NovelToon NovelToon

Hati Yang Terlepas Dari Belenggu

Arumi

Arumi Maharani, seorang gadis Muslimah yang tumbuh di keluarga patriaki, tidak pernah bisa mengangkat kepalanya. Ia hanya bisa menunduk mengikuti semua pengaturan sang nenek yang tegas terhadapnya sejak kecil.

Abinya, Aji juga selalu bersikap dingin kepadanya. Hanya Uminya, Imamah yang menyayanginya dengan tulus. Sayangnya, Umi Im tidak bisa terus membelanya karena kanker telah menggerogoti tubuhnya.

“Sarapan dulu, Umi.” Kata Arumi yang masuk ke kamar membawa nampan berisi bubur dan segelas air putih.

“Letakkan saja! Umi akan makan sendiri. Kalau kamu tidak cepat, kamu bisa telat.”

“Kalau begitu, Arumi berangkat sekolah dulu ya, Mi. Untuk makan siang, Arumi sudah buatkan ayam kecap.” Umi Im mengangguk dan Arumi mencium punggung tangan uminya dan pergi ke kamar mengambil tas sekolahnya.

Di ruang tamu, ada abinya yang sedang menikmati kopi dan gorengan yang sudah ia siapkan. Dengan menunduk, Arumi mengulurkan tangannya untuk berpamitan. Abi Aji menyambut tangan Arumi dan segera membuang muka setelah Arumi mencium punggung tangannya.

Keluar dari rumah, Arumi mampir ke rumah yang ada di sebelah, dimana sang nenek tinggal. Ia berpamitan kepada sang nenek. Seperti biasa, ia akan mendapatkan wejangan sebelum bisa berangkat ke sekolah.

Isi wejangan selalu sama, yaitu sebagai perempuan tidak boleh terlalu dekat dengan laki-laki, jangan menjalin hubungan dengan perempuan di luar sana yang sudah terlalu liar dimata beliau dan lain-lain.

Arumi tentu mendengarkannya sambil mengikuti perkataan sang nenek di dalam hati karena ia sudah hafal di luar kepala. Setelah selesai, barulah Arumi bisa berangkat ke sekolah dengan tenang.

Dengan menggunakan angkutan umum, Arumi berangkat ke sekolah. Sekitar 25 menit kemudian, angkutan berhenti di depan sekolahnya dan ia turun bersama pelajar lainnya.

“Arumi!” teriak seseorang dari kejauhan.

Arumi menengok ke arah sumber suara dan menemukan Aliya, teman sebangkunya berlari ke arahnya.

“Kamu kesiangan lagi?” tanya Arumi.

“Tidak! Hari ini aku bangun tepat waktu.”

“Lalu kenapa seperti dikejar setan?”

“Ini lebih mengerikan daripada setan!”

“Apa?”

“Ibuku!”

Pluk!

Arumi memukul kepala Aliya dengan buku yang dipegangnya.

“Sungguh! Kamu tahu sendiri ibuku kalau sudah mulai mengomel seperti apa. Pagi ini aku hanya tidak sengaja meletakkan handuk di tempat tidur, ibu mengejarku dengan sapu di tangannya!”

“Makanya, kalau dinasihati itu diperhatikan! Jangan Cuma didengarkan dengan telinga kanan dan dikeluarkan dari telinga kiri!”

“Ya, ya! Kamu sudah terkena virus nenekmu!” Arumi tidak mengelak.

Sedikit banyak, ia menjadi pribadi yang tertutup dan berpikir dewasa lebih awal karena semua aturan dan omelan dari sang nenek yang lebih mengutamakan laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

Selesai kelas, Arumi hanya mampir ke perpustakaan untuk meminjam buku dan pulang ke rumah. Aliya hanya bisa melihat punggung Arumi yang menjauh karena ia tahu betul jika temannya tidak bisa telat pulang ke rumah.

Sampai di rumah, Arumi dikejutkan dengan Umi Im yang dilarikan ke rumah sakit. Menurut pamannya, Taufik uminya mengalami pendarahan saat abinya mengganti pakaiannya.

Arumi yang ingin segera menyusul, dihentikan sang nenek yang mengatakan sebaiknya ia menunggu dengan tenang di rumah dan menyiapkan makan malam. Mau tak mau, Arumi menurut dan melakukan pekerjaan rumahnya seperti biasa.

