NovelToon NovelToon

Love Only For You

Bab 1 : LOFY

"Jika hari ini aku mati, saat aku terlahir kembali nanti... harusnya usiaku jauh lebih muda dari Raka kan?"

Gadis itu merentangkan kedua tangannya, kedua matanya ikut terpejam secara perlahan. Apa yang dia dengar beberapa waktu lalu telah mampu mengusik hati dan pikirannya. Kenyataan bahwa usianya jauh lebih tua dari kekasihnya nyatanya masih menjadi hal paling keramat saat dia dengar.

Bagaimana Viola bisa berada di jembatan tower bridge yang membentang di atas sungai Thames? Kita kembali ke tiga jam yang lalu ketika Viola baru saja menginjakkan kakinya di kota London.

Setelah melakukan perjalanan udara yang memakan waktu berjam-jam, akhirnya Viola menginjakkan kakinya di London untuk pertama kalinya. Kedatangannya kesana bahkan tidak diketahui oleh siapapun kecuali Dian. Selain memang sudah kenal sejak lama, Viola dan Dian kebetulan juga bekerja sebagai staff di perusahaan yang sama.

"Selamat ulang tahun Raka, kamu pasti senang melihat aku datang menemui kamu di London." Gumam Viola, segera dia melangkahkan kakinya keluar dari bandara dengan menarik koper ditangan kirinya. Sementara tangan kanannya memegang sepotong kertas yang bertuliskan alamat Raka di London.

Enam tahun lamanya Viola dan Raka menjalin hubungan jarak jauh, selama itu pula mereka hanya bertemu setahun sekali setiap kali Raka pulang ke Indonesia. Namun sudah dua tahun ini Raka tidak pulang dengan alasan kesibukan hingga membuat Viola nekad menyusulnya ke London dengan harapan bisa melepas rindu dengan kekasihnya itu.

Tidak ada yang menyambut, karena kedatangannya memang hanya direncanakan sendiri, atau lebih tepatnya direncanakan berdua dengan Dian saja.

Viola segera menghampiri salah satu taksi yang sedang beroperasi di pangkalan, dia juga memberikan alamat yang dia pegang pada supir taksi yang akan mengantar. Senyum bahagia tak lepas dari wajah cantiknya sepanjang perjalanan, jantungnya terus berdebar-debar tak karuan.

Ini bukan pertama kalinya dia bertemu dengan Raka, tapi kenapa dia bisa segugup ini?

Raka Pradana, ya nama itu yang telah terukir dihati sejak dia dan Raka sama-sama masih duduk di bangku SMA. Saat itu Raka adalah murid pindahan dan menjadi adik kelas Viola. Entah bagaimana, perasaan itu sudah ada sejak pertama kali mereka saling bertemu. Raka adalah cinta pertamanya, dan berharap akan menjadi cinta terakhirnya juga.

Satu jam kemudian taksi yang dinaiki oleh Viola membawa Viola kedepan sebuah rumah yang dikelilingi oleh tembok keliling dengan pintu gerbang berwarna hitam tinggi. Viola segera turun dari dalam taksi dan menarik kopernya kembali yang sudah diturunkan oleh supir taksi dari dalam bagasi.

"Jadi ini rumah Raka selama tinggal di London." Viola menatap kagum pada bangunan dua lantai yang ada dihadapannya, dia menarik kopernya mendekat ke arah pintu gerbang. Sementara taksi yang dinaikinya tadi sudah melesat pergi meninggalkannya sendirian disana.

Viola menekan bel yang ada disamping gerbang. Tak lama kemudian seorang wanita berusia sekitar 35 tahunan keluar, membuka sedikit pintu gerbang dan berdiri di depan Viola.

"Cari siapa ya?" tanya wanita itu ramah.

"Maaf, apa benar Raka Pradana tinggal disini?" tanya Viola sedikit ragu. Sudah sejauh ini, semoga dia tidak salah alamat.

Wanita itu memperhatikan penampilan Viola dari atas sampai bawah. Gadis dihadapannya terlihat begitu cantik meskipun hanya menggunakan celana jeans panjang dan kaos pas body berwarna merah muda yang dilengkapi dengan jaket ringan.

Kening wanita itu berkerut dalam, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. "Oh, ini pasti Non Vio ya? Pacarnya mas Raka?" tebaknya.

