. Istri. Pulang.

Nicko yang berdiri di depannya kini… bukan lagi pria yang ia kenal sebulan lalu.

Tapi sebelum Sara bisa berkata apa pun... pikirannya telah lebih dulu terlempar ke belakang, awal segalanya.

Saat ia pertama kali bertemu pria itu.

Beberapa bulan lalu...

Langit Paris malam itu diguyur gerimis.

Cahaya lampu dari jendela apartemen jatuh ke lantai kayu, membingkai siluet Sara yang menatap layar laptop. Jari-jarinya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena kabar dari Swiss.

Ayahnya baru saja mengatakan bahwa izin lahan pabrik ditangguhkan. Proyek terhenti.

Dan Sara tahu, itu bukan sekadar masalah bisnis, melainkan ancaman pada masa depan, warisan keluarga, juga harga diri ayahnya.

Tak ada lagi yang bisa mereka hubungi.

Velmier Group, perusahaan yang mengambil alih wilayah industri itu, menutup semua akses negosiasi.

CEO-nya tak pernah hadir. Hanya nama dalam surat, tanda tangan di dokumen.

Tapi Sara tahu satu nama itu.

Nicko Armano Velmier.

Dia bukan orang biasa.

Ia dikenal sebagai pria muda pewaris bisnis raksasa, dengan reputasi tak tersentuh. Dunia mengenalnya sebagai pria dingin, licin, dan tak pernah membiarkan siapa pun masuk terlalu dekat.

Tapi Sara tak peduli.

Malam itu, ia membuka laptop, mengetik cepat dengan napas tercekat.

From: Sara Elowen - Solea Boutique

Subject: Private Collaboration Request

Ia tidak menyebut ayahnya. Tidak bicara soal izin lahan.

Sara menulis seperti seorang desainer yang ingin membuka peluang kerja sama.

Nada emailnya penuh hormat, sopan, dan profesional. Tapi di balik itu, ada harapan dan permohonan diam-diam

"Saya percaya, Tuan Velmier... bahwa Anda bisa melihat niat baik seseorang sebelum dunia menyembunyikannya di balik protokol dan kekuasaan."

Lalu dikirim.

Hanya itu. Ia tidak berharap balasan.

Namun satu minggu kemudian, sebuah email masuk. Singkat, rapi, tanpa basa-basi, konfirmasi pertemuan dengan Nicko Armano Velmier, hari Kamis pukul empat sore, di Menara Velmier.

Sara menatap layar itu lama. Dadanya naik turun pelan. Untuk sesaat, ia tak bisa berkata apa-apa.

Tapi kemudian bibirnya mengembang. Bukan senyum penuh bahagia, melainkan lega.

Mungkin ini satu-satunya kesempatan yang ia miliki. Kesempatan untuk menyelamatkan bisnis ayahnya sebelum semuanya benar-benar terlambat.

Ia menggenggam ponsel erat, lalu mendesah. Hari Kamis, pukul empat.

Ia menandai kalendernya malam itu, dan akhirnya tertidur dengan napas sedikit lebih ringan, meski tetap gelisah.

***

Dua hari kemudian.

Langit Paris sore itu mendung, tapi tak hujan.

Mobil hitam yang membawanya berhenti di depan Menara Velmier, gedung kaca tinggi yang menjulang angkuh di kawasan Rue de Charenton.

Sara turun dengan langkah mantap, meski detak jantungnya sedikit kacau.

Dengan map berisi dokumen di tangan, ia melangkah masuk ke lobi gedung dan menyebutkan nama serta keperluannya pada resepsionis.

"Ruang Rapat 7B. Lantai 33," ucap petugas wanita berambut pirang sambil menunjuk lift di ujung lorong.

Jemarinya terasa dingin saat menyentuh tombol lift.

Ia menarik napas panjang, lalu melangkah masuk.

Suara denting lift terdengar seperti gema dalam kepalanya.

Setiap angka yang naik terasa menambah beban di dadanya.

33.

Lantai rapat.

Tempat di mana satu keputusan bisa menyelamatkan... atau menjatuhkan.

Saat pintu lift terbuka, lorong sunyi menyambutnya.

Dinding kaca. Karpet abu-abu. Lampu putih yang tak terlalu terang.

Seorang wanita berpenampilan rapi menyambutnya tak lama setelah ia keluar lift.

Wajahnya profesional, nametag kecil di dada bertuliskan: Clemence Duval.

"Mademoiselle Elowen?"

"Silakan ikut saya. Tuan Velmier sudah menunggu."

Sara hanya mengangguk. Mengikuti langkah Clemence menyusuri lorong hingga berhenti di depan pintu bertuliskan Ruang Rapat 7B.

Wanita itu membukakan pintu dengan pelan, lalu memberi isyarat.

"Silakan masuk."

Ruang rapat berdinding kaca itu sunyi. Senja menembus masuk, memantul di permukaan meja panjang berlapis kayu gelap.

Di ujungnya, Nicko Armano Velmier sudah duduk dengan tenang. Setelan jasnya rapi tanpa cela, jam tangan perak berkilat samar di pergelangan yang terangkat di atas meja.