Sekitar pukul 8 malam, Abi Aji kembali ke rumah dengan raut wajah yang lesu. Arumi segera menyuguhkan kopi untuk abinya dan bertanya mengenai keadaan uminya.

“Umi kamu sepertinya tidak bisa bertahan lama lagi.”

“Maksud Abi, apa? Bukankah hasil kemoterapi yang terakhir bagus?”

“Tapi kondisinya semakin menurun. Dokter juga sudah tidak bisa melakukan apapun kalau tubuh Umimu tidak merespons pengobatan!” Arumi menggelengkan kepalanya.

Ia tidak ingin percaya dengan pendengarannya saat ini. Ia ingin memastikannya sendiri.

“Abi, bolehkah malam ini Arumi yang menjaga Umi di rumah sakit?”

“Lakukan saja! Sekalian kamu bawakan keperluan Umimu.” Arumi mengangguk dan segera masuk ke dalam kamar uminya.

Ia menyiapkan perlengkapan untuk uminya ke dalam tas pakaian dan masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil tasnya.

“Abi, Arumi pinjam motornya.”

“Pakai yang lama, yang baru mau Abi pakai ke undangan rapat desa nanti.”

“Iya, Abi.” Arumi mengambil kunci motor dan segera berpamitan.

Sesampainya di rumah sakit, Arumi tidak bisa menemani uminya karena beliau masih berada di ICU. Menurut keterangan perawat yang berjaga, jika Umi Im bisa melewati malam ini, besok baru bisa di pindahkan ke rawat inap.

Arumi menunggu dengan duduk di kursi yang ada di Lorong dekat ruang ICU uminya. Beruntung ia mengenakan jaket, sehingga ia bisa melewati malam tanpa merasa kedinginan. Dalam setiap nafasnya, Arumi melantunkan dzikir untuk berharap kesembuhan uminya.

Sungguh ia belum siap jika uminya dipanggil lebih dulu oleh Allah.

Alarm tubuh Arumi membangunkannya tepat pukul 3 pagi. Segera ia beranjak dan melihat uminya dari balik pintu kaca. Keadaannya masih sama. Arumi akhirnya berjalan menyusuri Lorong yang gelap untuk sampai di masjid rumah sakit.

Di sana, Arumi mengadukan semua doa dan harapannya kepada Sang Khalik. Ketika ia keluar dari masjid, kata-kata abinya terngiang di kepalanya. Arumi terduduk lemas di teras masjid.

Tidak ia pungkiri jika umur manusia adalah rahasia. Jika benar Allah akan mengambil uminya, mungkin ia harus merelakannya dengan Ikhlas.

“Jika ini adalah jalan yang terbaik agar umi tidak lagi merasakan sakit, aku Ikhlas Ya Allah…” gumam Arumi yang kemudian mengusap air matanya yang sudah menganak Sungai.

Ia mulai mengendalikan suasana hatinya dan segera kembali ke ruang ICU. Sesampainya di sana, ternyata uminya telah dipindahkan ke rawat inap karena kondisinya sudah membaik.

“Umi…” panggil Arumi yang segera menghambur ke arah uminya.

“Dari sholat?” Arumi mengangguk.

“Arumi sendirian menunggui Umi?” tanya Umi Im yang mengusap kepala Arumi yang terbenam di lengannya.

“Iya, Umi. Abi ada undangan rapat desa tadi malam.” Jawab Arumi seraya mengangkat kepalanya.

“Apa Umi mau sholat?” tanyanya.

Umi Im menganggukkan kepalanya. Arumi membantu uminya mengenakan atasan mukena dan segera beliau melakukan tayamum dan melaksanakan sholat dengan berbaring.

Dalam doa beliau, bukanlah meminta kesembuhan melainkan kebahagiaan Arumi, anak yang akan ia tinggalkan. Beliau merasa tidak rela jika sepeninggalnya nanti, Arumi akan menjalani kehidupan yang tidak adil.

Selesai melaksanakan sholat, Umi Im meminta Arumi untuk membacakan mushaf. Arumi mengangguk dan segera melakukannya. Umi Im memejamkan matanya sambil meresapi lantunan ayat suci dari Arumi.

Di luar, ada Aji yang berdiri kaku melihat kebersamaan istri dan anaknya. Pandangannya tidak terbaca. Antara sedih, marah, dan sakit hati tercampur menjadi satu. Ia yang ingin masuk mengurungkan niatnya dan berbalik menuju kantin untuk membeli sarapan.

.

.

.

.

.

Halooo semuanya... semoga suka dengan karya baru author..

