NovelToon NovelToon

KEKUATAN 9 BATU BINTANG

~AWAL KISAH~

**Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Apabila ada nama tokoh dan tempat yang sama, itu hanya kebetulan saja. Mohon di maafkan ya.. 🙏. Oya, nama nama tokoh dan tempat, saya ambil dari bahasa sansekerta yang saya gabung gabungkan sendiri.. Jika nanti kalian penasaran dengan nama tokoh dan tempat tersebut, tanyakan pada google,oke oke.. makasih..

** Dahulu kala, di sebuah daratan benua yang sangat besar dan luas, pernah terjadi fenomena alam yang sangat langka.

Ketika itu, di benua tersebut di hebohkan dengan munculnya sebuah batu yang bercahaya sangat terang turun dari langit. Batu tersebut yang awalnya hanya satu, tiba tiba terpecah menjadi serpihan serpihan kecil yang sangat banyak. Kemudian berpencar, menyebar lalu jatuh di berbagai tempat di atas benua tersebut, dan menghilang ketika menyentuh bumi.

Satu tahun kemudian, muncul beberapa orang yang sebelumnya hanya manusia biasa. Tiba tiba mempunyai kekuatan yang sangat besar, akibat dari menemukan salah satu pecahan batu tersebut.

Kejadian aneh itu, memicu orang orang di seluruh benua berramai ramai mencari dan memburu serpihan serpihan batu tersebut. Demi mendapatkan kekuatan yang terkandung di dalamnya. Bukan hanya dari golongan ningrat dan pihak kerajaan saja, orang orang biasa pun banyak yang mencoba peruntungannya lalu ikut mencari pecahan batu tersebut. Ada yang mencari di gunung gunung, di hutan, di laut, di goa goa. Bahkan ada juga yang mencari di dalam desa dan kota mereka masing masing.

Efek dari hal itu. Di benua tersebut banyak terjadi huru hara kekerasan dan pembunuhan di beberapa tempat, akibat dari memperebutkan pecahan batu di antara mereka. Kejadian itu berlangsung cukup lama, hingga hampir tidak bisa di hentikan oleh pihak kerajaan. Dan akibat dari semua itu, di benua tersebut yang sebelumnya hanya ada satu kerajaan, atau pemerintahan. Kini terpecah menjadi beberapa kerajaan.

Kerajaan kerajaan baru tersebut muncul, dari orang orang yang mempunyai kekuatan besar karena memiliki salah satu pecahan batu. Dengan kekuatannya, orang orang tersebut mendirikan kerajaannya sendiri atas kemauannya sendiri yang ia kehendaki. Ada yang mendirikan kerajaan di tengah hutan, dengan cara menebang hutan tersebut di bantu oleh orang orang serta binatang yang telah ia taklukan, kemudian menjadikan mereka sebagai warganya. Ada juga yang mendirikan kerajaan dengan cara menaklukan desa desa dan kota, kemudian membangun istana di dalamnya, dan menjadikan desa serta kota tadi sebagai wilayahnya.

****

Berpuluh tahun telah berlalu semenjak fenomena itu, kini semua kerajaan di benua tersebut sudah mengetahui batas wilayahnya masing masing, dengan penduduknya masing masing serta aturan masing masing pula. Keadaan di seluruh benua sudah mulai normal kembali, meski masih ada juga yang mencari pecahan batu, tapi lebih banyak yang menyerah dan pasrah akan nasibnya menjadi orang biasa. Dan menganggap bahwa pecahan batu tersebut sudah tidak ada lagi, alias habis.

Bagaimana tidak habis? Raja raja di setiap kerajaan, rata rata mempekerjakan orang orang yang memiliki pecahan batu tersebut. Ada yang jadi penasehat, jadi patih, panglima bahkan prajurit prajuritnya. Dan jumlah orang orang tersebut di semua kerajaan di seluruh benua sangatlah banyak, jadi mungkin saja seluruh batu sudah habis di miliki oleh mereka.