Mata Viola sedikit melebar, jelas dia terkejut karena wanita itu mengenalinya padahal ini adalah pertama kalinya dia datang berkunjung kesana.

"Heh... Kok tahu?"

Wanita itu bernama Mbak Ranti, dia sengaja dipilih oleh Lisa, mamanya Raka, untuk menemani dan menyiapkan segala keperluan Raka selama Raka menimba ilmu di negeri London.

"Jelas tahu lah. Yang setiap hari ditelefonin, dipandangi fotonya... Wajahnya sama persis seperti wajah yang sekarang sedang berdiri di hadapan Saya ini." ujar Mbak Ranti sembari tertawa kecil.

Wajah Viola bersemu malu mendengar cerita dari wanita yang berdiri dihadapannya, "Kalau boleh tahu apa Raka nya ada? Saya ingin bertemu."

"Oh mas Raka nya sedang pergi, Non. Biasalah, nongkrong sama teman-temannya di cafe langganan. Deket kok dari sini, tapi kalau jalan kaki ya lumayan jauh, memakan waktu setengah jam-an lah. Kalau naik kendaraan nggak nyampek sepuluh menit juga sudah sampai," jawab Mbak Ranti.

Viola terdiam, padahal dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan Raka, tapi apa dia harus menunggu lagi?

"Boleh minta alamat cafenya nggak, Mbak? Sekalian Saya titip koper Saya disini dulu ya?"

-

-

Dengan mengantongi alamat yang diberikan oleh Mbak Ranti, Viola kembali menaiki taksi menuju kesebuah cafe supaya cepat sampai. Sekitar lima menit perjalanan dia sudah sampai, matanya langsung menyapu sekitar begitu dia turun dari dalam taksi. Cafe itu lumayan rame karena memang sering dijadikan tempat tongkrongan anak muda.

Sebuah senyuman terukir di wajah cantiknya ketika dia melihat seseorang yang cukup familiar sedang duduk-duduk santai di teras cafe bersama beberapa orang temannya. Rasa lelahnya kini tergantikan oleh rasa senang. Meskipun pria itu duduk memunggunginya, Viola yakin jika itu adalah Raka-nya, kekasih hatinya.

Ada tujuh orang yang duduk di meja tempat Raka duduk sekarang. Viola sedikit kesal karena ada dua orang gadis diantaranya, tapi dia tidak ingin terlalu mempermasalahkan. Tujuannya sekarang adalah bertemu dengan Raka dan melepas rindu yang rasanya sudah sangat mendarah daging.

Untuk sesaat Viola tetap bertahan ditempat, hingga tanpa sadar langkah kakinya mulai membawanya mendekat. Jantungnya kembali berdetak lebih cepat, tatapannya terkunci pada sosok pria yang tengah duduk dengan memunggunginya.

"Itu beneran cewek kamu usianya jauh lebih tua dari kamu, Ka? Berarti kayak tante-tante dong?"

Pertanyaan itu terlontar dari mulut salah satu teman Raka, seketika itu juga langkah Viola langsung terhenti saat mendengar salah satu dari gadis itu memberikan pertanyaan pada kekasihnya.

"Ngapain sih pacaran sama yang tua, mending sama yang muda kayak kita-kita. Kan jauh lebih fresh." sahut gadis satunya, diiringi dengan tawa dari teman-teman yang lainnya.

Ada sesuatu yang menyentil hatinya, dadanya tiba-tiba terasa sesak, kedua mata Viola berkaca-kaca. Mungkinkah selama ini Raka malu karena berpacaran dengan dirinya yang usianya jauh lebih tua meskipun hanya berjarak beberapa bulan saja?

Viola melangkahkan kakinya mundur, dia berbalik dan berjalan menjauh meninggalkan cafe. Tidak sanggup dia mendengar lebih banyak lagi. Ditambah lagi dia tidak mendengar Raka menjawab atau sekedar untuk memberikan pembelaan untuknya.

"Apa selama ini aku yang salah... Atau aku hanya berharap sendirian dari hubungan kita ini? Kenapa Raka, kenapa...? Aku datang untuk menemui kamu, tapi kenapa harus hal seperti ini yang aku dengar..."

...♥️♥️♥️...

