November 2021
Mulai berlakukannya new normal setelah pandemi Covid-19 melanda sepanjang tahun, semua orang menerapkan hidup baru dengan menatap langit biru. Polusi semakin berkurang sejak adanya Covid-19, namun tidak bisa di pungkiri bahwa kematian meningkat secara drastis. Seakan-akan setiap manusia hanya menunggu kapan gilirannya datang, tahun ini adalah tahun kebebasan, dimana tidak lagi takut Covid-19, kehidupan berjalan normal kembali. Semua orang melakukan kegiatannya yang pernah tertunda, entah itu bekerja ataupun melanjutkan pendidikan bertemu banyak teman.
Sejak awal tahun 2020, Renjana Seana yang sekarang sang mahasiswa semester 7 harus mendapatkan kuliah online menatap penjelasan dosen melalui layar laptop atau layar ponsel. Mengerjakan tugas dengan cara submit di google classroom, kirim email dan lain sebagainya. Mungkin karena sudah terbiasa, kegiatan itu bagaikan rutinitas sehari-hari.
Sekarang sudah hampir 2 tahun sejak dia hanya berada di rumah, bermain kucing, makan, kuliah online, mengerjakan tugas, tidur. Bulan ini Renjana sudah mulai memikirkan judul Skripsinya, dia juga baru saja menyelesaikan KKN (Kuliah Kerja Nyata) wajib untuk mahasiswa sebelum mengerjakan tugas akhir untuk mengisi 4 SKS. Setelah hampir 3 bulan jauh dari rumah disaat keadaan belum sepenuhnya baik-baik saja karena pandemi, akhirnya Renjana pulang ke rumahnya, bertemu dengan keluarga dan menghabiskan waktu bersama kucing kesayangannya. Sisa waktu KKN dilakukan secara online, entah itu mengerjakan laporan atau meeting dengan anggota kelompok dan DPL (Dosen Pembimbing Lapangan).
Seakan di terpa masalah yang cukup signifikan, sejujurnya skripsi adalah tugas yang tidak pernah Renjana bayangkan. Sebagai mahasiswa Ilmu Hukum dengan kuliah yang dilaksanakan secara online 50%, Renjana tidak cukup mampu berada di jurusan itu, dia kurang mampu dan bahkan merasa tidak mampu untuk lulus secepatnya. Mungkin bagi orang lain yang tidak merasakan berada di posisinya hanya akan mengatakan kapan lulus dan sebagainya, karena mereka tidak merasakan apa yang dirasakan pelaku utama. Seperti menghakimi seorang terduga pembunuhan, belum tentu dia membunuh tapi sudah dihakimi secara berlebihan bahwa dia pembunuh, padahal masih dalam posisi terduga.
Tapi ada satu hal yang membuatnya harus lulus, yaitu biaya semester yang tidak murah. Bukan dia berusaha menjadi yang terbaik saat mengerjakan tugas skripsi, Renjana hanya berusaha terhindar dari semester 9. Minimal dia harus lulus di semester 8 sebelum masuk ajaran baru semester berikutnya, itulah yang mendorong Renjana harus lulus 4 tahun. Dia juga bukan tipe orang yang ambisius mengejar Cumlaude, bisa lulus kuliah baginya sudah sangat beruntung.
Proposalnya telah selesai ditulis, hanya harus melakukan beberapa tahap revisian untuk kesalahan-kesalahan yang sudah ditandai sebelumnya. Masuk semester 8 targetnya bisa Seminar Proposal, gerbang awal sebelum mulai berperang dan lanjut penelitian Skripsi.
Sabtu ini lumayan sepi, hanya beberapa orang berlalu lalang, sedangkan Renjana sibuk dengan dunianya sendiri. Mengerjakan tugas sambil mendengarkan musik favoritnya dari Troye Sivan- Strawberries and Cigarettes yang diputar berulang kali. Renjana suka musik, dia sangat suka musik, mungkin gaya dengarnya tidak sama dengan orang lain, tapi Renjana lebih banyak menghabiskan mendengarkan musik ketimbang kegiatan lainnya.
