Langit sore itu kelabu, seolah ikut menangisi nasib Arini Maharani. Di depan rumah kecil bercat pudar itu, berdiri dua mobil hitam mewah, mencolok di antara deretan rumah warga kelas menengah yang sederhana. Warga sekitar hanya bisa memandang penasaran dari balik tirai, tak ada yang berani bertanya.
Arini baru saja turun dari angkot, memeluk tas kuliahnya sambil menghela napas lelah. Ia tak tahu bahwa sore ini bukan sekadar akhir dari hari yang panjang tapi awal dari akhir hidupnya yang selama ini ia kenal.
“Arini! Cepat masuk,” panggil ibunya dari balik pintu, suara tergesa dan bergetar.
Gadis itu melangkah masuk, bingung. Suasana rumahnya terasa mencekam. Di ruang tamu, duduk tiga pria berbadan besar, berpakaian serba hitam. Ayahnya duduk di sudut, menunduk tanpa suara, wajahnya penuh keringat dingin. Ibunya mondar-mandir, gelisah. Dan di tengah semua itu, berdiri seorang pria dengan aura paling mencolok.
Tinggi, berpakaian jas hitam mahal, rambut disisir rapi, wajahnya tampan namun dingin seperti batu. Mata tajamnya menatap lurus ke arah Arini, seolah menelanjanginya tanpa ampun.
“Dia?” tanya pria itu, suara rendah dan penuh kuasa.
Ayah Arini mengangguk pelan. “Ya... dia putri kami. Seperti yang disepakati.”
“APA?!” Arini sontak menoleh, dadanya serasa ditusuk. “Apa maksudnya?!”
Ibunya mendekat, mencoba menggenggam tangan Arini, tapi ditolak mentah-mentah. “Kami tidak punya pilihan, Nak... Kami butuh uang itu. Bisnis Ayahmu bangkrut, utang sudah menumpuk. Kalau tidak, kita semua bisa mati...”
Arini menatap ibunya dengan mata berair. “Jadi kalian menjual aku?! Seperti barang?!”
Pria itu melangkah maju. “Namaku Leonardo Dirgantara. Mulai detik ini, kau milikku. Aku sudah membayar lunas.”
Arini mundur, tercekik oleh kenyataan. Ia menatap ayahnya, memohon penjelasan. Tapi pria yang selama ini ia panggil ‘Ayah’ hanya menunduk, diam seperti pengecut.
“Tidak… Aku nggak mau ikut! Aku bukan pelacur!” teriak Arini gemetar.
Leonardo tersenyum miring, dingin. “Bukan soal mau atau tidak. Kau sudah dijual. Kontraknya sudah sah. Kalau menolak, keluargamu akan menanggung akibatnya.”
Salah satu pria bertubuh besar mendekat, menarik lengan Arini kasar. Ia berontak, menjerit, namun tak ada yang menolong.
“LEPASKAN AKU!! MAMA!! AYAH!! TOLONG!!!”
Tangisan dan teriakan Arini menggema di rumah kecil itu, tapi hanya ditanggapi dengan air mata dan diam. Ia digiring keluar, dimasukkan ke dalam mobil hitam, tanpa sempat membawa apapun selain baju di tubuhnya.
Perjalanan ke tempat Leonardo terasa panjang dan mencekam. Arini duduk di kursi belakang, terjepit di antara dua pria asing. Kedua tangannya diborgol. Matanya sembab, mulutnya masih gemetar.
“Kenapa aku... Kenapa kalian tega...”
Leonardo duduk di depan, tak menoleh. Ia hanya bicara tanpa emosi. “Ayahmu punya utang besar pada organisasiku. Kau adalah jaminannya. Sederhana.”
“Kenapa tidak ambil rumah kami? Ambil apapun, bukan aku!”
“Karena hanya kau yang berharga, Arini. Benda rusak tidak ada nilainya. Tapi kau... masih muda, cantik, dan murni. Kombinasi yang sempurna.”
Arini memalingkan wajah, muak. Ia merasa jijik, marah, hancur. Tak ada lagi yang tersisa. Tidak ada harga diri, tidak ada keluarga, tidak ada perlindungan.
Sesampainya di mansion Leonardo tempat yang lebih mirip penjara emas daripada rumah Arini langsung dikurung di kamar luas dengan jendela tinggi dan pintu baja.
Tubuhnya lemas, tapi pikirannya penuh perang. Ia ingin mati. Tapi ia juga ingin melawan.
