NovelToon NovelToon

Balas Dendam

BD Bab 1

"Yah, pulang yuk? Sudah malem banget ini," ajak Sultan.

Salman baru saja membeli perkebunan milik salah satu warga yang ada di desa itu, dulunya dia merupakan pengusaha sukses di kota. Namun, karena perusahaannya bangkrut dia memilih pindah ke desa ini dan membeli perkebunan yang cukup luas.

Dia juga membeli sebuah rumah yang cukup mewah untuk ukuran di kampung itu, karena kebetulan ada seorang juragan yang menjual salah satu rumahnya.

"Kamu pulang duluan saja, Ayah masih mau ngecek semua sayuran yang sudah terkumpul di gudang. Mungkin dua jam lagi Ayah balik," jawab Salman.

"Ck! Pulang sekarang aja kenapa sih, Yah? Kalau aku pulang sendiri, itu artinya aku harus jalan kaki. Kalau kita pulang bareng, aku bisa naik mobil sama Ayah."

Sultan sebenarnya merasa kurang suka tinggal di desa itu, karena dia merasa kalau di desa itu masih terlihat tertinggal. Banyak kebun yang terlihat begitu luas, rumah warga masih sedikit dengan jarak yang begitu jauh.

Bahkan, tidak ada tempat hiburan di sana. Hanya ada sawah dan hamparan kebun sayuran serta kebun buah-buahan. Sultan merasa pengap tinggal di desa itu, tapi kalau mau tinggal di kota dia tidak punya modal.

"Itu resiko kamu karena ingin pulang duluan, kalau Ayah masih ingin di sini menghitung sayuran yang masuk gudang."

"Ck! Ya udah, aku pulang aja. Males lama-lama di gudang perkebunan kaya gini," ujar Sultan.

"Pulang sana, lagian jarak dari sini juga menuju rumah nggak terlalu jauh. Hanya tiga kilo, jalan kaki juga paling lima belas menit. Gak bakal kesasar juga, orang rumahnya pinggir jalan."

"Ck! Ayah nyebelin!" ketus Sultan.

"Kamu itu aneh tau gak! Katanya ingin segera memiliki banyak uang kembali, tapi giliran diajak kerja malah kayak orang ngaluk."

"Bukannya gitu, Yah. Masalahnya kerjanya kenapa harus di perkebunan? Aku nggak biasa dengan keadaan seperti ini, harusnya kita itu nyari tempat usaha di kota. Biar aku gampang beradaptasi," ujar Sultan.

"Kamu itu gak paham, Sultan. Uang dengan jumlah yang besar di kota itu tidak berharga, lain halnya dengan di kampung seperti ini. Uang yang menurut kita sedikit saja bisa membuat kita memiliki rumah yang mewah dan juga perkebunan yang sangat luas, kita harus menjadikan uang yang sedikit itu menjadi uang yang banyak."

"Terserah Ayah aja, tapi untuk saat ini aku tidak mau di sini lagi. Ini udah malem banget, pengen pulang."

"Alah, alasan aja kamu. Biasanya kalau di kota dulu jam segini kamu belum tidur, boro-boro ada di rumah. Yang ada kamu masih nongkrong sama teman-teman kamu," ujar Salman.

"Beda, Yah. Ini di kampung, sepi. Males lama-lama di luar kalau malam begini."

"Terserah kamu aja, mau pulang ya tinggal pulang. Ayah pulang nanti malam," ujar Salman.

Karena keadaan mereka yang tidak seperti dulu, kini mobil juga hanya ada satu. Padahal, dulu begitu banyak mobil mewah yang dikoleksi oleh Salman. Sultan bisa

"Ayah kejam," ujar Sultan sambil menatap ayahnya dengan tak suka.

Sultan akhirnya memutuskan untuk keluar dari dalam gudang itu, dia menyusuri perkebunan dengan menggunakan senter ponselnya. Sepanjang perjalanan menuju rumah dia terus saja menggerutu, dia merasa kesal karena ayahnya tidak mau pulang bersama dengan dirinya.

"Itu gudang masih kepake apa nggak sih? Kok serem amat, gelap banget lagi."

