Rumah besar dan megah itu terletak di kawasan elite Surabaya. Namun penghuninya hanya tiga orang.
Mereka terdiri dari rumah tuan rumah, seorang asisten rumah tangga beserta anak lelakinya yang masih berumur tujuh tahun.
Tuan rumah bernama Sunyoto yang sudah berusia lima puluh tahun, Sedangkan asisten rumah tangga bernama Suryani dua puluh tujuh tahun, dengan seorang anaknya yang benama Adi yang berumur tujuh tahun.
Keluarga Sunyoto sangat baik, sehingga memperbolehkan Suryani membawa anak, mengingat perempuan yang sudah tiga tahun mengabdi itu, adalah orang tua tunggal bagi Adi. Bapaknya Adi sudah meninggal saat bocah itu masih dalam kandungan ibunya.
Istri Sunyoto sudah dua tahun ini menderita lumpuh, dan memilih tinggal di vila mereka di luar kota, ditemani oleh dua pelayan. Sedangkan anak tunggal mereka melanjutkan kuliah ke Amerika.
Hari ini seperti biasa Sunyoto melakukan semua pekerjaannya diruang atas rumahnya yang megah dan luas dan nyaman itu.
Suryani seperti biasa mengantarkan teh panas tanpa gula ke ruang kerja majikannya. Siang hari sebelum makan siang lelaki itu memang suka minum segelas teh hangat. Maksudnya supaya tak terlalu banyak makan nasi, mengingat usia sudah tak muda lagi.
"Makan siang mau dibawa ke ruangan ini, atau disiapkan di ruang makan saja, Tuan?" Suryani dengan santun berdiri di samping majikannya.
Sunyoto memandang pembantunya yang memiliki tubuh langsing dan wajah lumayan cantik. Entah mengapa tiba tiba hasrat kelelakiannya bergolak.
Dua tahun tak pernah mendapat pelayanan dari istrinya itulah gejolak yang tiba-tiba muncul begitu melihat tubuh sintal Suryani yang sudah melayani segala kebutuhannya, kecuali di atas tempat tidur.
Dia berusaha menahan gejolak yang mendesak dan tak dapat dia kendalikan. Badannya tiba-tiba memanas dan napasnya tersengal. Sungguh sangat menyiksa batinnya.
“Aku mau kamu memijit aku duu, Sur," ujar Sunyoto yang membuat Suryani tertegun ragu.”Ayo...”
“Tapi...”
“Badanku pegel pegel, Sur, ayolah...”
“Akan saya panggilkan tukang pijit, Tuan, supaya pegel pegel di badan Tuan tuntas hilang," usul Suryani dengan nada suara yang sopan.
Tapi sebelum Suryani beranjak untuk menghubungi tukang pijat, tiba tiba saja Sunyoto berdiri dan mendorongnya, hingga ia terjengkang di sofa empuk.
"Oh!!" Suryani terkejut. Ada apa dengan tuannya. Selama ini biasanya baik baik saja. Menyadari ada yang beres, segera ia berkelit untuk dapat meloloskan diri.
Sunyoto yang sudah kemasukan setan, dan tak lagi dapat menahan libidonya yang dua tahun ia tahan. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Suryani yang berusaha berkelit untuk melepaskan diri, langsung saja ia tarik.
"Lepaskan Tuan!!" Pekik Suryani berusaha mendorong tubuh Sunyoto yang berusaha menindihnya.
Rupanya lelaki paruh bayah yang berpendidikan tinggi serta tampak selalu menjaga prilakunya ini, tak kuasa melawan setan yang telah menguasai pikiran, dan membekukan otak cerdasnya. Makanya ia tak perduli menindih perempuan yang selama tiga tahun mengabdi itu, tanpa bisa dicegah
“Jangan Tuan...!” Suryani berusaha melepaskan diri. Mendorong tubuh Sunyoto yang tegap dan gempal diusia yang tak muda lagi itu. Bahkan menerjang sekuat kemampuan, supaya bisa lolos dari rangkulan lelaki yang napasnya memburu itu.
"Ayo Sur sekali saja, akan kubiayai sekolah anakmu sampai perguruan tinggi kalau kamu mau melayaniku sekali ini saja ..."" bujuk Sunyoto diantara napasnya yang semakin memburu.