Malam itu, pintu terbuka. Leonardo masuk sendirian, kemeja hitamnya terbuka dua kancing. Cahaya dari lampu gantung menyinari tatapan tajamnya.
“Kau akan tinggal di sini mulai sekarang,” ucapnya pelan. “Jangan mencoba kabur. Rumah ini dijaga ketat, dan semua pintu hanya terbuka dengan sidik jari-ku.”
Arini menatapnya penuh benci. “Apa kau bangga telah menghancurkan hidup seorang gadis yang bahkan tidak kau kenal?”
Leonardo mendekat. “Aku tidak butuh mengenalmu. Aku hanya ingin menguasaimu.”
Arini menahan napas. Wajah pria itu terlalu dekat. “Kau monster…”
“Ya,” jawabnya tanpa ragu. “Tapi monster yang kini menjadi tuanmu.”
Malam itu, Arini menangis dalam diam, memeluk diri sendiri. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada cinta, tidak ada harapan. Hanya dinding dingin, suara derap sepatu penjaga, dan bayangan dari pria yang telah membeli tubuh dan jiwanya.
Arini berusaha tidur malam itu, tapi bayangan tatapan dingin Leonardo terus menghantui benaknya. Di luar kamar, terdengar suara langkah-langkah sepatu bot yang berjalan mondar-mandir. Setiap suara itu mengingatkannya bahwa ia benar-benar terkurung, diawasi, dan tak bisa pergi.
Pikirannya kembali ke keluarganya. Mama. Ayah. Rumah itu. Semua kenangan masa kecil yang dulu hangat, kini terasa palsu.
Ia menyeka air mata yang terus mengalir. Rasa hancur di hatinya tak bisa dijelaskan. Bukan hanya karena ia dijual, tapi karena ia tak berarti apa-apa bagi orang yang seharusnya melindunginya.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka pelan. Jantung Arini mencelos. Ia langsung duduk tegak di tempat tidur, tubuhnya gemetar.
Leonardo melangkah masuk, sendirian, mengenakan pakaian tidur berwarna gelap. Wajahnya tenang, tapi ada sorot tajam yang membuat Arini merinding.
“Apa kau bisa tidur?” tanyanya, suaranya pelan tapi menekan.
Arini tidak menjawab. Hanya menunduk, menggenggam ujung selimut dengan erat.
“Ketakutan?” Ia berjalan pelan, mendekat. “Bagus. Ketakutan akan membuatmu patuh.”
Arini menggigit bibir, menahan diri agar tidak menangis di hadapannya. “Apa... kau datang hanya untuk menakutiku?”
Leonardo tersenyum tipis. Ia duduk di kursi di sudut ruangan, menyandarkan punggung dan menyilangkan kaki. “Aku datang untuk mengingatkanmu... mulai besok, kau bukan lagi gadis bebas. Kau hidup atas perintahku. Nafasmu ada karena aku izinkan. Kau akan belajar bagaimana menjadi milikku sepenuhnya.”
“Kau tidak berhak...”
“Sudah kubilang. Aku membeli hak itu.”
Arini berdiri dari ranjang, berusaha menatapnya dengan berani. “Tubuhku mungkin bisa kau kuasai. Tapi hatiku... tidak. Aku bukan boneka.”
Leonardo tertawa kecil, tetapi dingin. “Kau akan berubah pikiran nanti.”
Ia berdiri, lalu berjalan pelan ke arah Arini. Gadis itu mundur beberapa langkah, tapi tak bisa lari ke mana pun. Punggungnya menempel ke dinding.
“Simpan keberanianmu,” bisik Leonardo, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Arini. “Kau akan membutuhkannya saat aku mulai... menyentuhmu.”
Tangan dingin Leonardo sempat menyentuh dagunya, tapi Arini menepisnya keras. “Jangan sentuh aku!”
Leonardo mematung sejenak, lalu tersenyum penuh bahaya. “Kau akan belajar... bahwa tidak ada yang bisa menolakku dan lolos begitu saja.”
Ia mundur dan melangkah keluar dari kamar. Sebelum menutup pintu, ia berkata, “Tidurlah, Arini. Besok adalah awal hidup barumu. Dan kau akan menyesalinya.”
Cklek.
Pintu terkunci kembali. Arini jatuh berlutut di lantai. Tubuhnya gemetar hebat. Ia menggigit jarinya agar tak menjerit. Tapi isakannya tetap lolos.