Setengah Tahun Lagi

Satu minggu lamanya Umi Im dirawat di rumah sakit. Selama itu pula Arumi bolak-balik dari sekolah, rumah dan rumah sakit. Ia bahkan sampai melewatkan jam belajar karena kesibukannya.

“Alhamdulillah Umi sudah boleh pulang!” seru Arumi sambil merapikan perlengkapan sang umi.

“Alhamdulillah…” Umi Im tersenyum ke arah Arumi.

Tak lama kemudian, Abi Aji yang telah menyelesaikan administrasi datang membawa kursi roda. Dengan sigap beliau mengangkat tubuh Umi Im dan mendudukkannya di kursi roda. Abi Aji mendorong kursi roda keluar diikuti Arumi yang membawa tas dan perlengkapan lain.

Sesampainya di rumah, sudah ada beberapa keluarga yang menunggu di ruang tamu. Beberapa dari mereka adalah keluarga jauh yang tidak sempat menjenguk Umi Im di rumah sakit.

Arumi tak punya waktu untuk bersantai karena ia segera ke dapur menyiapkan minuman untuk para tamu setelah memastikan Umi Im, beristirahat di kamar.

“Kelas berapa sekarang kamu, Rum?” tanya Tante Nanik, adik ipar dari Abi Aji.

“Kelas 3, Tante.”

“Setengah tahun lagi kamu lulus?”

“Tidak ada setengah tahun, Tante. Mungkin sekitar 4 bulan lagi.”

“Mau lanjut ke mana?” belum sempat Arumi menjawab, sang nenek sudah lebih dulu bersuara.

“Lanjut ke mana? Perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Akhirnya juga di dapur, mengurus suami dan anak.”

“Apa salahnya perempuan sekolah tinggi, Bu? Bukankah aku juga lulusan sarjana?” tanya Tante Nanik yang ingin membela Arumi.

“Sarjana Cuma kamu pakai beberapa tahun saja! Setelah itu kamu tetaplah ibu rumah tangga. Gelar sarjana tidak ada gunanya!” Tante Nanik masih ingin menjawab, tetapi suaminya menghentikannya karena perdebatan mereka tidak akan selesai.

Tante Nanik hanya bisa menghembuskan nafas Panjang, sedangkan Arumi hanya menunduk. Tidak ada kecewa ataupun kesal dalam hatinya karena selama ini ia sudah belajar jika keluarga abinya hanya menganggap keturunan laki-laki.

Setelah semua orang berpamitan, tinggal Arumi dengan Abi Aji. Arumi yang sudah Lelah, masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat.

Keesokan paginya, seperti biasa Arumi akan memasak sebelum berangkat ke sekolah. Setelah mengantarkan sarapan kepada Umi Im, Arumi berpamitan dengan beliau dan Abi Aji yang kebetulan ada di dalam kamar.

“Mau sampai kapan kamu menyembunyikan kebenaran dari Arumi?” tanya Abi Aji setelah mendengar suara pintu luar tertutup.

“Biarkanlah aku egois sekali lagi, Bi.”

“Jika dia tahu dari orang lain, hatinya akan lebih hancur!”

“Aku tahu! Aku hanya ingin mengisi ingatan terakhirku dengan kenangan baik. Aku tidak mau dia membenciku di ujung usiaku, Bi!”

“Terserah kamu saja!”

“Apa Abi akan membawanya masuk ke dalam rumah ini?” tanya Umi Im dengan suara tercekat.

“Seperti permintaanmu, aku akan membawanya masuk setelah kamu tiada. Aku tidak akan melupakan janjiku.” Jawab Abi Aji yang kemudian keluar dari kamar, meninggalkan Umi Im yang berlinang air mata.

Siang itu, rumah Abi Aji kedatangan tamu seorang laki-laki yang mengaku sebagai perantara. Abi Aji mempersilahkan beliau untuk masuk dan berbicara di ruang tamu.

Laki-laki itu mengenalkan dirinya, Arif. Beliau diminta oleh keluarga Nugraha dari Kota Minyak, untuk melamar putri Abi Aji. Tentu hal tersebut membuat tanda tanya besar di benak Abi Aji yang tidak mengenal siapapun di kota tersebut.

Tetapi karena pikirannya yang mengingat Arumi sudah akan lulus dari SMA, beliau tanpa ragu menerima pertunangan tersebut. Akhirnya mereka sepakat mempertemukan anak-anak setengah tahun kemudian setelah pihak laki-laki menyelesaikan kuliahnya di luar negeri.