Saat Sultan akan melewati sebuah gudang yang terlihat terbengkalai, dia merasakan tubuhnya merinding semua. Sultan sampai berkali-kali mengusap tengkuk lehernya yang terasa dingin.

"Ini nih yang aku gak suka, hawa di kampung itu masih sangat serem. Udah sepi, bikin bulu kuduk merinding disko."

Sultan berjalan sambil mengusap kedua lengannya, hingga tak lama kemudian pria itu begitu kaget karena melihat sosok wanita dengan rambut panjangnya, wanita itu terlihat begitu bersedih dengan baju yang digunakannya yang begitu lusuh.

"Si---- siapa kamu? Kenapa malam-malam ada di dekat gudang seperti ini? Kenapa malam-malam begini rambutnya diurai? Terus, kenapa kamu bajunya lusuh banget? Jatuh ke lumpur ya?" tanya Sultan beruntun.

Bukannya menjawab pertanyaan dari Sultan, wanita itu malah menatap Sultan dengan tatapan nyalang. Sultan tentu saja ketakutan, apalagi ketika melihat sorot mata itu yang tiba-tiba saja berubah memerah.

"Kok liatin aku kaya gitu? Aku gak buat salah loh!" ujar Sultan.

"Hihihihi!"

Wanita yang sejak tadi menatap Sultan itu tiba-tiba saja tertawa cekikikan, lalu dia terbang dan mengelilingi tubuh Sultan.

"Se---- setan!" teriak Sultan yang langsung lari tunggang langgang.

Dia begitu ketakutan melihat sosok wanita itu yang terbang mengelilingi dirinya, wanita itu tertawa-tawa sambil menunjukkan giginya yang terlihat kotor dengan darah.

"Tolong! Ada setan!" teriak Sultan.

Sultan terus saja berlari karena ketakutan, pria itu sampai jatuh berkali-kali dan tangannya sampai berdarah karena terkena batu saat jatuh. Napasnya tersengal-sengal, dia begitu ketakutan setengah mati.

"Tolong!" teriak Sultan semakin ketakutan karena tidak melihat cahaya sedikit pun.

Di saat sedang berlari, ada dua orang warga yang menghampiri Sultan. Dia merasa senang karena airnya bisa bertemu dengan manusia, pria itu bahkan tanpa sadar langsung memeluk salah satu pria itu.

"Ya ampun, kenapa pake peluk-peluk segala?" tanya salah satu pria itu.

"Anu, Pak. Saya lihat setan, kayak kuntilanak gitu. Dia ngejar-ngejar saya, saya takut. Tolong saya, Pak."

Sultan mengurai pelukannya, lalu dia menunjuk ke arah gudang yang terbengkalai. Kedua orang itu saling pandang, kemudian salah satu orang yang ada di sana menepuk bahu Sultan.

"Lagian kenapa Aden lewat gudang terbengkalai itu? Di sana memang ada kuntilanaknya, seharusnya Aden lewat jalan lain."

"Mana saya tahu ada jalan lain, saya ini baru dua hari tinggal di sini."

"Iya, iya. Mending sana pulang, daripada nanti dikejar kuntilanak lagi. Bahaya!"

"Iya, saya akan pulang. Tapi tolong anterin," ujar Sultan yang tidak berani untuk pulang sendiri.

"Boleh aja, asal ada upahnya."

Keduanya berpikir kalau pria yang ada di hadapannya merupakan pria yang datang dari kota, tak mungkin kalau tidak memiliki uang. Mereka bisa saja mengantarkan Sultan, yang terpenting ada upah yang bisa mereka dapatkan.

"Gampang, saya akan kasih upah."

"Kalau begitu langsung kita antarkan sampai ke tempat tujuan!"

Kedua orang itu akhirnya mengatakan Sultan menuju rumahnya, saat tiba di rumah, dia menyempatkan diri untuk masuk ke dalam kamar ibunya. Di sana ada wanita berusia empat puluh lima tahun yang sedang terbaring dengan matanya yang tertutup.