Suryani sangat ketakutan melihat sepasang mata tuannya begitu lain dari biasanya. Tatapan itu kini begitu liar.
"Jangan Tuan lepaskan saya tolong lepaskan Tuan ...!" Suryani menghibah dalam tindihan tubuh Sunyoto yang berhasil mengunci kedua kakinya, hingga sulit untuk bergerak, apalagi menerjang.
"Layani aku Sur!!" Sunyoto yang bagai orang kesurupan tak lagi ingat akan etika dan moral dirinya yang akan hancur oleh keberingasannya itu.
"Jangan Tuan jangan!!!" Teriak Suryani.
Teriakan itu terhenti karena Sunyoto langsung menutup dengan ciuman penuh birahi.
Dan Sunyoto bagai memiliki tenaga rangkap berusaha untuk mencapai maksudnya dengan napas yang memburu.
"Uefff ..." Tersengal Suryani berusaha melepaskan bibirnya dari ciuman Sunyoto yang telah bertekuk lutut dalam pengaruh birahi yang tak tersalurkan itu, dan minta penyaluran.
Adi yang baru pulang sekolah mendengar teriakan ibunya langsung saja berlari ke ruang atas.
Bocah tujuh tujuh tahun yang masih menggunakan seragam sekolah itu , panik saat melihat ibunya yang meronta di bawah tubuh Sunyoto.
Yang terlintas pada benaknya Tuannya menyakiti ibunya. Mau mencekek ibunya.
Adi tak mau ibunya disakiti. Ia tak mau ibunya mati. Celingak celinguk mencari sesuatu untuk menolong ibunya.
"Ibu jangan mati ...!" Seru bocah yang mencari sesuatu untuk menolong ibunya.
Sonyoto yang sudah dikuasi nafsu tak menyadari ada orang lain di ruangan itu.
Adi yang ketakutan ibunya mati dicekik tuannya, langsung meraih pajangan kristal berbentuk asbak. Lalu dihempaskan sekuat tenaga pada Sunyoto , dan mengenai kepalanya.
Sunyoto mengerang sekaligus merosot dari tubuh Suryani. Terjatuh ke lantai dengan kepala bersimbah darah.
Suryani langsung turun dari Sofa. Memandang tuannya panik.
"Tuan . Tuan...!"
Sunyoto diam tak bergerak.
Melihat Sunyoto bersimbah darah Adi mundur ketakutan.
Suryani pucat dan cemas menatap majikannya yang tak bergerak. Lalu menatap Adi yang ketakutan.
Suryani mencoba lagi memanggil tuannya, "Tuan .. Tuan ..."
Sunyoto tetap diam bagai beku.
Lalu disentuhnya leher Sunyoto. Tak ada denyutannya. Juga pada nadi pergelangan tangan lelaki itu. Tak ada pula tanda tanda kehidupan. Dan telunjuknya didekatkan ke hidung Sunyoto.
"Tuan meninggal bagaimana ini?"
"Adi..." Suryani tercekat menatap anaknya.
"Ibu, Tuan mati, ya ..?" Adi memeluk ibunya ketakutan. "Tuan tadi mencekek Ibu makanya Adi pukul. " bocah itu menangis ketakutan.
"Adi duduk dulu, ya, Nak...," dibimbingnya anaknya duduk. Setelah itu segera menelepon rumah sakit untuk minta bantuan Ambulance.
Setelah itu Suryani segera bertindak. Dengan panik mengambil pajangan yang dipukulkan Adi tadi. Melap bekas tangan anaknya dengan ujung dasternya. Lalu menyapu seluruh permukaan pajangan dengan jemarinya.
"Tuan. mati ya, Bu?" Adi ketakutan lalu terisak menangis."Maafkan Adi Tuan, habis tadi Tuan mencekek Ibu Adi, hu ... hu ...hu ..."
Suryani semakin bingung dan panik.
"Bu..." Adi gemetar dalam pelukan ibunya. Menangis ketakutan.
"Jangan takut ada Ibu sayang..." Suryani berpikir cepat harus menggantikan posisi Adi. Anaknya masih kecil tak mengerti pembunuhan. Yang dilakukannya hanya demi melindungi ibunya.