Jam menunjukkan pukul 12 siang, keramain di luar mengalihkan perhatian Renjana, jantungnya berdebar lebih cepat saat orang-orang berwajah panik saling berbincang dan bertanya-tanya. Renjana melepaskan Earphone yang melekat di telinganya dan berjalan keluar, hal pertama yang dia cari adalah ibunya, namun bukan ibunya yang datang, melainkan bibinya yang datang menghampiri.
“Ayahmu meninggal.”
Seperti ada suara dengungan yang keras di telinga, matanya buram tapi Renjana berusaha tetap berdiri, dengan tangan bergetar gadis itu tidak mengatakan apapun mengambil motor alakadarnya yang ada di dalam rumah dan mengendarainya menuju ke lokasi terakhir dimana ibunya pamit keluar.
Saat Renjana datang, orang-orang berusaha menghampirinya, mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal namun hanya seperti angin yang menabrak penglihatannya. Fokus Renjana tertuju pada pria paruh baya yang terbaring kaku di pelukan ibunya, tangis Renjana pecah. Renjana tidak pernah berharap apa yang diterima oleh nalarnya sama seperti apa yang dia inginkan, Renjana ingin semua yang terjadi hari ini hanyalah mimpi buruknya seperti biasa, tapi kenyataan berkata lain.
“Ayahmu! Suruh dia bangun!! Suruh dia bangun!!.” Pinta Sendu yang terus menggoyangkan tubuh Sadewa sambil menangis pilu.
Renjana tidak mengatakan apapun selain hanya meneteskan air mata dan berusaha menyentuh kulit ayahnya yang kaku. Sejujurnya mereka jarang berinteraksi, bahkan saat ayahnya telah pergi pun, pria paruh baya itu tidak menitipkan pesan apapun pada Renjana. Renjana merasa tidak adil dengan semua keadaan ini, ayahnya berjuang keras untuknya bisa berkuliah, hanya menunggu setidaknya enam bulan untuk datang ke wisuda, tapi ternyata Sadewa tidak cukup bersabar.
Tubuh kaku itu di bawa pulang ke kediaman, dibaringkan dengan nyaman. Renjana terjatuh di lantai, dia ingin mengulang semuanya, dia ingin kembali dan menghabiskan banyak waktu berbincang dengan ayahnya. Kejadian-kejadian yang hanya tersisa memori itu berputar menunjukkan satu persatu kenangan. Akhir-akhir ini Sadewa tidak pernah menuntut melakukan apapun, seakan Sadewa mengerti keadaan Renjana dan tugas kuliahnya. Tapi bukan ini yang Renjana inginkan, dia mau melakukan apapun untuk ayahnya selama pria itu mau bangun dan bersama mereka lagi, setidaknya beberapa tahun kedepan.
“Suruh Ayahku bangun! Siapa yang datang ke wisudaku kalau Ayah tidak bangun! Suruh dia bangun!.”
“Sudah jangan menangis, ikhlaskan.”
Bagi orang lain yang tidak pernah merasakan kehilangan orang yang sangat di sayangi, mudah mengatakan Ikhlas, bahkan saat di berikan indahnya surga, nikmatnya harta, jika itu merenggut nyawa satu orang yang paling berharga, sampai kapanpun Ikhlas itu tidak akan pernah bisa. Mengikhlaskan hanya akan memberikannya penyakit di kemudian hari, membuat terpuruk di hari berikutnya saat kenangan itu kembali menghantui.
“Aku belum bicara dengannya, aku mohon bangunkan Ayahku sekarang... aku mohon...” Renjana terus menangis, memohon pada Ibunya yang hanya memeluknya disaat hatinya sendiri sangat hancur kehilangan orang yang dicintai. Perasaan cinta itu abadi, tapi manusia tidak abadi seperti cinta.
Kepergiaan itu tidak terduga, datang secara tiba-tiba, bahkan kedatangannya tidak bisa ditolak. Mungkin beruntung kematian itu tidak datang bersamaan dengan Covid-19 tapi jika Renjana bisa memilih, dia tidak merasa beruntung atas apapun. Kejadian ini membawa pergi tokoh yang menjadi ujung tombak arah bidiknya. Sejak kecil, Renjana hanya ingin menjadi orang yang seperti Sadewa, dia sosok hebat yang membuat Renjana memilih hukum, Renjana ingin menjadi orang bijak dan adil seperti ayahnya, dia ingin menjadi orang yang dihormati kehadirannya oleh siapapun. Renjana kagum pada ayahnya, dia sangat kagum pada setiap kisah yang Sadewa tinggalkan padanya.