Wanita itu bernama Sinta, Ibu dari Sultan. Saat tahu perusahaan suaminya bangkrut, Sinta langsung stroke. Dia tak bisa berjalan, dia bahkan kesulitan untuk berbicara.

Perusahaan yang dia bangun susah payah dengan suaminya itu harus bangkrut, beruntung dia masih memiliki banyak perhiasan kala itu, dia meminta suaminya untuk menjual semua perhiasannya dan mengajak suaminya itu untuk hidup di tempat yang baru.

Dia tidak peduli kalau harus hidup di pedesaan yang jauh dari kota, yang terpenting dia tidak merasa malu kalau bertemu dengan teman-temannya. Dia ingin menyendiri, dia tak mau lagi bertemu dengan orang-orang yang dulu dia kenal karena sungguh sangat malu atas kebangkrutannya.

"Maafkan Sultan, Bun. Sultan belum bisa beradaptasi dengan lingkungan di sini, tapi Sultan janji, akan berusaha bekerja dengan baik di perkebunan. Agar Bunda tidak sedih lagi dengan keadaan kita yang sekarang," ujar Sultan.

BD 2 Bab 2

Awal mula, hari Minggu tanggal 2 Wage tahun 2000. Di sebuah desa yang asri dekat pegunungan tumbuh seorang wanita yang cantik sekali, namanya Sulastri. Kedua orang tuanya sudah meninggal, wanita berusia delapan belas tahun itu hanya tinggal bersama dengan neneknya, Sumirah.

"Nek, Lastri ke taman dulu ya. Mau ajar anak-anak baca kaya biasanya," ujar Sulastri.

Di desa tempat Sulastri tinggal memang masih terpencil, banyak anak-anak yang tidak bisa membaca karena memang tidak disekolahkan oleh kedua orang tuanya.

Bukan karena tidak mau membuat anak-anaknya pintar, tetapi karena memang biaya yang tidak ada. Selain itu, jarak menuju sekolah yang begitu jauh membuat orang yang memiliki biaya juga merasa malas untuk menyekolahkan anak-anak mereka.

Rata-rata yang tinggal di desa itu merupakan buruh tani atau buruh perkebunan, penghasilan yang mereka dapatkan kadang untuk makan sehari-hari saja tidak mencukupi.

Beruntung untuk memasak mereka bisa menggunakan kayu bakar, untuk lauk makan mereka masih bisa menangkap ikan di sungai. Atau mereka masih bisa memetik sayuran di pinggir rumah, karena tanah di sana begitu subur. Menanam apa saja cepat tumbuh.

Untuk kebutuhan daging, mereka memelihara ayam atau kambing dan sapi. Itu pun tak bisa mereka nikmati dalam waktu yang cepat, terkadang sudah memelihara hewan peliharaan dalam waktu yang lama, tetapi setelah besar harus dijual untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sulastri juga hanya lulusan SMP saja, tetapi dia sangat pandai membaca dan menghitung. Makanya setiap satu minggu sekali dia akan mengajak anak-anak berkumpul di taman, dia akan mengajari mereka yang tidak bersekolah untuk menulis, membaca dan berhitung.

"Yakin mau ke taman? Hari ini kayaknya mau turun hujan deh, apa tidak sebaiknya kalau hari ini tak perlu pergi?"

"Lastri bawa payung, Nek."

Sumirah menatap Sulastri dengan hati yang tak karuan, sejak malam dia merasakan hatinya tidak enak terus. Makanya dia begitu enggan untuk mengizinkan cucunya itu pergi dari rumah.

"Dari malam hati Nenek nggak enak terus, mending kamu di rumah aja. Nenek takut kamu kenapa-kenapa," ujar Sumirah.

"Lastri akan baik-baik saja, Nenek tak usah khawatir. Lastri udah gede," ujar Sulastri.

Sulastri mencoba menenangkan wanita berusia enam puluh tahun itu, wanita yang selalu menyayanginya dan rela bekerja serabutan untuk menghidupi dirinya dari kecil. Karena kedua orang tuanya mengalami kecelakaan saat mencari kayu bakar di gunung, kedunya tertimbun tanah longsor.