“Kenapa Abi menerimanya begitu saja?” tanya Umi Im yang menerima berita.

“Arumi sudah dewasa, sudah waktunya dia untuk berumah tangga.”

“Apa Abi tidak menginginkan Arumi untuk lanjut kuliah sama seperti ibu?”

“Untuk apa? Aku tidak bisa menanggung uang kuliah 2 anak!”

“Baiklah, jika itu kemauanmu. Pesanku hanya satu. Jika Arumi tidak bersedia setelah bertemu, jangan paksa dia!”

“Bukan kamu yang memutuskan!”

Di sisi lain.

“Apakah Om sudah menyampaikannya?” tanya laki-laki muda di panggilan telepon.

“Sudah. Aji sepakat mempertemukan kalian setengah tahun lagi.”

“Baguslah! Aku akan segera menyelesaikan urusanku di sini.”

“Tenang saja! Kalau jodoh tidak akan ke mana.”

“Aku sudah menunggu selama 8 tahun! Aku tidak ingin melewatkannya lagi!”

“Bagaimana dengan kedua orang tuamu? Apa mereka setuju?”

“Mereka akan mengikuti kemauanku, Om! Lagi pula calon menantu mereka adalah perempuan dari keluarga baik-baik, tentu mereka tidak akan menolak.”

“Tapi dia hanya lulusan SMA?”

“Kuliah bisa dilakukan kapan saja kalau dia mau melanjutkannya.”

“Terserah kamu saja!”

Laki-laki muda itu tersenyum puas. 8 tahun penantiannya akan menjadi kenyataan. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan gadis kecil yang dulu mencuri perhatiannya.

“Tunggu aku gadis kecil, aku akan datang dan menjadikanmu istriku!” gumam laki-laki muda tersebut.

Sementara itu, Arumi yang masih berada di dalam kelas mendapatkan panggilan dari wali kelasnya. Ia sudah bisa menebak apa yang akan wali kelasnya katakana, sehingga ia menyiapkan diri sebelum masuk ke dalam ruang guru.

“Bapak tahu kondisi Ibumu, tetapi Bapak minta kamu tetap prioritaskan belajar! Sebentar lagi kamu ujian.” Kata Pak Rofiq, wali kelas Arumi.

“Iya, Pak. Saya usahakan.”

“Ijin kamu terlalu banyak, ini akan mempengaruhi rapor kehadiranmu. Bapak akan membantu menutupinya, tetapi kamu harus mendapatkan nilai bagus di ujian masuk universitas!”

“Apa saya harus ikut, Pak?” tanya Arumi ragu-ragu.

“Tentu saja! Sayang sekali kalau kamu tidak lanjut!” Arumi hanya mengangguk.

Ia tidak mungkin mengatakan apa yang dikatakan oleh sang nenek kepada wali kelasnya karena sama saja ia membuka aib keluarganya.

Untuk sementara, Arumi akan mengikuti ujian masuk universitas. Untuk hasilnya nanti, ia serahkan semuanya kepada Allah. Entah ia bisa lanjut atau tidak.

Sepulang sekolah, Arumi menyempatkan diri mampir ke pasar untuk membeli kebutuhan dapur yang sudah menipis karena hanya mengandalkannya yang belanja seminggu sekali.

“Kenapa pulangnya sore sekali?” tanya Nenek Ifah yang duduk di teras.

“Mampir belanja ke pasar, Nek.” Jawab Arumi yang mencium punggung tangan sang nenek seraya mengucapkan salam.

“Beli apa saja?”

“Sayur, daging, buah dan lain-lain.”

“Apa kamu mau membuat semur daging?”

“Iya. Sudah lama tidak buat, Nek!”

“Ingat untuk menambahkan sedikit pala!”

“Iya, Nek.”

Arumi membawa belanjaannya masuk ke rumah dan menyimpannya ke dapur sebelum mengganti pakaiannya.

Sebelum memasak, Arumi menyempatkan melihat keadaan uminya di kamar setelah selesai membersihkan diri dan melaksanakan sholat ashar.

“Anak Umi sudah pulang!” suara Umi terdengar lemah.

“Iya, Umi.” Arumi mencium punggung tangan uminya.

“Umi makan siang dengan apa tadi?” tanyanya.

“Abimu membuatkan Umi bubur telur tadi.”