Sadewa mengajarkan banyak hal tentang kehidupan, namun tidak cukup banyak untuknya bertahan untuk kehidupan di masa depan. Sadewa itu berbeda dengan ayah lainnya, dia mengajarkan banyak hal tanpa pandang bulu apakah Renjana wanita ataupun pria, setidaknya Renjana harus bisa semua hal agar di kehidupan nanti Renjana sanggup hidup mandiri. Namun kenyataannya Sadewa salah, Renjana tidak bisa hidup tanpanya, Renjana tidak cukup mampu berdiri di kakinya sendiri, Renjana masih membutuhkan bimbingannya untuk melangkah ke jalan yang seharusnya.
Renjana tidak beranjak dari tempatnya duduk, saat semua orang satu persatu meninggalkan pemakaman. Renjana masih enggan meninggalkan gundukan tanah itu, walaupun tubuhnya telah basah diguyur air hujan.
“Ayo kita pulang.” Ajak Sarah, sahabat Renjana yang datang menemaninya sore itu ke pemakaman.
“Tapi Ayahku sendiri, di bawah dingin.” Air mata Renjana telah kering tapi perasaan sedihnya masih membekas sangat dalam.
Sarah memeluk Renjana erat, dia tahu bagaimana rasanya kehilangan sehingga dia cukup tahu untuk membiarkan Renjana melepaskan semua perasaannya tanpa sedikitpun ditahan. Sekuat apapun Renjana sekarang, kehilangan tetaplah kehilangan, Sarah pun akan melakukan hal yang sama, dia melakukan hal yang sama saat kehilangan ayahnya beberapa tahun yang lalu, bahkan kala itu Sarah masih kecil untuk bisa hidup tanpa bimbingan sosok ayah. Tapi waktu mengajarkannya lebih kuat, karena sebenarnya yang membuat seseorang menjadi kuat adalah kesendirian.
Kebaya berwarna coklat cerah melekat indah di tubuh Renjana, gadis itu berdiri didepan cermin, memperhatikan penampilannya yang sama seperti mahasiswa lain yang akan melakukan wisuda minggu ini. Renjana datang sendirian, niatnya berada di kampus hari ini adalah mengambil ijazahnya yang sudah selesai cetak. Tapi salah satu kegiatan mahasiswa setelah lulus kuliah adalah wisuda, dia juga melakukan wisuda seperti yang lain, namun perasaan Renjana sangat hambar.
Disaat orang lain bersama dengan keluarganya, kedua orang tuanya, kakak adik, bahkan saudaranya yang lain. Renjana sendirian, dia hanya bersama dirinya sendiri. “Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja.” Pikir Renjana dalam hati sambil menguatkan diri.
Renjana masih punya Sendu, ibunya. Tapi sejak Renjana kecil, Sendu sudah sakit-sakitan. Renjana tidak cukup memiliki keberanian untuk mengajaknya pergi ke luar kota hanya menghadiri wisudanya yang formalitas. Renjana mempertimbangkan banyak hal hingga memutuskan untuk Sendu tidak perlu ikut dengannya keluar kota, dia bisa mengatasi sendiri.
Wisuda dilaksanakan di salah satu gedung kampus, berjalan cukup cepat, dari jam 7 pagi hingga jam 12 siang, dengan banyak rangkaian penting di dalamnya. Renjana keluar dari gedung tersebut sambil membawa buku ijazahnya dan tas selempang yang digunakan untuk meletakkan ponsel serta peralatan pribadi lainnya.
Brukk!
“Sorry...” seseorang langsung menunduk dan mengambilkan ijazah milik Renjana yang jatuh di rumput.
“Thanks.” Ucap Renjana sambil menerima ijazahnya kembali, tanpa berlama-lama Renjana melanjutkan langkahnya karena dia harus segera masuk kedalam mobil grab yang sudah dipesan.
“Tung-.”
Mobil itu membawa Renjana kembali ke hotel tempatnya menginap, selama dalam perjalanan yang super macet karena bukan hanya kampusnya yang melaksanakan wisuda hari ini, Renjana hanya memperhatikan jalanan di luar, pandangannya kosong, dia kesepian. Teman, dia tidak berpikir punya teman. Renjana tidak yakin bisa membalas budi pada teman-temannya saat mereka datang ke acara wisudanya, sehingga Renjana tidak mengatakan kepada siapapun kalau dia wisuda hari ini.