Bahkan udara pun terasa menyesakkan. Kamar itu mewah—dengan lampu kristal, tempat tidur empuk, rak buku, kamar mandi pribadi—tapi semua itu tak berarti jika hatinya dipenjara. Ia bukan tamu. Ia bukan istri. Ia hanyalah tawanan.
Keesokan paginya, sinar matahari masuk lewat jendela tinggi. Arini tidak tidur sama sekali. Matanya sembab, tubuhnya lemas.
Pintu kamar terbuka. Seorang wanita berseragam hitam dan rapi masuk, membawakan pakaian dan baki makanan.
“Selamat pagi, Nona Arini,” ucap wanita itu datar. “Tuan menyuruh saya membantu Anda bersiap. Hari ini akan ada ‘pertemuan pribadi’.”
Arini menatapnya curiga. “Pertemuan apa?”
Wanita itu tak menjawab. Ia hanya meletakkan gaun hitam ketat di ranjang, serta pakaian dalam baru berwarna merah marun.
“Pakai ini. Tuan tidak suka menunggu,” katanya, lalu keluar begitu saja.
Arini memeluk dirinya. Ia tahu maksudnya. Hari ini... mungkin adalah hari di mana neraka itu benar-benar dimulai.
Pakaian yang disiapkan itu masih tergeletak di atas ranjang. Gaun hitam ketat dengan belahan dada dalam dan rok pendek yang nyaris tak menutup paha. Di sampingnya, lingerie merah tipis yang bahkan tak layak disebut pakaian.
Arini menatapnya dengan jijik. Jantungnya berdebar tak karuan. Ia merasa seperti sedang bersiap dikirim ke altar bukan sebagai pengantin, tapi persembahan untuk monster.
“Tidak,” gumamnya. “Aku tidak akan pakai ini.”
Tapi tak lama kemudian, pintu terbuka. Wanita tadi kembali masuk, kali ini dengan ekspresi lebih keras.
“Tuan Leonardo akan naik dalam lima belas menit. Jika kau belum siap... dia akan menyiapkanmu sendiri.”
Nada kalimat itu dingin, mengandung ancaman yang tak bisa diabaikan.
Arini menelan ludah. Tangannya gemetar saat menyentuh gaun itu. Ia mengenakannya perlahan, dengan rasa malu dan marah yang bercampur. Saat melihat dirinya di cermin, ia hampir tak mengenali gadis itu. Wajahnya sembab, rambutnya kusut, dan tubuhnya dibungkus pakaian yang hanya dipakai untuk menyenangkan pria.
Saat pintu kamar terbuka lagi, langkah kaki itu terdengar lebih berat. Aroma parfum mahal bercampur dengan aura bahaya memenuhi ruangan.
Leonardo berdiri di ambang pintu, memandangi Arini dari ujung kepala sampai kaki. Ia tersenyum miring.
“Cantik. Aku suka kepatuhanmu.”
Arini membuang muka. “Aku tidak patuh. Aku hanya tidak ingin dipermalukan lebih dari ini.”
Leonardo melangkah masuk, menutup pintu perlahan. “Kau harus terbiasa dipermalukan, Arini. Dunia ini tidak punya belas kasihan pada orang lemah.”
Ia mendekat dan mengangkat dagu Arini dengan dua jarinya. “Tapi jangan khawatir. Aku akan mengajarkanmu cara bertahan hidup.”
“Dengan menyiksaku?” bisik Arini. “Dengan menyetubuhiku seperti boneka?”
Leonardo mengerutkan kening. “Kau pikir kau tahu arti penderitaan? Belum. Tapi kau akan tahu.”
Tangan besar itu menarik Arini ke pelukannya. Gadis itu memberontak, memukul dadanya, meronta, menggigit tapi Leonardo seperti batu. Tak bergerak, tak bergeming. Ia hanya memeluk lebih kuat, lalu mendorong Arini ke dinding.
“Aku bisa menghancurkanmu dalam sekejap,” bisiknya dingin. “Tapi aku tidak akan melakukannya. Karena aku ingin kau merasakan setiap detik neraka ini.”
Air mata Arini jatuh lagi. Bukan karena takut, tapi karena hatinya terasa kosong. Luka yang tak terlihat jauh lebih menyakitkan.
“Aku benci kau,” lirihnya.
Leonardo tersenyum tipis. “Benci adalah awal dari ketergantungan. Sebentar lagi, kau akan membenciku... sambil tetap mencariku.”