Di tambah lagi, orang orang yang lebih memilih membentuk sekte, ketimbang kerajaan setelah menemukan pecahan batu, juga sangatlah banyak. Orang orang yang membuat sekte ini meyakini, bahwa kekuatan yang ada di dalam pecahan batu dapat di bagikan terhadap orang lain atau di wariskan, meski orang tersebut tidak memiliki batunya. Oleh sebab itu mereka membentuk sekte lalu menerima murid murid yang berbakat dari desa dan kota setempat untuk mendapat pelatihan fisik dan lain lain, sebelum menerima kekuatan dari pecahan batu yang di miliki gurunya tersebut.

Di setiap sekte, bukan hanya satu atau dua orang saja yang memiliki kekuatan dari pecahan batu. Ada yang sepuluh sampai lima belas orang yang tergabung menjadi guru di sekte tersebut. Hingga akhirnya menghasilkan murid murid yang berkekuatan meski tanpa pecahan batu. Dan itu menjadi harapan bagi orang atau rakyat biasa untuk mengirim anak anak mereka belajar ke sekte sekte. Sebab, untuk bisa bekerja di dalam sebuah kerajaan, walau hanya sebagai prajurit biasa syarat utamanya adalah kekuatan.

****

Dan begitulah, pada akhirnya kehidupan di benua tersebut berjalan secara normal kembali...

**Jangan lupa vote dan follow ya, jika kalian suka dengan ceritanya..makasih.. Lanjuttt...?

***Kurang lebih seratus tahun kemudian.

Di sebuah desa yang sangat terpencil, di pinggiran hutan. Terlihat seorang anak kecil berkulit sawo matang dengan rambut panjang kecoklatan akibat sengatan Matahari, serta bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek yang sudah kusam. Berlari keluar dari rumah kayu, menyongsong seorang lelaki setengah baya yang baru saja pulang dari berburunya di hutan.

"Ayah, ayah! Apa yang ayah dapatkan hari ini?" kata anak laki laki kecil itu terhadap seseorang yang di sambutnya, yang ternyata adalah ayahnya sendiri.

"Ayah tidak mendapatkan buruan apa apa hari ini nak?" jawab sang ayah singkat, sembari mengangkat anak kecil itu ke atas punggungnya, dan menggendongnya masuk kembali ke dalam rumah mereka.

"Kita makan jamur dulu hari ini ya, yang ayah temukan di dalam hutan?" kata lelaki setengah baya itu terhadap anaknya, setelah berada di dalam rumah dan meletakkan anaknya itu di atas tempat duduk yang ada di ruangan itu.

"Horeee... makan jamur... makan jamur...!" teriak anak kecil itu kegirangan, bukannya kecewa karena ayahnya tidak mendapat buruan, alias tidak makan daging hari ini.

Sang ayah tersenyum, menyaksikan tingkah dari anak semata wayangnya itu, sembari mengeluarkan jamur jamur dari dalam kantung bawaannya. Kemudian mencuci jamur jamur tersebut sampai benar benar bersih, lalu memasaknya dengan di campur bumbu rempah alakadarnya.

Sedang si anak, yang saat itu kegirangan sembari duduk, tiba tiba bertanya pada ayahnya tersebut.

"Ayah, benarkah ada manusia yang memiliki kekuatan seperti dewa?" kata anak itu dan mengejutkan lelaki setengah baya yang sedang memasak jamur tersebut.

"Dari mana kamu mendapat pemikiran seperti itu nak?" jawab lelaki setengah baya tersebut, terhadap anaknya.

"Temen temen Thantana yang bilang seperti itu ayah?" kata anak kecil berambut kecoklatan itu, yang ternyata bernama Thantana.

"Benar apa yang di katakan teman teman kamu nak? Tetapi, kekuatan seperti itu hanya di miliki oleh orang orang terdahulu saja. Orang jaman sekarang tidak ada yang memiliki kekuatan seperti itu?" jawab ayah dari Thantana tersebut, sembari menjelaskannya.