Sebagai seorang ibu yang mengandung dan melahirkannya, betapa Suryani rela menggantikannya. Biarlah dirinya yang dipenjara. Adi masih panjang perjalanan hidupnya.
Ia tak mau anaknya dimasukkan dalam penjara anak anak. Di sana justru akan bertemu dengan ragam karakter anak anak nakal. Ia khawatir sekeluarnya dari tempat pembinaan anak anak nakal, justru Adi akan menjadi anak nakal beneran. Itulah pemikiran Suryani yang sangat sederhana. Hanya cemas dan khawatir tentang anaknya.
Adinya penurut. Bukan anak nakal. Kalau hari ini melakukan pembunuhan bukan karena ingin menyakiti Tuan Sunyoto. Semata mata hanya ingin menolong ibunya. Namun begitu Suryani berharap tuannya masih dapat tertolong.
"Ibu apa Adi mau ditangkap polisi?" Adi ketakutan. Ia tahu orang jahat akan ditangkap polisi. "Adi jahat ya, Bu, Adi sudah membunuh Tuan. Hu ...hu ... hu Adi takut, Bu ..." kedua lengan kecil Adi merangkul ibunya.
"Adi anak baik. Adi kebanggaan Ibu, jangan nangis sayang ..." dipeluknya buah hatinya. Ia tahu cepat atau lambat mereka akan berpisah.
Adi menoleh pada Sunyoto yang tergeletak bersimbah darah tak bergerak lagi.
"Maafkan Adi, Tuan ..." Adi terisak. Sepasang matanya menyiratkan rasa takut dan sedih. Lalu menoleh pada ibunya, "Bu apakah betul Tuan akan mati?" Tanyanya cemas.
" Berdoa semoga ada mukjizat Tuan tertolong, ya," bisik Suryani.
"Ya, Bu, Aku ingin Tuan hidup lagi, aku mau minta maaf pada Tuan, tapi Tuan jangan mencekek ibu lagi, ya, gitu,"
"Ya, Nak, ya ..." Suryani mengusap air mata Adi.
Ayo kita turun, Nak, cepat, " diajaknya Adi ke kamar mereka.
Suryani tahu tak sempat lagi memberi anaknya makan siang. Dikepalnya nasi putih, lalu disuapkan pada anaknya, "Makanlah untuk isi perutmu,"
Adi menurut.
"Ayo minumlah teh manis ini habiskan ..," Suryani memberikan segelas air teh hangat manis.
Adi memang lapar. Di sekolah ia tak biasa jajan banyak. Satu suap nasi dan Satu gelas teh manis cukup untuk mengisi perut kosongnya.
Tak mau membuang waktu Suryani memasukkan baju Adi. Tak lupa semua tabungan uangnya untuk keperluan anaknya. Juga sebuah box berisi nasi dan lauk.
"Adi cepat tinggalkan rumah ini, pergilah sejauh mungkin ..."
"Bu Adi mau sama Ibu, Adi takut ..." sinar mata Adi membuat Suryani tak tega melepas anaknya sendiri. Tapi ini harus dilakukan. Ia tak mau Adi jadi sasaran kemarahan keluarga Sunyoto.
"Adi dengar Ibu tas bajumu ada semua uang Ibu, pergunakan untuk makan, Nak. Semoga Allah melindungimu sayang ..." Pecah tangis Suryanni mencium ubun ubun anaknya. Lalu mencium kedua pipi Adi dengan pedih tak tertahankan.
"Ibu ..." Adi masih enggan pergi ia memegang baju ibunya.
“Ayo, Nak cepat pergilah sejauh mungkin sebelum polisi dan keluarga Tuan datang...” didorongnya dengan hati terpaksa anaknya yang sesunggukan enggan meninggalkannya.
Ibu dan anak berpelukan dengan hati pilu.
”Sayang pergilah, jangan pernah mencari Ibu. Jaga dirimu dan Ibu tidak akan rela jika dirimu tersakiti, hati hati simpan uangnya,ya..” diciumnya lagi bocah menangis itu.
Sesungguhnya ia berat hati melepas Adi di dunia luar yang liar dan tak terjamin keamanannnya.
Pedih tak tak terkirakan karena tak memiliki kesempatan membesarkan Adi. Terlebih membiarkan anaknya hidup lepas di dunia luar.