"itu tidak akan pernah terjadi tuan Leonardo yang terhormat,teruslah bermimpi."
Malam itu, Arini tidak tidur di ranjang. Ia meringkuk di lantai dingin kamar mandi, masih mengenakan gaun yang kini basah oleh air mata dan muntah.
Tubuhnya tak disentuh malam ini. Tapi ancaman Leonardo cukup untuk menghancurkan pikirannya.
Ia memeluk lutut, gemetar. Tidak ada tempat aman. Tidak ada yang bisa ia percaya. Bahkan dirinya sendiri pun mulai ia ragukan.
Tapi di tengah kegelapan, muncul satu suara kecil dalam benaknya:
Kau bisa hancur. Atau kau bisa bertahan. Pilih satu, Arini.
Dan untuk pertama kalinya sejak hidupnya dijual, Arini mulai membisikkan jawaban pada dirinya sendiri.
“Aku akan bertahan. Aku akan keluar dari tempat ini. Dan aku akan membuatmu menyesal.”
Setelah menghabiskan waktu di lantai kamar mandi, tubuh Arini gemetar, kedinginan, tapi pikirannya terlalu panas untuk bisa beristirahat. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, tapi ia belum bisa menangis lagi. Tangisannya sudah habis sejak tadi.
Namun ketukan keras di pintu memaksanya kembali ke dunia nyata.
Tok. Tok.
"Bangun dan bersiap. Tuan menunggumu di ruang makan," suara dingin wanita pelayan yang sama terdengar dari balik pintu. Tak ada rasa simpati. Tak ada kelembutan.
Arini mendesah, menghapus sisa air mata di wajahnya. Ia tidak diberi pilihan. Ia harus bangkit. Bahkan jika tubuhnya menolak, pikirannya belum siap, dan jiwanya koyak.
Ia berganti pakaian dengan dress polos yang tergantung di pintu lemari. Masih elegan, tapi jauh lebih tertutup daripada yang sebelumnya. Arini bersyukur, setidaknya hari ini ia tidak harus mengenakan pakaian yang mempermalukannya lagi.
Langkahnya pelan menuruni tangga. Mansion itu terlalu besar, terlalu sunyi. Setiap suara tapak kakinya terasa menggema. Di ruang makan, Leonardo sudah duduk di ujung meja panjang, mengenakan kemeja putih dan jas hitam, terlihat seperti raja dalam istananya yang dingin.
"Makanlah," ucapnya datar tanpa menoleh.
Di depannya, hidangan mewah tersaji daging steak yang masih mengepul, sup krim hangat, dan roti buatan chef pribadi. Tapi semua itu terasa seperti racun bagi Arini.
Ia duduk diam di kursi yang disediakan. Piringnya kosong, meski pelayan telah menyendokkan makanan.
"Kau tidak lapar?" tanya Leonardo akhirnya, menyesap anggur merah dalam gelas kristalnya.
Arini menatap piringnya. "Aku lebih kenyang dengan rasa benci."
Leonardo meletakkan gelasnya perlahan, lalu menatap Arini. “Jaga mulutmu.”
"Aku akan menjaganya. Tapi jangan harap aku bisa berpura-pura menikmati semua ini, setelah hidupku kau rampas."
Leonardo menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap gadis itu lekat-lekat. “Kau pikir kau sedang disiksa? Ini baru permulaan, Arini. Aku bisa memberimu neraka yang jauh lebih panas dari ini.”
"Apa yang kau dapat dari semua ini? Menyiksa gadis yang bahkan tak tahu dosa ayahnya?"
Wajah Leonardo tiba-tiba berubah. Sorot matanya dingin, tapi di balik itu ada sesuatu… dendam. Luka lama yang membeku.
“Karena ayahmu bukan hanya berutang. Dia telah menghancurkan hidupku. Dan kau… adalah cara paling indah untuk membalasnya.”
Arini menelan ludah. Ada emosi di balik suara itu. Luka yang dalam. Tapi tetap saja, itu tidak membenarkan semua penyiksaan ini.
“Lalu setelah kau puas membalas dendam, apa aku akan kau buang? Atau kau bunuh?”
Leonardo tertawa kecil, tanpa humor. “Belum kupikirkan. Mungkin. Mungkin juga tidak. Tergantung seberapa baik kau bisa menghiburku.”