Enam bulan setelah kematian ayahnya, Renjana seperti mayat hidup, dia hanya mengerjakan apa yang dia kerjakan, tanpa perasaan bahagia yang mendampingi. Awalnya Renjana sangat ekstrovert tapi setelah kejadian naas itu, entah kenapa Renjana takut berinteraksi dengan orang lain. Keberanian itu seperti hilang darinya, Renjana takut dengan apapun, Renjana tidak bisa hidup dengan baik.
Kamar dengan satu ranjang queen size, koper kecil di sudut sebelah nakas dan pakaian yang cukup berantakan di atas kursi. Renjana menjatuhkan tubuhnya di ranjang empuk tersebut sambil melihat langit-langit kamarnya. Rasanya sepi, Renjana memeluk tubuhnya sendiri, hingga mulai tertidur cukup lama.
“Ayah.” Renjana berdiri di dalam ruang tamu yang ada di rumahnya, di pintu ada pria paruh baya yang tersenyum padanya. “Ayah pulang?.”
Tidak ada jawaban apapun, Sadewa hanya tersenyum pada putri bungsunya.
“Bertahanlah dengan baik walaupun dunia sedang menyakitimu.” Kalimat pertama yang diucapkan oleh Sadewa, bukan hanya kalimat pertama tapi juga kalimat terakhirnya sebelum Renjana benar-benar terbangun dengan keringat yang membasahi sekujur tubuh.
AC di kamar itu sudah sangat dingin namun Renjana masih basah dengan keringat, tangisnya pecah, saat dia mengingat sosok yang dia sayangi tanpa kata-kata itu, Renjana hanya bisa menangis. Jika Renjana punya kesempatan lagi bertemu dengan Sadewa, dia akan mengungkapkan perasaannya dengan nyata, mengatakan dengan gamblang bahwa Renjana sangat mencintainya lebih dari apapun. Sadewa adalah cinta pertamanya, sakit hati pertamanya, dan Ayah yang sangat sempurna untuknya.
Setelah setengah jam terlarut dalam dirinya sendiri, Renjana mengusap air matanya sambil menghapus make up nya di depan cermin. Pandangan kosong, Renjana terus membersihkan wajahnya hingga bersih. Mengganti pakaiannya setelah mandi, pakaian simpel yang membawanya keluar dari kamar hotel.
Hotel itu ada 3 lantai dua bangunan berhadapan, setiap lantai ada sekitar 4 kamar, semua kamarnya bagus. Tapi paling bagus berada di lantai satu, semakin tinggi lantai semakin murah harganya. Kebetulan Renjana berada di kamar yang standar, tidak mahal juga tidak murah, cukup dengan budget yang dia punya.
Renjana menuruni tangga menuju ke lantai satu, mengabaikan semua orang yang berpapasan dengannya. Tujuannya hanya keluar menuju ke lobby untuk membeli minum dan makanan ringan, kemudian keluar untuk membeli makanan berat. Besok pagi Renjana harus segera check out untuk kembali pulang, pesawatnya berangkat jam 8 pagi, kebetulan dia mendapatkan jadwal pagi.
Gerobak nasi goreng berada di seberang hotel tempat Renjana menginap, setelah hujan mengguyur jalanan, sekitar lumayan sepi, banyak orang enggan keluar dari rumah dan lebih suka bermalas-malasan di atas tempat tidur. Renjana satu-satunya orang yang menghampiri gerobak nasi goreng dengan penjual yang seumuran dengan mendiang ayahnya.
Renjana tersenyum memasan satu bungkus nasi goreng lalu menunggunya sampai selesai dibungkus.
“Terimakasih banyak sudah membeli dagangan saya nak.” Ucap penjualnya nampak sangat bersyukur membuat hati Renjana teriris, perasaan sedih itu menghampirinya, rasa rindu dan kasihan saat melihatnya seperti melihat Sadewa. Kulit wajah yang kusut, mata yang hangat, dan juga ketulusan.