Sulastri sudah menjadi anak yatim piatu dari kecil, hidupnya sudah sangat menyedihkan. Sebenarnya saat anak itu meminta sekolah saja, Sumirah merasa enggan untuk mengizinkan, karena jaraknya yang jauh dan jalanan yang dilalui sangatlah terjal.

Namun, melihat semangat anak itu yang begitu Ingin bersekolah, Sumirah akhirnya mengizinkan dan selalu berpesan agar anak itu hati-hati dalam melangkahkan kakinya.

"Ya udah sana pergi, jangan lupa bawa payung."

"Ya," jawab Sulastri bersemangat.

Untuk urusan mengajar anak-anak dia begitu senang sekali, karena baginya bisa berkumpul dengan anak-anak saja sudah bisa membuat hatinya senang. Apalagi kalau sampai bisa mengajarkan anak-anak membaca dan menulis sampai bisa, itu menjadi sebuah kebanggaan bagi dirinya.

Tak pernah Sulastri sekalipun meminta upah untuk ilmu yang dia berikan, karena baginya berbagi ilmu itu sudah sangat menyenangkan.

Sulastri dalam setiap harinya akan pergi bersama dengan neneknya untuk bekerja di perkebunan, mereka akan diberikan upah sepuluh ribu sehari.

Uang yang didapat memang nominalnya sangat kecil, tapi mereka sudah bisa mencukupi kehidupan mereka itu dengan uang yang sedikit itu.

"Assalamualaikum," sapa Sulastri pada anak-anak yang ternyata sudah berkumpul di taman.

"Waalaikumsalam, Kak Lastri."

Ada sepuluh anak yang sudah datang, Sulastri begitu senang sekali. Dia lebih senang lagi ketika melihat keceriaan di wajah anak-anak itu.

"Kakak selalu cantik, apalagi kalau mau ajar kami belajar baca. Kakak makin imut," puji Udin.

"Bisa aja kamu tuh, udah buruan keluarkan buku kalian. Kita akan mulai belajar," ujar Sulastri.

Sulastri memang cantik, banyak pemuda di desa yang menyukai wanita itu. Sayangnya Sulastri belum ingin berpacaran, apalagi menikah, karena tak mau meninggalkan neneknya lebih cepat.

"Kakak, aku gak bisa bikin angka lima. Ajarin dong," ujar salah satu anak yang nampak bersemangat dalam belajar menulis angka.

Sulastri menghampiri anak itu dan mengajarinya, baru setengah jam mengajar, langit semakin gelap saja. Awan hitam begitu tebal menyelimuti bumi, Sulastri yang takut hujan turun menghentikan aktivitasnya.

"Anak-anak, untuk belajar hari ini kita cukupkan sampai di sini saja ya? Kayaknya mau turun hujan, takutnya nanti malah kalian kehujanan dan sakit."

"Yah!"

Anak-anak nampak kecewa mendengar apa yang dikatakan oleh Sulastri, tetapi mereka juga tidak ingin kehujanan dan nantinya diomeli oleh kedua orang tuanya. Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang.

Setelah melihat semua anak-anak yang dia ajari itu pulang, Sulastri juga memutuskan untuk pulang. Namun, saat dia hendak melewati gudang terbengkalai, dia melihat banyak jamur yang tumbuh di dekat gudang itu.

"Ambil gak ya? Kalau gak diambil sayang, tapi kalau diambil takut keburu hujan." Sulastri menatap langit yang mulai meneteskan air hujan.

Sulastri sempat diam karena bingung, tetapi karena melihat jamur yang begitu montok dan juga banyak, akhirnya wanita itu memutuskan untuk mengambilnya.

"Duh! Hujan lagi," ujar Sulastri ketika mengambil jamur-jamur itu.

Dia ingin pergi, tapi hujannya begitu lebat. Terdengar suara gemuruh yang begitu dahsyat. Sulastri ketakutan, dia memilih menuduh di dalam gudang terbengkalai itu.

"Harusnya tadi aku tidak mengambil jamur itu, biar gak kejebak hujan."