"Ohh.. begitu ya ayah?" kata Thantana dengan polosnya. Namun tidak lama kemudian ia bertanya kembali...?

"Memang orang orang terdahulu mendapat kekuatan semacam itu dengan cara apa ya ayah?"

Menanggapi anak semata wayangnya yang terus terusan bertanya, pada akhirnya lelaki setengah baya tersebut menceritakan tentang sejarah di benua itu kurang lebih seratus tahun yang lalu, di mana fenomena alam yang aneh itu terjadi.

Sedang Thantana mendengarkan cerita dari sang ayah dengan seksama, layaknya seorang murid yang mendapat penjelasan dari gurunya. Dan tidak lama kemudian, setelah ayahnya mengakhiri ceritanya, ia kemudian bergumam...!

"Ohh.. jadi begitu ya ayah?" kata bocah kecil nan lugu itu, sambil mengangguk anggukkan kepalanya, layaknya orang dewasa memahi sesuatu.

"Ya sudah...Ayo kita makan jamurnya, sudah matang ni?" kata ayah dari bocah itu, kemudian menyodorkan semangkuk penuh sop jamur buatannya, terhadap Thantana.

Bau harum sop jamur yang khas, di dalam mangkuk kayu yang khas juga. Menggugah dan membangkitkan selera makan Thantana. Ia kemudian menyantap sop jamur tersebut dengan lahapnya, tanpa menyadari jika ayahnya sedang memandagi dirinya sembari tersenyum penuh misteri? "Tak terasa usiamu sudah 12 tahun nak, dan ayah masih juga belum bisa membahagiakanmu?" ucapnya dalam hati.

Selang beberapa saat kemudian, ayah dan anak itu sudah selesai menyantap sop jamur bikinan ayah Thantana. Namun ketika sang ayah hendak meletakkan mangkuk kayu di tangannya ke atas meja, tiba tiba Thantana melayangkan pertanyaan kembali terhadap ayahnya tersebut. Hanya pertanyaan kali ini adalah mengenai Ibundanya...?

"Ayah...? Sebenarnya ibu di mana sih?" kata bocah umur 12 tahun itu terhadap ayahnya.

Mendengar pertanyaan seperti itu dari anak satu satunya, lelaki setengah baya itu sempat tertegun beberapa saat. Meski pada akhirnya menjawab...?

"Bagaimana cara ayah menjelaskannya. Usia kamu saat ini baru 12 tahun, ayah takut kamu tidak mengerti maksud dari perkataan ayah nanti?" kata lelaki setengah baya itu kemudian, terhadap Thantana.

"Thantana akan mengerti ayah?" kata bocah kecil lugu itu dengan cepat. Membuat ayahnya sedikit bingung. Kemudian...?

"Baiklah...?" kata lelaki setengah baya tersebut, menyerah, lalu menceritakan tentang dimana dan bagaimana ibu Thantana sekarang, terhadap anaknya itu.

"Kurang lebih sebelas tahun yang lalu, ketika kamu baru berusia satu tahun. Datang seorang lelaki, teman masa kecil ibumu, ke desa ini. Lelaki tersebut telah menemukan pecahan batu, sehingga memiliki kekuatan dan mendapat jabatan yang tinggi di kerajaan. Dan entah apa yang terjadi, setelah ibumu berbicara berdua dengan temannya itu. Tiba tiba ibumu memutuskan untuk ikut dengan lelaki itu ke kota raja, dan meninggalkan kita di sini?" ucap lelaki setengah baya itu, lalu berhenti dan menarik nafas panjang sejenak, kemudian melanjutkan. "Ayah sudah mencoba menahannya, supaya ibumu tidak pergi. Tapi apalah daya, ayah tidak mempunyai kekuatan. Selain itu, kepergian Ibumu adalah keputusannya sendiri. Dan semenjak kejadian itu, sampai sekarang ayah tidak pernah mendengar kabar tentang ibumu lagi?" kata ayah Thantana itu, mengakhiri ceritanya.