“Ibu...Aku takut...aku ikut Ibu saja..” Adi memeluk erat ibunya dengan badan gemetar. Bocah itu enggan berpisah dengan ibunya.
"Kalau Adi tidak pergi nanti Ibu akan dipukul oleh keluarga Tuan," sengaja Suryani mengarang cerita. "Adi tidak ingin Ibu dipukul, kan?"
“Tapi yang membunuh Tuan, Adi, kan, Bu?" Potong Adi menatap ibunya penuh rasa takut. Air mata pemuda kecil tampan itu mengaliri kedua pipinya.
“Huss...” Suryani membekap bibir anaknya dengan dengan hati pedih, ”Anak laki laki tidak boleh menangis. Harus kuat, kan Ibu selalu bilang begitu..."
Adi mengangguk cepat. Punggung tangannya segera menyeka air matanya. Dan isakan tangisnya seketika terhenti, ditahannya sekuat mungkin, tak mau mengecewakan ibunya. Harus jadi anak penurut supaya ibunya senang.
Suryani tersenyum dalam kesedihannya melihat usaha Adi menuruti nasehatnya itu.
"Bu, tadi Tuan jahati Ibu. Adi ingin membela Ibu..." pelan dan hati hati Adi berkata pada ibunya yang berjongkok di depannya itu.
"Adi tidak bersalah... Adi hanya membela Ibu, Adi hanya kasihan pada Ibu, makanya ayo cepat tinggalkan rumah ini, sayang, kalau Adi masih di sini pasti Ibu yang akan dipukul. Ayo pergilah sayang dan jangan cari Ibu...semoga kita bertemu lagi, Nak...” diciumnya anaknya berulang kali sebagai tanda sayang dan kasihnya dalam perpisahan yang sama sekali tidak disangkanya itu.
“Ibu ...” Adi mempererat pelukannya . Tangisnya pecah. Tubuhnya bergetar ketakutan. Dalam pikirannya ia tak ingin ibunya disakit.
Adi percaya pada ucapan ibunya. Selama ini ibunya tak pernah berbohong. Ia tak ingin ibunya dipukuli keluarga tuannya, makanya ia harus pergi meninggalkan rumah majikan ibunya.
“Anakku...” gemetar suara Suryani mencium lagi ubun ubun anaknya. "Ya Allah lindungilah anak Hamba di luar sana jauhkan dari orang jahat.
Mereka berpelukan. Saling bertangisan. Saling berat untuk berpisah. Beberapa detik mereka saling menyatukan hati yang penuh kasih. Saling sayang dan sama sama terikat satu dan lainnya sebagai anak dan ibu.
“Okh..!” Suryani terkejut saat mendengar deru mobil mendekat, mukanya pucat, "Ayo, Nak cepat tinggalkan rumah ini, pergilah jauh dan hati hati..” tertatih ditariknya Adi melewati pintu belakang supaya tidak terlihat anggota keluarga tuannya yang pasti tak terima atas kematian Sunyoto.
“Ibu ...” rengek Adi memegang tangan Suryani enggan melepaskan pegangannya pada tangan ibunya.
"Kalau Adi sayang Ibu nurut, kan sama Ibu, " ditatapnya anaknya dengan air mata berlinang.
"Adi sayang Ibu..." bergetar suara Adi, sedih harus berpisah dari ibunya. Takut dan bingung harus pergi kemana sendirian tanpa ibu yang selama ini selalu bersamanya.
"Lupa pesan Ibu, ya, anak laki laki nggak boleh cengeng..." Suryani menghapus air mata anaknya.
"Ya..." Adi mengangguk, dan berusaha menghentikan isakannya, "Adi nggak cengeng..." lanjutnya.
"Pintar..." Suryani memaksakan diri tersenyum.
Adi ikut tersenyum. Tentu saja untuk menyenangkan ibunya.
"Jangan pernah ceritakan pada siapa pun peristiwa ini, nanti Ibu disiksa di sini, ya Nak" Suryani khawatir anaknya dimusuhi orang jika tahu peristiwa yang sebenarnya.
"Ya, Bu, " angguk Adi dengan air mata berderai.
"Jangan sebut nama Ibu pada siapa pun, jangan bilang Adi anaknya Ibu Suryani, ya,"
"Ibu,"
"Adi harus nurut sama pesan Ibu, ya kalau sayang sama Ibu,"
"Adi sayang ibu," angguk Adi dengan air mata berlinang.