Tatapannya terangkat ketika melihat Sara masuk.

Ia berdiri.

"Mademoiselle Elowen," ucapnya datar namun sopan, sambil menjulurkan tangan.

Sara membalas jabat tangan itu singkat, tapi cukup untuk merasakan suhu dingin di telapak pria itu.

"Terima kasih sudah meluangkan waktu," ujarnya pelan.

Nicko mengangguk, lalu mempersilakan. "Silakan duduk."

Sara menarik kursi perlahan, mencoba menyembunyikan gemetar di ujung jarinya.

Ia duduk.

Tenang di luar, tapi jantungnya berdetak kencang.

Di hadapannya duduk pria yang bisa menentukan nasib keluarganya hanya dengan satu kalimat.

Nicko menatapnya. Satu detik terlalu lama, seperti mencoba mencari sesuatu di wajah perempuan itu.

Ada kerutan samar di dahinya. Seolah ada pertanyaan yang tak terucap, namun mengendap di balik matanya yang dingin.

Kenapa dia tak mengenaliku?

Ia menatap lebih dalam, seolah berharap menemukan sisa-sisa ingatan yang dulu pernah menyala di sana. Tapi tak ada.

Yang ia lihat hanya ketenangan yang terlalu bersih, terlalu asing.

Ada sesuatu yang terjadi padanya.

Sesuatu yang merenggut potongan waktu mereka. Yang menghapus dirinya dari ingatan perempuan itu, namun tidak dari hidupnya.

Dan saat kesadaran itu menyelinap pelan-pelan ke dalam pikirannya, sesuatu dalam diri Nicko mulai berubah.

Hampir... seperti senyum.

Bukan karena senang. Tapi karena menemukan celah.

Sebuah kemungkinan baru.

Pintu masuk yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Ia bersandar perlahan, matanya tak lepas dari wajah Sara.

Dalam diam, satu kalimat melintas di benaknya.

Kalau dia lupa... maka aku bisa menulis ulang segalanya

The Marriage Clause

Ruang rapat itu senyap, hanya diisi oleh suara detak jarum jam dan denting samar dari luar jendela kaca.

Sara duduk dengan postur tegak, mencoba terlihat tenang meski kakinya sedikit gemetar di balik meja. Di seberangnya, pria dengan setelan gelap itu masih menatapnya, seolah waktu tak berlaku dalam pandangan matanya.

Nicko menyipitkan mata. Matanya jatuh pada berkas di tangannya sebelum kembali pada Sara.

"Kau putri Tuan Henrix Delacroix?"

Sara mengangguk pelan.

Nicko membalik selembar dokumen yang tampak baru.

"Aku melihat nama yang sama di dokumen keluarga dari Swiss yang masuk pagi ini. Namamu... dan juga nama ibumu."

Wajah Sara sedikit berubah, namun ia tetap menjawab dengan nada datar yang sopan.

"Benar, Tuan Velmier. Tapi hari ini saya datang bukan atas nama keluarga siapapun." Ia menarik napas sebelum melanjutkan, "Saya datang sebagai pemilik butik Soléa."

Nicko mengangguk kecil, seolah menyimpan informasi itu dalam-dalam.

"Luar biasa... begitu peduli pada keluargamu, sampai datang sendiri. Tanpa pengacara. Tanpa pengawal."

Nada suaranya terdengar datar, tapi ada sesuatu yang samar mengintai di baliknya, seperti penilaian.

Nicko mencondongkan tubuh sedikit ke depan.

"Apa kau tahu, risiko dari duduk di meja yang salah?."

Sara menatap balik, matanya jernih namun tegas.

"Saya tidak sedang duduk di meja yang salah... bukan? Kalau Anda memang orang yang bisa diajak bicara."

Sejenak, Nicko terdiam. Pandangannya menusuk seperti sedang menelanjangi keyakinan perempuan di depannya.

Namun Sara tak memberi waktu terlalu lama.

“Saya tahu kasus izin lahan ayah saya sedang ditangguhkan. Saya juga tahu Velmier Group kini memiliki wewenang penuh atas wilayah itu,” ucapnya, perlahan tapi mantap.

“Saya hanya ingin tahu... kenapa?”

Nicko menatapnya lama. Lalu bersandar, gerakannya tenang tapi matanya belum lepas dari wajah Sara.

“Wilayah tempat perusahaan ayahmu berdiri kini berada di bawah otoritas anak perusahaan kami, Velmier Regional. Dan aku baru ditugaskan di sini sekitar satu bulan.”

Nicko menyandarkan punggung ke kursi, nada suaranya datar tapi tegas.

“Jika aku langsung menyetujui izin itu tanpa proses evaluasi, langkahku akan dipertanyakan. Ada standar tinjauan ulang yang harus dijalani semua permohonan, minimal tiga sampai enam bulan".

Nicko menyentuh berkas di hadapannya. Jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja, ritme kecil yang hampir seperti ancaman halus.