📝 Nah yang sudah pernah baca season 1 nya pasti paham dengan kisah cinta Raka-Viola ini ya di novel yang berjudul 'Sumpah, I Love You'... Gimana kecintaannya Viola pada Raka dan gimana sensitifnya Viola apalagi kalau sudah bersangkutan dengan umur. 🤭

Oke, author langsung kasih visual versi author ya biar semangat bacanya. Mohon dukungannya juga biar author semangat nulisnya 😇😇😇

Bab 2 : LOFY

Hilangnya Viola membuat gempar seluruh keluarganya, termasuk teman-temannya juga. Bahkan Tamara tak henti-hentinya menangis dan meminta suaminya untuk terus mencari keberadaan putri bungsu mereka.

"Ini sudah dua malam, tapi Viola belum juga ada kabar. bagaimana ini, Pa?" Tanya Tamara disela-sela isak tangisnya.

Hendra menghela nafas panjang. Dia dan putranya, Leo, juga sudah mencari Viola kemana-mana, tapi hasilnya tetap nihil. Viola hilang tanpa jejak dengan membawa koper dan beberapa pakaian miliknya, sementara handphonenya tidak diaktifkan hingga sulit untuk dilacak keberadaannya.

"Besok pagi kita lapor polisi saja. Sebaiknya sekarang Mama istirahat dulu, sejak kemarin Mama nggak makan dan nggak tidur, nanti Mama bisa sakit." Hendra mengusap lembut punggung sang istri untuk menenangkan.

"Pa, apa mungkin bocah itu nyusulin berondongnya ke London? Mungkin saja kan dia pergi ke London karena sudah dua tahun ini Raka nggak pulang." Leo yang sedari tadi diam kembali angkat bicara. Disampingnya, Alya menghela nafas panjang dan menyenderkan tubuhnya pada punggung sofa. Wajahnya terlihat lelah dan menahan kesal.

Sejak menikah dua tahun lalu, Leo dan Alya memang sudah belajar hidup mandiri. Dari hasil tabungannya selama dia kerja, Leo bisa membeli rumah sederhana yang sekarang ditempati oleh mereka berdua. Hingga kemarin saat papanya menelfon, Leo buru-buru mengajak Alya pulang kerumah orang tuanya saat mendengar kabar jika adik perempuannya menghilang.

Hendra dan Tamara saling menatap, kemungkinan itu bisa jadi benar adanya.

"Pa, mungkin yang dikatakan Leo benar, jangan-jangan Viola pergi ke London untuk menyusul Raka. Papa tahu sendiri kan bagaimana putri kita itu cinta setengah mati sama Raka. Bahkan setiap Viola marah atau sedih, cuma Raka yang bisa membujuk Viola. Kita harus menghubungi Raka dan menanyakan tentang Viola, Pa." Tamara mendesak suaminya untuk segera menghubungi Raka.

"Belum tentu juga, Ma." Hendra tidak langsung menyetujui. "Sebaiknya kita tanya lagi teman-teman terdekatnya dulu, jangan menyusahkan Raka dan membuatnya ikut kepikiran juga."

Tatapannya kini beralih ke arah Alya dan Leo, Hendra merasa tidak enak hati karena sudah membuat Alya ikut menginap dan menyusahkan menantunya itu. "Leo, ajak istri kamu ke kamar. Biarkan dia istirahat dulu."

"Baik, Pa." Angguk Leo, membawa tangan istrinya kedalam genggaman dan mengajaknya meninggalkan ruang tengah.

-

-

Alya menarik kasar tangannya dari genggaman Leo ketika mereka sudah sampai di dalam kamar.

"Adik kamu itu nyusahin tahu nggak! Kamu dan orang tua kamu itu terlalu memanjakan dia, makanya dia jadi semena-mena dan bertindak sesuka hati dia seperti sekarang." Alya melipatkan kedua tangannya didada, rautnya terlihat sangat kesal.

"Al, aku nggak ingin ribut disini, jadi tolong jaga sikap kamu." Leo menahan diri supaya tidak terpancing emosi. Sejak masa pacaran Alya memang sering cemburu pada Viola meskipun wanita itu tahu jika Viola adalah adik kandungnya.

"Jaga sikap?" Alya berdecak sinis. "Yang harusnya jaga sikap itu adik kamu. Dia sudah dewasa, usianya sudah dua puluh empat tahun, tapi kelakuannya masih kekanak-kanakan!"

Alya menurunkan tangannya, berjalan ke arah ranjang dan duduk disana.