Setelah bercerita seperti itu, ayah Thantana terlihat agak murung. Sebab ia teringat kembali peristiwa yang memilukan bagi dirinya tersebut. Sedang Thantana yang melihat ekspresi muka sang ayah berubah, segera meminta maaf.

"Maafin Thantana ayah, Thantana tidak bermak...?"

"Tidak apa apa nak, kamu tidak salah ko?" kata lelaki setengah baya itu, memotong ucapan dari anak semata wayangnya tersebut.

"Oya, besok ayah mau menangkap ikan di sungai dekat air terjun, apa Thantan mau ikut?" kata ayah Thantana lagi, begitu melihat anaknya itu terbawa suasana sedihnya.

"Mau... mau... asik?" jawab bocah kecil bertelanjang dada itu, sembari melonjak lonjak menghampiri ayahnya lalu memeluknya.

***** Bersambung *****

~THANTANA JATUH DARI AIR TERJUN~

**Desa Bukit Jingga, pagi hari.

Angin bertiup tak terarah, terkadang lembut semilir namun tiba tiba kencang seperti ingin menumbangkan pepohonan yang begitu banyak di desa itu. Desa Bukit Jingga, di mana Thantana di lahirkan dan di besarkan. Desa yang baru muncul setelah seratus tahun fenomena batu bintang. Kenapa saya katakan baru muncul, sedang ayah Thantana saja sudah berada di desa itu sebelumnya. Sebab desa tersebut, sebelumnya hanya tempat beristirahat para penebang hutan saja dan tidak bernama. Baru setelah beberapa orang memutuskan untuk tinggal di tempat itu, kemudian berkembang, akhirnya di beri nama. Dan pemberian nama desa tersebut kurang lebih setelah seratus tahun fenomena itu terjadi.

Desa Bukit Jingga ini terletak di sebuah bukit yang di kelilingi hutan belantara, jauh dari keramaian kota, juga kerajaan. Di namakan Desa Bukit Jingga, sebab bukit, di mana desa itu berada, sesekali waktu terlihat menjadi Jingga jika di lihat dari kejauhan. Di desa ini terdapat sebuah sungai yang sangat besar yang alirannya mengarah ke air terjun yang sangat dalam. Dan di bawah air terjun yang tinggi itu terdapat sungai lanjutan yang mengarah ke desa desa di bawahnya.

Pagi ini Thantana beserta ayahnya, berangkat ke sungai tersebut, seperti yang telah ayah Thantana janjikan sebelumnya. Mereka hendak menangkap ikan untuk makan mereka hari ini.

Terlihat Thantana beserta ayahnya berjalan menyusuri jalan setapak dari desanya menuju arah sungai. Sesekali ayah Thantana membabat ranting ranting yang menghalangi jalan mereka, serta menggendong Thantana jika menemukan jalan yang licin, agar anaknya yang baru berusia 12 tahun itu tidak terpelesat.

Selang beberapa saat kemudian, pada akhirnya mereka sampai juga di pinggir sungai yang di maksud. Setelah itu, ayah Thantana turun ke dalam sungai untuk menangkap ikan dengan cara menombaknya, dengan tombak kayu yang ujungnya sudah di runcingkan sedemikian rupa, hingga sangat lancip dan tajam.

Sementara Thantana di suruh menunggu di atas sungai oleh ayahnya, sembari mengumpulkan ikan dari hasil tombakan ayahnya tersebut. Tidak butuh waktu lama, ayah Thantana sudah banyak menghasilan ikan dengan tombaknya. Dan Thantana dengan kegirangan mengambil dan mengumpulkan ikan ikan itu, lalu memasukkannya ke dalam kantong bawaan ayahnya.