"Bisa lebih lama lagi kalau menyangkut lahan produktif, apalagi jika ada konflik kepentingan atau... transisi manajemen.”tambahnya.

Lalu ia mengangkat wajahnya lagi, menatap Sara.

Sara tertegun. Tiga sampai enam bulan? Apa mungkin perusahaan Papa bisa bertahan selama itu?

"Apakah… ada cara lain untuk mempercepat proses itu, Tuan Velmier?" tanyanya, berusaha tetap tenang meski suaranya sedikit goyah.

Nicko diam sejenak, lalu berkata perlahan. “Ada.”

Sara menatapnya, penuh harap. Tapi yang ia dapati hanyalah sorot mata tajam yang menyiratkan bahwa harga dari "cara lain" itu tak akan murah.

“Aku harus punya alasan pribadi yang jelas, misalnya, hubungan keluarga yang membuat keputusanku tak lagi terlihat... bias.”

Sara mengerutkan dahi. “Maksud Anda?”

Nicko bersandar sedikit ke kursinya. Ia menyilangkan tangan, nadanya masih datar tapi kini lebih menekan.

“Jika secara hukum, aku memiliki hubungan dengan keluargamu, melalui ikatan pernikahan, misalnya. Maka tidak ada yang bisa mempertanyakan kenapa aku memprioritaskan izin untuk perusahaan ayah mertuaku.”

Sara menatapnya kosong.

Ia terdiam cukup lama, mencoba memahami arah pembicaraan itu, sebelum akhirnya bertanya, seakan tak percaya dengan apa yang baru ia dengar.

“Pernikahan?” bisiknya nyaris tak terdengar.

Nicko menatap lurus ke arahnya.

“Ya. Harus ada hubungan yang kuat di mana aku bisa membuat keputusan langsung tanpa terlihat mencurigakan. Dan itu… sah dan wajar. Izin akan keluar dalam waktu satu minggu.”

Seketika, waktu seperti berhenti bagi Sara.

Kata-kata itu menggantung di udara, lebih tajam dari apa pun yang pernah ia dengar hari itu.

Pernikahan?

Solusi itu terdengar seperti lelucon yang terlalu serius untuk ditertawakan.

Kepalanya terasa penuh. Tapi sekaligus kosong.

Nicko menatapnya tanpa berkedip. Sorot matanya bukan sekadar tajam, ada sesuatu di sana yang terasa… terpilih. Seolah ia tengah menilai, mengukur, dan menyimpulkan sesuatu dalam diam.

“Dalam semua korespondensi dan dokumen,” katanya perlahan, “aku tahu siapa saja yang terlibat. Ayahmu sudah mencoba beberapa jalur resmi. Kakakmu juga pernah mengajukan permohonan banding ke regional. Tapi…”

Ia bersandar ke depan, kedua tangannya saling bertaut di atas meja, nadanya mulai turun satu oktaf, lebih pribadi, lebih menekan.

“…kau satu-satunya yang tidak hanya mengandalkan prosedur. Kau memilih datang langsung.”

Sara menahan napas. Kata-kata itu terdengar seperti pujian, atau mungkin sekadar penilaian dari seseorang yang terbiasa memilih berdasarkan insting, bukan empati.

Nicko melanjutkan, suaranya tenang, nyaris seperti sedang bercerita kepada dirinya sendiri.

“Biasanya, aku tidak terlibat langsung dalam urusan administratif seperti ini. Semua difilter lewat direksi regional, dengan tangan-tangan legal dan berlapis-lapis laporan.”

Ia memutar map tipis di hadapannya, tapi pandangannya tetap terarah pada perempuan di depannya.

“Namun saat membaca emailmu, bukan sebagai putri seorang pengusaha, tapi sebagai pemilik butik kecil yang bersuara sendiri, ada sesuatu yang membuatku berhenti.”

Hening. Sekejap saja. Tapi cukup lama untuk membuat Sara menyadari, udara di ruangan itu kini lebih berat.

“Aku sendiri yang meminta jadwalmu diselipkan. Diam-diam,” lanjutnya. “Karena aku ingin tahu... siapa sebenarnya perempuan yang berani menulis surat seperti itu.”

Alis Sara terangkat sedikit.

“Jadi Anda… sengaja meminta agar saya yang datang?” tanyanya pelan.

Nicko mengangguk. Gerakannya lambat, seperti menandai bahwa apa yang ia katakan adalah sebuah keputusan, bukan kebetulan.

“Kalau aku ingin bicara langsung, maka harus ada alasan. Dan kau memberiku alasan itu.”

Ia mengetuk map di depannya dengan ujung jarinya, ritme kecil tapi terasa mendesak.

“Lain cerita kalau ayahmu yang datang. Semuanya akan berjalan terlalu formal. Terlalu bisa ditebak. Dan pada akhirnya, jawabannya tetap sama. Permohonan itu akan dimasukkan ke tahap evaluasi… dan harus menunggu.”

Nicko mengangkat pandangannya lagi, kali ini lebih dalam. Ada percik aneh di balik ketenangannya. Bukan kelembutan, melainkan sebuah pilihan.