Leo ikut menyusul, berdiri di hadapan sang istri dan kembali berbicara dengan tenang. "Kamu tidur saja duluan, aku masih harus mencari Viola lagi. Selama disini, tolong bersikaplah dengan baik. Aku nggak ingin mama dan papa mendengar kita bertengkar."

Alya tidak menjawab, tidak menatap suaminya juga. Hingga ketika pintu kamar kembali tertutup dengan rapat, dia mengangkat kepalanya dan menatap kesana. Matanya memerah, menahan amarah dan tangis yang sejak tadi ingin tumpah.

-

-

-

Perbedaan waktu di London dan di Jakarta sekitar tujuh jam-an, jadi saat ini di London masih menunjukkan pukul dua siang.

Raka hanya tersenyum menanggapi celotehan teman-temannya yang sedang membicarakan tentang hubungannya dengan Viola. Selama ini dia memang belum pernah menunjukkan foto-foto Viola pada teman-temannya hingga mereka penasaran dengan sosok wanita yang sudah mampu mengisi hatinya itu.

"Dia cantik, sangat malah. Bahkan gue yang duluan mencintainya, tergila-gila padanya." jawabnya tenang. Senyuman tipis bahkan tak lepas dari wajah tampannya saat terbayang wajah kekasihnya.

"Kalau gitu kapan mau kenalin ke kita-kita?" tanya Alina. selama ini dia hanya mendengar nama, tapi belum pernah melihat langsung sosok wanita yang sangat dicintai oleh temannya itu. "Kita penasaran loh, seperti apa sih sosok Viola Anastasya, wanita yang sudah membuat seorang Raka tergila-gila bahkan sampai rela menolak beberapa wanita yang menembaknya di London."

Raka tertawa pelan, santai. "Of course. Kapan waktu pasti gue kenalkan pada kalian."

Ditengah-tengah obrolan mereka, handphone Raka berdering. Raka segera meminta izin untuk mengangkat telefonnya sebentar dan berjalan sedikit menjauh dari teman-temannya.

"Amel, tumben Lo nelfon. Ada apa?" tanya Raka.

"Viola hilang, Ka." Amel menjeda kalimatnya, memberi ruang pada Raka untuk berekspresi. "Dan gue udah nanya ke semua teman-teman disini. Dian bilang dia nyusul Lo ke London, apa kalian sudah ketemu?"

"London?" lirih Raka, matanya langsung menyapu sekitar, merasakan sesuatu sudah terjadi tanpa sepengetahuannya. "Gue tahu. Nanti gue telefon lagi. Viola aman sama gue disini."

"Oke, gue percaya sama Lo."

Raka menutup sambungan telefonnya, segera dia menghubungi asisten rumah tangganya di rumah untuk menanyakan tentang keberadaan Viola. Siapa tahu sekarang Viola sudah ada dirumahnya bersama dengan mbak Ranti.

"Sudah pergi dari tadi nyusul mas Raka ke cafe, harusnya sudah ketemu kan sama mas Raka disana? Apa mungkin non Vio nyasar? Haduhhh... Kasihan sekali... Gimana ini mas kalau sampai nyasar. Mbak jadi merasa bersalah, harusnya tadi Mbak Ranti tahan saja disini ya sambil nunggu mas Raka pulang."

"Nggak apa-apa. Tolong Mbak sebutkan saja ciri-cirinya, tadi Viola pakai baju apa. Biar Saya minta bantuan teman-teman Saya untuk ikut mencari." Raka berbicara dengan tenang, meskipun sebenarnya dia sangat khawatir. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan Viola diluar sana.

Setelah mengetahui ciri-ciri yang ditunjukkan oleh mbak Ranti, Raka meminta teman-temannya untuk ikut mencari. Mereka menyebar, mencari kesana kemari. Bertanya pada orang-orang yang lewat, namun tidak ada yang melihat.

Langkahnya terus membawanya semakin menjauh, bahkan Raka akhirnya terpaksa mengirimkan foto Viola yang selalu dia simpan di handphonenya pada teman-temannya untuk memudahkan mereka dalam mencari.

"Beautiful girl, pantas saja Raka suka." puji mereka saat melihat foto Viola untuk pertama kalinya.

-

-

-

Angin berhembus lembut menyentuh kulit, memberikan kesejukan tapi tidak pada hatinya. Dadanya kian sesak, air mata terus bergulir membasahi wajahnya. Entah sudah berapa lama dia berdiri disana, sendiri ditempat yang masih terasa asing baginya.