“Sama-sama pak.” Renjana tersenyum tipis kemudian kembali menyeberangi jalan menuju ke hotel, semakin lama di sana, air mata Renjana bisa jatuh tanpa permisi.
Renjana menghentikan kakinya di ujung tangga lantai dua saat melihat di lorong kamarnya ada keributan, kamar paling ujung. Keributan yang tidak besar, beberapa pria yang entahlah sedang ribut tentang apa. Renjana kembali melangkahkan kakinya menuju ke kamar yang berjarak satu pintu dari tangga.
“Hei.” Panggilan itu membuat Renjana yang akan membuka pintu kamarnya menggunakan kartu yang dia bawa, dihentikan.
Renjana melihat ke samping dengan tatapan dingin dan malas.
“Ada yang bisa saya bantu?.” Suara Renjana yang sangat tidak bersahabat dan dingin.
“Temanku ada yang ingin berkenalan.”
“Maaf, saya tidak ada waktu.” Renjana tersenyum tipis dan kembali menempelkan kartunya di gagang pintu dan langsung masuk kedalam tanpa mengatakan apapun lagi.
Bukan karena jual mahal, Renjana memang tidak ada waktu untuk berkenalan apalagi interaksi dengan orang lain. Ada banyak hal yang Renjana pikirkan dikepala, bagaimana dia hidup di masa depan, bagaimana menjalani kehidupannya lagi dengan baik.
Saat sedang makan, suara ketukan di pintu kembali mengganggunya, bahkan bukan hanya ketukan pintu tapi juga ketukan di jendela kamarnya yang tepat berada di sebelah pintu. Renjana menghentikan kegiatannya dengan wajah kesal, gadis itu mengambil ponselnya yang ada di meja dan menghubungi resepsionis, dia benci diganggu sehingga memanggil resepsionis agar mengusir mereka yang ada di depan pintunya.
Selang beberapa menit, suara mulai sunyi. Renjana bisa melanjutkan kegiatan makannya dengan tenang.
Pagi ini Renjana keluar dari kamar dengan koper yang dia tarik, keadaan masih sangat sepi. Di bantu pelayan hotel, dia menuruni tangga menuju ke lobby hotel. Sebelum pergi, resepsionis memberikan sebuah kertas kecil pada Renjana.
“Apa ini?.”
“Kamar 2.4 memberikan ini pada anda.”
Renjana melihat isi kertas tersebut, sebuah nomor ponsel dan juga pesan singkat. “Terimakasih.” Setelah menerimanya, Renjana membuang kertas tersebut ke tong sampah yang ada di luar, kemudian masuk kedalam mobil menuju ke bandara.
Renjana berusaha membatasi kehidupan dengan dunia luar, dia berubah 180 derajat dari Renjana yang sebelumnya. Perkenalan dengan orang baru, dia tidak berniat melakukannya, pada akhirnya semua orang yang datang padanya akan pergi. Sama seperti ayahnya yang pergi tanpa pamit, semua orang yang dia sayang pada akhirnya akan meninggalkannya. Sehingga Renjana tidak berniat membuka hati untuk siapapun saat ini, hanya dirinya dan kehidupannya sendiri.
Terkadang perasaan tak berujung itu terasa sangat menyesakkan dan hampa, saat semuanya tidak berjalan sesuai harapan. Desakan dan tekanan terus terasa memabukkan, kapan skripsi selesai, kapan mendapatkan pekerjaan, kapan dan kapan. Sedangkan yang ditanya sibuk dengan pikirannya sendiri, sudah satu tahun sejak kematian Sadewa. Renjana baru saja mendapatkan gelar sarjananya sesuai dengan target yang dia inginkan, walaupun tanpa ayah. Tapi dunia tidak berhenti begitu saja, dunia tetap terus berjalan, hanya ayahnya yang berhenti. Namun, Renjana merasakan bahwa dirinya dan hidupnya juga berhenti seakan hanya berjalan di tempat. Mungkin Sendu tidak menginginkan banyak hal pada putrinya, tapi pandangan orang lain membuat Renjana terombang-ambing di lautan luas penuh dengan hiu ganas.
Semua orang yang pernah merasakan bagaimana sulitnya kehidupan, akan merasakan apa yang Renjana rasakan. Tapi bagi beberapa orang yang hidup di aliran sungai dengan arus tenang, berusaha terus menekan orang lain berjalan di jalan yang tidak diinginkan. Terkadang beberapa orang mencari celah orang lain untuk dijatuhkan hanya karena ingin berusaha lebih baik dari sebuah kesalahan yang ditutupi dengan apik.