“Tapi kau berbeda,” ucapnya pelan, “dan cukup berani untuk keluar dari jalur biasa.”

Kata-kata itu menggantung di udara seperti asap. Tak jelas apakah itu sebuah penghargaan... atau awal dari sesuatu yang lebih rumit.

Lalu, suaranya merendah. Tak ada nada manipulatif, tapi justru terlalu jujur, hingga terasa berbahaya.

“Dan jika aku harus menikahi seseorang hanya demi kontrak… maka aku memilih seseorang yang tahu apa itu tanggung jawab. Seseorang yang tahu artinya berdiri sendiri.”

Ia menyandarkan punggung ke kursi. Tatapannya belum lepas dari wajah Sara, seolah sedang menunggu: akankah perempuan itu tetap duduk, atau bangkit dan pergi?

Sara menatapnya lurus, suaranya tetap tenang meski ada sesuatu yang mengendap di balik kata-katanya.

“Saya mengerti maksud Anda. Namun, izinkan saya menegaskan bahwa saya pun tahu bagaimana cara berdiri sendiri, tanpa bergantung pada siapa pun.”

Nicko menatapnya dalam diam sejenak, sebelum menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Sorot matanya tak goyah.

“Itu sebabnya saya memilih Anda, Sara. Karena Anda tahu batas. Dan Anda tahu apa itu tanggung jawab.”

Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, nada suaranya tenang namun tegas.

“Kita tidak perlu berpura-pura. Ini bukan tentang cinta. Ini soal kebutuhan... dan kesepakatan. Saya tawarkan pernikahan selama satu tahun, dengan syarat tertentu. Hitam di atas putih. Setelah itu, Anda bebas sepenuhnya.”

Hening. Udara di antara mereka seakan tertarik keluar dari ruangan.

“Anggap saja... ini kontrak yang saling menguntungkan.”

Nicko memang tak menunjukkan tekanan secara langsung. Ia hanya mengutarakan fakta dan konsekuensi dengan tenang, tapi justru ketenangan itulah yang membuat semuanya terasa menyesakkan. Seolah tawaran ini bukan permintaan, tapi keputusan yang tak bisa dihindari.

Sara menunduk perlahan, menahan napas. Ia tak bisa menjawab sekarang. Ia bahkan belum bisa memproses semuanya.

Pernikahan adalah sesuatu yang sakral.

Bukan alat tukar.

Bukan kompromi.

Apalagi dengan pria asing… yang bahkan belum ia kenal lebih dari sepuluh menit.

Tangannya di pangkuan mengepal perlahan, tanpa sadar. Ia mencoba menelan kenyataan, tapi rasanya seperti meneguk duri.

Kenapa semua ini terdengar logis... tapi salah?

Kenapa bagian dari diriku bahkan mempertimbangkan ini?

Ia ingin mengatakan tidak. Bahwa ia menolak menjadi bagian dari negosiasi dingin ini.

Tapi wajah ayahnya kembali terbayang. Suaranya yang terdengar rapuh di ujung telepon. Pandangan ibunya yang menghindari tatapan setiap kali mereka bicara soal perusahaan.

Dan kenyataan lain ikut menyusul: mereka sudah terlalu banyak berkorban. Terlalu diam untuk rasa sakit yang tak henti datang.

Sara memejamkan mata sejenak. Ada guncangan kecil di dadanya. Ia tak pernah menyangka hidup akan menempatkannya pada dilema seperti ini.

Menikah… dengan pria yang bahkan tidak ia kenali.

Tapi jika itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan keluarganya…

Apa ia benar-benar bisa menolak?

“Maaf, Tuan Velmier,” ucapnya pelan, mencoba menjaga ketenangan. “Saya... tidak bisa memberi keputusan hari ini.”

Nicko tidak terkejut. Ia hanya mengangguk pelan, seolah sudah memperkirakan jawaban itu.

“Ambil waktu yang kau butuhkan,” katanya singkat. “Tapi ingat, waktu bukan sesuatu yang kita miliki terlalu banyak.”

Sara bangkit dari duduknya. Tangannya meraih tas dengan sedikit gemetar. Suasana di ruangan itu terasa terlalu sunyi, terlalu menekan, padahal tak ada satu pun nada tinggi yang dilontarkan sejak tadi.

“Terima kasih atas waktunya,” ucap Sara lagi. “Saya akan segera memberi jawaban.”

Nicko hanya mengangguk sekali lagi.

Sara melangkah menuju pintu, mencoba menyembunyikan kekacauan yang berputar dalam benaknya. Saat tangan menyentuh kenop, ia sempat menoleh sekali, memandang pria yang baru saja menawarkan satu keputusan yang bisa mengubah seluruh hidupnya.

Nicko masih duduk di sana. Tenang. Diam. Penuh kalkulasi.

Sara menarik napas pelan, lalu melangkah keluar.

Pintu tertutup.

***

Sara duduk di ujung sofa, memeluk lututnya sambil menatap layar ponsel yang masih menyala. Ia baru saja selesai berbicara dengan keluarganya di Swiss.