Lagi Suryani mencium untuk terakhir kalinya ubun ubun Adi.
Deru mobil semakin dekat. Suryani semakin panik. Maka dengan keterpaksaan mendorong anaknya untuk menjauhi rumah majikannya. Sedangkan Adi malah ingin memeluk ibunya.
Dorong mendorong sangatlah membuat suasana ibu dan anak itu mencekam.
“Adi sayang Ibu?”
Adi mengangguk
“Mau nurut sama Ibu?”
Mengangguk lagi.
“Ingin Ibu bahagia?”
“Ya,”
“Sungguh?”
“Ya beneran, Bu...” angguk Adi menyeka ingusnya yang berbaur dengan air matanya yang mengalir deras.
Suryani mendekat lagi mencium muka Adi,”Kalau begitu jadilah anak penurut, pergilah jauh supaya Ibumu ini senang punya anak penurut...”
“Ibu...” sedan Adi.
“Ya pergilah...”
Adi melangkah mundur selangkah demi selangkah dengan air mata berlinang menatap ibunya.
Begitu pun Suryani tak melepas sedetik pun tatapannya pada buah hatinya.
"Nak jika anak Tuan tahu kamu yang membunuh papanya pasti dia akan membalas padamu. Mereka orang kaya nanti Ibu takut tak bisa menyelamatkanmu. Pergilah Nak ... Titip Adi ya Tuhan jauhkan dari orang jahat.
Mereka saling melambai dengan cucuran air mata.
Adi yang enggan meninggalkan ibunya terpaksa pergi dengan air mata tak henti berderai. Ini perpisahan pertama dengan ibunya..
“Pergilah, Nak...” menahan tangis Suryani memandang anaknya yang menoleh padanya dengan tatap ketakutan.
"Harus kuat. Adi harus kuat!!" Suryani setengah berteriak.
"Ya Adi harus kuat!" Adi juga setengah berteriak.
Suryani menatap langkah Adi yang semakin menjauh.
Di ujung jalan Adi masih menoleh sesaat sebelum berbelok. Menatap ibunya Bu dari kejauhan.
Begitu pula Suryani.
Mereka masih berdiri saling bertatapan dari kejauhan.
Lalu Suryani memberi kode dengan tangannya supaya Adi cepat pergi.
Adi mengangguk dengan air mata berlinang. Namun linangan air matanya tak lagi bisa dilihat ibunya karena mereka berdiri dalam jarak hampir dua puluh lima meter.
Begitu pun dengan Suryani. Linangan air matanya mengiringi sosok Adi yang perlahan mulai menghilangkan di belokan jalan.
Saat anaknya tak tampak lagi barulah Suryani masuk ke dalam rumah majikannya Siap menerima hukuman atas meninggalnya Sunyoto.
Dua Puluh Tahun Kemudian
Suryani mencium tanah tiga kali, sebagai bentuk sujud syukur saat dirinya sudah berada di luar gerbang penjara wanita.
Dua puluh tahun tembok tinggi itu telah memisahkannya dari dunia luar.
Udara bebas luar penjara akan menjadi bagian kehidupannya untuk hari ini dan ke depannya.
“Selamat ya, Bu Suryani, hati hati..” Ibu Sipir penjara wanita yang mengantarkannya tersenyum, lalu menyalami perempuan yang semasa dalam tahanan menjalaninya dengan tertip. Bahkan kepala sel menugaskannya sesekali bantu bantu masak di dapur.
"Ya, Ibu, sama sama,"
Suryani membiarkan udara pagi hari menerpa wajahnya.
Sejuk.
Kesejukan yang pertama itu dirasakan di relung hatinya. Nyaman karena dirinya sudah bebas merdeka.
Tapi bingung mau kemana sekarang?
“Adi...” bibirnya tergetar menyebut nama anaknya.
Dua puluh tahun ia tak melihat anaknya. Bocah tujuh tahun yang dimintanya pergi menjauh dari rumah majikannya.
Terbayang saat Adi ia suruh pergi dengan paksa meninggalkan rumah majikannya. Tertatih anaknya melangkah, sesekali menoleh ke belakang tatapnya mengiris jiwa.