“Arumi mau masak semur daging. Umi mau makan pakai nasi tim atau bubur?”

“Bubur saja, Nak. Perut Umi masih tidak nyaman.” Arumi mengangguk.

Pandangan beralih ke tempat sampah dan keranjang kotoran di kamar yang sudah kosong. Artinya sang abi sudah membersihkannya dan yang perlu ia lakukan adalah mencuci. Arumi pamit dan segera ke dapur.

Sambil memasak, Arumi mengisi air dan memutar mesin cuci. Sampai semuanya selesai tepat saat adzan maghrib berkumandang.

Wasiat

“Apa Abi sudah berangkat?” tanya Umi Im saat Arumi masuk ke dalam kamar.

“Sudah, Mi. Umi mau makan siang apa hari ini?”

“Umi pengen ayam bakar. Sudah lama Umi tidak makan.”

“Tapi Umi dilarang makan makanan pemicu kanker sama dokter.”

“Sekali ini saja, Nak. Umi pengen banget.”

“Kalau ayamnya dipanggang, bagaimana?”

“Ayam bakar, Nak!”

“Baiklah, kalau begitu Arumi ke tukang sayur dulu, Mi.”

“Ambil uangnya di laci!”

“Yang kemarin masih, Mi.”

Arumi bersiap pergi ke pinggir jalan dimana tukang sayur biasanya mangkal. Di sana sudah ada ibu-ibu yang bergerombol memilih sayur dan perdagingan.

Setelah menyapa semuanya, Arumi menyela gerombolan untuk mengambil satu ekor ayam, timun dan kemangi. Segera ia membayar belanjaannya dan berpamitan pulang.

“Anaknya Bu Im rajin sekali, ya? Anak saya kalau hari minggu seperti ini masih molor jam segini.” Kata salah satu ibu-ibu.

“Kalau tidak rajin, Nenek Ifah bisa mengomel!” seru salah satu dari mereka.

“Benar! Siapa yang tidak rajin kalau punya nenek seperti itu? Justru kasihan Aruminya.”

“Iya, ya. Kasihan Arumi yang harus mengerjakan semua pekerjaan rumah sejak SD kelas 5.”

“Ya mau bagaimana lagi? Bu Im yang sakit-sakitan mana bisa melakukannya!”

“Kemarin katanya masuk rumah sakit lagi.”

“Iya, saya juga dengar. Katanya penyakitnya semakin parah.”

“Kasihan juga Bu Im itu. Sejak Arumi kelas 5 sudah divonis sakit yang katanya sulit disembuhkan.”

Ibu-ibu mulai berdiskusi mengenai penyakit Umi Im yang mereka hanya tahu kalau susah disembuhkan tanpa tahu penyebabnya karena keluarga Abi Aji tutup mulut mengenai penyakit beliau. Dan saat mereka bertanya kepada Arumi, mereka hanya mendapatkan jawaban “Doakan Umi lekas sembuh ya, Bu.”.

Sementara itu, Arumi yang sudah sampai di rumah segera mencuci ayam yang di belinya dan memotongnya menjadi beberapa bagian. Ia menyiapkan bumbu yang digunakan untuk mengungkep ayam sebelum dibakar.

Jika biasanya ayam ungkep akan di rebus, kali ini Arumi mengungkep ayam dengan cara mengukusnya. Hal ini dilakukan agar ayam tetap lembut saat di bakar nanti.

Sambil menunggu jam makan siang, Arumi menyetrika pakaian sambil memantau uminya yang tidur setelah meminum obat.

“Arumi!” Teriak Nenek Ifah dari rumah sebelah.

Segera Arumi mencabut setrika dan berlari ke sumber suara. Dilihatnya tanaman yang tertata di rak teras berantakan dan bahkan ada pot dari tanah liat pecah.

“Kamu yang membawa kucing kemari?” tanya Nenek Ifah dengan geram.

“Tidak, Nek. Aku tidak ada memelihara kucing.” Jawab Arumi seraya merapikan rak dan menata pot yang terjatuh.

“Lalu kucing siapa yang melakukannya?”

“Aku tidak tahu, Nek.”

“Bersihkan! Ganti potnya dengan pot plastikyang kamu beli dulu.”

“Bukannya nenek tidak mau menggunakannya?”

“Gunakan saja!” Nenek Ifah dengan kesal masuk ke dalam rumah meninggalkan Arumi.