Ibunya terdengar ceria di ujung telepon, menyisipkan candaan ringan tentang pelanggan restoran yang selalu lupa membaca menu. Kakaknya, Adrian, sempat menyinggung soal butik, lalu cepat-cepat mengalihkan pembicaraan ke hal-hal remeh yang menenangkan, tentang cuaca, tentang kucing tetangga, tentang apa pun yang tak menyakitkan.

Tak satu pun dari mereka menyebutkan masalah keluarga secara langsung.

Tak ada kalimat tentang izin lahan. Tak ada tanya tentang tekanan.

Mereka justru memintanya menjaga diri, bersikap tenang, seolah itu cukup untuk mengusir kegelisahan yang menunggu di ambang malam.

Dan seperti itulah keluarganya.

Mereka menyembunyikan luka dengan senyum.

Menanggung sendiri beban, agar satu sama lain bisa bernapas lebih ringan.

Mereka bukan keluarga yang bersuara keras dalam kekacauan, mereka bertahan dalam diam.

Selalu berusaha melindungi… bahkan saat hidup tak lagi berpihak.

Sara memang sudah dewasa. Sudah lama tak tinggal serumah dengan mereka. Tapi keluarga itulah satu-satunya tempat terhangat yang masih ia punya, setelah kakeknya, satu-satunya sosok pelindung yang paling ia percaya, pergi untuk selamanya.

Dan sejak hari pemakaman itu, ia tahu: kehilangan tak pernah benar-benar selesai.

Ia hanya belajar bertahan… dengan bagian yang hilang di dalam dirinya.

Namun mereka tidak berhenti. Tidak pernah.

Perusahaan tekstil sang ayah memang terancam, tapi restoran keluarga yang telah berdiri puluhan tahun masih penuh setiap malam. Kini, bisnis itu ditangani sepenuhnya oleh ibunya, wanita tangguh yang menolak menyerah, bahkan ketika hidup perlahan mulai mengguncang fondasi mereka.

Justru karena itu, karena mereka masih bisa tersenyum meski rapuh, Sara tahu, ia tak bisa hanya menunggu.

Ia menurunkan ponsel perlahan, lalu menatap jendela.

Langit di luar mulai gelap, tapi pikirannya masih berputar.

Haruskah ia melangkah ke dalam perjanjian yang bahkan tak pernah terpikirkan sebelumnya?

Pernikahan bukan karena cinta, bukan karena harapan, tapi karena kebutuhan yang dibungkus dalam kesepakatan dingin.

Batinya menolak, tapi logika memaksanya untuk mendengar. Dunia tempatnya berdiri kini tak lagi memberi ruang untuk sekadar memilih dengan hati.

Ia tahu apa risikonya. Ia tahu tak akan ada tempat aman di balik kontrak semacam ini. Tapi untuk keluarganya… untuk semuanya yang bisa diselamatkan…

Apakah harga dirinya cukup kuat untuk bertahan saat semua ini mulai meretakkan dirinya perlahan?

Nicko Velmier bukan pria yang mudah dipercaya, terlalu tenang. Tapi ia tidak berbohong.

Satu keputusan dari pria itu bisa menyelamatkan segalanya.

Dan satu-satunya yang diminta adalah... pernikahan. Satu tahun. Tanpa perasaan. Tanpa keterlibatan. Hanya kontrak.

Terdengar dingin. Tapi di saat seperti ini, logika dingin kadang lebih rasional daripada harapan yang rapuh.

Sara memejamkan mata.

"Mereka tidak memintaku mengorbankan diri. Tapi justru karena itu... aku tak bisa tinggal diam. Jika aku bisa menjadi alasan ayahku tidak kehilangan semua yang telah ia bangun seumur hidupnya... maka mungkin, satu tahun bukan harga yang terlalu besar."

Setelah berpikir cukup lama, Sara membalas email dari sekretaris pribadi Tuan Velmier. Ia mengucapkan terima kasih atas pertemuan sebelumnya dan menyampaikan keinginannya untuk menjadwalkan pertemuan ulang, ia ingin membahas lebih lanjut isi pembicaraan yang sempat tertunda.

Pesan itu singkat, sopan, dan langsung ke inti.

Ia tahu, mungkin Nicko tidak akan langsung membacanya. Tapi jika pria itu memang benar-benar ingin melibatkan dirinya, dalam hal apa pun, ia akan menunggu.

Meski dalam hati, keraguan itu masih berbisik:

Bisakah ia benar-benar percaya?

The Terms

Gedung pusat Velmier Group menjulang tenang di tengah kota, namun langkah Sara pagi itu terasa tak biasa.

Gema hak sepatunya membentur lantai marmer. Ia berjalan seperti menelusuri lorong keputusan, jalur satu arah tanpa jalan mundur.

Sekretaris pribadi Nicko menyambut dengan senyum profesional, lalu mengantar ke ruangan di lantai atas. Ruang kaca yang sama. Langit Paris tampak muram, seolah tahu persis apa yang akan dibicarakan di balik dinding transparan itu.