Namun, karena kegirangannya. Saat Thantana hendak mengangkat ikan yang cukup besar yang ayahnya letakkan di pinggiran sungai, kaki Thantana terpeleset karena menginjak batu yang licin, di pinggir sungai tersebut. Akibatnya, tubuh Thantana limbung ke arah sungai, kemudian tercebur ke sungai itu.

"Byurrr... "

Mendengar bunyi tersebut, ayah Thantana yang posisinya sudah di tengah sungai menengok kearah asal bunyi itu. Dan alangkah terkejutnya ayah Thantana, melihat anak semata wayangnya sudah tidak ada di tempatnya lagi, dan sedang timbul tenggelam di bawah arus sungai.

"Ayaahhhh...!" teriak Thantana, ketika kepalanya tersembul dari dalam arus air yang menyeretnya.

"Thantanaaaa.. .!" jawab ayahnya itu, sembari menceburkan badannya, berenang mengejar Thantana yang sudah cukup jauh dari dirinya.

Dengan sekuat tenaga ayah Thantana berenang mengejar anaknya itu, yang kini semakin jauh terbawa arus sungai yang sangat deras menuju ke ujung sungai di mana air terjun itu berada. Peluh yang seharusnya tidak muncul di dalam air, tidak berlaku pada diri ayah Thantana saat ini. Ayah Thantana Justru berkeringat dingin di pelipis serta keningnya. Usaha berenangnya mengejar Thantana sia sia, kini ia menuju ke pinggir sungai kemudian naik ke darat dan berlari menyusuri pinggiran sungai itu.

Sedangkan Thantana yang baru berumur 12 tahun itu, sedang di gulung dan di timbul tenggelamkan oleh arus air yang sangat deras. Dan pada akhirnya dirinya sampai di ujung sungai yang mengalir ke bawah menjadi air terjun.

Di detik tubuh Thantana hendak jatuh bersama air terjun, ayah Thantana melihatnya. Namun hanya suara teriakan yang sanggup ia lontarkan...?

"Thantanaaaa....!"

Tangisnya pecah. Penyesalan yang sangat dalam mulai datang menggerogoti pikirannya. Tangannya ia pukul pukulkan di atas tanah di hadapannya, sembari meraung dengan histeris. "Tidak, aku tidak boleh berhenti di sini. Anakku pasti masih hidup. Aku harus mengejar dan mencarinya!" pikirnya dalam hati. Kemudian bergerak melangkah menuju air terjun itu berada.

Namun apa yang bisa ia lakukan, air terjun itu begitu dalam, dan dinding dinding di sekitarnya sangatlah licin. Tidak mungkin ia dapat merayap kebawah melalui dinding itu.

"Thantana... Thantana...!"

Kembali ayah Thantana itu mencoba memanggil anaknya. Namun yang terdengar hanya bunyi derasnya air yang meluncur terjun, lalu menghantam bebatuan di bawahnya. Kesadaran ayah Thantana bekerja kembali, kini ia berlari sekuat tenaga menuju ke desa. Kemudian, setelah ia sampai di desa, ia melaporkan perihal Thantana yang hilang terbawa arus sungai, terhadap kepala desa serta warga. Supaya mereka mau membantu mencari anaknya itu di sungai bawah air terjun.

Sementara itu Thantana yang jatuh bersama air terjun, tubuhnya tersangkut tonjolan batu dari dinding yang ada di tengah tengah air terjun tersebut. Kondisi anak umur 12 tahun itu saat ini sedang tidak sadarkan diri, sehingga saat ayahnya memanggilnya dari atas tebing air terjun, ia tidak bisa mendengarnya.