Dengan menghembuskan nafas dalam, Arumi kembali merapikan pot dan membersihkan tanah yang berserakan. Setelah selesai, ia ke Gudang untuk mengambil pot yang dimaksud sang nenek.

Dulu Arumi membelinya karena ingin mengganti beberapa pot tanah liat yang sudah mulai retak, tetapi sang nenek tidak mau dan tetap mempertahankan pot tersebut. Mungkin sang nenek tidak mau ada yang pecah lagi, makanya menyuruhnya menggunakan pot plastik.

Selesai memindahkan tanaman, Arumi meletakkannya kembali ke rak dan ia juga kembali menyelesaikan setrikaannya. Menyetrika selesai, Arumi ke belakang rumah menyiapkan arang untuk membakar ayam.

Ayam bakar siap, Arumi mengantarkan Sebagian ke rumah Nenek Ifah dan membawa piring ke kamar uminya.

“Umi, ayam bakarnya sudah siap.” Kata Arumi yang menggoyangkan tangan Umi Im.

“Umi…”

“Iya.” Jawab Umi Im dengan lemah.

Arumi membantu uminya duduk bersandar dan meletakkan meja lipat di pangkuan beliau. Setelah Arumi mengusap tangan Umi Im dengan tisu basah beralkohol, barulah beliau mulai makan.

Selesai makan, Umi Im menghentikan Arumi yang ingin membawa nampan ke dapur.

“Tolong ambilkan map yang ada di laci lemari!” Arumi menurut.

Setelah mengambil map yang dimaksud uminya, Arumi menyerahkannya dan duduk di samping uminya.

“Arumi, waktu Umi sudah tidak banyak. Setelah kepergian Umi, mungkin kehidupanmu akan semakin sulit. Jika kamu tidak tahan, kamu bisa pergi meninggalkan rumah ini. Kamu bisa tinggal di rumah peninggalan orang tua Umi.” Umi Im membuka map yang ternyata berisi surat tanah dan rumah dengan nama Arumi.

“Arumi baik-baik saja, Umi. Bukankah masih ada Abi dan Nenek?” Umi Im menggelengkan kepalanya membuat Arumi penasaran.

“Dengarkan Umi! Jika kamu sudah tidak tahan, tinggalkan rumah ini! Kamu bisa memulai hidup baru di sana.”

Entah apa yang dimaksud uminya, Arumi hanya bisa menganggukkan kepalanya. Umi Im tersenyum. Beliau juga mengambil buku tabungan dan kartu ATM yang selama ini tersimpan di laci sebelah tempat tidur.

“Selama ini, Umi sudah siapkan tabungan untukmu. Gunakan ini saat kamu memulai hidup baru. Jika kamu mau kuliah, kamu bisa menggunakannya. Jika kurang, kamu bisa menggadaikan tanah atau rumah ini. Terserah padamu karena Umi sudah memberikan semuanya kepadamu.” Arumi menatap bingung ke arah uminya.

Ia semakin dibuat penasaran dengan kata-kata Umi Im yang seolah-olah memberikan wasiat kepadanya. Apakah ajal sudah dekat? Jika iya, tentu Arumi akan mengikhlaskan uminya. Tetapi mengapa uminya mengatakannya seolah Arumi akan menderita setelah beliau tiada?

Arumi yang tidak bisa menangkap maksud uminya hanya menganggukkan kepalanya. Sayangnya, kalimat Umi Im berikutnya kembali membuat rasa penasarannya semakin kuat.

“Jangan katakana apapun kepada Abi! Simpan rahasia ini untukmu sendiri.”

“Kenap…”

“Nanti kamu akan tahu jawabannya, Nak.” Arumi mengangguk.

Setelah beberapa kalimat, Umi Im meminta Arumi untuk menyimpan pemberiannya. Arumi keluar dari kamar dan masuk ke dalam kamar untuk menyimpan map dan buku tabungan. Setelah itu ia ke dapur untuk membersihkan bekas makan uminya.

Tangan dan kaki Arumi bergerak dengan teratur tetapi kepalanya di penuhi dengan pertanyaan mengenai maksud uminya. Beliau adalah seorang ibu yang sangat baik dan penyayang.

Ini adalah kali pertama uminya mengatakan kalimat yang sangat ambigu. Sampai ia tidak bisa menafsirkan maksud beliau yang sebenarnya.

“Maafkan Umi yang egois ini, Nak. Umi tidak sanggup untuk jujur kepadamu. Kalau kamu membenci Umi karena keegoisan Umi, maka Umi akan menerimanya.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!