"Cantik? ... Ini beneran kamu, atau hanya ilusi ku saja?"

...♥️♥️♥️...

Bab 3 : LOFY

Amel menjatuhkan tubuhnya duduk diatas sofa, handphonenya dia letakkan diatas meja. Setidaknya sekarang dia sudah merasa sedikit lega karena Raka sudah tahu kalau Viola menyusulnya pergi ke London.

‎‎"Parah Lo. Kalau nggak dipaksa buka mulut, Lo nggak bakal ngaku kan kalau Lo tahu Vio pergi ke London?" Amel menatap kesal pada Dian yang duduk di sofa berbeda. Sengaja dia datang ke rumah Dian untuk mengintogerasi sahabatnya itu. Dian dan Viola kerja satu kantor, tidak mungkin Dian tidak tahu kemana Viola pergi.

‎‎"Lah, gue kan hanya menjalankan tugas seperti yang Vio suruh." ujar Dian membela diri. "Gue disuruh tutup mulut rapat-rapat dan tidak boleh bilang sama siapapun. Vio bilang, dia akan nelfon gue kalau dia udah ketemu sama Raka, baru tuh gue boleh ngomong sama kalian."

‎‎"Iya tapi nyatanya mana? Vio nelfon Lo nggak?" tanya Amel masih dengan raut kesalnya. "Kalau Vio kenapa-kenapa, Lo mau tanggung jawab?"

‎‎"Niat gue nolong kok malah jadi gue yang salah sih!" Dian menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung.

‎‎Amel bangun, melemparkan bantal kecil ke pangkuan Dian. "Nih ngomong aja sama bantal." Dia berjalan ke arah ranjang milik Dian, membaringkan tubuhnya disana.

‎‎Dian menoleh ke arah Amel, melihat sahabatnya yang sudah berbaring tengkurap. "Eh Mel, gue belum selesai ngomong. Emang gue yang salah gitu?"

‎‎"GUE NGANTUK...!"

‎-

‎-

‎-

‎Hampir satu jam lebih Raka berlari kesana-kemari, bertanya pada orang-orang dengan menunjukkan foto Viola yang ada di handphonenya. Namun tidak ada satupun dari mereka yang tahu, membuatnya merasa semakin cemas dan khawatir.

‎‎Hingga kini dia mencari ke jembatan tower bridge, salah satu tempat yang sering ramai dikunjungi. Dan benar saja, dia melihat seorang gadis tengah berdiri memunggunginya dengan merentangkan kedua tangan.

‎‎"Cantik?" panggilnya keras, tegas. Langkahnya kian mendekat, pelan, tetap menjaga jarak karena dia tahu saat ini gadisnya sedang tidak baik-baik saja. "Apa ini beneran kamu? Atau hanya ilusi ku saja?"

‎‎Suara itu seperti magnet, mampu menggetarkan hati yang sedang kalut. Perlahan kedua matanya terbuka, tangannya dia turunkan, tapi masih enggan untuk membalikkan badan.

‎‎"Apa aku bermimpi jika ini kamu?" ucapnya lagi, paham jika saat ini gadisnya sedang ingin dibujuk. Hingga dia sengaja tidak langsung mendekat. "Mungkin aku yang terlalu rindu, hingga aku berharap yang aku lihat di hadapanku sekarang adalah gadisku, kesayanganku."

‎‎"Aku akan menghitung mundur, jika kamu tidak mendekat dan memelukku. Itu berarti ini hanya mimpi, aku yang terlalu berharap jika kamu ada disini." Sengaja dia memberikan tantangan seperti itu karena Viola tetap diam, seolah tidak merespon ucapannya.

‎‎"Tiga..."

Hening.

‎‎"Dua..."

Masih tidak respon. Viola masih diam mematung.

‎‎"Satu..."

‎‎Viola tetap tidak bergeming. Dia menunduk semakin dalam, kedua tangannya mengepal kuat, mendadak tubuhnya terasa kaku dan seperti sulit untuk digerakkan.

"Oke, mungkin kamu memang hanya bayangan. Nggak mungkin gadisku datang menemuiku kesini. Aku pergi sekarang..."

"Heuh..." Viola mendongak, berbalik cepat dan melihat Raka yang sudah berdiri memunggunginya, mulai melangkahkan kakinya menjauh darinya.