Sulastri berkali-kali memejamkan matanya sambil menutup kedua telinganya, karena suara guntur begitu menggelegar. Hujan juga turun dengan sangat deras, Sulastri ketakutan, tapi dia tak bisa apa-apa.

"Semoga saja nenek tak keluar untuk mencari aku, kasihan dia."

Di saat Sulastri sedang ketakutan, dia mendengar ada suara mobil yang berhenti di depan gudang. Tak lama kemudian dia melihat ada seorang pria bertubuh tinggi, berotot dan tubuhnya itu terlihat begitu atletis.

Namun, sayangnya Sulastri tidak bisa melihat wajah pria itu. Karena pria itu memakai kupluk, kacamata dan juga masker. Badan pria itu nampak basah, karena sepertinya turun dari mobil langsung berlari menuju gudang.

"Saya ikut neduh di sini," ujarnya.

Sulastri bisa mendengar kalau suaranya begitu ngebas dan enak didengar. Sulastri bisa membayangkan kalau pria yang ada di dekatnya itu memiliki wajah yang tampan.

"Iya," jawab Sulastri.

Cukup lama mereka berdua meneduh, hingga tidak lama kemudian pria yang ada di sampingnya nampak kedinginan. Jalannya juga sempoyongan, dia hampir saja terjatuh kalau saja Sulastri tak membantu pria itu dengan cepat.

"Anda tidak apa-apa?" tanya Sulastri khawatir.

"Dingin, saya kedinginan. Dingin banget," ujar pria itu.

Mereka kini begitu dekat, walaupun pria itu tubuhnya lebih tinggi daripada Sulastri, walaupun bibirnya ditutupi dengan masker, tetapi kala Sulastri mendongakkan kepalanya agar bisa mendengar apa yang dikatakan pria itu, Sulastri bisa mencium bau alkohol dari bibir pria itu.

"Anda mabuk?" tanya Sulastri yang dengan cepat menjauh dari pria itu.

"Saya tidak mabuk, tadi hanya minum sedikit karena lagi pusing. Hujannya gede banget, alergi dingin saya kambuh. Saya kedinginan, tolong saya."

Pria itu mendekat ke arah Sulastri, tentu saja melihat pria itu yang semakin mendekat, Sulastri dengan cepat memundurkan langkahnya. Lalu, dia menodongkan payung yang sejak tadi dia pegang.

"Jangan mendekat!" ujarnya lantang.

BD Bab 3

Sulastri merasa ketakutan karena pria bertubuh tinggi dan berotot itu semakin mendekat ke arahnya, dia takut kalau pria itu akan melakukan hal yang tidak-tidak kepada dirinya.

Karena Sulastri bisa mencium sendiri bau alkohol yang begitu menyengat dari bibir pria itu, dia takut kalau pria itu akan melakukan hal yang nekat. Terlebih lagi pria itu sejak tadi mengeluh kedinginan, bahkan pria itu sudah menggigil.

"Jangan mendekat!" teriak Sulastri.

"Nggak bisa, aku mau kamu."

Sulastri semakin ketakutan mendengar apa yang dikatakan oleh pria itu, bagaimana mungkin pria itu mengatakan ingin dirinya? Padahal, mereka berdua tidak saling mengenal dan bukan pasangan.

"Jangan ngomong yang aneh-aneh, jangan berbuat yang aneh-aneh!"

"Nggak bisa, nggak kuat. Aku bisa mati kedinginan kalau tidak menyentuh kamu," ujar pria itu.

Pria itu semakin mendekat, Sulastri terus memundurkan langkahnya. Hingga beberapa saat kemudian dia tidak bisa berkutik, karena tubuhnya sudah terpentok ke tembok.

"Pergi sana! Jangan dekati aku!" teriak Sulastri penuh keputusasaan.

Bukannya menjauh, pria itu malah mengungkung pergerakan Sulastri. Tangan kanan pria itu langsung mengangkat kedua tangan Sulastri dan menguncinya ke atas, sedangkan tangan kirinya mencengkram rahang Sulastri.

"Kamu sangat cantik," ujarnya.