Air mata Suryani mengingat bagaimana Adi melangkah meninggalkannya.
"Adi takut, Bu ..." terngiang getar suara Adi di telinganya.
"Adi ... "
Tiba tiba saja raut muka Suryani meredup. Sinar matanya yang semula berbinar karena telah menghirup udara bebas, muram, sedih merasakan rindu pada buah hatinya.
Ia tak marah anaknya tak datang menjenguk, karena saat ia ditangkap Adi sudah tak bersamanya. Bocah itu sudah disuruhnya pergi jauh sebelum polisi datang.
Suryani akan lebih nyaman jika anak lelakinya itu tak pernah menginjakkan kakinya di penjara. Demi ketenangannya, mungkin juga demi keselamatannya. Ia khawatir keluarga majikannya yang terbunuh akan mencari anaknya. Itulah kekhawatiran seorang ibu, mungkin juga berlebihan.
Suryani tak perduli. Keputusannya itu sudah benar bagi seorang ibu yang ingin melindungi anak kandungnya.
Saat ini Adi sudah pemuda dewasa. Ada senyum bahagia di bibir Suryani, walau tak tahu ia harus kemana mencari anaknya. Sudah berumur dua puluh tujuh tahun Adinya. Seperti apa rupa dan sosok anaknya kini. Ingin sekali ia bertemu. Tapi dimana harus mencari anaknya itu?
Rasa rindu yang menggebu memenuhi rongga dadanya. Rindu akan diri anaknya, sudah ia rangkum sejak hari pertama berada di tahanan polisi.
Rindu yang hampir saja meledakkan dadanya. Namun sebesar apa rindu itu ia simpan di sana, tetap akan tertampung. Karena Allah yang memberi kekuatan pada setiap rongga dada makhluk ciptaanNya.
Kalau saja tuannya tidak bersikap kurangajar pasti ia masih berkumpul dengan Adi. Tak akan pernah Adinya jadi pembunuh. Tak akan dirinya mendorong Adi kecil meninggalkannya.
"Adi dimana kamu, Nak, baik baikkah selama ini?"
Dalam kerinduannya yang teramat dalam pada anaknya, membuat benaknya mendatangkan bayang seorang pemuda tampan berseragam sebuah lembaga instansi pemerintah.
Lalu berganti dengan seragam lain. Dan terakhir tampil bersahaja dengan setelan baju koko.
"Adi ..."
"Ibu ..."
Mereka berpelukan.
Ah aku hanya berkhayal.
Suryani menghapus air matanya.
Kembali terbayang Adi dalam penampilan berbeda seperti dalam bayangannya tadi.
Oh mengenakan pakaian apa pun Adinya tetap tampan dan menawan bagi dirinya. Karena dari rahimnya anaknya itu terlahir.
Nama yang terdiri tiga huruf itu begitu berarti. Begitu merekrut seluruh jiwa raganya. Adi yang disebut dengan getaran bibirnya itu adalah sesuatu yang sangat berharga. Merupakan belahan jantungnya. Permata hatinya. Karena Adi dia tetap tegar dan harus kuat.
"Bu Suryani ..."
Suryani menoleh.
Sipir penjara wanita itu berlari lari kecil mendekat pada Suryani yang berjalan tanpa tujuan.
"Bu Yani ada pekerjaan kalau Ibu mau,"
"Mau, Bu, mau ..." angguk Suryani cepat. Bukankah setelah bebas perlu menghidupi diri?
"Ini alamatnya, ini ongkos untuk Ibu." Ibu Sipir penjara itu memberikan alamat serta uang seratus ribu rupiah," Pak Sugandi Bos suami saya akan menikahkan anaknya. Ibu bisa bantu bantu di rumahnya ya, kebetulan kemarin istri beliau telepon saya,"
"Ya, Bu,"
"Biar nanti saya telepon ya "
"Ya, Bu terima kasih, " angguk.Suryani sangat senang mendapat pekerjaan.
"Oh ya, Bu, jangan tersinggung, ya ..." Sipir penjara terdiam ragu.
"Apa, ya, Bu?"