Orang tua yang melindungi anaknya dari perilaku buruk dengan menjatuhkan anak lain yang tidak memiliki alat pembela, anak lain yang berusaha tetap waras di tengah langkahnya yang tidak terarah karena sendirian. Renjana merasakan bagaimana sulitnya hidup sendiri, sulitnya bertemu banyak orang. Saat Sadewa masih hidup, pria paruh baya itu selalu menjadi perisai kokohnya. Sekarang perisai itu telah hilang, Renjana terus ditusuk berkali-kali, ditembak berkali-kali, rasanya sakit tapi tidak berdarah.
Kadang pikiran untuk mengakhiri hidup itu datang menghampirinya, rasanya lebih baik mati dengan tenang, dia tidak peduli apakah orang lain mengkhawatirkannya atau tidak, dia tidak takut apapun. Jangankan untuk takut mati, Renjana lebih takut tidak jadi apapun dan tidak bisa melakukan apapun.
Saat melihat lautan, bayangan Renjana hanyalah tenggelam di dalamnya. Saat melihat jalanan, bayangan Renjana hanya tertabrak truk yang berjalan berlawanan arah dengannya. Kematian itu terasa tidak menyedihkan untuk Renjana, kematian itu adalah harapan besar untuk Renjana bisa di hampiri tanpa berusaha melakukan apapun.
“Kerja dimana sekarang? Udah lulus kan?.”
“Udah tante, masih proses nyari kerja.”
“Kalau nggak dapet kerja, nikah aja. Percuma kerja akhirnya juga jadi ibu rumah tangga, lagian kenapa juga sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya di dapur.” Ucap salah satu kerabat Renjana dari pihak ayah yang keluarganya bahkan tidak sempurna.
Hidup itu cara pandang dari ucapan orang, biasanya orang yang mengatakan hal buruk pada orang lain tandanya mereka lebih buruk dari itu sehingga berusaha mendapatkan teman untuk jatuh bersama. Sama halnya dengan kerabat Renjana, mereka tidak lebih baik dari Renjana, tapi berusaha memberikan saran yang sebenarnya menarik Renjana kedalam lubang yang sama.
Beruntung Renjana diajarkan bagaimana sopan santun pada orang yang lebih tua, dia tidak akan menjawab hal yang tidak perlu dijawab, dia hanya akan tersenyum untuk hal yang hanya pantas dijawab oleh senyuman. Hidup itu sebenarnya perkara mudah, tapi bagi Renjana tidak. Masa depan adalah perkara yang sangat sulit, lebih sulit dari bayangannya. Dia tidak pernah berpikir akan terjatuh sedalam ini hanya karena kehilangan ayahnya, dia ingin setidaknya kembali membawa Sadewa di sisinya atau dia yang ikut dengan Sadewa pergi.
Keluarga Renjana sekarang hanya ada Sendu, ibunya. Tapi bahkan sejak dulu Sendu lebih sayang kepada Rama, kakaknya. Tidak banyak yang bisa Renjana katakan mengenai Rama, sejak kecil mereka tidak dekat, mungkin karena jarak umurnya yang lumayan jauh sehingga tidak ada kesempatan untuk Renjana dan Rama dekat seperti adik kakak pada umumnya. Jika adik kakak yang lain akan bertengkar karena hal sepele, rebutan remot tv atau rebutan paha ayam, Renjana dan Rama saling canggung seakan mereka adalah orang asing yang diharuskan hidup untuk saling berinteraksi.
Tapi faktanya banyak ibu lebih sayang kepada anak laki-laki, sedangkan banyak ayah lebih sayang kepada anak perempuannya. Walaupun tidak bisa dipukul rata semua seperti itu, tapi kebetulan Renjana merasakan itu. Sayangnya Sadewa tipe ayah yang cuek dan keras dalam mendidik anak, sehingga Renjana tidak merasa bahwa Sadewa menyayanginya. Hingga saat pria paruh baya itu benar-benar meninggalkannya di dunia ini, Renjana baru menyadari bahwa semua yang Sadewa lakukan semata-mata untuk Renjana bisa hidup lebih baik dan menjadi orang yang lebih baik.