Seketika Arini berdiri, napasnya memburu. Ia menatapnya penuh kebencian. “Kau pikir aku akan menyerah? Kau salah. Aku akan keluar dari tempat ini. Dan saat hari itu datang, kau akan kehilangan satu-satunya kesempatan untuk merasa menjadi manusia.”
Pelayan di sudut ruangan tampak tegang, menahan napas. Leonardo sendiri masih duduk tenang, hanya tersenyum tipis.
"Bagus," ujarnya. "Akan lebih menarik kalau kau melawan. Aku menyukai tantangan."
Arini berbalik dan melangkah cepat keluar dari ruang makan, menahan air mata yang hendak jatuh lagi. Ia tak ingin Leonardo melihatnya rapuh. Tidak malam ini. Tidak lagi.
Malam itu, ia kembali duduk di lantai kamar, memandangi jendela tinggi yang tak bisa dibuka. Ia mencoba mengingat peta rumah ini. Tangga, lorong, posisi penjaga, gerbang utama. Ia harus tahu semua celah jika ingin kabur.
“Aku harus kuat. Kalau tidak, aku akan mati di tempat ini. Entah jiwaku, atau ragaku.”
Di meja kecil dekat ranjang, ia temukan sebuah buku catatan kosong dan pulpen. Tanpa tahu apakah ini aman atau tidak, ia mulai menulis:
Hari pertama,aku dikurung,disiksa batin. Tapi aku belum kalah,Aku akan mencatat semuanya. Aku tidak akan membiarkan mereka menghapus siapa aku.
Tangannya gemetar saat menulis, tapi ada sedikit rasa lega. Seolah dengan menulis, ia mengambil kembali sepotong kecil dari dirinya yang hilang.
Dan malam itu, sebelum tidur, Arini mengucap satu kalimat dalam hati bukan doa, tapi janji.
Aku tidak akan menjadi budak. Aku akan menjadi korban yang selamat. Aku akan pergi dari sini. Dan saat aku bebas, aku akan pastikan Leonardo Dirgantara tahu… siapa yang sebenarnya kalah.
Suara jam dinding berdetak pelan. Angin malam menyusup dari celah jendela tinggi, membuat tirai putih tipis bergoyang seperti hantu. Arini duduk di ujung ranjang, memeluk lututnya, tubuhnya masih gemetar sejak kejadian di ruang makan semalam.
Sudah empat hari sejak ia dijual dan dikurung di rumah mewah ini rumah milik Leonardo Dirgantara, pria kaya yang lebih mirip iblis berbaju jas. Arini tak tahu apakah hari-hari berikutnya akan lebih ringan atau lebih menyiksa, tapi satu hal yang pasti: ia tak bisa diam dan hanya menerima nasib.
Satu per satu kenangan tentang masa lalu datang menyusup. Wajah ibunya. Pelukan hangat saat ia kecil. Senyum ayahnya waktu mengantarnya ke sekolah. Semua itu kini terasa palsu. Mereka bukan keluarganya lagi. Mereka menjualnya. Demi utang. Demi kenyamanan mereka sendiri.
“Kalau mereka bisa melupakan aku, aku pun akan melupakan mereka. Aku tidak akan menangis lagi.”
Arini menarik napas dalam-dalam dan berdiri. Ia berjalan ke jendela, menatap ke luar. Taman mansion itu luas, rumputnya rapi, pagar tinggi menjulang di kejauhan. Dua penjaga berseragam gelap berjalan bolak-balik. Di dekat dapur, pelayan kadang keluar membuang sampah.
Ia memperhatikan semuanya dengan saksama.
“Kalau aku bisa melewati pagar itu... aku bisa lari. Setidaknya mencoba.”
Pagi itu, seperti biasa, pelayan datang membawakan sarapan. Arini hanya diam, tapi matanya tak berhenti mengamati. Ia perhatikan jam dinding pukul 07.45. Pelayan itu hanya butuh lima menit untuk keluar masuk. Dan dia selalu keluar dari pintu samping.
Di ruang makan, Leonardo duduk sambil membaca koran. Ia tidak menatap Arini.
“Kau akan tetap di kamar hari ini. Aku tidak suka kau berkeliaran,” katanya pelan.
Arini mengepalkan tangan di bawah meja. “Kenapa? Kau takut aku mencuri sesuatu?”
Leonardo menatapnya tajam, lalu meletakkan korannya. “Aku takut kau mencuri kesempatan untuk kabur. Dan aku tidak ingin mengejar tikus kecil di rumahku sendiri.”