"Cuih!"

Sulastri meludah, pria itu terlihat begitu marah. Dia membuka masker yang sejak tadi dia pakai, lalu menyatukan bibirnya dengan bibir Sulastri dengan kasar. Sulastri sampai kesulitan untuk bernapas.

"Lepaskan! Pergi brengsekk!" pekik Sulastri.

Pria itu terpaksa melepaskan tautan bibirnya, karena Sulastri menggigit bibir pria itu. Bibir pria itu sampai berdarah, pria itu tak marah. Justru pria itu mengusap bibirnya yang berdarah, lalu tertawa dan menatap Sulastri dengan penuh gelora.

Hari yang semakin gelap membuat dia tidak begitu bisa melihat wajah pria itu, terlebih lagi sekarang mereka semakin masuk ke dalam gudang. Gelap dan pengap, tak ada pencahayaan di sana.

"Kamu sangat menggairahkann," ujarnya sambil menatap Sulastri dengan tatapan penuh minat.

Sulastri semakin ketakutan, terlebih lagi ketika pria itu mulai mengecupi dan menggigit lehernya. Sulastri rasanya ingin mati saja, dia tak mau berakhir di tangan pria jahat seperti itu.

"Lepas!" teriak Sulastri lagi.

Bukannya melepaskan Sulastri, pria itu malah merobek pakaian yang dikenakan oleh wanita itu. Tubuh Sulastri bergetar hebat mendapatkan perlakuan seperti itu, apalagi ketika pria itu menarik paksa rok panjang yang dia pakai.

"Argh!" teriak Sulastri karena dia terjatuh ke tanah.

Kini wanita itu hanya memakai segitiga pengaman dan juga kacamata pelindung, dia memeluk tubuhnya yang terkena hembusan angin.

"Jangan mendekat, tolong! Tolong aku!" teriak Sulastri karena pria itu semakin mendekat.

"Berteriaklah, Sayang. Tak akan ada yang mendengarnya, percuma saja. Jangan buang-buang tenaga, nanti saja gunakan tenaga itu untuk bermain kuda-kudaan dengan aku."

"Tidak!" teriak Sulastri lagi ketika pria itu mengangkat tubuh Sulastri dan menidurkan Sulastri di atas papan kayu.

Pria itu dengan tidak sabarnya melepaskan kain yang melekat di tubuhnya, lalu melempar baju itu secara asal. Pria itu menatap tubuh Sulastri dengan tatapan lapar, dia begitu menginginkan wanita itu.

"Argh! Pergi!"

Sulastri begitu takut karena Ini pertama kalinya dia melihat milik seorang pria, milik pria itu terlihat berdiri dengan begitu tegak. Milik pria itu terlihat besar, panjang dan dia yakin kalau milik pria itu tak akan masuk ke dalam inti tubuhnya.

"Jangan teriak sekarang, Sayang. Nanti saja, kalau aku sudah---"

Pria itu tidak meneruskan ucapannya, dia langsung menindih tubuh Sulastri. Lalu, dia dengan tak sabar langsung memasukkan miliknya itu ke dalam liang kelembutan milik Sulastri.

"Sakit!" jerit Sulastri.

Dia merasa kalau inti tubuhnya itu terbelah, dia merasa kalau inti tubuhnya itu langsung sobek. Sakit tiada terkira, sakit sampai milik pria itu terasa menusuk ke jantungnya.

"Ternyata kamu masih perawan, tenang saja. Aku pasti akan tanggung jawab," ujar pria itu yang terus memompa tubuh Sulastri.

Pria yang sedang mabuk berat itu begitu senang melakukan hal itu dengan Sulastri, dia bahkan tidak memedulikan Sulastri yang terus berteriak-teriak kesakitan.

"Enak, Sayang. Kamu sangat nikmat," ujar pria itu sambil menengadahkan wajahnya.

Dia sudah mendapatkan puncaknya, dia begitu menikmati pergulatan panas ini. Namun, pria itu seakan tidak ada puasnya. Setelah beberapa saat dia kembali melakukannya.