Begitu melangkah masuk ke ruangan itu, Sara sempat terdiam sejenak.

Nicko duduk di sana, tenang seperti seseorang yang sudah lama menunggu tanpa terburu-buru. Tatapannya sempat menyapu Sara sekilas, tapi cukup membuat napasnya terasa berbeda.

Ia tampak tenang, sulit ditebak namun juga cukup tampan, dengan rahang tegas dan mata gelap yang menyimpan sesuatu yang tak bisa dibaca begitu saja. Ada ketegangan diam-diam yang memancar dari caranya duduk, dari cara ia memandang... dan itu membuat Sara sedikit gelisah tanpa alasan yang jelas.

Setelan hitam yang ia kenakan terpasang rapi, dan pas membingkai tubuh tinggi tegapnya dengan ketelitian yang hampir mengintimidasi. Rambutnya tersisir ke belakang, dan bersih. Dan meski wajahnya tak menunjukkan emosi, Sara bisa merasakan sesuatu yang dingin, tapi tetap memikat dengan cara yang berbeda.

Ia menunduk sejenak, menarik napas tipis sebelum akhirnya membuka suara.

"Selamat pagi, Tuan Velmier," ucap Sara datar.

Nicko mengangguk singkat. "Silakan duduk."

Sara menarik napas kecil sebelum duduk di kursi seberangnya. Hening beberapa detik.

Nicko bersandar sedikit ke belakang, tangan terlipat di atas meja kaca. Matanya masih menatap lurus padanya, tajam namun tenang.

"Jadi," katanya akhirnya, pelan namun mengandung tekanan, "Anda datang ke sini untuk memberikan jawaban?"

Tatapannya tak berkedip. Tak ada tekanan dalam nada suaranya.

Sara menatap balik pria di hadapannya. Untuk sesaat, ia hanya diam.

Ia menggenggam tangannya di atas pangkuan. Tidak untuk terlihat kuat, tapi agar tidak terlihat gemetar.

"Saya sudah memikirkannya, Tuan Velmier," ujarnya pelan, tapi jelas. "Berkali-kali."

Ia mengalihkan pandangan sejenak ke jendela di belakang pria itu. Langit kelabu. Sama seperti pikirannya beberapa minggu ini.

"Dan saya tahu... ini bukan keputusan ringan. Tidak untuk Anda, dan tidak juga untuk saya."

Nicko tak menyela. Ia hanya menatapnya, nyaris tanpa kedip, seperti sedang membaca bahasa tubuh Sara lebih dari kata-katanya.

Sara menarik napas tipis sebelum kembali menatap langsung ke mata pria itu.

"Jika benar ini hanya kontrak. Jika benar tidak ada niat menyentuh bagian lain dari hidup saya di luar kesepakatan, maka ya."

Ia menelan ludah yang terasa pahit.

"Saya setuju."

Sebaris kalimat itu keluar dengan tekanan. Bukan karena ia tak yakin. Tapi karena ia tahu, begitu diucapkan... tak akan ada jalan kembali.

Nicko tidak langsung bicara. Ia hanya menatapnya dalam diam, seolah mengukur ulang wanita di hadapannya. Tak ada senyum di wajahnya, hanya ketenangan yang terlalu rapi untuk dianggap netral.

Lalu, perlahan, ia mengangguk sekali. Gerakan kecil, tapi tegas.

"Baik," ucapnya singkat.

Nada suaranya tetap datar, tapi ada sesuatu yang berubah di sorot matanya. Bukan sekadar puas, melainkan seolah ia baru saja memastikan bahwa pion yang ia butuhkan telah menempati posisinya.

"Keputusan yang masuk akal."

Ia bersandar pelan ke kursinya, mengamati Sara dengan sorot yang tak mudah ditebak.

"Saya akan mengatur semua yang diperlukan. Kita mulai dari pembicaraan teknis dalam beberapa hari ke depan. Tanpa tergesa."

Hening kembali turun sesaat. Tapi berbeda dari tadi, hening ini seperti pertanda bahwa permainan telah dimulai, meski belum ada aturan yang benar-benar dibuka.

"Dan satu hal lagi," ucap Nicko, perlahan. "Mulai hari ini, hidup Anda akan berubah. Saya harap Anda benar-benar siap dengan itu, Sara."

Kalimat itu tak disampaikan sebagai ancaman. Tapi dinginnya menusuk seperti sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari itu.

Sara menahan napas sejenak. Ia tahu pria di hadapannya bukan tipe yang bicara berlebihan. Setiap kata mengandung arah. Dan setiap arah bisa membawanya ke jalan yang sulit ditarik mundur.

Namun ia juga tahu satu hal:

Jika ia harus melangkah ke dalam permainan ini, maka ia tidak akan masuk sebagai pion tanpa suara.

"Kalau hidup saya akan berubah," jawabnya perlahan, "maka setidaknya izinkan saya menetapkan beberapa batas agar saya masih merasa punya kendali."

Nicko tidak merespons langsung. Hanya menatap, menunggu.