Secepat angin yang berhembus kencang, Viola berlari ke arah Raka, melingkarkan kedua tangannya di pinggang, memeluknya dari arah belakang. Membuat langkah Raka terhenti detik itu juga.

"Ini aku... Aku datang untuk kamu... Aku rindu kamu, Raka..."

Raka tersenyum, dia tahu Viola akan datang untuk memeluknya. "Aku tahu, aku juga rindu."

Raka melepaskan tangan Viola dari pinggangnya, berbalik dan menatap wajah kekasihnya yang terlihat sembab.

"Apa hembusan angin disini terlalu kencang sampai air mata kamu tumpah semua?" tanyanya sembari mengusap sisa air mata yang masih menempel di wajah Viola.

Diam. Viola mengulum bibirnya rapat-rapat, wajahnya tertunduk. Tidak mungkin dia bercerita tentang apa yang dia dengar di cafe tadi, yang ada Raka pasti akan menertawakannya karena dia masih sensitif-an jika ada yang membicarakan soal usia.

"Tadi aku nyasar, aku nggak tahu jalan pulang ke rumah kamu. Karena takut, jadi aku nangis," ucapnya sedikit gugup, menggigit bibir bawahnya.

Raka mengangguk paham, seolah percaya begitu saja. "Kamu datang kenapa nggak ngabarin aku? Kalau kamu bilang kan aku bisa jemput."

"Kalau aku bilang namanya bukan kejutan, Raka." jawabnya pelan. "Tapi... Kok kamu bisa tahu aku ada disini? Bukannya tadi kamu lagi di..." Viola menggantung kalimatnya saat menyadari tatapan Raka yang begitu intens, seolah sedang membaca kejujuran pada wajahnya.

Situasi mendadak hening, hanya mata mereka yang saling bertemu pandang, sambil berdiri saling berhadapan. Debaran jantung didalam sana terasa semakin kencang, menahan rindu yang sangat dalam dan tidak bisa terbendung lagi. Dua tahun bukan waktu yang sebentar, terakhir mereka bertemu di pernikahan kakak Viola yang terjadi dua tahun lalu. Itupun hanya sebentar, karena saat itu Raka harus kembali pergi ke London untuk meneruskan kuliahnya.

"Kenapa? Kok natapnya gitu?" tanyanya pelan, sedikit canggung.

Raka tersenyum tipis. "Kamu cantik, terlihat lebih dewasa sekarang," puji Raka.

Alih-alih memahami pujian yang dilontarkan oleh kekasihnya, Viola malah salah paham. "Heh... Dewasa apa tua? Tadi kamu dan teman-teman kamu ngatain aku tua dan kayak tante-tante. Oh my god Vio, kenapa sih kamu nggak bisa marah kalau sudah berhadapan langsung dengan Raka seperti ini? Padahal kan tadi niatnya mau bunuh diri, nyebur ke air dan ikut berenang sama lumba-lumba."

Raka mengibaskan tangannya di depan wajah Viola. "Heh, kok malah bengong. Ayo kita pulang, kamu pasti capek dan lapar kan?" Diraihnya tangan sang kekasih dan digenggamnya erat.

"Tunggu!" tahan Viola sebelum Raka mulai melangkah. "Aku capek, gendong..." rengeknya manja.

Raka tertawa pelan, melepaskan genggaman tangannya dan memposisikan dirinya berjongkok di hadapan Viola. "Ayo, naik!"

Viola tersenyum senang, segera naik ke punggung Raka. Aroma maskulin pria menguar kuat di indera penciumannya ketika dia sudah ada dalam gendongan. Wangi yang sama, wangi yang selalu dia rindukan.

-

-

-

Lisa berjalan menuruni tangga dan melangkahkan kakinya menuju ke arah ruangan kerja suaminya. Diraihnya gagang pintu dan dibukanya sedikit. Tangannya tertahan saat dia mendengar suaminya sedang berbicara dengan seseorang di telefon.

Samar-samar Lisa ikut mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh suaminya dengan seseorang yang dia tidak ketahui siapanya. Hingga setelah suaminya selesai menelfon, Lisa membuka pintu ruangan itu sedikit lebih lebar. Dia melangkahkan kakinya mendekat ke arah Arman yang sedang berdiri didepan meja kerjanya.

"Aku dengar kamu tadi membicarakan tentang rencana perjodohan. Memangnya siapa yang mau dijodohkan, Mas?"

...♥️♥️♥️...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!