"Hem begini, supaya nggak jadi bahan pertanyaan dan sebagainya, sebaiknya Ibu Yani jangan bilang kalau baru bebas penjara, tak usa mereka tahu. Bilang saja darimana terserah Bu Yani, ya, "
"Ya, Bu," rupanya Suryani juga maklum jika orang enggan menerima pekerja yang baru bebas dari lapas. Terlebih lagi dirinya dihukum dengan tuntutan membunuh majikan. Pastilah orang akan akan ngeri.
Sedangkan ibu sipir penjara khusus untuk perempuan itu sudah kenal karakter Suryani, makanya berani merekomendasikan perempuan empat puluh tujuh tahun itu pada keluarga bos suaminya.
*
Di sebuah rumah mewah dan besar kini Suryani berada. Seorang pelayan membawanya ke dalam. Tapi bukan ke ruang utama rumah bertingkat itu. Melainkan ke bangunan khusus dihuni para pekerja. Dari sopir, satpam atau petugas keamanan rumah tersebut, hingga tempat yang dihuni oleh pelayan dan kepala asisten rumah tangga.
Suryani duduk menunggu di ruang sebelah dapur.
"Air putih, Bu," pelayan memberikan segelas air putih.
"Terima kasih, Nak," haus memang, tapi Suryani tak lantas meneguk air di dalam gelas yang berembun, karena air yang disuguhkan adalah air dari kulkas atau dispenser.
"Silahkan diminum Ibu," seru pelayan yang masih muda itu.
"Ya," barulah Suryani meneguk hampir habis isi gelas di tangannya, "Maaf haus jadi gelasnya bocor," malu-malu Suryani meletakkan gelas yang isinya sisa sedikit itu di atas meja.
Pelayan itu tertawa kecil, "Tidak apa Ibu, disuguhkan memang untuk diminum."
"Ya juga, ya," angguk Suryani.
"Ibu namanya?"
"Panggil Bu Yani atau bi Yani terserah,"
"Saya Yanti, Bu sebagai pelayan di sini sudah tiga tahun, betah dan nyaman kerja di sini,"
"Umur Nak Yanti?"
"Delapan belas tahun," tersenyum Yanti, "Saya dari kampung. Ibu saya sakit sakitan, makanya saya kerja untuk membantu biaya hari-hari ibu dan tiga adik saya," cerita Yanti tanpa merasa terbebani.
"Oh anak berbakti, semoga rejekiku lancar, Nak," hati Suryani simpati pada gadis muda yang terlihat begitu menikmati pekerjaannya.
"Aamiin, saya ke dalam dulu ya, Bu, sebentar lagi Mak Minah yang nentuin tugas Ibu Yani,"
"Silahkan, Nak Yanti,"
Yang disebut Mak Minah adalah perempuan berbadan gempal. Umurnya melewati Lima puluh tahun.
"Assalamu'alaikum," seru mak Minah ramah pada Suryani.
"Wa'alaikum salam," segera Suryani berdiri menyalami Mak Minah.
"Ibu Yani, kan?"
"Ya, ini Mak Minah?" Suryani tersenyum.
"Pasti Yanti yang cerita?"
"Ya Mak Minah yang akan menentukan pekerjaan saya di sini,"
"Begitulah Bu Yani, saya ikut Nyonya sudah dua puluh tahun, sejak Non Dila yang mau menikah dua Minggu lagi, masih kecil, masih umur tiga tahun," lancar dan banyak tersenyum si Mak Minah ternyata.
"Wah hebat Mak Minah ini bertahan sampai puluhan tahun,"
"Mau kerja apalagi, yang penting bisa biayai anak anak, eh jadi ngelantur saya, begini, kan mau ada pesta jadi di sini butuh tenaga tambahan. Maklum yang mau kawin anak bos, yang bungsu, jadi ya spesial hebohnya.
Terdengar deru mobil.
"Oh itu Tuan muda Adi,"
"Tuan muda Adi?!" Suryani tiba tiba terusik begitu mendengar nama Adi.
"Calon suami Non Dila,"
"Oh," agak gugup Suryani, tapi berusaha tenang, pasti bukan Adinya, toh nama Adi banyak diluar. Sana."Namanya bagus Adi," tanpa sadar Suryani memuji nama persis dengan nama anaknya.
"Ya Tuan Adi Setia Alam,"
Terbelalak Suryani. Itu nama Adi anak yang begitu dirindukannya.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!