"Ada beberapa syarat yang ingin saya sampaikan," lanjut Sara. Suaranya masih tenang, tapi nadanya lebih tegas.

"Pertama, saya tetap menjalankan pekerjaan saya. Tidak ada intervensi pada butik. Itu satu-satunya ruang pribadi yang saya punya, dan saya tidak ingin siapa pun termasuk Anda, masuk terlalu jauh ke dalamnya."

Nicko hanya mengangguk sekali, tak menunjukkan reaksi setuju atau menolak. Wajahnya tetap datar, namun jelas mendengarkan.

"Kedua," Sara menarik napas pelan, "saya tidak akan tinggal satu atap... setidaknya sampai pernikahan benar-benar dilangsungkan. Dan bahkan setelah itu, saya ingin ada ruang yang jelas. Saya butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan... segalanya."

Nada "segalanya" itu mengandung lebih dari yang ia katakan. Luka. Trauma. Ketakutan. Dan hal-hal yang bahkan belum sempat ia beri nama.

Terakhir, ia menatap langsung ke mata Nicko.

"Dan mengenai tanggal pernikahan... saya tidak bisa langsung melakukannya. Saya minta waktu. Setidaknya 2 bulan."

Nicko masih diam. Matanya menatap Sara tanpa berkedip, seolah menelusuri sesuatu jauh di balik keteguhan wanita itu. Jemarinya terlipat rapi di atas meja, namun ketegangan halus di sendi-sendi tangannya mulai terlihat.

Lalu ia bicara pelan, tapi tak memberi ruang untuk ditawar.

"Tidak ada intervensi pada butik, saya bisa setujui," ucapnya singkat.

"Nafas Anda, waktu Anda, keputusan-keputusan kecil... tetap milik Anda."

Pernyataannya terdengar adil, hampir seperti jaminan kebebasan. Tapi jeda yang ia berikan setelahnya terasa seperti perangkap halus.

"Soal tempat tinggal, itu bisa diatur. Kita tidak harus tinggal serumah. Bukan itu yang penting."

Tatapannya mengeras sedikit. "Selama Anda bisa menjaga penampilan publik saat diperlukan, saya takkan mencampuri kehidupan pribadi Anda."

Ia berhenti. Hening menggantung di antara mereka. Dan kemudian...

"Tapi dua bulan?"

Nada suaranya turun satu oktaf. Dingin. Rasional.

"Itu terlalu lama, Sara."

Sekilas, kilatan emosi, bukan marah, tapi lebih ke urgensi, muncul di sorot matanya.

"Perusahaan ayah Anda tidak akan bertahan selama itu. Proyek sudah ditangguhkan, investor mulai gelisah. Saya tidak menyebutkan ini untuk menekan Anda, tapi fakta tetap fakta."

Ia bersandar ke kursinya, kali ini tak menyembunyikan intensitasnya. "Seminggu, mungkin dua. Tapi dua bulan? Terlalu banyak yang akan jatuh sebelum itu."

Ia menatap Sara lekat-lekat.

"Anda meminta ruang, dan saya beri. Sekarang saya minta hal yang sama, komitmen, bukan dalam ucapan, tapi tindakan. Jika kita ingin kesepakatan ini berjalan... kita harus mulai bergerak."

Suara itu pelan, namun tidak membuka ruang debat.

Lalu, dengan nada yang lebih tenang, ia menambahkan,

"Waktu tidak berpihak pada siapa pun, Sara. Termasuk pada Anda."

Sara mendengarkan dengan rahang mengeras.

Ada sesuatu dalam nada Nicko, dingin, penuh logika, dan terlalu nyata yang membuat dadanya terasa sesak.

Ia tahu itu bukan ancaman. Itu kenyataan.

Dan justru karena itu, rasanya lebih menyakitkan.

Perusahaan ayahnya. Kehidupan keluarganya. Semua yang selama ini ia coba jaga dengan sisa-sisa kekuatan yang ia punya... perlahan mengarah ke jurang yang tak bisa ia cegah seorang diri.

Tangannya mengepal di atas lutut. Ia menatap pria itu, tatapan yang mencoba tetap tegak, meski retak mulai terasa di baliknya.

"Jadi hanya itu pilihan saya?" ucapnya pelan.

"Menikah dalam dua minggu... atau melihat keluarga saya kehilangan segalanya?"

Nicko menatapnya lama sebelum akhirnya bersuara.

"Bukan dua minggu," katanya pelan. "Saya beri waktu satu bulan."

Nada itu tetap tenang. Tapi keputusannya terdengar seperti palu yang diketuk tanpa emosi.

"Satu bulan. Itu yang bisa saya toleransi tanpa mengganggu struktur pergerakan perusahaan ayah Anda. Setelah itu, kesepakatan harus berjalan."

Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan,

"Saya harap itu cukup untuk Anda... dan untuk keluarga Anda."

Sara mengangguk kecil. Ia tahu itu bukan kemenangan. Bukan juga kebaikan hati. Itu hanya... ruang napas yang bisa ia rebut di tengah medan perang yang bukan ia ciptakan.