Tidak lama kemudian, akibat dari hantaman air yang terus menurus di tubuhnya, membuat Thantana tersadar dari pingsannya. "Ughh..? gumam bocah kecil itu begitu tersadar. Lalu setelah mengumpulkan sisa sisa tenaganya, Thantana berusaha berdiri di atas tonjolan batu yang membuatnya tersangkut. Tidak ada rengekan atau tangisan seperti layaknya anak kecil pada umumnya, hanya saja ia sangat ketakutan dan kesakitan, akibat terbawa air terjun dan nyangkut di batu.

Dengan sekuat tenaga Thantana menerjang air yang terjun menghantamnya, untuk berdiri di atas tonjolan batu itu. Sebab Ia melihat ada celah lubang yang cukup besar di dinding tepat di atas tonjolan batu yang ia pijak sekarang. Dan berencana masuk ke dalam lubang tersebut.

"Aku harus bisa masuk ke lubang itu, jika tidak ingin jatuh ke bawah dan menghantam batu yang ada di dasar air terjun ini?" pikir Thantana dalam hatinya. Lalu dengan sisa sisa tenaganya ia menggapai lubang kecil tersebut yang ternyata cukup besar untuk tubuhnya, setelah ia berhasil masuk ke dalamnya.

Setelah dirinya di dalam lubang, Thantana langsung merebahkan tubuhnya di lantai lobang yang sepertinya sebuah goa tersebut. "Aggrrr...! erang Thantana, atas rasa sakit yang ia rasakan di sekujur tubuhnya itu. Kini Thantana baru benar benar ingin menangis. Rasa sakit dan takutnya berkumpul jadi satu ke titik di mana air itu menetes dari matanya.

"Ayah...?" gumamnya, sembari kedua tangannya mendekap tubuhnya sendiri. "Aku tidak boleh cengeng! Aku harus mencari jalan keluar dari sini?" pikirnya kemudian. sembari berusaha bangkit dari rebahnya, lalu merangkak masuk makin dalam ke lubang tersebut.

"Gelap sekali! Apa benar ada jalan keluar di dalam sana?" Thantana mulai ragu dengan keputusannya masuk ke dalam lubang itu. "Tapi bagaimanapun juga, tidak mungkin aku melompat dari air terjun itu, cari mati namanya?" pikirnya lagi dalam hatinya. Dan akhirnya ia memilih untuk meneruskan merangkak masuk, meski dalam kegelapan.

Tiba tiba, setelah sudah cukup jauh masuk ke dalam lubang itu. Dalam pandangan matanya yang kelelahan, ia melihat seberkas cahaya memantul dari arah dalam lubang tersebut. Dan itu membantu pencahayaan baginya, untuk terus masuk ke dalam. Dan semakin dalam dirinya masuk, semakin terang pula cahaya itu memantul. Hingga memperlihatkan seluruh ruang lubang tersebut.

"Cahaya apa yang terang ini? Apa ini pantulan cahaya matahari dan itu artinya, ini beneran jalan keluar?" gumam Thantana menduga duga, dengan harapan dugaannya benar. Sampai pada akhirnya ia melihat sumber dari cahaya tersebut. Dan.....?

*****Bersambung*****

~DI ANGGAP TELAH MATI~

Gemuruh suara air terjun terdengar begitu memilukan bagi warga desa Bukit Jingga, terutama bagi lelaki setengah baya, yang saat ini sedang berada di dalam sungai di bawah air terjun tersebut. Lelaki setengah baya ini, beserta warga desa beramai ramai berenang di sungai itu, mencoba mencari Thantana yang mereka yakini tenggelam di dasar sungai. Tak ada suara canda atau tawa di antara mereka, layaknya orang orang yang bergembira ketika berenang bersama sama pada umumnya. Yang ada hanyalah ketegangan dan kecemasan yang menghiasi wajah wajah mereka.

Ayah Thantana terlihat paling aktif menyelam dan menyibakkan dedaunan kering yang tersangkut di antara bebatuan, berharap anaknya juga ada di antara dedaunan tersebut. Sesekali ia berteriak memanggil manggil nama anaknya, "Thantanaa.. Thantana...! namun selama itu pula, tidak terdengar suara jawaban dari anaknya tersebut. Keputusasaan perlahan lahan mulai menyergap dirinya, membuat seluruh tubuhnya terasa melemas, dan membuat suara tangisnya pecah di antara suara dentuman air yang menghantam bebatuan dari atas mereka.