Arini mengalihkan pandangan, menahan kemarahan. Ia tahu, bicara terlalu banyak hanya akan mengundang hukuman. Tapi ia juga tak tahan hidup dalam diam.
Sore harinya, Arini mencoba memainkan kartu kecilnya. Saat pelayan membawa makan malam, ia meminta mandi di kamar mandi bawah.
"Yang ada bathtub besar itu… kamar ini membuatku sesak,” ucapnya lirih, menunduk.
Pelayan itu ragu. “Saya harus tanya Tuan dulu.”
"Kalau tidak boleh, tak apa… aku hanya…” Arini pura-pura gemetar. Ia sudah tahu caranya membuat orang kasihan.
Akhirnya, si pelayan mengangguk. “Baik. Tapi hanya sepuluh menit.”
Arini mengikuti pelayan menuruni tangga. Di tengah lorong menuju kamar mandi bawah, ia melihat satu hal: jendela di lorong itu terbuka setengah. Tidak besar, tapi cukup untuk seorang gadis ramping seperti dia melewati.
“Kesempatan…”
Ia masuk ke kamar mandi, tapi tidak benar-benar mandi. Ia hanya berdiri di depan kaca, membasuh wajah, sambil mencatat. Jendela itu bisa ia jangkau jika pelayan lengah.
Ia kembali ke kamar, tapi malam itu ia tidak tidur. Ia menunggu waktu yang tepat.
Tengah malam. Rumah itu sunyi. Tak ada suara langkah. Tak ada suara apapun kecuali detak jantungnya.
Arini mengenakan hoodie gelap dan sepatu kets yang sempat ia curi dari lemari gudang. Ia membuka pintu kamar perlahan kunci digitalnya ternyata terbuka. Mungkin pelayan lupa mengaktifkan kembali.
Langkahnya pelan. Nafasnya tertahan. Ia melewati lorong, menahan napas setiap kali lantai berdecit. Jendela itu masih terbuka. Angin malam menerpa wajahnya saat ia membuka lebih lebar.
Dengan hati-hati, ia melompat keluar, mendarat di semak rendah. Lututnya tergores, tapi ia tak peduli. Ia berlari. Melewati sisi rumah, mendekati pagar, tubuhnya mengendap-endap di antara pohon.
“Sedikit lagi… tinggal pagar itu…”
Tapi saat ia akan berlari ke gerbang kecil di sisi taman sorotan lampu menerpa wajahnya.
“BERHENTI!!!”
Dua penjaga muncul dari balik dinding pohon. Senter dan senjata mengarah padanya. Arini menjerit dan berlari, tapi kakinya tergelincir di tanah basah. Ia jatuh. Tubuhnya ditangkap kasar. Ia menendang, mencakar, menggigit, tapi percuma.
“LEPASKAN AKU!!! AKU MANUSIA!!! AKU PUNYA HAK!!!”
Namun tak ada yang mendengar. Tak ada yang peduli.
Ia diseret kembali ke mansion. Tangannya diborgol. Rambutnya berantakan, wajahnya penuh lumpur dan luka. Penjaga membawanya ke ruang bawah tanah gelap. Pintu besi terbuka perlahan.
Leonardo berdiri di sana. Tenang. Dingin. Senyum kecil mengembang di wajahnya.
“Kau mencoba kabur,” ucapnya pelan.
Arini memuntahkan semua kebenciannya lewat tatapan. “Aku akan terus mencoba… sampai aku mati sekalipun.”
Leonardo melangkah maju, berjongkok di hadapannya. “Jangan terlalu percaya diri, Arini. Dunia di luar tidak lebih baik dariku. Tapi jika kau ingin tahu rasanya dihukum… aku akan ajarkan pelan-pelan.”
Beberapa jam kemudian, Arini dikembalikan ke kamarnya. Tubuhnya lelah. Luka kecil di pelipisnya berdarah. Tapi ia masih hidup.
Ia duduk di sudut ruangan, bersandar pada dinding, napasnya berat. Dalam kegelapan, ia memeluk lututnya.
“Gagal… Tapi aku belum kalah.”
“Mereka pikir aku akan menyerah. Tapi aku akan terus berjuang. Aku tidak tahu kapan. Tapi suatu hari… aku akan bebas. Aku akan membuat mereka semua melihat bahwa aku bukan gadis lemah.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!