Sulastri yang sudah lelah langsung tidak sadarkan diri, tetapi pria yang tidak berbelas kasihan itu terus mengayunkan pinggulnya. Walaupun tahu kalau Sulastri dalam keadaan tak sadarkan diri, tetapi baginya sangat nikmat berada di atas tubuh wanita itu.

"Aaah! Nikmat," ujarnya sambil turun dari tubuh Sulastri.

Kali ini pria itu begitu puas, dia langsung memakai pakaiannya. Dia sudah tak merasa kedinginan lagi, dia menatap tubuh Sulastri yang begitu seksi.

"Makasih ya, Sayang. Tapi, aku sudah punya istri dan juga anak. Aku tak mungkin bertanggung jawab dengan menikahi kamu, hanya ini yang bisa aku berikan kepada kamu."

Pria itu meninggalkan segepok uang di samping Sulastri, kemudian dia pergi begitu saja. Dia benar-benar tak berperasaan, meninggalkan Sulastri dalam keadaan polos.

**

"Engh!"

Sulastri tersadar dari pingsan, wanita itu berusaha untuk bangun, tetapi tubuhnya begitu sakit semua. Ketika dia membuka mata, Sulastri langsung berteriak.

"Argh! Dasar brengsek!"

Sulastri menatap tubuhnya yang terasa begitu hina, dia melihat inti tubuhnya yang ada cairan cinta bercampur dengan darah karena memang pria itu melakukannya dengan kasar.

"Aku sudah kotor, aku tak suci lagi." Sulastri menangis sejadi-jadinya, Dia merasa ingin bunuh diri saja.

Namun, dia teringat akan neneknya yang sendirian di rumah. Setelah puas menangis, Sulastri berusaha untuk turun dari papan kayu tempat dia digagahi oleh pria itu.

"Bagaimana aku bisa pulang kalau baju aku saja robek seperti itu?" tanya Sulastri ketika melihat bajunya yang sudah tidak berbentuk.

Dia kembali menangis, tak menyangka kalau dirinya akan kehilangan kesucian karena diperkosaa. Dia bahkan menjerit-jerit ketika mencoba untuk berjalan tetapi inti tubuhnya begitu sakit.

"Ya Allah, kenapa engkau memberikan cobaan seperti ini kepadaku?"

Sulastri terus saja menangis, suara tangisannya tidak terdengar karena tertutup suara hujan yang begitu deras. Setelah cukup puas menangis, Sulastri memakai pakaian yang ada. Lalu, dia berkeliling di dalam gudang itu. Dia berharap akan menemukan baju bekas atau kain yang bisa dia gunakan untuk menutupi tubuhnya.

"Aduh!"

Kaki Sulastri tersandung karena pencahayaan yang tidak ada, hari semakin gelap. Langit saja sudah menghitam, dia tidak tahu ini pukul berapa.

Namun, saat dia hendak keluar dari gudang, dia merasa beruntung karena menemukan tumpukan kain bekas. Basah dan juga bau, tapi Sulastri tetapi mengambil satu untuk menutupi tubuh.

"Sial!" ujar Sulastri karena saat dia hendak pergi dari sana, semua lampu yang ada di desanya terlihat mati.

Kalau terlalu lama hujan memang biasanya akan mati lampu, entah karena ada pohon tumbang yang mengenai kabel listrik, atau karena korsleting listrik.

Dengan penuh kehati-hatian dia melangkahkan kakinya menuju rumah Sumirah, sayangnya jalanan yang licin membuat dia terjatuh berkali-kali.

"Hiks! Kenapa nasibku begitu buruk?"

Sulastri terus menangis selama dia melangkahkan kakinya menuju rumah neneknya, dia merasa kalau hidupnya benar-benar sial dan dia merasa kalau dirinya sudah sangat kotor.

"Apa yang akan aku katakan kepada nenek nanti kalau dia bertanya?"

Sulastri merasa kepalanya pusing sekali, dia bahkan berkali-kali jatuh karena tak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.

"Semoga saja mati lampunya sampai besok, biar nanti kalau aku pulang nenek tidak melihat mataku yang sembab."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!