Satu hari, dua hari, tiga hari, tidak juga Thantana di temukan oleh mereka, bahkan jasadnya pun tidak. "Ini sudah hari ke tujuh, apa kita akan mencari terus paman?" kata seorang pemuda terhadap seseorang yang saat itu berada di sampingnya. Dan perkataan tersebut terdengar juga oleh ayah Thantana yang juga berada tidak terlalu jauh dari mereka. Di dalam hati ayah Thantana berucap? "Bener juga kata anak muda itu? Aku tidak bisa memaksa mereka untuk terus mencari anakku! Mereka juga mempunyai urusannya masing masing?" gumamnya. "Hem.. ughhh..! "Baik lah! Mulai hari ini kita hentikan pencarian terhadap anakku. Sepertinya anak saya tidak ada di sini, atau mungkin sudah hanyut jauh dari tempat ini?" teriak ayah Thantana kemudian, memberitahu terhadap warga agar kembali ke desa dan menghentikan pencarian anaknya.

Kecewa, tentu. Sakit, jelas. Tetapi mau bagaimana lagi. Meski mereka warga satu desa, tetapi tidak ada hak baginya mengatur dan menyuruh orang orang tersebut untuk menuruti permintaannya. Bagaimanapun mereka tetap orang lain, dan mereka mempunyai kepentingan mereka masing masing. Jadi ya.. dia harus menerimanya jika akhirnya pencarian anaknya harus di hentikan.

*****

Sementara itu, Thantana yang sebelumnya merangkak memasuki sebuah lobang, dan mengikuti seberkas cahaya. Kini telah menemukan pusat dari cahaya tersebut. Ia sangat terkejut sekaligus heran, ketika menyaksikan sendiri pusat dari cahaya itu. Di lantai goa, beberapa meter dari dirinya merangkak, terlihat pusat dari cahaya itu berada. Dan yang membuatnya heran adalah, benda yang menyebabkan cahaya itu begitu terang, ternyata sekumpulan pecahan batu sebesar kelereng. Batu batu tersebut menyatu jadi satu dan memancarkan cahaya yang sangat terang dan berkilauan, akibat perpaduan cahaya dari masing masing batu. Merah, kuning, hijau, jingga, biru, ungu, dan lain lain. Sehingga terlihat sangat indah di mata Thantana.

Menyaksikan cahaya itu, rasa lelah dan sakit di dalam tubuh Thantana seakan sirna seketika. Kegembiraan dari seorang anak kecil yang melihat keindahan cahaya, terlihat jelas di binar matanya. Kemudian bocah kecil nan polos itu merangkak mendekati sumber cahaya tersebut. lalu.. ? "Indah sekali? Batu apa ini ya?" pikirnya dalam hati. Dan tanpa ia sadari, reflek tangannya menyentuh batu batu tersebut. "Hemmm.. cahaya ini sama sekali tidak panas, malah terkesan adem, nyaman sekali?" ucapnya lagi, masih di dalam hatinya.

Oleh rasa penasaran dan juga pemikiran untuk menjadikan batu batu tersebut, sebagai penerang jalannya mencari jalan keluar dari lubang itu. Pada akhirnya Thantana mengambil batu batu tersebut, dan mengumpulkannya pada satu telapak tangan kanannya, sembari menghitung jumlah pecahan batu tersebut. Satu/biru, dua/kuning, tiga/jingga dan seterusnya sampai pada batu terakhir, yaitu batu ke sembilan yang berkilau keemasan. Kemudian setelah sudah terkumpul semua di satu telapak tangan, Thantana berencana melangkah menuju jalur lubang yang mengarah ke dalam, guna meneruskan mencari jalan keluar.