Matanya kembali menatap Nicko, kali ini tanpa gentar.

"Baik," ujarnya pelan.

"Satu bulan. Setelah itu, saya akan datang. Dan saya akan siap."

Kalimat itu keluar seperti sumpah yang tak ia inginkan, tapi harus ia pegang.

Nicko mengamati Sara selama beberapa detik setelah kalimat itu. Matanya menelusuri wajah perempuan di hadapannya, mencari celah, mungkin, atau sekadar memastikan bahwa komitmen yang baru saja diucapkan itu tidak goyah.

Lalu ia mengangguk sekali.

"Kontraknya akan saya siapkan," ucapnya tenang. "Detail hukum dan klausulnya sedang difinalkan. Saya tidak akan mengirimkannya begitu saja. Ketika waktunya sudah tepat... saya akan menemui Anda langsung di butik."

Sara sempat mengerutkan alis. "Di butik saya?"

Nicko mengangguk ringan.

"Ya. Itu tempat publik. Orang-orang perlu mulai terbiasa melihat saya bersama Anda. Terutama orang-orang yang ada di sekitar Anda."

Sara terdiam. Jari-jarinya saling menggenggam erat di pangkuan.

Lalu, dengan suara lebih pelan namun mantap, ia berkata, "Kalau begitu... saya ingin meminta satu hal."

Nicko mengangkat alis sedikit.

"Tolong jangan katakan apa pun dulu pada siapa pun. Termasuk pihak keluarga saya."

Tatapannya tak bergeser dari pria itu. "Dan bukan hanya sampai kontrak ditandatangani... tapi sampai kontrak ini selesai. Biarkan ini tetap jadi rahasia kita berdua."

Nada suaranya terdengar mantap, tapi ada ketegangan samar di ujung kalimatnya. Sara bukan sedang berusaha menyembunyikan rasa malu, ia sedang melindungi orang-orang yang ia cintai dari kenyataan yang terlalu rumit untuk dijelaskan. Terlalu dingin untuk dimengerti.

"Selama itu tidak melanggar kesepakatan," lanjutnya, "saya ingin keluarga saya tetap berada di luar semuanya. Mereka tak perlu tahu alasan di balik semua ini."

Nicko menatapnya tanpa banyak reaksi. Tapi ada jeda singkat sebelum ia mengangguk.

"Baik," ucapnya akhirnya. "Jika itu syarat Anda, saya terima."

Ia menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, suaranya tetap datar tapi tak ada penolakan di dalamnya.

"Kami terbiasa menyimpan urusan pribadi dalam lingkaran yang sempit. Tidak akan ada publikasi, tidak akan ada sorotan yang tak perlu."

Pernyataannya tidak terdengar seperti janji manis, tapi lebih seperti kontrak tak tertulis yang sudah mereka pahami bersama:

Pernikahan ini adalah tentang kontrol. Tentang kepentingan. Dan ketenangan... adalah bagian dari strateginya.

Nicko lalu membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah kartu. Ia meletakkannya di meja kaca, mendorongnya ke arah Sara dengan ujung jarinya.

"Hubungi saya saat waktunya tiba. Saya akan datang ke butik membawa kontrak, dan kita tandatangan di sana."

Sara menatap kartu itu sesaat sebelum menyelipkannya ke dalam tasnya.

Tak ada nama panjang di situ, hanya satu: Nicko A. Velmier, dan satu nomor telepon.

Sederhana. Terlalu tenang.

Tapi terasa seperti langkah pertama menuju sesuatu yang tak akan bisa ia tarik kembali.

Jari-jarinya sempat gemetar halus saat menutup resleting tas. Ia tak ingin memperlihatkannya, tapi tubuhnya tak bisa berbohong. Ada perasaan samar yang mengendap di dadanya, seperti sedang menandatangani sesuatu yang tak tertulis, tapi lebih berat dari sekadar kontrak hukum.

Keputusan ini akan mengubah segalanya. Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar sadar... tak ada jalan untuk kembali menjadi dirinya yang lama.

Ia berdiri perlahan, membenarkan letak tas di bahu.

"Saya pamit," ucapnya, nyaris terlalu pelan.

Nicko hanya mengangguk singkat.

Tak ada ucapan selamat tinggal, tak ada basa-basi.

Sara melangkah menuju pintu.

Hening mengiringinya. Setiap langkah seperti terdengar terlalu jelas di lantai marmer ruangan itu. Ia tak menoleh.

Ia tahu, kalau ia menoleh, ia akan mulai mempertanyakan semuanya.

Pintu menutup perlahan di belakangnya.

Membiarkan ruangan itu kembali sunyi.

Nicko masih duduk di tempatnya. Tangannya kini bergerak pelan, menarik kembali sisa map di sisi meja. Ia membuka sedikit isinya

Mulutnya melengkung kecil. Hampir tak terlihat.

Bukan senyum lebar. Tapi cukup untuk membisikkan satu hal:

Segalanya berjalan sesuai rencana.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!