Ada beberapa hal yang sulit untuk diwujudkan, ada beberapa hal menekan seseorang untuk jatuh lebih dalam. Perasaan Renjana hancur berantakan, bukan karena patah hati, tapi karena frustasi. Kalimat semua orang yang menjatuhkannya lebih dalam saat dia terpuruk, bukannya mendapatkan ketenangan, Renjana malah mendapatkan hal sebaliknya. Dia tidak peduli kapan dia bisa bekerja setelah lulus kuliah, dia tidak peduli apakah membutuhkan satu tahun atau dua tahun untuk mendapatkan pekerjaan yang dia inginkan. Hanya saja semua orang menekannya seakan-akan dia sedang berada di fase menyusahkan.
Renjana pikir dapat atau tidaknya pekerjaan, tidak akan mengubah apapun untuk orang lain. Baik sekarang atau nanti, Renjana tidak akan memberikan kontribusi yang menguntungkan untuk orang lain yang sedang membicarakannya. Tapi semakin hari semua itu menekannya, bahkan Renjana takut untuk mendatangi rumah kerabat jauh hanya karena pertanyaan kenapa ga kerja, kapan kerja, kerja dimana, kapan nikah dan lain sebagainya. Renjana sangat muak dengan semua itu, dia sudah kesulitan saat ini, ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Semua orang tidak akan tahu berapa banyak dia mengajukan lamaran pekerjaan, berapa banyak dia melakukan tes kerja, dan berapa banyak dia bertemu untuk wawancara HRD. Renjana tahu bahwa dia tengah berproses, tapi semua orang tidak butuh proses, mereka hanya butuh hasilnya saja, sama seperti anak kecil yang harus mendapatkan peringkat pertama tanpa harus menjelaskan bagaimana prosesnya.
Angin menerpa rambut panjangnya, suara deburan ombak sama sekali tidak mengusik indra pendengarannya, kepalanya seakan kosong. Perlahan dinginnya air laut menyentuh kakinya, semakin tinggi dan terus menenggelamkan tubuhnya, tatapan Renjana masih kosong, pikirannya benar-benar melayang hingga nafasnya mulai tercekat. Perlahan air matanya jatuh membasahi pipi, air telah menenggelamkan hampir seluruh tubuhnya saat tiba-tiba hujan turun. Wanita itu mendongakkan kepala keatas, melihat langit yang sudah gelap, sedangkan air hujan mulai membasahi wajah melebur menjadi satu dengan air matanya.
Renjana memejamkan mata, dinginnya air lautan mulai menenggelamkan seluruh tubuhnya. Air yang semula hanya mengenai kulit, mulai masuk kedalam rongga, nafasnya tercekat. Sebuah sentuhan melingkar di pergelangan tangannya, mata Renjana yang semula terpejam, mulai terbuka. Dalam kegelapan dia sadar bahwa ada yang memegang pergelangan tangannya, walaupun tubuhnya semakin jauh masuk ke dalam air.
Rasa sesak itu mulai menghampirinya, Renjana tau bahwa hari ini dia akan mati. Harapan bahwa semuanya berakhir lebih baik setelah ini, dia berharap setidaknya semua orang akan melupakan kisahnya perlahan, seperti semua orang yang melupakan kisah Sadewa. Saat manusia mati, maka dunia akan terus berputar, kehidupan akan tetap berjalan. Sekarang Renjana lebih tenang walaupun dia tidak pernah merasakan bahagia di dunia, setidaknya sekarang semuanya telah berakhir. Padahal Renjana hanya ingin hidup mengejar impiannya, tapi semua orang berusaha mengejarnya seakan dia adalah buronan yang harus segera masuk kedalam penjara.
Kematian Renjana bukan salah siapapun, kematian itu adalah takdir, namun cara bagaimana dia menjumpai waktunya adalah sebuah pilihan dan Renjana memilihnya lebih cepat. Hanya perihal bahwa Renjana tidak ingin berlama-lama pada kisahnya yang tidak ingin dia kejar lagi, masalahnya sekarang sudah berakhir di dunia, dia hanya berusaha menghadapi yang tersisa yaitu akhir sebuah kehidupan yang sesungguhnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!