Namun alangkah terkejutnya Thantana. Baru saja satu langkah dirinya berjalan, tiba tiba pecahan pecahan batu yang berada di telapak tangan kanannya, satu persatu menerobos masuk ke dalam tubuhnya melalui lengannya, seperti cahaya menembus kaca dan terhenti ketika sudah berada di dalam tubuh Thantana.

"Aakkkkgg.. Sakittt..!" teriak Thantana seketika itu juga.

Memang, proses itu sungguh sangat menyakitkan bagi Thantana, sehingga sambil menahan rasa sakit, ia kibas kibaskan lengan kanannya dengan sekuat tenaga. Sembari tangan satunya lagi berusaha menarik sisa sisa batu yang masih melekat di telapak tangan kanannya itu. Tetapi semakin ia menarik batu tersebut, rasa sakit di dalam tangan serta tubuhnya semakin menjadi jadi. Dan di detik batu yang ke sembilan, pada akhirnya Thantana terjatuh ke lantai goa dan tak sadarkan diri kembali.

*****

Di desa Bukit Jingga, ayah Thantana terlihat sedang duduk di teras rumahnya dengan wajah yang murung. Bayangan saat anak semata wayangnya hanyut terbawa arus sungai, muncul kembali di benaknya. Entah, ini bayangan yang ke seratus atau ke seribu, ia tidak tau, yang jelas dirinya sudah berusaha keras untuk tidak mengingat ingat lagi atau melupakannya, tetapi tetap saja ia tak mampu.

"Sudah hampir satu tahun kamu pergi nak? Tapi ayah merasa seperti baru kemarin! Thantana anakku.. hiks, hiks, hiks..?" isak lelaki setengah baya itu, yang kini keadaannya sangat sangat memprihatinkan. Rambut panjang acak acakan, jambangnya di biarkan tumbuh di kedua pelipisnya, serta jenggot yang mulai panjang juga tidak terurus.

 "Paman...?"

Tiba tiba, seorang pemuda yang setahun lalu membantunya mencari anaknya di sungai, datang menyapanya, sembari membawa makanan di tangannya.

Melihat itu, ayah Thantana segera menyeka kedua matanya menggunakan lengan tangannya, lalu menjawab, "Iya...?. Kemudian beranjak berdiri menghampiri pemuda tersebut.

"Sudahlah paman... paman harus bisa mengikhlaskannya? Bagaimanapun anak paman sudah mati?" kata pemuda itu, ketika ayah Thantana sudah berada di hadapannya, sembari menyodorkan makanan di tangannya itu kepada ayah Thantana. Kemudian lelaki setengah baya yang sekarang terlihat tua itu, menerima makanan dari pemuda tersebut, tanpa membalas ucapannya.

"Kesedihan paman yang berlarut larut, akan membuat anak paman ikut sedih di alam sana? Paman tidak boleh begini terus, paman harus bangkit?" kata pemuda itu lagi, melanjutkan bicaranya. Melihat lelaki setengah baya tersebut tidak bereaksi atas ucapannya.

"Huffff.. haaaahh...? Iya.. paman salah?" jawab lelaki setengah baya itu pada akhirnya, sembari menarik nafas serta menghembuskannya kembali.

"Saya tidak menyalahkan paman? Hanya saya tidak tega melihat paman seperti ini terus?" kata pemuda itu lagi, menanggapi ucapan dari ayahnya Thantana yang menyalahkan dirinya sendiri. Kemudian setelah bicara begitu, pemuda tersebut berpamitan lalu pergi meninggalkan ayah Thantana sendirian lagi.

Sedang lelaki setengah baya itu, hanya bisa diam menatap punggung pemuda itu yang berjalan menjauh. Lalu tertunduk ke tanah dalam ke adaan berdiri sembari memegang makanan yang di berikan oleh pemuda tersebut...?

*****Bersambung*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!